Sumbangan kelapa sawit kepada ekonomi negara

Pemerintah menyatakan bahwa peran industri kelapa sawit ke perekonomian nasional hingga kini belum tergantikan. Industri sawit mampu menyerap sedikitnya 16 juta tenaga kerja, setiap tahunnya industri tersebut juga berkontribusi sekitar 13,50% terhadap ekspor nonmigas dan menyumbang 3,50% kepada produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis dan Perkebunan Kemenko Perekonomian Moch Edy Yusuf mengatakan, industri sawit telah menjadi salah satu industri unggulan dalam menopang pertumbuhan ekonomi RI. Apalagi pada masa pandemi Covid-19, industri sawit paling tahan banting sehingga memberikan kontribusi terbesar kepada PDB Indonesia. “Indonesia adalah produsen terbesar sawit dunia maka tidak heran industri sawit nasional memberikan peranan penting dalam perekonomian RI yang belum tergantikan sampai saat ini.” kata dia.

Setidaknya, terdapat empat manfaat industri kelapa sawit terhadap perekonomian Indonesia yang bisa dilihat dari berbagai aspek. Pertama, padat karya, industri sawit sudah menyerap tenaga kerja langsung 4.20 juta dan pekerja tidak langsung 12 juta orang. Kedua, setiap tahunnya industri sawit berkontribusi sebesar 3,50% terhadap total PDB Indonesia. Ketiga, berkontribusi 13,50% terhadap total ekspor nonmigas. Keempat, menciptakan kemandirian energi melalui biodiesel sehingga menghemat devisa dan berdampak positif terhadap lingkungan.

Produksi minyak sawit Indonesia (CPO) tahun ini diperkirakan mencapai 49,71 juta ton, angka tersebut mengalami peningkatan secara konsisten selama lima tahun terakhir. Karena sawit Indonesia memiliki kualitas yang sangat bagus, banyak pihak yang iri dan mencari cara untuk menghalangi perdagangannya, terutama Uni Eropa (UE) yang paling gencar menentang sawit Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan sigap menghadapi segala macam bentuk kampanye negatif sawit dari UE tersebut dan terus melobi dengan cara cerdas.

Pemerintah RI juga terus berupaya memajukan industri sawit nasional dengan menerapkan kebijakan sawit berkelanjutan, antara lain dengan mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan melalui Inpres No 6 Tahun 2019 yang bertujuan melakukan penguatan data, koordinasi, dan infrastruktur kapasitas pekebun. Selain itu, menerbitkan Pepres No 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) yang bertujuan memperbaiki tata kelola sistem sertifikasi dengan membuka ruang untuk partisipasi, akuntabilitas, dan menyempurnakan kelembagaan ISPO.

Tujuh prinsip dasar ISPO adalah peningkatan usaha secara berkelanjutan. penerapan transparansi, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, penerapan praktik perkebunan yang baik, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi, serta pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan keanekaragaman hayati. “ Dengan ISPO. sawit Indonesia akan semakin kuat di pasar luar negeri karena ISPO ini ibarat senjata pelindung.” ujar dia, kemarin.

Saat ini, kebijakan paling prioritas pemerintah untuk sawit adalah peremajaan sawit rakyat (PSR) yang bertujuan meningkatkan produktivitas tanaman lama, menyelesaikan legalitas lahan yang berada di kawasan hutan, meningkatan produktivitas pekebun swadaya yang berkorelasi dengan meningkatnya pendapatan. “Program mandatori biodiesel juga konsisten dijalankan karena ini berdampak positif bagi perekonomian, bisa menghemat devisa dengan pengurangan impor solar sebesar US$ 8 miliar dan proyeksi pendapatan negara dari Rp 2,47 triliun.” ungkap dia.

