Perubahan sila pertama menjadi ketuhanan Yang Maha Esa merupakan toleransi terhadap

sebutkan 5 kelompok kepentingan, dan apakah kelompok tersebut telah menjalakan tugasnya? ​

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berisi pola dasar kehidupan bernegara di Indonesia, artinya bahwa isi UUD tersebut merupakan aturan hukum yan … g tertinggi untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara di Indonesia. Karena itu sebagai warga negara, kita harus patuh pada ketentuan UUD tersebut. Hal ini dikarenakan .... ​

komunikasi akan selalu berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan ini dikarenakan adanya pengaruh globalisasi dan dampak dari negara maju yang semak … in peka terhadap teknologi komunikasi.​

KAK TOLONG BANTU JAWAB TEKA TEKI UNTUK MPLS:SNACK BOYBAND KOREA = ?​

sudah kah kamu menerapkan nilai nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari ? jika sudah,tuliskan caranya​

sudahkah kamu menerapkan nilai nilai sila Pancasila dalam kehidupan sehari hari ? jika sudah, tuliskan cara nya​

bagaimana cara mensyukuri anugerah Tuhan berupa tumbuhan​

Tolong kak Kasih jawaban yang benar kaka ​

setelah mengetahui tahapan pembuatan Pancasila pada sidang BPUPKI silahkan jelaskan masalah yang sedang mereka bahas dan bagaimana mereka bahas masala … h tersebut​

Studi Kasus Mr. X adalah seorang akademisi yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang Ilmu Al-Qur’an. Suatu hari datang seseorang dan bertanya … kepadanya tentang keberadaan tuhan, kemudian ia berusaha semaksimal mungkin dengan pengetahuan yang ia miliki mencari dalil-dalil tentang kebenaran adanya Allah SWT. Kemudian pada dari berikutnya datang lagi seseorang yang bertanya tentang kewajiban shalat dan puasa bagi umat Islam dan ia pun berusaha semaksimal mungkin mencari dalil-dalil untuk dapat menghasilkan suatu hukum baru terkait kewajiban shalat dan puasa. 1. Tentukan batasan-batasan berijtihad dalam Islam! 2. Buatlah analisis terkait studi kasus tersebut dihubungkan dengan persyaratan-persyaratan sebagai mujtahid! 25 Studi Kasus Mr. X memiliki rumah di tengah kota seluas 200m2 dan telah diwakafkan kepada Yayasan Anak Yatim. Pada suatu hari, rumah wakaf tersebut terkena rencana pembangunan perumahan real estate sehingga pengembang perumahan tersebut menawari penukaran rumah wakaf dengan rumah yang kurang lebih persis sama dan luas yang sama pula hanya lokasinya di perkampungan. Pertanyaan a. Buatlah perbandingan pengaturan mengenai perubahan benda wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. b. Buatlah analisis studi kasus tersebut menggunakan Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. 25 Studi Kasus Mr. X adalah seorang suami yang memiliki satu istri dalam rumah tangganya, ia kurang mampu memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Meskipun usia perkawinan menginjak 10 tahun, Mr. X dan istri belum dikarunia anak yang disebabkan istrinya menderita poligami ke pengadilan tetapi istrinya tidak mengizinkan karena alasan ia telah melakukan seluruh kewajiban-kewajibannya. Pertanyaan: 1. Bagaimana pengaturan mengenai persyaratan poligami dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 2. Buatlah analisis kasus di atas dengan menggunakan UU No.1 Tahu NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894 NEED JAWABAN?089634060894

Pendidikan sebagai ikhtiar mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanah konstitusi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Isu tentang pendidikan selalu menarik, karena peran penting pendidikan dalam memajukan peradaban manusia. Kemajuan peradaban manusia selalu disertai dengan kualitas pendidikan yang baik, pada masanya. Generasi terdidik adalah aktor peradaban. Penyataan ini valid tidak hanya untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa kini, dan masa depan.

Refleksi saya atas topik yang diangkat dalam diskusi kali ini “pendidikan dan implementasi sila pertama” memunculkan paling tidak tiga isu penting yang saling terkait. Dalam tulisan singkat ini, kacamata yang dipakai adalah posisi saya sebagai seorang muslim.

Isu pertama terkait dengan misi pendidikan. Pemahaman yang baik atas misi pendidikan akan sangat bermanfaat menjaga semua proses berada dalam koridor yang seharusnya. Isu kedua adalah tentang pemaknaan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam bingkai besar Pancasila. Isu ketiga berhubungan dengan kontekstualisasi sila pertama tersebut dalam pendidikan.

Kita diskusikan secara ringkas setiap isu ini di bagian berikut.

