Salah satu perjanjian antara pribumi dan Belanda yang lahir ketika terjadinya Perang Paderi adalah

Merdeka.com - Perang Padri adalah salah satu perang paling berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di pulau Sumatera. Perang Padri ini terjadi dalam tiga fase di sekitar abad ke 18. Fase kedua dari perang ini terjadi selama lima tahun. Lalu, bagaimana kondisi fase kedua dari perang Padri ini?

Karena gagal dalam penyerangan fase pertama, Belanda masih terus mengupayakan perjanjian damai dengan kaum Padri. Namun, karena sudah dikhianati di perjanjian Masang, kaum Padri menjadi berhati-hati dalam melakukan perjanjian dengan Belanda. Karena itu, Kolonel De Stuers yang menjadi penguasa sipil dan militer di Sumatera Barat berusaha untuk melakukan kontak dengan tokoh-tokoh kaum Padri. Hal ini dilakukan Belanda untuk menghentikan perang dan melakukan perjanjian damai.

Akhirnya, Belanda meminta bantuan kepada seorang saudagar keturunan Arab yang bernama Sulaiman Aljufri untuk membujuk tokoh-tokoh dari kaum Padri supaya bisa diajak berdamai. Sulaiman Aljufri menemui Tuanku Imam Bonjol supaya mau berdamai dengan Belanda. Namun, Tuanku Imam Bonjol menolak. Setelah itu, dia menemui Tuanku Lintau dan menerima ajakan damai itu. Akhirnya, di tanggal 15 November 1825 dilakukanlah penandatanganan Perjanjian Padang. Isi Perjanjian Padang itu antara lain :

  1. Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
  2. Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang.
  3. Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan perjalanan.
  4. Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.

Nah, sekarang kamu sudah tahu tentang bagaimana kondisi perang Padri di fase kedua. Materi ini sangat penting untuk bisa dipelajari lebih lanjut kan?

Salah satu perjanjian antara pribumi dan Belanda yang lahir ketika terjadinya Perang Paderi adalah

Oleh Joko Kurniawan
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Darussalam Gontor

afi.unida.gontor.ac.id – Pencapaian peradaban manusia merupakan siklus sejarah yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Sebuah peristiwa sejarah merupakan guru bagi para generasi selanjutnya, sehingga melahirkan sebuah sejarah baru dalam tatanan kehidupan di masa depan. Rangkaian peristiwa sejarah melahirkan sebuah formula baru untuk tercapainya sebuah peradaban.

Perkembangan pemikiran Islam saat sekarang ini, tidak terlepas dari sejarah terdahulu sebagai usaha aktif yang maju guna merangkai formula-formula bahkan format kehidupan yang lebih mapan dan lebih baik dari kehidupan sebelumnya.

Kaum Padri dan Syarekat Islam merupakan dua komponen sejarah terdahulu, mereka merupakan sekelompok masyarakat yang berbeda secara gambaran umum, baik secara geografis dan juga historis. Namun keduanya memiliki semangat juang yang sama, yakni berkeinginan untuk menegakkan ajaran agama Islam dan menyebar luaskan kepada masyarakat.[1]

Kaum Padri sendiri merupakan sekelompok masyarakat yang berkeinginan diterapkannya syariat Islam di tanah Minang dan menuntut kepada kaum Adat agar meninggalkan prilaku-prilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam.[2]

Syarekat Islam didirikan karena adanya rasa kekhawatiran yang di rasakan oleh masyarakat atas politik ekonomi Belanda yang ingin menguasai perdagangan yang ada di Indonesia, sekaligus memberikan hak istimewa kepada para pedagang China yang sangat merugikan masyarakat Indonesia ketika itu[3].

Syarekat Islam kian berkembang dengan menjadi organisasi dengan memperjuangkan hak-hak masyarakat Indonesia dan ikut serta dalam penyebar luaskan ajaran agama Islam kepada masyarakat[4].

Salah satu perjanjian antara pribumi dan Belanda yang lahir ketika terjadinya Perang Paderi adalah

Sejarah Kaum Padri

Kaum padri merupakan sebutan kepada sekelompok masyarakat Minangkabau yang mendukung penegakan syariat Islam dalam tantangan masyarakat Minangkabau ketika itu[5]. Kata “Padri” merupakan sebuah kata serapan dalam bahasa Indonesia yang menurut Sutan Mohammad Zain[6], Berasal dari Bahasa Portugis yang berarti pendeta atau bermaksud sama dengan kata “padre” dalam bahasa Spanyol[7].

