Sebutkan dua sikap yang perlu dijalankan untuk mencapai kerukunan dalam perbedaan

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, kita mengidealkan sebuah tatanan masyarakat baru. Gambaran “Masyarakat Baru” dimaksud adalah masyarakat yang tumbuh dan berkembang dalam suasana demokratis dan keterbukaan dengan asas penegakan terhadap harkat dan martabat setiap manusia. Harapan dan cita-cita untuk mewujudkan “Indonesia Baru” yang demokratis dan terbuka dimakasud memang sekarang belum bisa dirasakan sepenuhnya oleh bangsa ini, bahkan yang tampak adalah maraknya kerusuhan, konflik dan teror bom di berbagai daerah tanpa mengindahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketegangan dan kerusuhan yang bernuansa agama di beberapa daerah yang mengakibatkan hancurnya tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushalla dan gereja juga pernah menghiasi negeri kita. Fenomena di atas menunjukkan adanya kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein). Padahal secara historis, bangsa Indonesia telah memiliki modal nasionalitas yang amat berharga untuk menjunjung tinggi nilai kesatuan dan persatuan bangsa, seperti: kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa (agama), keutuhan wilayah negara, bahasa kesatuan, konstitusi dan falsafah negara, sistem pemerintahan yang meliputi seluruh tanah air, jajaran militer sebagai tulang punggung ketertiban dan keamanan nasional. Lantas apa yang harus kita lakukan sebagai umat beragama? Bagaimana peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Bagaimana pendidikan agama kita? Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis antarumat beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimaksud.

 

Relativitas dalam Doktrin

Acapkali orang menganggap bahwa pendapatnya sebagai satu-satunya yang benar, sementara yang lain salah. Konsekuensi dari anggapan ini kemudian melebar sampai kepada claim kebenaran (truth claim) terhadap persoalan agama. Padahal apa yang dianggap sebagai “agama” itu tidak lain adalah penafsiran terhadap agama itu sendiri. Kita memang sepakat bahwa agama memiliki kebenaran yang absolut, mutlak. Konsekuensi dari keyakinan ini kemudian kita wajib mengikuti ajaran agama tersebut. Hanya persoalannya, aspek manakah agama yang dianggap sebagai memiliki kebenaran mutlak itu? Seberapa banyak porsi ajaran absolut dalam agama itu? Dalam konteks Islam, kebanyakan ulama’ berpendapat, bahwa absolutisitas agama ada pada wilayah ijma’ ulama’, atau pada wilayah dalil muhkamat, seperti: tentang keesaan Tuhan, kebenaran al-Qur’an dan kebenaran perintah shalat dst. Sementara pada wilayah dalil musytarak dan mutasyabihat yang masih menjadi ikhtilaf ulama’ (karena perbedaan penafsiran, interpretasi), maka bersifat relatif.[1] Pertanyaan yang mungkin muncul lagi, adakah ijma’ ulama’ itu? Dalam khazanah Ushul Fiqh, bahwa ijma’ ulama’ itu memang  ada, hanya  porsinya sangat sedikit dan terbatas. Hal ini sejalan dengan absolutisitas ajaran agama itu sendiri. Dengan demikian, yang perlu dipahami adalah, bahwa relativitas dalam ajaran agama itu sangat dominan. Al-Qur’an memang memberikan porsi “berbeda pendapat”, porsi ber-ijtihad lebih banyak ketimbang porsi untuk ijma’. Apa hikmahnya? Supaya umat Islam kreatif dan dinamis. Sebab kondisi dan setting sosial setiap kurun memiliki perbedaan sesuai dengan wilayah di mana mereka tinggal. Itulah yang kemudian melahirkan “warna-warni” Islam: ada Islam Arab, ada Islam Persi, Islam Indonesia dan seterusnya. Ada hukum Islam ‘ala al-mazahib al-arba’ah, ada qaul qadim dan qaul jadid Imam As-Syafi’i dan seterusnya. Inil pulalah  yang