Suku Baduy luar dan Baduy dalam berasal dari daerah yang ditunjukkan gambar peta pada huruf

Pada soal ini, kalian harus menjawab letak Suku Baduy dan Tengger. Letak suku baduy berada di Provinsi Banten dan Suku Tengger berada di Provinsi Jawa Timur. Maka dari itu, jawaban yang tepat adalah Pulau Jawa.

Sebutan Baduy merupakan pemberian dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan masyarakat di sini dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di Arab Suku Baduy percaya, mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi Hasil berupa kopi, padi, dan umbi-umbian menjadi komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat Baduy Tempat tinggal Suku Baduy terletak di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten Versi lain menyebutkan, nama Baduy adalah nama Sungai Cibaduy yang terletak di bagian utara Desa Kanekes Proses kelestarian alam juga sangat berlaku saat membangun rumah adat mereka yang terbuat dari kayu dan bambu Wilayah Suku Baduy telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah Lebak pada tahun 1990 Suku Baduy terbagi dalam dua golongan yakni Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar Rumah-rumah tempat anggota keluarga Suku Baduy tinggal yang masih tradisional Alamnya yang subur dan berlimpah mempermudah suku ini dalam menghasilkan kebutuhan sehari-hari

Sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya, Indonesia dihuni berbagai macam suku yang menetap di segala pelosok nusantara. Kearifan lokal serta adat istiadatnya menjaga kelestarian alam Indonesia hingga mampu terjaga dengan baik dan bersinergi dengan alam. Nama Baduy terlesip diantara banyaknya suku yang ada di Indonesia. Kelompok etnis Sunda ini hidup bersama alam di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Suku Baduy terbagi dalam dua golongan yang disebut dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perbedaan yang paling mendasar dari kedua suku ini adalah dalam menjalankan pikukuh atau aturan adat saat pelaksanaannya. Jika Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan adat dengan baik, sebaliknya tidak dengan saudaranya Baduy Luar.

Masyarakat Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar selain Baduy. Penggunaan barang elektronik dan sabun diperkenankan ketua adat yang di sebut Jaro untuk menopang aktivitas dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain itu, Baduy Luar juga menerima tamu yang berasal dari luar Indonesia, mereka diperbolehkan mengunjungi hingga menginap di salah satu rumah warga Baduy Luar.

Perbedaan lainnya terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju dalam keseharian Baduy Luar tersirat dalam balutan warna putih yang mendominasi, kadang hanya bagian celananya saja bewarna hitam ataupun biru tua.

Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar. Beda dengan Baduy Luar yang menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat melakukan aktivitas.

Baduy Dalam memiliki tiga kampung yang bertugas mengakomodir kebutuhan dasar yang di perlukan semua masyarakat Suku Baduy. Tugas ini dipimpin oleh Pu’un selaku ketua adat tertinggi dibantu dengan Jaro sebagai wakilnya. Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo adalah tiga kampung tempat Suku Baduy tinggal, sedangkan kelompok masyarakat Baduy Luar tinggal di 50 kampung lainnya yang berada di bukit-bukit Gunung Kendeng.

Sebutan Baduy merupakan pemberian dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan masyarakat di sini dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di Arab. Kemiripan ini karena dahulu, masyarakat di sini sering berpindah-pindah mencari tempat yang sempurna untuk mereka tinggali. Namun ada versi lain yang menyebutkan, nama Baduy adalah nama Sungai Cibaduy yang terletak di bagian utara Desa Kanekes.

Mata pencaharian mayarakat Suku Baduy umumnya berladang dan bertani. Alamnya yang subur dan berlimpah mempermudah suku ini dalam menghasilkan kebutuhan sehari-hari. Hasil berupa kopi, padi, dan umbi-umbian menjadi komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat Baduy.

Namun dalam praktek berladang dan bertani, Suku Baduy tidak menggunakan kerbau atau sapi dalam mengolah lahan mereka. Hewan berkaki empat selain anjing sangat dilarang masuk ke Desa Kanekes demi menjaga kelestarian alam.

Proses kelestarian alam juga sangat berlaku saat membangun rumah adat mereka yang terbuat dari kayu dan bambu. Terlihat dari kontur tanah yang masih miring dan tidak digali demi menjaga alam yang sudah memberi mereka kehidupan.

Rumah-rumah di sini dibangun dengan batu kali sebagai dasar pondasi, karena itulah tiang-tiang penyangga rumah terlihat tidak sama tinggi dengan tiang lainnya.

Terdapat 3 ruangan dalam rumah adat Baduy dengan fungsinya yang masing-masing berbeda. Bagian depan difungsikan sebagai penerima tamu dan tempat menenun untuk kaum perempuan. Bagian tengah berfungsi untuk ruang keluarga dan tidur, dan ruangan ketiga yang terletak di bagian belakang digunakan untuk memasak dan tempat untuk menyimpan hasil ladang dan padi. Semua ruangan dilapisi dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atap rumah, serat ijuk atau daun pohon kelapa. Rumah suku Baduy dibangun saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap utara atau selatan. Faktor sinar matahari yang menyinari dan masuk ke dalam ruangan menjadi pemilihan mengapa rumah di sini dibangun hanya pada dua arah saja.