Namun, sebagian sejarawan justru berpendapat, kata “Padri” adalah sebuah sebutan bagi para ulama yang pernah belajar agama Islam di Pedir, sebuah tempat di daerah Aceh yang kini bernama Pidie[8]. Sebutan padri semakin populer pada masa terjadinya perang padri, di mana para penganut agama Islam yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh[9] di kawasan Kerajaan Pagaruyung[10].

Munculnya gerakan kaum Padri didasari oleh tiga orang pembesar sekitar tahun 1803, yaitu: Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang berkeinginan untuk memperbaiki syariat Islam di tanah Minangkabau[11]. Tuanku Nan Renceh mengetahui hal tersebut yang kemudian mendukung dan ikut bergabung, disusul dengan ulama lainnya di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan[12].

Tantangan Gerakan Kaum Padri

Awal mula meletus perang padri disebabkan karena ditolaknya ajakan kaum Padri oleh kaum adat yang dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah[13], sehingga munculnya pertentangan antara kaum agamawan (kaum padri) terhadap kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat sekitaran kawasan kerajaan Pagaruyung yang disebut kaum adat.

Kebiasaan yang dimaksudkan seperti perjudian, menyabung ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya dalam pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[14]

Pada tahun 1803-1838 terjadi perang padri yang berlangsung di Sumatra Barat dan sekitarnya, terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung[15]. Perang padri juga bisa dikatakan sebagai perang antar saudara, di mana melibatkan sesama Minang dan Mandailing.

Walaupun pada akhirnya menjadi perperangan melawan penjajahan Belanda[16]. Kaum padri sendiri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan, sedangkan kaum adat dipimpin oleh Pertuan Pagaruyung, di mana Sultan Arifin Muningsyah yang menjadi sultannya[17].

Perjuangan Kaum Padri

Perang padri termasuk perang yang berlangsung cukup lama disertai dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Terjadinya puncak peperangan yang melibatkan kaum padri dan kaum adat pada tahun 1815 menyebabkan runtuhnya kerajaan Pagaruyung dan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan[18].

Karena terdesaknya kaum adat terhadap perlawanan kaum padri, maka kaum adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821[19]. Namun keterlibatan Belanda justru memperumit keadaan telah menyengsarakan masyarakat Minangkabau hampir 20 tahun sejak pertama kali perang padri 1803[20].

Sejak tahun 1833 mulai ada sebuah gerakan kebersamaan antara kaum adat dan kaum padri[21]. Sehingga kaum adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama kaum padri[22].

Keterlibatan Belanda dalam perang atas dasar undangan kaum adat yang kian terdesak, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu di anggap tidak memiliki hak untuk membuat perjanjian yang mengatas namakan Kerajaan Pagaruyung[23].

Akibat adanya perjanjian tersebut, Belanda menjadikannya sebagai bentuk penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintahan Hindia Belanda dan mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sabagai Regent Tanah Datar[24].

Pada bulan April 1821, Belanda memulai penyerangan ke Simangan dan Sulit Air yang dipimpin oleh Kapten Goffinet dan Kapten Dienema atas perintah Residen James du Puy di Padang[25]. Penyerangan terus di lakukan oleh Belanda hingga mampu memukul mundur kaum Padri keluar dari Pagaruyung.

Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau yang di pimpin oleh Tuanku Nan Ranceh[26]. Hingga pada tahun 1824 pasukan Belanda telah mampu menguasai beberapa daerah strategis di kawasan Luhak Agam di antaranya Koto Tuo, Ampang Gadang, Biaro, Kapau[27].

Setelah Tuanku Nan Ranceh meninggal, di gantikan oleh Tuanku Imam Bonjol atau yang dikenal sebagai Muhammad Shahab, merupakan salah seorang pemimpin perang padri setelah sebelumnya di tunjuk oleh Tuanku Nan Ranceh sebagai Imam di Bonjol[28].

Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia[29]. Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mulai merangkul kembali kaum adat, sehingga akhirnya muncul satu kesepakatan yang dikenal dengan nama “Plakat Puncak Pato” di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama “adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah” yang artinya “Adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al Quran”[30].

Perlawanan yang dilakukan kaum Padri terhadap Belanda sangat menyulitkan Belanda untuk menduduki Minangkabau, oleh sebab itu Belanda melalui residennya mengajak pimpinan kaum padri yang ketika itu di pimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk melakukan perdamaian dengan maklumat “Perjanjian Masang” pada tanggal 15 November 1825[31].