kemudian melahirkan pluralitas umat, firqah-firqah dan jama’ah-jama’ah dalam Islam dan pluralitas itu sendiri merupakan sunnatullah. Tetapi yang perlu dipahami, bahwa warna-warni Islam itu secara substansial tidak memiliki  perbedaan. Hanya sayang, selama ini  yang terjadi justru perbedaan itu dipahami sebagai sesuatu yang aneh sehingga melahirkan pertentangan dan permusuhan, bahkan sampai pada konflik yang memprihatinkan. Padahal Nabi sendiri menegaskan, bahwa ikhtilaf yang ada pada umatnya sebagai sesuatu yang membawa rahmat. Para ulama’ sepakat bahwa sumber yang memiliki kebenaran yang mutlak adalah al-Qur’an dan Hadis mutawatir. Hanya yang perlu diketahui, bahwa dalam Hadis pun yang dianggap mutawatir itu amat sedikit jumlahnya. Bahkan Imam As-Syatibi berpendapat, bahwa sedikit sekali, bahkan hampir dikatakan tidak ada satu teks keagamaan baik yang ada dalam al-Qur’an maupun al-Hadis yang secara berdiri sendiri memiliki interpretasi tunggal, sehingga menjadikan ia absolut. Secara umum, peranan agama dalam kehidupan manusia dapat dilihat dari dua aspek. Pertama adalah aspek konatif (conative aspects). Aspek ini berkaitan dengan kemampuan agama dalam menyediakan sarana kepada masyarakat dan anggota-anggotanya untuk membantu mereka menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Kedua, aspek yang bersifat kognitif (cognitive aspects). Aspek ini terkait dengan peranan agama dalam menetapkan kerangka makna yang dipakai oleh manusia dalam menafsirkan secara moral berbagai kesukaran dan keberhasilan pribadi mereka; juga sejarah masyarakat mereka di masa yang silam dan keadaannya di masa kini, Pemahaman terhadap peranan agama semacam itu dapat ditemukan batu pijakannya dalam berbagai sumber suci agama-agama semit. Dalam Islam misalnya, al-Qur’an tidak hanya mewajibkan kepada umatnya untuk melakukan ibadah-ibadah ritual-seremonial yang bisa memberikan kelegaan emosional dan spiritual, tetapi juga membuka ruang penafsiran intelektual guna membantu manusia dalam mendapatkan makna dari seluruh pengalaman hidupnya. Peranan Islam seperti ini tampak dengan jelas dalam hampir setiap ibadah ritualnya selalu terkandung apa yang biasa disebut dengan pesan moral. Bahkan begitu pentingnya pesan moral ini, “harga” suatu ibadah dalam Islam dinilai dari sejauh mana pesan moralnya bisa dijalankan oleh manusianya. Apabila suatu ibadah tidak dapat meningkatkan moral seseorang, maka ibadahnya dianggap tidak ada maknanya. Oleh karena itu, ketika seseorang melakukan hal-hal yang terlarang secara fiqh dalam suatu ibadah, maka tebusannya adalah menjalankan pesan moral itu sendiri. Misalnya, pada bulan puasa, sepasang suami istri berhubungan intim pada siang hari, maka denda (kifarat-nya) adalah memberi makan enam puluh orang miskin, karena salah satu pesan moral puasa ialah memperhatikan orang-orang yang lapar di sekitarnya. Aspek kognitif peranan agama semacam ini juga bisa dijumpai dalam agama Kristen. Narasi tentang Ayub dalam Bibel misalnya —atau Nabi Ayyub dalam al-Qur’an— merupakan simbol persoalan kemanusiaan yang mengandung ajaran moral sangat dalam. Kesungguhan Ayub dalam menjalankan kewajiban sosial dan keagamaan memang tidak serta merta menjadikannya bahagia, sebaliknya menyebabkan dia memperoleh cobaan penderitaan. Tetapi kesungguhan Ayub dalam menghayati niali-nilai sakral yang terdapat dalam perintah-perintah Tuhan bukan hanya menyebabkan dia bertahan atas penderitaan tersebut, namun juga membantu dia menemukan makna dari seluruh pengalaman hidupnya. Sehingga, ketika Ayub minta keterangan kepada Tuhan tentang apa yang terjadi, bukan keadaan dirinya yang