Simbol-simbol perkawinan dalam gereja katolik dan artinya

Pertanyaan ini menarik karena memang sampai sekarang cincin masih dianggap sebagai simbol orang yang menikah atau tanda bahwa seseorang sudah menikah atau sudah terikat. Dan pada umumnya orang yang menikah memakai cincin di jari manis tangan kanan, baik suami maupun istri. 

Baca Juga : Please, I Can't Breathe

Dan kalau pernikahan tanpa cincin tuh rasanya kurang lengkap dan ada yang kurang. Lantas sesungguhnya apa arti dan nilai dari sebuah cincin kawin itu?

Baiklah. Bila dilihat dari sejarah, cincin nikah ini sebenarnya sudah dikenal sejak zaman dulu, barangkali sekitar kekaisaran Roma atau bahkan lebih tua dari itu, Kewa. Orang sudah lama menggunakan cincin sebagai lambang persatuan, kepemilikan, kesetiaan, kekayaan, bahkan juga sebagai hadiah. Dan cincin nikah juga sudah menjadi tradisi yang mendunia untuk banyak budaya.

Kalau begitu dalam tradisi Katolik, cincin nikah itu dilihat seperti apa?

Baca Juga : Berumah Tangga Itu Ibarat Ngopi

Dalam budaya atau tradisi Katolik, cincin nikah dipakai juga dalam tata perayaan pernikahan, baik sakramen maupun bukan sakramen. Bahkan dalam liturginya pun, ada rumusan yang dengan jelas menyatakan berkat atas cincin sebelum masing-masing dikenakan oleh kedua mempelai yang baru saja mengikrarkan janji pernikahan mereka.

Rumusan itu berbunyi seperti ini: “Kenakanlah cincin ini pada jari manis suami/istri-mu sebagai tanda cinta dan kesetiaanmu.” Lalu salah satu pihak secara bergantian akan melanjutkan dengan rumusan yang sama, “Terimalah cincin ini sebagai lambang cinta dan kesetiaanku kepadamu.”

Baca Juga : Cinta Saja Tidak Cukup

Dari pernyataan itu sebenarnya dapat diketahui bahwa cincin diberikan sesudah kedua mempelai mengikrarkan janji. Artinya, janji atau komitmen itulah yang terpenting. Kata “lambang” di situ tidak menentukan keabsahan janji, melainkan menambah dan mempertegas kehendak melalui benda-benda yang kelihatan. 

Jadi cincin bukan salah satu bagian terpenting dalam upacara pernikahan. Hal yang paling utama dan terpenting dalam setiap perkawinan adalah pengikraran janji, dan bukan simbol-simbol pendukungnya. Justru pada janji nikah-lah yang menentukan ada tidaknya dan sahnya suatu perkawinan. Keberadaan janji itu mutlak, sedangkan faktor pendukung lainnya selalu sesuatu yang sekunder, yang boleh ada boleh juga tidak. 

Baca Juga : Kepercayaan (Trust)

Apakah cincin itu masuk bagian sekunder?

Cincin itu termasuk dalam bagian sekunder. Tidak ada suatu keharusan apa pun untuk memakai cincin perkawinan sesudah janji diikrarkan oleh kedua mempelai itu. Berarti keberadaan cincin bukan yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan ya?

Keberadaan cincin bukanlah yang paling menentukan sahnya suatu perkawinan Katolik, melainkan suatu simbol yang ditambahkan oleh tradisi sebagai tanda ikatan, cinta yang tak putus, kemurnian, dan kesetiaan. Karena itu, cincin itu entah terbuat dari bahan emas atau bukan adalah sesuatu yang tidak mutlak atau relatif, Kewa.

Baca Juga : Membongkar Tabiat Cewek Cantik

Persoalan yang biasa terjadi seputar cincin pernikahan adalah soal kebiasaan dan adat setempat saja. Banyak adat dan budaya melihat cincin sebagai lambang kesungguhan seseorang untuk mengikatkan diri pada pasangannya atau juga sebagai lambang harta benda yang akan diserahkan kepada calon pasangannya. Seandainya itu tidak ada, atau tidak dapat dipenuhi, maka persoalan yang terjadi adalah persoalan kekeluargaan saja bukan persoalan gerejani. Memang hal ini tentu saja tetap menjadi pertimbangan pribadi atau bersama calon pasangan, meskipun itu tidak menentukan sahnya sebuah pernikahan.