Isi “Perjanjian Masang” ialah: 1. Penetapan batas daerah kedua belah pihak. 2. Kaum Padri harus mengadakan perdagangan hanya dengan pihak Belanda.

Perjanjian yang telah disepakati dilanggar sendiri oleh pihak Belanda dengan melakukan penyerangan ke daerah pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesium dan senjata api dan Belanda membangun benteng di Bukit Tinggi yang diberi nama Fort de Kock[32]. Karena kaum Padri semakin terdesak karena serangan yang di lakukan Belanda, menyebabkan kaum padri harus bergerak mundur ke daerah Bonjol dan membangun benteng Bonjol.

Benteng Bonjol sendiri terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, atau yang di kenal dengan nama Bukit Tajadi. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya di kelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter, di antara kedua lapis dinding tersebut di buat parit dengan kedalaman 4 meter. Sedangkan dinding luarnya terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya di tanami bambu berduri panjang[33].

Melihat kokohnya benteng Bonjol, Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri, namun blokade yang dilakukan ternyata tidak efektif karena pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak di serang oleh pasukan Padri secara gerilya[34].

Penyerangan yang dilakukan oleh Belanda yang di dukung dengan jumlah pasukan yang begitu banyak, hingga pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat di taklukkan oleh pasukan Belanda. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri dan keluar dari benteng dengan beberapa pengikutnya menuju daerah Marapak[35].

Semasa pelarian Tuanku Imam Bonjol terus melakukan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah tercerai berai setelah lebih dari 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus. Pada bulan Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda, karena tidak tahan melihat penderitaan keluarganya dan mencapai kesepakatan bahwa keluarganya tidak ikut di asingkan[36].

Pada tanggal 23 Januari 1838, Tuanku Imam Bonjol di buang ke Cianjur dan pada akhir tahun 1838, ia kembali di pindahkan ke Ambon. Pada tanggal 19 Januari 1839, kembali di pindahkan ke Lotta, Minahasa dekat Manado. Tuanku Imam Bonjol menjalani masa pembuangan selama kurang lebih 27 tahun lamanya, hingga pada tanggal 08 November 1864 meninggal dunia dan di makamkan di tempat pengasingan tersebut[37].

Salah satu perjanjian antara pribumi dan Belanda yang lahir ketika terjadinya Perang Paderi adalah

Sejarah Syarekat Islam

Syarikat Islam atau Syarekat Islam didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 dengan nama Sarekat Dagang Islam oleh Haji Samanhudi[38]. Sarekat Dagang Islam (SDI) merupakan organisasi pertama kali lahir di Indonesia[39].

Pada awalnya organisasi ini merupakan kumpulan pedagang-pedagang Islam yang menentang politik Belanda karena memberi keleluasaan masuknya pedagang asing untuk menguasai ekonomi rakyat ketika itu, khususnya para pedagang China yang mendapat hak-hak lebih dan istimewa dalam dunia ekonomi dan perdagangan ketika itu, sedangkan bangsa Indonesia kebanyakan menjadi buruh dan pekerja kasar[40].

Organisasi ini tidak hanya membangkitkan semangat dagang untuk melawan China, akan tetapi juga anti kolonial dan para pegawainya yang telah banyak membuat kesulitan bagi rakyat pribumi[41].

Pada kongres pertama (SDI) yang di adakan di Solo pada tahun 1906, nama Sarekat Dagang Islam (SDI) di ganti menjadi Syarikat Islam[42]. Pada kongres pertama inilah HOS Tjokroaminoto menegaskan bahwa Syarekat Islam bukanlah sebuah partai politik, akan tetapi bertujuan untuk meningkatkan perdagangan di kalangan bangsa Indonesia dengan membantu anggotanya yang mengalami kesulitan ekonomi dan mengembangkan kehidupan keagamaan masyarakat khususnya[43].

Pada tanggal 10 September 1912 HOS Tjokroaminoto membuat Syarikat Islam (SI) menjadi Badan Hukum dengan Anggaran Dasar (SI) yang baru dan mendapatkan pengakuan dan disahkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 14 September 1912.

Atas dasar inilah cangkupan (SI) menjadi lebih luas mencangkup politik dan agama, di mana sebelumnya hanya mencangkupi permasalahan ekonomi dan sosial saja[44].

Perkembangan dan Perjuangan Syarekat Islam

Di tangan HOS Tjokroaminoto (SI) menjadi sebuah perkumpulan umat Islam yang hendak menegakkan Islam sebagai agama dan pengamalan keilmuannya. Maka, para anggotanya pun tidak secara menyeluruh para pedagang, akan tetapi dari berbagai unsur masyarakat[45]. Selain HOS Tjokroaminoto, terdapat beberapa tokoh-tokoh lainnya yang turut andil dalam pengembangan (SI) di antaranya: Abdul Muis, H. Agus Salim dan lain-lainnya[46].

Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan (SI) adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan jiwa dagang, 2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha, 3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat, 4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam, 5. Hidup menurut perintah agama.[47]

Dengan demikian terlihat jelas bahwa keberpihakan Syarekat Islam untuk memajukan umat Islam dari sisi perekonomian dan juga segala aspek keagamaan. Serta, adanya upaya untuk membebaskan dari penjajahan Belanda yang banyak menyengsarakan masyarakat Indonesia[48]. Selain itu, tujuan Syarekat Islam adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara Muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat[49].

Syarekat Islam terus melakukan pergerakan dan perkembangan yang sangat pesat, maka kongres ke tiga pada tahun 1918 di Surabaya Syarekat Islam memperluas ruang geraknya menjadi organisasi yang berbasiskan politik[50].

Karena perkembangan politik dan sosial (SI) telah menjadi organisasi pergerakan yang telah beberapa kali berganti nama yaitu: Central Sarekat Islam (CSI), tahun 1916, Partai Sarekat Islam (PSI), tahun 1920, Partai sarekat Islam Hindia Timur (PSIHT), tahun 1923, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), tahun 1929, Sarekat Islam (PSII), tahun 1973 dan Majlis Tahkim pada konres nasional ke-35 di Garut-Jawa Barat tahun 2003 ditetapkan namanya menjadi Syarikat Islam (SI)[51].

Puncak gemilang Syarekat Islam terjadi pada tahun 1916 M sampai 1921 M, di mana (SI) telah mengalami transformasi di beberapa sektor bidang, di antaranya: bidang pendidikan, (SI) menuntut penghapusan peraturan yang mendiskriminasi penerimaan murid di sekolah-sekolah. (SI) juga menuntut terlaksananya wajib belajar untuk semua penduduk sampai berumur 15 tahun, perbaikan lembaga-lembaga pendidikan para segala tingkat.

Dalam bidang agama, (SI) menuntut dihapuskannya segala macam undang-undang dan peraturan yang menghambat tersebarnya Islam dan memberikan subsidi bagi setiap lembaga-lembaga pendidikan Islam sekaligus adanya pengakuan terhadap hari-hari besar Islam, serta menuntut pemerintah untuk memerangi minuman keras dan candu, perjudian serta prostitusi.

Di bidang keuangan dan perpajakan (SI) juga memberikan kontribusinya, di mana adanya tuntutan terhadap pajak yang berdasarkan besar profesional, serta pajak-pajak yang di pungut terhadap laba hasil perkebunan. (SI) juga menuntut adanya bantuan pemerintah bagi perkumpulan koperasi dan menuntut keluarnya peraturan perburuhan yang menjaga kepentingan para pekerja serta menambah jumlah poliklinik dengan gratis[52].

Dalam bidang politik, syarekat Islam juga menuntut berdirinya dewan-dewan daerah, perluasan volkdtrad (dewan rakyat), serta menuntut penghapusan kerja paksa dan pencekalan perizinan untuk bepergian[53].

Syarekat Islam yang kian berkembang pesat, mulai disusupi oleh paham sosialisme revolusioner yang disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi Indische sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada tahun 1914[54]. Organisasi ini di peruntukan sebagai pemecah belah syarekat Islam dari faktor internal karena adanya perbedaan pandangan, hal tersebut dilakukan karena adanya kekhawatiran Belanda terhadap (SI) setelah bergerak dalam bidang politik[55].

Paham yang dibawa telah banyak mempengaruhi tokoh-tokoh muda (SI) yang menyebabkan terjadinya (SI) pecah menjadi 2 golongan “Si Putih” yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdul Muis yang berpusat di kota Yogyakarta dan “Si Merah” yang dipimpin Semaoen dan beberapa tokoh lainnya seperti, Tan Malaka, Darsono, Alimin dan Haji Misbach yang berlandaskan pada asas sosialisme komunisme berpusat di kota Semarang[56].

Terdapat beberapa faktor yang menjadikan Syarekat Islam mudah di susupi oleh paham komunis: 1. Central Syarekat Islam (CSI), sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang lemah, hal tersebut dikarenakan tiap cabang (SI) bertindak secara mandiri dan pimpinan cabang memiliki pengaruh yang kuat terhadap penentuan yang di ambil. 2. Peraturan pada saat itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, di mana pada mulanya (SI) merupakan sebuah organisasi nonpolitik. 3. Akibat adanya perang dunia I, menjadikan melambungnya harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan mengakibatkan banyak rakyat yang berpihak kepada (ISDV)[57].