diutamakan tetapi justru nasib buruk yang menimpa seluruh umatnya yang dikedepankan (Lihat E.K. Nottingham, 1985:107-109). Pesan agama yang terpantul dari kisah Ayub itu adalah, bahwa ketidaksamaan nasib untung dan malang manusia tidak dapat dijelaskan begitu saja menurut ukuran baik buruk manusiawi. Tetapi harus dilihat pula dari segi adanya penilaian-penilaian Tuhan di dalamnya. Di situlah terletak (salah satu) fungsi agama yang penting, yaitu “memberikan makna moral dalam pengalaman-pengalaman kemanusiaan”. Makna moral di sini paralel dengan apa yang dikatakan oleh Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1993 : 304), bahwa semua agama besar menekankan kebajikan seperti kejujuran dan cinta sesama. Kebajikan seperti ini sangat penting bagi keteraturan perilaku masyarakat manusia, dan agama membantu manusia untuk memandang serius kebajikan seperti itu. Persoalan makna agama sebagaimana tergambar pada ajaran Islam dan Kristen di atas merupakan persoalan makna agama dalam pengalaman individual. Secara esensial, persoalan yang sama bisa juga ditemukan pada level masyarakat secara keseluruhannya. Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, serta persoalan kekuasaan merupakan rahasia umum dalam kehidupan masyarakat manusia. Fenomena semacam ini secara sosiologis sangat bisa mendorong timbulnya penafsiran-penafsiran moral terhadap tertib sosial yang ada. Pada situasi dan kondisi tertentu tidak jarang dapat menimbulkan konflik, apabila interpretasi yang dilakukan oleh masing-masing anggota masyarakat tidak mencapai titik temunya. Atas dasar pemahaman seperti itu, persoalan makna agama dalam pengalaman masyarakat menjadi lebih unik dan rumit dibanding pada pengalaman individu. Apabila suatu masyarakat mampu memahami peranan agama dalam membantu menafsirkan secara moral pengalaman hidupnya secara tepat, maka agama akan hadir sebagaimana fungsinya. Sebaliknya, jika mereka salah dalam melakukan interpretasi-interpretasi tersebut maka agama bisa menjadi lahan subur bagi perkembangan konflik di tengah-tengah masyarakat. Konflik atau intoleransi sosial yang diakibatkan oleh salah penafsiran terhadap ajaran agama itu sedikitnya ada dua bentuk. Pertama, konflik intra-agama atau yang lazim dengan sebutan konflik antarmazhab. Konflik semacam ini biasanya bermuara dari perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama di antara sesama pemeluk suatu agama. (Kahmad, 2000:149); Kedua, konflik antar-agama atau disebut juga konflik antarumat beragama. Konflik seperti ini karena skalanya bisa lebih luas dari yang pertama, maka faktor-faktor lainnya pun juga memiliki peran yang tidak kecil. Misalnya, faktor ekonomi, politik, dakwah, struktur sosial dan lain sebagainya. Pertikaian antarumat beragama di Pasuruan dan Situbondo (1996) atau di Ambon, Maluku Utara dan Poso pada tahun silam adalah contoh tragedi yang sarat dengan muatan politis di samping juga agama. Dominasinya alur keberagamaan yang formalistik dan verbalistik juga menjadi problem konflik antarumat beragama. Perjuangan untuk menegakkan kalimat Tuhan lebih banyak diwujudkan dengan membangun tempat ibadah yang mahal dan megah serta sarana dakwah yang eksklusif lengkap dengan simbol-simbol kebesaran agama masing-masing sebagai bagian dari gebyar agama. Indikator kemajuan agama diukur dengan kuantitas: berapa jumlah tempat ibadah (masjid, kuil. dan sterusnya), berapa orang yang hadir dalam masjid, gereja dan tempat ibadah lain, berapa orang yang telah haji, dan seterusnya. Seolah-olah dengan maraknya ritus-ritus keagamaan sudah terpenuhilah tugas agama dalam kehidupan ini. Ibadah dipersempit