Misi pendidikan

Misi pendidikan adalah isu pertama. Untuk mendiskusikan ini, saya meminjam konsep dari khazanah pendidikan Islam. Pendidikan dalam Islam menyentuh semua aspek pengembangan manusia, mulai dari membantu pengembangan individu, meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap aturan-aturan sosial dan moral, dan mentransmisikan pengetahuan (Halstead, 2004).

Dalam tradisi Islam, pendidikan mempunyai tiga prinsip yang saling melengkapi: tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Beragam konseptualisasi ditemukan dalam literatur. Halstead (2004) menawarkan beberapa kata kunci untuk memahami ketiga prinsip ini. Tarbiyah terkait dengan upaya untuk menumbuhkan (to grow) atau meningkatkan (to increase) pribadi pembelajar. Istilah tarbiyah sering disamakan dengan pematangan pribadi. Semua potensi baik kemanusiaan dikembangkan. Kata ini juga yang sering diartikan dengan “pendidikan”.

Ta’lim dikaitkan dengan ikhtiar yang dilakukan supaya pembelajar mengetahui (to know), terinformasi (to be informed), mempersepsikan (to perceive), dan mengenali atau membedakaan (to discern) sesuatu atau bahan ajar. Di sini terjadi transfer ilmu atau pengetahuan.

Ta’dib mencakup aspek lain, yaitu bahwa pembelajar akan dimurnikan (to be refined), didisiplinkan (to be disciplined), dan dibudayakan (to be cultured). Untuk konteks ini, Al-Attas (1980) menegaskan bahwa pendidikan adalah proses menyuntikkan adab (nilai) dan membentuk karakter pembelajar, secara perlahan namun pasti.

Ketiga prinsip tersebut memberikan pesan bahwa pendidikan harus menyentuh tiga aspek: nilai, pengetahuan, dan keterampilan. Nilai menjadi basis yang cenderung bersifat abadi, tak lekang oleh zaman. Nilai yang diinternalisasi akan menjadi landasan kokoh seorang pribadi. Pengetahuan dan keterampilan bersifat lentur dan sangat mungkin berubah sejalan dengan waktu. Masalah manusia berkembang. Ilmu pengetahuan dan keterampilan menyesuaikan.

Dalam konteks ini, pesan sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib yang disampaikan lebih dari 14 abad lalu, masuk valid untuk disimak: La turabbuu abnaa akum kamaa rabaakum abaaukum, fainnahum khuliquu li zamaani ghairi zamaanikum. Jangan didik anak-anakmu sebagaimana orang tuamu mendidikmu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang bukan zamanmu.

Memaknai Pancasila dan sila pertama

Ini adalah isu kedua. Membaca sila pertama tidak bisa terlepas dari Pancasila atau keempat sila lainnya. Pancasila yang telah mempersatukan bangsa Indonesia adalah mitsaq ghalidh atau perjanjian agung atau komitmen kuat yang mengikat semua bangsa Indonesia.

Sebagai ilustrasi penguat, istilah mitsaq ghalidh muncul dalam Al-Qur’an sebanyak tiga kali, untuk mengambarkan tiga keadaan yang berbeda. Yang pertama adalah Allah membuat perjanjian dengan Nabi Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa (QS Al-Ahzab 33:7). Kejadian kedua ketika Allah mengambil janji dari Bani Israil dengan mengangkat Bukit Tsur di atas kepada mereka (QS An-Nisa 4:154). Istilah tersebut juga digunakan untuk menggambarkan hubungan pernikahan (QS An-Nisa 4:21).

Ikatan yang kuat ini menjadi sangat penting ketika melihat bangsa Indonesia yang sangat beragam. Keragaman adalah fakta sosial di Indonesia yang tak terbantah. Kita tidak mungkin lari darinya. Para pendiri bangsa telah memberikan rumus besarnya ‘bhinneka tunggal ika’. Kita memang berbeda, tetapi kita satu bangsa. Menutup mata dari perbedaan jelas mengabaikan akal sehat. Sebaliknya, hanya mengedepankan perbedaan akan menggadaikan hati nurani.

Terkait dengan sila pertama, sejarah mencatat, dalam formulasinya yang sekarang sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” telah melalui proses yang sangat panjang dan tidak mudah. Dalam bahasa seorang muslim, sila ini berarti tauhid, mengesakan Tuhan dan tidak menyetukanNya dengan yang lain. Di dalam tauhid terdapat makna penyerahan diri secara totalitas, bahwa misi menjadi manusia adalah menghamba kepada Allah.

Rumusan sila pertama ini juga menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan sekaligus bukan negara sekuler. Indonesia tidak didasarkan pada satu agama, dan juga tidak memisahkan agama sama sekali dalam kehidupan bernegara. Indonesia sering disebut dengan negara-bangsa yang religius (religious nation-state).