Karena dianggap tidak mungkin mencampurkan pemahaman Islam dengan paham komunisme dalam organisasi yang berbasiskan ke-Islaman. Maka kemudian pada kongres nasional VI bulan Oktober 1921 di Surabaya, di rumuskan sebuah disiplin baru partai, yaitu: mengharamkan orang-orang yang berhaluan komunis berada dalam syarekat Islam sekaligus melarang keanggotaannya merangkap organisasi lainnya[58].

Maka dengan demikian (SI) secara umum memfokuskan tanpa adanya campur tangan dari berbagai pihak lainnya, hingga pada akhirnya perpecahan yang telah jelas dapat di persatukan kembali.

Keputusan mengenai disiplin partai diperkuat kembali dalam kongres (SI) di Madiun pada bulan Februari 1923. Dalam kongres tersebut HOS Tjokroaminoto memusatkan tentang peningkatan pendidikan kader (SI) dalam memperkuat organisasi dan mengganti nama (CSI) menjadi Partai Serikat Islam (PSI)[59]. Pada kongres PSI tahun 1926 menyatakan bahwa tujuan perjuangan adalah tercapainya kemerdekaan nasional.

Dengan demikian adanya, maka (PSI) di tambah namanya menjadi Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), pada tahun itu juga (PSII) menggabungkan diri dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)[60].

Kejadian-kejadian penting Syarekat Islam yang terjadi pada tahun 1923, antara lain: Meninggalkan politik kerja sama dengan pemerintahan Belanda, berubah menjadi satu partai politik dengan nama Partai Serikat Islam (PSI), Syarikat Islam (SI) yang tersebar ke beberapa penjuru daerah di wilayah Indonesia menjadi bagian dari PSI[61].

Karakteristik Pemikiran Kaum Padri dan Syarekat Islam

Perkembangan sejarah kaum Padri yang di dasari oleh rasa keinginan untuk menegakkan syari’at Islam di kawasan Pagaruyung, namun keinginan tersebut di tolak oleh masyarakat kaum Adat yang di anggap telah banyak melakukan penyimpangan terhadap ajaran agama Islam[62].

Pergerakan pemikiran kaum Padri sendiri di dasari oleh beberapa tokoh ulama sepulang dari haji sekitar tahun 1803. Para ulama tersebut berkeinginan untuk menerapkan syari’at Islam di daerah Minangkabau sebagaimana kota di Makkah, keinginan tersebut di dukung oleh beberapa ulama lainnya dan mereka di sebut dengan Harimau Nan salapan.[63].

Semangat juang kaum Padri tak pernah surut demi ditegakkannya syariat Islam di tanah Minang, sedangkan kaum Adat menolak keinginan kaum Padri, sehingga menyebabkan keduanya terlibat dalam perang saudara. Perang antar saudara tersebut menyebabkan kerugian yang cukup besar di antara keduanya, baik itu secara materi ataupun korban dari kedua belah pihak. Perpecahan di antara kaum Padri dengan kaum Adat menimbulkan permasalahan baru karena terlibatnya Belanda di antara keduanya yang malah memperkeruh keadaan[64]. Walaupun pada akhirnya keduanya bersatu untuk melawan penjajahan Belanda yang telah menyengsarakan rakyat Minang lebih dari dua puluh tahun[65].

Syarekat Islam merupakan sebuah organisasi yang di dirikan atas dasar perkumpulan para pedagang Islam pribumi yang menentang politik Belanda dan menuntut kesetaraan dengan para pedagang China atas hak-hak istimewa yang dimiliki[66]. Namun seiring dengan pergerakan yang di lakukan oleh Syarekat Islam, organisasi ini kemudian menjadi sebuah organisasi politik di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto[67].

Organisasi Syarikat Islam terus mengembangkan sayap perjuangannya menjadi alat untuk penyebaran ajaran agama Islam, maka para anggotanya tidak tidak lagi hanya dari kalangan pedagang akan tetapi dari berbagai kalangan yang memberikan pengaruh terhadap masyarakat[68].

Pergerakan Syarekat Islam melalui jalur politik cukup memberikan kontribusi yang besar terhadap masyarakat dari berbagai bidang, di antaranya; bidang pendidikan, bidang politik, bidang agama, bidang kesehatan,  bidang keuangan dan perpajakan.  Sehingga gerakan Syareket Islam cukup merepotkan dan menjadi ancaman bagi Belanda[69].