Layaknya suku kebanyakan di nusantara, tradisi kesenian di Suku Baduy juga mengenal budaya menenun yang telah diturunkan sejak nenek moyang mereka. Menenun hanya dilakukan oleh kaum perempuan yang sudah diajarkan sejak usia dini. Ada mitos yang berlaku bila pihak laki-laki tersentuh alat menenun yang terbuat dari kayu ini maka laki-laki tersebut akan berubah perilakunya menyerupai tingkah laku perempuan.

Tradisi menenun ini menghasilkan kain tenun yang digunakan dalam pakaian adat Suku Baduy. Kain ini bertekstur lembut untuk pakaian namun ada juga yang bertekstur kasar. Kain yang agak kasar biasanya digunakan masyarakat Baduy untuk ikat kepala dan ikat pinggang.

Selain digunakan dalam keseharian, kain ini juga diperjualbelikan untuk wisatawan yang datang berkunjung ke Desa Kanekes. Tidak hanya kain, ada juga kain dari kulit kayu pohon terep yang menjadi ciri khas dari Suku Baduy dalam urusan benda seni. Tas yang bernama koja atau jarog ini digunakan Suku Baduy untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan pada saat beraktivitas atau perjalanan.

Suku Baduy percaya, mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, warga Kanekes mempunyai tugas untuk menjaga harmoni dunia. Kepercayaan ini disebut juga dengan Sunda Wiwitan. Kepercayaan yang memuja nenek moyang sebagai bentuk penghormatan.

Wilayah Suku Baduy telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah Lebak pada tahun 1990. Kawasan yang melintas dari Desa Ciboleger hingga Rangkasbitung ini telah menjadi tempat bermukimnya Suku Baduy yang menjadi suku asli Provinsi Banten. Wisatawan juga bisa mengunjungi suku ini melalui Terminal Ciboleger sebagai pemberhentian terakhir kendaraan bermotor.

Dari sini pemandu akan mengajak wisatawan melintasi bukit masuk ke dalam hutan hingga menemukan kampung terluar Desa Baduy Luar. Waktu yang ditempuh mencapai 1 jam dengan jalan mendaki dan menurun. Namun bagi wisatawan yang ingin mengunjungi wilayah Baduy Dalam bisa berjalan hingga waktu 7 jam sebelum tiba di Kampung Cibeo, salah satu kampung dari 3 kampung Baduy Dalam. [Riky/IndonesiaKaya]

Suku Baduy luar dan Baduy dalam berasal dari daerah yang ditunjukkan gambar peta pada huruf

Suasana kampung Baduy di Banten kala panen durian. (Mawar Kusuma/Kompas)

Bobo.id - Indonesia memiliki banyak suku yang tersebar dari pulau Sumatera sampai Papua dan jumlahnya bisa mencapai ribuan suku, lo.

Pulau Jawa menjadi salah satu yang memiliki jumlah suku paling banyak, salah satunya adalah suku Baduy.

Suku Baduy ini adalah suku asli dari provinsi Banten, tepatnya kabupaten Lebak.

Tradisi dan budaya menjadi salah satu hal yang sangat dijaga oleh suku Baduy, nih, teman-teman.

Baca Juga : Benarkah Belanda Menjajah Indonesia Selama 350 Tahun? Berikut Faktanya

Suku Baduy sendiri terdiri dari 2 kelompok, yaitu suku Baduy dalam dan suku Baduy luar.

Apa ya perbedaannya? Yuk kita simak!

Suku Baduy Dalam

Kelompok Baduy dalam atau Tangtu ini adalah kelompok yang tinggal di dalam hutan dan juga paling patuh pada aturan yang sudah ditetapkan oleh kepala adat mereka.

Ciri khas dari suku Baduy dalam ini adalah pakaiannya yang tidak berkancing dan berkerah, tidak memakai alas kaki, dan pakaiannya berwarna putih atau biru tua.

Suku Baduy dalam ini juga tidak mengenal teknologi, uang dan sekolah sehingga hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa asli mereka, yaitu bahasa Sunda dan membaca huruf atau aksara Hanacara.

Baca Juga : Ludruk, Pertunjukan Seni Tradisional yang Membuat Penonton Tertawa

Karena tidak boleh menggunakan peralatan dari luar tempat tinggal mereka, maka suku Baduy dalam ini membuat sendiri jembatan bambu di desa mereka, lo!

Berbahan bambu dan ijuk untuk mengikat bambunya menjadi satu, mereka memiliki jembatan bambu yang kuat.

Suku Baduy luar dan Baduy dalam berasal dari daerah yang ditunjukkan gambar peta pada huruf

Jembatan bambu yang dibuat penduduk Baduy secara gotong royong di Kampung Gajebo, Desa Adat Baduy at (KOMPAS.com/ANGGITA MUSLIMAH)

Suku Baduy Luar

Berbeda dari suku Baduy dalam, suku Baduy luar ini tinggal di daerah yang letaknya mengelilingi wilayah tinggal suku Baduy dalam.

Suku Baduy luar ini juga sudah mengenal kebudayaan luar seperti sekolah dan uang, lo, teman-teman.

Baca Juga : Asal Mula Angka Nol, Sudah Digunakan Lebih dari 1000 Tahun yang Lalu

Karena sudah mengenal uang, maka teman-teman bisa melihat beberapa orang suku Baduy luar pergi untuk menjual madu hutan.

Pakaian yang dipakai oleh suku Baduy luar ini juga berbeda dengan suku Baduy dalam, yaitu berwarna putih.

Jika ingin melihat secara langsung kehidupan suku Baduy, teman-teman bisa lo berwisata ke kampung Baduy yang ada di Lebak, Banten.