Sementara itu, Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, ISPO merupakan senjata ampuh untuk melawan kampanye negatif sawit di Eropa. Selama ini, UE selalu meminta sertifikat sawit berkelanjutan dan Indonesia sudah mempunyai ISPO untuk memenuhi tuntutan tersebut. Perusahaan sawit anggota Gapki sudah 80% yang kini mempunyai ISPO dan akan terus didorong penerapannya.

Eksistensi Sawit

Sementara itu, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengatakan, kelapa sawit berperan besar dalam kehidupan masyarakat, baik dari aspek ekonomi, sosial maupun ketahanan energi. Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit di dunia produk kelapa sawit dan turunannya telah diekspor ke seluruh dunia dan merupakan komoditas penghasil devisa ekspor terbesar bagi Indonesia. “Karena itu, kami mengajak semua pihak ambil peran menjaga eksistensi komoditas sawit agar terus memberikan sumbangsih besar bagi kehidupan ekonomi sosial masyarakat Indonesia,” ujar dia saat saat BPDPKS Journalist Fellowship & Training Tahun 2021, belum lama ini.

Pada 2019, nilai ekspor sawit di luar oleokimia dan biodiesel US$ 15,57 miliar atau kurang lebih Rp 220 triliun melampaui nilai ekspor dari sektor migas maupun sektor nonmigas. Pada masa pandemi Covid-19, sawit juga terbukti mampu bertahan dan tetap menyumbangkan devisa ekspor sekitar US$ 13 miliar sampai Agustus 2020. Perkebunan dan industri sawit juga membuka jutaan lapangan kerja di dalam negeri, baik untuk petani sawit. pekerja pabrik. maupun tenaga kerja lainnya di sepanjang rantai produksi dari kebun hingga produk akhir. (Ridho Syukra)

Sumber: Investor.id

  Pekerja mengangkut hasil panen kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara XIV, Bayondo, Kecamatan Tomoni, Luwu Timur, Sulsel. ANTARA FOTO

Sepanjang pandemi Covid-19, industri sawit paling tahan banting sehingga mampu memberikan kontribusi terbesar kepada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Industri sawit masih tetap menjadi andalan kinerja neraca perdagangan nasional. Ini tergambar dari kontribusinya yang mencapai 13,50 persen terhadap ekspor nonmigas dan menyumbang 3,50 persen bagi PDB Indonesia.

Bahkan, Indonesia sempat tercatat sebagai produsen utama dunia dengan menduduki peringkat pertama dengan produksi mencapai 47,38 juta ton saat moratorium diterapkan pada 2018, seperti dilaporkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).

Masih dari data yang sama, produksi CPO dan PKO sempat naik menjadi 51,82 juta ton setahun kemudian. Sayangnya, produksinya kembali menurun pada 2020 menjadi 51,58 juta ton.

Dengan produksi yang melampaui 50 juta ton per tahun, Indonesia masih memegang posisi produsen terbesar minyak sawit dunia dengan serapan sebanyak 16 juta tenaga kerja. Namun, Index Mundi menyebutkan, rata-rata produktivitas minyak sawit Indonesia hanya 2,30 persen per tahun. Ini lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia 6,49 persen per tahun ataupun Thailand 29,17 persen per tahun.

Harus diakui, pandemi juga telah mengkoreksi kinerja produk minyak sawit dan turunannya. Pasalnya, sejumlah negara importir mengurangi serapan produk asal Indonesia tersebut.

Untungnya, penurunan volume tidak secara otomatis menurunkan nilai ekspor komoditas itu. Sebaliknya, nilai ekspor pada 2020 naik menjadi USD22,97 miliar dari sebelumnya USD20,20 miliar karena kenaikan harga CPO.

Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis dan Perkebunan Kemenko Perekonomian Moch Edy Yusuf mengatakan, industri sawit telah menjadi salah satu industri unggulan dalam menopang pertumbuhan ekonomi RI. Apalagi pada masa pandemi Covid-19, industri sawit paling tahan banting sehingga memberikan kontribusi terbesar kepada PDB Indonesia.