Kesimpulan

Kaum padri merupakan sekelompok orang yang menginginkan ditegakkannya syariat Islam di tanah Minangkabau. Kata “Padri” sendiri merupakan sebutan bagi para ulama yang pernah belajar agama Islam di Pedir di daerah Aceh. Gerakan Padri mulai berkembang ketika bersatunya para pembesar agamawan yang disebut dengan Harimau Nan Salapan dan menyetujui ditegakkannya syariat Islam.

Awal pergerakan yang dilakukan kaum Padri ialah dengan mengajak kaum Adat yang di anggap telah banyak melakukan pelanggaran Syariat Islam, atas kebiasaan-kebiasaan mereka yang dilakukan sekitaran kawasan kerajaan pagaruyung.

Namun upaya tersebut mendapat penolakan secara terang-terangan dari kaum Adat, sehingga pada tahun 1803 menjadi awal mula terjadinya perang antara kaum Padri yang dipimpin oleh Harimau Nan Salapan dengan kaum Adat yang dipimpin oleh Pertuan Pagaruyung, yakni Sultan Arifin Muningsyah.

Pada tahun 1815 kaum Adat kian terdesak terhadap perlawanan kaum Padri dan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dari wilayah kekuasaan kerajaan Pagaruyung. Maka pada tanggal 21 Februari 1821 kaum Adat yang dikomandoi oleh Sultan Tangal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda untuk melawan perlawanan kaum Padri.

Keterlibatan Belanda kian memperburuk keadaan dan menyengsarakan masyarakat Minangkabau karena berupaya melakukan penjajahan di tanah Minang, Namun kaum Padri terus melakukan perlawanan sebagai bentuk dari penolakan penjajahan yang dilakukan oleh kolonial Belanda.

Tuanku Imam Bonjol hadir menggantikan Tuanku Nan Ranceh sebagai panglima perang kaum Padri dan atas jasa Tuanku Imam Bonjol kaum Adat dapat bersatu kembali untuk menghimpun kekuatan melawan penjajahan Belanda.

Syarekat Islam merupakan organisasi kumpulan para pedagang Muslim yang menentang politik Belanda karena memberikan keleluasaan masuknya pedagang asing untuk menguasai ekonomi Indonesia yang telah banyak membuat kesulitan bagi rakyat pribumi.

Di tangan HOS Tjokroaminoto Syarekat Islam menjadi sebuah organisasi partai politik yang di akui oleh pemerintahan Belanda, sehingga pergerakan Syarekat Islam lebih luas mencangkup politik dan agama.

Syarekat Islam kian berkembang diberbagai lapisan masyarakat sebagai tujuan menegakkan Islam Islam, maka para anggota Syari’at Islam tidak lagi harus dari kalangan para pedagang, melainkan dari berbagai latar belakang lainnya.

Hal tersebut sebagai upaya dalam upaya Syarekat Islam untuk memajukan umat Islam dari segala aspek, khususnya untuk membebaskan penjajahan terhadap masyarakat Indonesia. Pada tahun 1916M Syarekat Islam telah menghasilkan beberapa pencapaian, di antaranya dalam bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian, politik, agama, keuangan dan perpajakan.