HAMKA (1951) menyebut sila pertama ini sebagai urat tunggangnya Pancasila, dan menjadi pijakan dalam mengamalkan keempat sila lainnya. Sila pertama ini juga dapat dianggap sebagai landasan moral bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila telah menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Bingkai kesatuan dalam keragaman kita perlukan. Sidang Tanwir Muhammadiyah pada Juni 2012 di Bandung, misalnya, menghasilkan pokok pikiran untuk pencerahan dan solusi permasalahan bangsa, yang salah satu poinnya menyebut bahwa NKRI yang berdasar Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (darul ‘ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (darus syahadah), dan negara yang aman dan damai (darussalam).

Kontekstualisasi sila pertama dalam pendidikan

Isu diskusi yang ketiga terkait kontekstualisasi sila pertama dalam pendidikan. Paling tidak terdapat dua implikasi (aspek) penting di sini: (a) pengamalan agama masing-masing dengan baik dan (b) penghargaan terhadap agama orang lain.

Implikasi pertama adalah pesan bahwa setiap warga negara Indonesia seharusnya manusia religius atau manusia yang mengimani adanya Tuhan. Agama tidak hanya dimaknai sebagai yang tertulis atau yang diaku, tetapi lebih dari ini. Ajaran agama harus dipelajari dengan baik oleh setiap pemeluknya. Nilai-nilainya harus diinternalisasi dan diamalkan oleh pemeluknya dengan sekuat tenaga. Nilai-nilai abadi agama, seperti kejujuran, keadilan, kedamaian, harus dikedepankan dan dilantangkan.

Ini adalah gambaran idealitas. Realitas di lapangan sangat mungkin berbeda dan ini akan memantik diskusi lanjutan. Banyak faktor terkait yang setiapnya memerlukan penyelisikan yang mendalam.

Dalam konteks pengamalan Pancasila, muncul pertanyaan lain: apakah nilai-nilai agama ini sudah mewarnai pengamalan keempat sila lainnya?

Kedua adalah pesan bahwa di Indonesia, beragam agama diakui negara. Pemahaman terhadap keragaman ini akan memunculkan sikap saling menghargai dan menjadikan pemeluk agama yang berbeda dalam hidup berdampingan dalam harmoni.

Pemahaman ini sangat penting dilantangkan karena dalam masyarakat yang religius, isu agama bersifat sangat sensitif. Kita menjadi saksi, beberapa konflik non-agama di Indonesia yang menjadi besar karena dibingkai dengan isu agama. Eskalasi konflik menjadi semakin cepat, ketika ada informasi bohong atau hoaks yang ikut disebar secara masif.

Ajaran Islam sangat jelas melarang untuk merendahkan agama lain (QS Al-An’am 6:108). Di sisi lain, penghargaan itu tidak lantas diwujudkan dalam “sinkretisme agama”, tetapi dalam bentuk toleransi yang menghargai setiap pemeluk menjalankan agamanya masing-masing (QS Al-Kafirun 109:6). Hak menjalankan ajaran agama dalam damai ini harus dijamin oleh negara.

Pendidikan seharusnya memasukkan dua aspek di atas ke dalam kurikulumnya. Yang menjadi catatan penting di sini, adalah bahwa pemahaman keragaman agama harus diakui secara jujur, baik di ruang publik maupun privat. Tanpanya, toleransi yang disuarakan akan menjadi basa-basi pemanis tuna ketulusan.

Penutup

Pendidikan mempunyai misi abadi untuk menjadikan manusia mengembangkan semua potensi kemanusiaannya. Selain harus kokoh yang diikhtiarkan dengan pengajaran nilai, pendidikan juga harus lentur untuk merespons perkembangan mutakhir.

Nilai-nilai tersebut, salah satunya, diturunkan dari ajaran agama yang menjadi muatan sila pertama Pancasila. Sila ini yang juga menjadi basis keempat sila lainnya memberikan dua pesan penting: bahwa manusia Indonesia harus menjalankan agamanya masing-masing dan menghormati agama orang lain dengan tulus. Poin terakhir ini menjadi sangat penting, ketika pengalaman kolektif bangsa mencatat, bahwa isu agama dapat menjadi pemicu konflik yang mudah dibakar dan membesar.

Referensi

Al-Attas, S. M. N. (1980). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia.

Halstead, J. M. (2004). An Islamic concept of education. Comparative Education, 40(4), 517-529.

HAMKA (1951). Urat Tunggang Pantjasila. Jakarta: Pustaka Keluarga.

Makalah pemantik diskusi “Pendidikan dan Implementasi Sila Pertama” yang diselenggarakan secara daring oleh Buletin Neng Ning Nung Nang dalam rangka menuju Satu Abad Tamansiswa pada 27 Juli 2021.