pengertiannya dan ritus-ritus keagamaan menjadi inti kehidupan beragama. Dalam konteks memahami doktrin agama yang absolut, ‘allamah Thabathaba’i  sangat hati-hati. Ketika berbicara tentang agama pada level filosofis, ia tidak pernah bersikap permissif, tetapi ketika kajiannya mulai menyentuh dataran sosiologis ia sangat toleran, begitu pula muridnya, Muthahhari. Absolutisitas adalah sikap jiwa kedalam yang tidak menuntut pernyataan di luar bagi yang tidak meyakininya. Dalam konteks ini ada  kasus menarik yang pernah dialami oleh Nabi, yaitu ketika kaum musyrik bersikeras menolak ajaran Islam, maka demi kemaslahatan bersama Tuhan memerintahkan kepada Nabi untuk  berkata kepada mereka: “….Tuhan kelak akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan di antara kita dengan benar.  Sesungguhnya Dia Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui” (perhatikan QS.34:24-26). Menurut penafsiran Quraish Shihab (1992:222; 1998: 153), ketika absolutisitas diantar ke luar (ke dunia nyata), Nabi tidak diperintahkan untuk menyatakan apa yang ada di dalam (keyakinan tentang absolutisitas agama tersebut), tetapi justru sebaliknya. Itulah sebabnya menurut Quraish Shihab, bahwa salah satu kelemahan manusia adalah semangatnya yang menggebu-gebu, sehingga ada di antara mereka yang bersikap melebihi Tuhan, misalnya menginginkan agar seluruh manusia satu pendapat, menjadi satu aliran dan satu agama. Semangat yang menggebu-gebu ini pulalah yang mengantarkan mereka memaksakan pandangan absolutnya untuk dianut orang lain. Jika agama memang menyumbang perdamaian, maka penganut agama harus belajar meninggalkan absolutisme dan menerima pluralisme, demikian ungkap Nurcholish Madjid (1998: 161-162). Kita boleh memandang agama sebagai absolut, namun yang harus diingat bahwa pemahaman kita --baik pribadi maupun kelompok-- menyimpan kualitas kemanusiaan yang relatif. Petunjuk konkret untuk memupuk persaudaraan menurut Nurcholish adalah, supaya suatu kelompok dari kalangan  orang-orang beriman tidak memandang rendah atau meremehkan orang dan agama lain. Oleh sebab itu salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama di Indonesia adalah:  pertama, perlunya reorientasi pendidikan agama yang berwawasan kerahmatan pada kerukunan umat  (rahmatan lil ‘alamain); kedua,  upaya peningkatan kualitas pendidikan pada masing-masing umat. Pendidikan dimaksud adalah pendidikan yang melahirkan akhlak karimah dengan indikator: adanya sikap jujur, tenggang rasa, dan cinta-kasih  antar sesamanya. Bukan pendidikan yang hanya sekadar mengedepankan intelek, tetapi kemudian melahirkan manusia-manusia korup. Reorientasi pendidikan agama di atas sudah saatnya dimulai dari TK hingga perguruan tinggi dengan merubah kurikulum kita selama ini.  Di sinilah saya kira perlu dikembangkan sikap apresiatif di antara umat beragama sehingga jauh dari sikap arogansi dan saling membenci di antara mereka. Sudah saatnya umat beragama mengkaji ajaran agamanya secara benar dan kritis, tidak terjebak pada persoalan-persoalan yang formalistik dan bersifat simbol belaka dan memulai mengorientasikan pendidikan pada substansi ajarannya yang penuh perhatian terhadap persoalan kemanusiaan seperti: keadilan, kejujuran dan kepedulian sosial. Wallahu a’lamu bis-shawab.***


[1]Tetapi yang perlu dicatat, bahwa relativitas dimaksud adalah relativitas dalam konteks kebenaran, bukan dalam konteks salah dan keliru. Karena Tuhan memberikan jaminan kepada ulama’/mujtahid yang melakukan upaya istinbath hukum, yaitu jaminan kebenaran  (Izajtahad al-hakim fa ashaba falahu ajrani wa iza akhtha’a  falahu ajrun wahid).