Walaupun keduanya memiliki perbedaan yang berbanding terbalik baik dari kultur, daerah dan pergerakan yang dilakukan. Kaum Padri dan Syarekat Islam memiliki dasar keinginan yang sama untuk menegakkan syariat Islam, hal tersebut berangkat dari adanya upaya untuk menjadikan kehidupan masyarakat lebih baik dan berupaya untuk menghapuskan nilai-nilai penjajahan Belanda yang telah banyak menyengsarakan masyarakat Indonesia.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh Kaum Padri ialah melalui perlawanan langsung kepada penjajahan Belanda serta menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpecah belah. Sedangkan Syarekat Islam bergerak dalam bidang ke-organisasian dan politik yang memperjuangkan hak-hak rakyat dari penjajahan dan menyebarkan ajaran Islam melalui gerakan ini.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufiq, 1966. Adat dan Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau.
Aboe Nain, Sjafnir, 2004. Memorie tuanku Imam Bonjol, Padang PPIM.
Ampera Salim, Zulkifli, 2005. Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer, Citra Budaya Indonesia.
Amran, Rusli, 1981. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, Sinar Harapan.
Danya Munsyi, Alif & Hamiyati, Yul, 2003. 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing, Kepustakaan Populer Gramedia.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, 2002. ensiklopedia Islam, Jilid 4, Departemen Agama, Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve.
Drs. Zahairini DKK, 2013. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Effendi, Bahtiar, 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Cet. I, Jakarta: Paramedina.
https://id.wikipedia.org/wi-ki/Kerajaan_Pagaruyung, diakses pada Jum’at, 13 September 2018.
https://id.wikipedia.org/wi-ki/perang-padri, diakses pada Jum’at, 14 September 2018.
https://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Muhammad_Zain, di akses pada 25 September 2018, Pukul 20.35 WIB.
Imam Bonjol, Tuanku, Naskah Tuanku Imam Bonjol, Ter. Syafnir Aboe Nain, Padang: PPIM.
Kontowijoyo, Muslim, 2001. Tanpa Masjid, Esai-esai, Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Cet. I, Bandung: mizan.
Martamin, Mardjani, 1984. Tuanku Imam Bonjol, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Diroktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi sejarah Nasional.
Mohammad, Herry, DKK. 2006. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad ke-20, Jakarta: Gema Insani Press.
Munasifah, 2007. Ayo Mengenal Indonesia, Sumatra I. Jakarta: CV. Pamularsih.
Munir, Samsul, 2009. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah
Noer, Deliar, 1996. Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, Cet. III, Jakarta: LP3ES.
Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat Indonesia, 1964. Sejarah singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia, Staf Angkatan Bersenjata.
Sani, Abdul, 1998. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sutan Iskandar, Jos, 2002. Rekontruksi PSII dalam Visi Rahardjo Tjakraningrat, Cet. I, Jakarta: Pustaka Nusa Centre.
Syukur, Fatah, 2010. Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Tjokroaminoto, HOS, 2000. Sosialisme di dalam Islam, di kutip dari Islam, Sosialisme dan Kumunisme, (Editor: Herdi Sahrasad), Jakarta: Madani Press.
Yatim, Badri, 2008. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

[1] Sjafnir Aboe Nain, Memorie tuanku Imam Bonjol, (Padang: PPIM, 2004), hal. 30.

[2] M. Habib Mustupo, DKK, Sejarah Indonesia, (Bogor: Yudhistira Ghalia Indonesia, t.t) hal. 45.

[3] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, Cet. III, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 24.

[4] Herry Mohammad, DKK. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad ke-20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal. 30.

[5] Alif Danya Munsyi & Yul Hamiyati, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing, (t.k: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), hal. 143.

[6] Sultan Mohammad Zain merupakan seorang pakar bahasa terkemuka di Indonesia. Dia menyusun gramatika Bahasa Melayu yang menjadi pendahulu dan dasar-dasar gramatika Bahasa Indonesia. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Muhammad_Zain, di akses pada 25 September 2018, Pukul 20.35 WIB.

[7] Alif Danya Munsyi & Yul Hamiyati, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing, (t.k: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), hal. 62.

[8] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, ensiklopedia Islam, Jilid 4, (Jakarta: Departemen Agama, Ictiar Baru van Hoeve, 2002), hal. 66

[9] Taufiq Abdullah, Adat dan Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau, (t.k: t.p, 1966), hal. 1-24.

[10] Pagaruyung merupakan sebuah kerajaan yang bernah berdiri di Sumatra, wilayahnya mencangkup Provinsi Sumatra Barat, saat sekarang ini. nama kerajaan ini dirujuk dari nama pohon Nibung atau Ruyung. Lihat. https://id.wikipedia.org/wi-ki/Kerajaan_Pagaruyung, diakses pada Jum’at, 13 September 2018.

[11] Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. (t.k: University of Hawai Press, t.t) hal. 30.

[12] Harimau Nan Salapan merupakan sebutan untuk pimpinan di beberapa perguruan yang tersebar di negeri yang ada dalam kerajaan Pagaruyung, yang kemudian menjadi pemimpin dari kaum Padri. Disebut Harimau Nan Salapan karena jumlah anggotanya delapan orang. Mereka adalah: Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek dan Tuanku Barumun. Lihat, Zulkifli Ampera Salim, Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer, (t.k: Citra Budaya Indonesia, 2005), hal. 75.

[13] Sjafnir Aboe Nain, Memorie tuanku Imam Bonjol, (Padang: PPIM, 2004), hal. 30.

[14] M. Habib Mustupo, DKK, Sejarah Indonesia, (Bogor: Yudhistira Ghalia Indonesia, t.t) hal. 45.

[15] https://id.wikipedia.org/wi-ki/perang-padri, diakses pada Jum’at, 14 September 2018.