“Indonesia adalah produsen terbesar sawit dunia maka tidak heran industri sawit nasional memberikan peranan penting dalam perekonomian RI yang belum tergantikan sampai saat ini,” ujarnya.

Setidaknya, terdapat empat manfaat industri kelapa sawit terhadap perekonomian Indonesia yang bisa dilihat dari berbagai aspek. Pertama, padat karya, industri sawit sudah menyerap tenaga kerja langsung 4,20 juta dan pekerja tidak langsung 12 juta orang. Kedua, setiap tahunnya industri sawit berkontribusi sebesar 3,50 persen terhadap total PDB Indonesia.

Ketiga, berkontribusi 13,50 persen terhadap total ekspor nonmigas. Keempat, menciptakan kemandirian energi melalui biodiesel sehingga menghemat devisa dan berdampak positif terhadap lingkungan.

Hambat Pasar RI

Sebagai komoditas unggulan, produk minyak sawit tentu juga mengundang rasa cemburu sejumlah negara sehingga mereka berusaha menghambat produk Indonesia itu di pasar, dengan pelbagai alasan. Uni Eropa (UE) merupakan salah satu blok dagang yang paling gencar menentang sawit Indonesia.

Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan sigap menghadapi segala macam bentuk kampanye negatif sawit dari UE tersebut dan terus melobi dengan cara cerdas.

Pemerintah RI juga terus berupaya memajukan industri sawit nasional dengan menerapkan kebijakan sawit berkelanjutan, antara lain, dengan mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan melalui Inpres nomor 6 tahun 2019 yang bertujuan melakukan penguatan data, koordinasi, dan infrastruktur kapasitas pekebun.

Selain itu, menerbitkan Pepres nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) yang bertujuan memperbaiki tata kelola sistem sertifikasi dengan membuka ruang untuk partisipasi, akuntabilitas, dan menyempurnakan kelembagaan ISPO.

Tujuh prinsip dasar ISPO adalah peningkatan usaha secara berkelanjutan, penerapan transparansi, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, penerapan praktik perkebunan yang baik, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi, serta pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan keanekaragaman hayati.

“Dengan ISPO, sawit Indonesia akan semakin kuat di pasar luar negeri karena ISPO ini ibarat senjata pelindung,” ujar Moch Edy Yusuf.

Saat ini, kebijakan paling prioritas pemerintah untuk sawit adalah peremajaan sawit rakyat (PSR) yang bertujuan meningkatkan produktivitas tanaman lama, menyelesaikan legalitas lahan yang berada di kawasan hutan, meningkatan produktivitas pekebun swadaya yang berkorelasi dengan meningkatnya pendapatan.

“Program mandatori biodiesel juga konsisten dijalankan karena ini berdampak positif bagi perekonomian, bisa menghemat devisa dengan pengurangan impor solar sebesar USD8 miliar dan proyeksi pendapatan negara dari Rp 2,47 triliun,” ungkap dia.

Sementara itu, Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, ISPO merupakan senjata ampuh untuk melawan kampanye negatif sawit di Eropa.

Selama ini, UE selalu meminta sertifikat sawit berkelanjutan dan Indonesia sudah mempunyai ISPO untuk memenuhi tuntutan tersebut. Perusahaan sawit anggota Gapki sudah 80 persen yang kini mempunyai ISPO dan akan terus didorong penerapannya.

Sekretaris Jenderal Gapki Eddy Martono mengatakan, secara internal perusahaan kelapa sawit berupaya meningkatkan produktivitas seperti yang diminta pemerintah. “Peningkatan produktivitas ditempuh dengan peremajaan tanaman tua, pemupukan, dan lainnya. Untuk investasi baru sama sekali tidak ada,” kata Eddy.

Sejauh ini, perusahaan kelapa sawit anggota Gapki tetap peduli pada peningkatan produktivitas serta membantu pemerintah dalam percepatan peremajaan sawit rakyat.

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari

  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id