Penulis : MYB

Artikel ini sudah diedit sesuai kebutuhan blog tanpa mengurangi substansinya.

42 Pada bab sebelumnya, telah diuraikan mengenai perkawinan adat suku Dayak Tunjung di kabupaten Kutai Barat. Sedangkan pada bab ini, akan dibahas tentang ajaran Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan Katolik.

A. Perkawinan Katolik

1. Hakikat Perkawinan Katolik

Hidup berkeluarga adalah rutinitas manusiawi. Melalui perkawinan seorang pria dan wanita membentuk hidup berkeluarga. Realitas manusia yang disebut perkawinan itu direalisasikan dalam bentuk yang beragam. Mengingat beragamnya wujud perkawinan itu maka, C. Groenen mengusulkan definisi yang sangat umum tentang perkawinan sebagai berikut: Perkawinan adalah hubungan yang kurang lebih mantap dan stabil antara pria dan wanita entah seseorang atau beberapa orang justru sebagai pria dan wanita, jadi hubungan seksual, yang oleh masyarakat yang bersangkutan kurang lebih luas sedikit banyak diatur, diakui dan dilegalisasikan Groenen, 1993: 19. Definisi perkawinan tersebut sangat umum dan dimaksudkan untuk memberi tempat bagi berbagai macam kemungkinan bentuk hidup berkeluarga dalam berbagai budaya terutama negara Indonesia yang multikultur. Menurut Bernard Cooke, dalam bentuk-bentuk lahiriah dan penampilan sosialnya, perkawinan orang-orang kristen tidak terlalu mencolok berbeda dengan perkawinan-perkawinan lain dalam masyarakat. Orang kristen kawin menurut poola-pola budaya di mana mereka hidup. Hanya saja yang membedakan adalah pemahaman orang risten tentang apa artinya dihubungkan satu sama lain “di dalam Tuhan” Cooke, 1991:43. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43 Landasan persekutuan hidup suami istri kita jumpai pertama dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama, terutama dalam kitab Kejadian 2:24 disebutkan bahwa wanita diciptakan karena pria, namun pria harus meninggalkan ibu bapanya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging Konigsmann, 1987: 20. Segi persekutuan ini ditekankan kembali dalam Perjanjian Baru, terutama dalam Matius 19:1-12 dan Markus 10:1-12. Dalam Matius 19:1-12, Yesus menegaskan bahwa dalam rencana Allah yang asli, penciptaan perkawinan bersifat tidak terceraikan dan tidak ada instansi manusia manapun yang dapat mengakhiri persatuan Bergant Karis, 2002:62. Dalam Markus 10:1-12, inti pesan Yesus adalah tuntutan kepada suami istri untuk hidup dalam kesetiaan serta persatuan selamanya sampai mati Bergant Karis, 2002:100. Maka dengan demikian dapat disimpulkan pandangan Yesus mengenai hakikat perkawinan sebagai berikut: perkawinan ialah kesatuan erat antara seorang pria dan seorang wanita, yang dipersatukan oleh Allah sendiri, sedemikian erat sehingga keduanya bukan lagi dua melainkan satu Hadiwardoyo, 1988: 22. Persekutuan hidup pria dan wanita di dalam perkawinan itu kemudian direfleksikan lebih lanjut dalam ajaran Gereja. Pra Konsili Vatikan II, Gereja masih memandang dimensi persekutuan hidup pria dan wanita dalam perkawinan lebih sebagai kontrak. Pandangan ini dapat di temukan dalam Kitab Hukum Kanonik 1917, kanon 1012 Rubiyatmoko, 2011:18. Dengan kontrak dimaksudkan persetujuan antara dua atau beberapa orang yang saling mewajibkan diri untuk memberikan, melakukan atau menghindarkan sesuatu. Perkawinan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44 merupakan kontrak karena didirikan dengan adanya persetujuan bilateral antara seorang pria dan seorang wanita Rubiyatmoko, 2011:18. Pandangan Kitab Hukum Kanonik 1917 yang terkesan statis ini mengalami perkembangan dengan munculnya berbagai refleksi teologis-sistematis tentang perkawinan antara tahun 1950-1960 Rubiyatmoko, 2011:18. Ada pergeseran tekanan, di mana dimensi personal perkawinan mendapat tekanan lebih dibandingkan dimensi institusional. Itulah sebabnya Gaudium et Spes no. 48 mengesampingkan istilah kontrak contractus dan mengangkat istilah perjanjian atau kesepakatan feodus untuk mendefinisikan perkawinan: Persekutuan hidup suami istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Demikian karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi Gaudium et Spes 48. Meskipun Konsili Vatikan II tidak menggunakan istilah kontrak, tetapi tidak menolak hakikat perkawinan sebagai suatu kontrak, karena di dalam perjanjian perkawinan itu terdapat unsur-unsur kontraknya, yaitu forma kesepakatan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita, objek kebersamaan seumur hidup, dan akibat hak atas persetubuhan dan atas kebersamaan seumur hidup. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 edisi revisi kanon 1055 kedua istilah tersebut justru digunakan untuk menunjuk kedua pokok dari perkawinan, yaitu feodus dan sekaligus contractus Rubiyatmoko, 2011:19. 45 Elemen paling esensial yang membentuk perkawinan katolik adalah cinta suami istri Groenen, 1993: 321-325. Karena dasarnya adalah cinta suami istri, maka hakikat perkawinan katolik adalah persekutuan antara dua pribadi, pria dan wanita, untuk saling mencintai dan saling menerima seumur hidup dengan kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang khas Gilarso, 2003:88. Dengan kata lain, perkawinan menunjuk relasi suami istri, yaitu persekutuan hidup dan cinta yang mereka pilih secara bebas dan pemberian diri secara timbal balik. Persekutuan hidup itu berlangsung seumur hidup, sampai maut memisahkan.