[16] Ibid.

[17] M. Habib Mustupo, DKK, Sejarah Indonesia, (Bogor: Yudhistira Ghalia Indonesia, t.t), hal. 45.

[18] Sjafnir Aboe Nain, Memorie tuanku Imam Bonjol, (Padang: PPIM, 2004), hal. 30.

[19] Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, (t.k: Sinar Harapan, 1981), hal. 24.

[20] Taufiq Abdullah, Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau. (t.k: Indonesia No. 2, 1-24, 1961), hal. 60.

[21] Ibid.

[22] M. Habib Mustupo, DKK, Sejarah Indonesia, (Bogor: Yudhistira Ghalia Indonesia, t.t) hal. 45.

[23] Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, (t.k: Penerbit Sinar Harapan, 1981), hal. 36.

[24] https://id.wikipedia.org/wi-ki/perang-padri, diakses pada Jum’at, 14 September 2018.

[25] Ibid.

[26] Ibid.

[27] Ibid.

[28] Munasifah, Ayo Mengenal Indonesia, Sumatra I, (Jakarta: CV. Pamularsih, 2007), hal. 51.

[29] Mardjani Martamin, Tuanku Imam Bonjol, (t.k: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Diroktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi sejarah Nasional, 1984), t.h.

[30] https://id.wikipedia.org/wi-ki/perang-padri, diakses pada Jum’at, 14 September 2018.

[31] M. Habib Mustupo, DKK, Sejarah Indonesia, (Bogor: Yudhistira Ghalia Indonesia, t.t) hal. 45.

[32] https://id.wikipedia.org/wi-ki/perang-padri, diakses pada Jumat, 14 September 2018.

[33] Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat Indonesia, Sejarah singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia, (t.k: Staf Angkatan Bersenjata, 1964), hal. 27.

[34] Ibid.

[35] Ibid.

[36] Jeffrey Hadler, A Historiography of Violence and the Secular state in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History, The Journal of Asian Studies, 2008. Hal 67. Lihat juga, Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 23.

[37] Tuanku Imam Bonjol, Naskah Tuanku Imam Bonjol, Ter. Syafnir Aboe Nain, (Padang: PPIM, t.t) hal. 48-56.

[38] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 423.

[39] Drs. Zahal.rini DKK, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hal. 158.

[40] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, Cet. III, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 24.

[41] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), hal. 233.

[42] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 259.

[43] Ibid.

[44] Ibid.

[45] Herry Mohammad, DKK. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad ke-20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal. 30.

[46] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 423.

[47] Ibid.

[48] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, Cet. III, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 28.

[49] Ibid.

[50] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), hal. 233.

[51] https://id.wikipedia.org/wiki/Sarekat_Islam, Diakses pada Senin 17 September 2018.

[52] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Cet. III, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 126-129

[53] Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Cet. I, (Jakarta: Paramedina, 1998), hal. 36.

[54] https://id.wikipedia.org/wiki/Sarekat_Islam, Diakses pada Senin 17 September 2018.

[55] Jos Sutan Iskandar, Rekontruksi PSII dalam Visi Rahardjo Tjakraningrat, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Nusa Centre, 2002), hal. 45.

[56] https://id.wikipedia.org/wiki/Sarekat_Islam, Diakses pada Senin 17 September 2018.

[57] Ibid.

[58] Muslim Kontowijoyo, Tanpa Masjid, Esai-esai, Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Cet. I, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 56-58.

[59] HOS Tjokroaminoto, Sosialisme di dalam Islam, di kutip dari Islam, Sosialisme dan Kumunisme, (Editor: Herdi Sahrasad), (Jakarta: Madani Press, 2000), hal. 56-60.

[60] Ibid.

[61] https://id.wikipedia.org/wiki/Sarekat_Islam, Diakses pada Senin 17 September 2018.

[62] Sjafnir Aboe Nain, Memorie tuanku Imam Bonjol, (Padang PPIM, 2004), hal. 30.

[63] Zulkifli Ampera Salim, Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer, (t.k: Citra Budaya Indonesia, 2005), hal 25.

[64] https://id.wikipedia.org/wi-ki/perang-padri, diakses pada Jum’at, 14 September 2018.

[65] Taufiq Abdullah, Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau. (t.k: Indonesia No. 2, 1-24, 1961), hal. 45-53.

[66] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, Cet. III, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 24.

[67] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 259.

[68] Herry Mohammad, DKK. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad ke-20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal. 30.

[69] Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Cet. I, (Jakarta: Paramedina, 1998), hal. 36.