2. Tujuan Perkawinan Katolik

Suami istri tidak hanya sekedar membentuk sebuah persekutuan hidup dalam ikatan perkawinan. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 1055 disebutkan ada tiga tujuan utama perkawinan yaitu kebahagiaan atau kesejahteraan suami istri bonum coniugum serta keterbukaan pada kelahiran bonum prolis dan pendidikan anak Rubiyatmoko, 2011:19. Secara singkat tujuan perkawinan katolik dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kebahagiaan atau kesejahteraan suami istri bonum coniugum Pasangan suami istri yang hendak menikah harus memiliki suatu kehendak bahwa mereka nantinya akan saling membahagiakan dan menyejahterakan pasangannya. Kesejahteraan dan kebahagiaan suami istri menyangkut relasi interpersonal antara suami istri, persekutuan jiwa dan hati untuk saling menolong dan membantu. Disini diandaikan ada cinta kasih suami istri. Cinta kasih suami sitri tentu tidak hanya berarti kasih 46 yang bersifat romantis. Kasih suami istri merupakan cinta kasih dasariah untuk mengupayakan apa yang baik bagi pasangannya Susianto Budi, 2015:8. b. Keterbukaan pada kelahiran bonum prolis Kelahiran anak sebagai tujuan perkawinan tidak bermaksud bahwa keluarga tersebut nantinya harus memiliki anak. Tetapi, yang dimaksud adalah suami istri tersebut memiliki keinginan atau intensi memiliki anak. Jika nanti mereka tidak dikaruniai seorang anak, perkawinan mereka tetap sah Susianto Budi, 2015: 8. Yang terpenting adalah mereka mempunyai keinginan untuk memiliki anak. Maka, jika pasangan suami istri secara jelas menolak kehadiran anak dalam perkawinannya, tentu saja ini bertentangan dengan hakikat dan tujuan dari perkawinan katolik. c. Pendidikan anak Pendidikan anak secara Katolik pertama-tama berarti bahwa anak tersebut harus dibaptis secara Katolik. Kapan orangtua membaptis anaknya? Hukum Gereja mengatakan pada minggu-minggu pertama setelah kelahiran. Setelah anak ini dibaptis, anak didampingi dan dididik sesuai dengan iman dan ajaran Katolik Susianto Budi, 2015: 9.

3. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan Katolik

Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 1056 ciri-ciri hakiki proprietates perkawinan ialah unitas kesatuan dan indissolubilitas sifat tak- dapat-diputuskan, yang dalam perkawinan Katolik memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen. 47

a. Unitas kesatuan

Menjadi suami dan istri berarti suatu perubahan total dalam kehidupan seseorang. Dalam Kej 2:24 dikatakan: “Seorang laki-laki meninggalkan ayah ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Hidup yang demikian bukan berarti hidup dua orang bersama, tetapi hidup menjadi satu orang satu daging. Kesatuan atau unitas ini menunjuk unsur unitif dan monogam perkawinan. Dengan unsur unitif dimaksudkan sebagai unsur yang menyatukan suami dan istri secara lahir dan batin. Sedangkankan, unsur monogam menyatakan bahwa perkawinan hanya sah jika dilaksanakan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan Rubiyatmoko, 2011: 21. Kesatuan dalam perkawinan bukan hanya soal “kontrak” atau janji saja. Kesatuan unitas dalam perkawinan menunjuk suatu kebaharuan dalam hidup suami istri; mereka telah menjadi satu manusia baru. Suami hidup di dalam istrinya, dan istri hidup dalam suaminya. Kesatuan mereka bukan hanya kesatuan badan, melainkan meliputi hidup seluruh hidup, jiwa dan raga. Oleh karena itu kesatuan suami istri juga menyangkut iman mereka KWI, 1996:436.

b. Indissolubilitas tak-dapat-diputuskan

Cinta suami istri menuntut kesetiaan sejati dari keduanya. Ini merupakan konsekuensi dari pemberian diri yang dilakukan oleh suami istri. Cinta menuntut kepastian, dan kepastian berarti memberikan jaminan bahwa cinta itu tidak hanya berlaku sementara atau hanya bersifat 48 percobaan belaka KGK 1646. Maka Kristus menegaskan, “Apa yang telah dipersatukan A llah, janganlah diceraikan oleh manusia” Mrk 10:9. Di sinilah letak ajaran Gereja, bahwa sifat tak-dapat-diputuskan perkawinan indissolubilitas mempunyai dasar dan kekuatannya dalamKristus. Yesus Kristus sendiri menghendaki ikatan perkawinan yang bersifat tak-dapat-diputuskan itu Mat 19:6; Mrk 10:9.

c. Sakramental

Sakramen adalah lambang atau simbol kelihatan yang menghadirkan karya keselamatan Allah. Perkawinan Katolik adalah sakramen Susianto Budi, 2015:9. Artinya, perkawinan Katolik melambangkan serta menghadirkan Allah yang menyelamatkan. Paham perkawinan sebagai sakramen berasal dari ajaran Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus 5:11-33. Dalam surat Efesus tersebut dijelaskan bahwa hubungan cinta kasih suami istri bukan hanya luhur dan mulia tetapi bersifat ilahi, karena di kehendaki oleh Allah dan menunjuk kepada kesatuan Kristus dengan Gereja-Nya Susianto Budi, 2015:9. Kristus adalah sumber rahmat yang istimewa. Ia tinggal bersama suami istri dan memberi mereka kekuatan untuk memanggul salibnya dan mengikuti-Nya, untuk bangun lagi setelah jatuh, untuk saling mengampuni dan menanggung beban, untuk merendahkan diri seorang kepada yang lain ‘di dalam takut akan Kristus’ Ef 5:21 dan saling mengasihi dalam cinta yang mesra, subur dan adikodrati KWI, 2011: 9-10; KGK 1642. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 49 Berkat rahmat Sakramen Perkawinan, suami istri menerima rahmat istimewa yang membuat mereka lebih mampu menjadi suci dan mendidik anak-anak secara Katolik Lumen Gentium 11. Berkat Sakramen Perkawinan, karakter kesatuan unitas dan tak terputuskan Indissolubilitas ikatan perkawinan mereka diperkuat dengan rahmat istimewa Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 1056; KGK 1641. Dasar terdalam dari kesetiaan seumur hidup ini terletak pada kesetiaan Allah sendiri pada perjanjian-Nya, khususnya seperti nampak dalam kesetiaan Kristus yang tak pernah pudar terhadap Gereja. Kesetiaan Kristus inilah yang diungkapkan melalui kesatuan hidup suami istri yang diikat dalam sakramen perkawinan. Dengan kata lain, lewat sakramen perkawinan kesetiaan yang tak terceraikan antara suami istri mendapat makna baru dan lebih mendalam.

B. Landasan Biblis tentang Kesetiaan Perkawinan Katolik