Pertanyaan tentang aktualisasi Pancasila di kancah pendidikan

Pancasila merupakan ideologi Bangsa Indonesia. Setiap tanggal 1 Juni, rakyat Indonesia selalu memperingati hari lahir dari ideologi tersebut. Seiring berkembangnya zaman, Pancasila juga mendapat tantangan. Misalnya saja mulai melemahnya nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat. Untuk lebih memahami bagaimana konsep pancasila yang sebenarnya, Reporter PK identitas Unhas, Wandi Janwar mendatangi Kepala Unit Pelayanan Terpadu Mata Kuliah Umum (UPT MKU) Unhas, Rahmatullah SIP MSi, yang juga merupakan dosen pengampuh mata kuliah Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaaran di ruangannya, Senin (15/6).

Secara ideologi, bagaimana konsep pancasila setelah 74 tahun Indonesia merdeka?

Pemahaman saya, 1 Juni adalah lahirnya istilah Pancasila karena waktu itu masih menjadi bagian dari sidang BPUPKI yang dikenal sebagai periode sidang pengusulan. Jadi beberapa tokoh bangsa mengusulkan, salah satunya Bung Karno memaparkan idenya tentang dasar dari negara yang akan dimerdekakan ini. Tetapi secara bahasa, sila-silanya itu kemudian legal pada tanggal 18 Agustus karena di situlah disahkan oleh PPKI, mengenai pembukaan undang-undang dasar yang di dalamnya dituliskan Pancasila.

Bagi saya yang penting bukan hanya memperingati lahirnya, tapi juga mengaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila itu sebenarnya bukan hanya untuk rakyat tapi seluruh bangsa Indonesia. Banyak orang yang bertanya, bagaimana sih pancasila di era ini. Menurut saya, Pancasila itu sebenarnya adalah kita. Pancasila kan pustakanya dari masyarakat nusantara sendiri. Kalau mau ditelusuri di setiap suku bangsa itu mulai dari sila pertama hingga kelima ada. Contohnya, kalau di Sulawesi Selatan ada istilah tudang sipulung. Istilah ini adalah implementasi dari Pancasila pada sila keempat.

Melihat kondisi saat ini, banyaknya kasus intoleransi di tengah masyarakat. Apakah perlu ada kebaharuan pemahaman soal pemaknaan pancasila di tengah masyarakat?

Dalam konteks kekinian, ada kecenderungan orang salah tafsir. Dia mau mencoba menafsirkan sesuatu yang berada di luar kehidupan masyarakat, bahwa tidak boleh bicara tentang kesukubangsaan itu sebenarnya keliru. Justru dengan menjalankan nilai budaya masing-masing itulah sebenarnya Pancasila.

Pancasila itu menjadi alas, pijakan, landasan dari berbagai perbedaan. Jadi tidak boleh kemudian atas nama Pancasila orang dilarang bicara tentang suku bangsanya karena ada dalam konstitusi. Sama dengan agama dan kepercayaan bahwa sila pertama itu ketuhanan yang maha esa. Di sana ada nilai moral, nilai kepercayaan, dan keagamaan. Justru Pancasila hadir menjadi fasilitator tumbuh kembangnya agama dan kepercayaan. Jadi kalau orang dilarang bicara agama dan kepercayaan karena dianggap sara, maka bertentangan dengan Pancasila.

Apa saja hal yang mempengaruhi merosotnya nilai-nilai pancasila di tengah masyarakat?

Saya pikir tantangan era sekarang memang seperti itu. Karena generasi kita bukan generasi baby boomer yang melihat perang, keadaan kemerdekaan, dan seterusnya. Generasi sekarang kan memiliki karakter yang berbeda dengan kecanggihan teknologi informasi yang dimiliki, tidak merasakan kehidupan bernegara pada fase transisi. Kalau kita lihat mungkin tinggal sedikit yang merasakan masa orde lama. Masa pendudukan jepang itu kan sudah hampir tidak ada. Apalagi yang banyak sekarang ini kan demografi kita strukturnya begitu. Generasi reformasi yang dulunya melihat pemberitaan di televisi, itu mengambil definisi sendiri tentang kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga bentuk pendekatannya harus sesuai. Setiap negara kan punya cara untuk itu. Kegelisahan setiap negara tentu bagaimana tetap menjaga eksistensi.

Apa yang menjadi inti dari pancasila itu sendiri?

Pancasila itu  kan ada dua pelaksanaannya sebagai ideologi, yakni pelaksanaan objektif dan pelaksanaan subjektif. Pelaksaan objektif itu bagaimana nilai-nilai pancasila bisa menjadi sumber dari segala sumber hukum. Bukan dari kepentingan golongan tertentu dan seterusnya. Dia harus atas nama kemerdekaan rakyat dan tercermin dalam setiap aturan.

Kita bisa lihat sendiri ada banyak aturan atau undang-undnag yang digugurkan oleh mahkama konstitusi. Hal ini menunjukkan bahwa banyak produk hukum yang tidak sesuai dengan konstitusi. Tidak sekonstitusi artinya tidak sepancasila. Karena UUD itu norma, Pancasila adalah nilainya.

Apa yang harus dilakukan agar nilai-nilai pancasila kembali menguat di kalangan masyatakat?

Pertama, bagaimana aturan yang dibuat. Saya pernah usulkan bahwa seluruh pejabat negara dan pengambil keputusan perlu diberi penataan atau bimbingan teknis, agar mereka mampu membuat aturan dengan landasan filosofis yang sesuai dengan nilai pancsila. Jangan membuat sesuatu untuk kepentingan kedaerahan, kelompok dan seterusnya.

Kedua, bagaimana aturan tersebut dijalankan. Di orde baru ada program penataran P4, ini adalah salah satu pengimplementasiannya. Untuk sekarang ini harus diperbanyak seminar dengan  model tertentu yang kemudian menstimulasi pelaksanaan secara subjektif, dalam artian bagaimana rakyat menjalankan. Misalnya saja, pekan olahraga nasional. Itu sebenarnya kegiatan untuk mempersatukan bangsa Indonesia.

Bagaimna kita memaknai pancasila ditengah pandemi ini?

Secara tidak langsung, pandemi ini memberikan dampak baik bagi bangsa Indonesia. Niali-nilai Pancasila dapat didiamalkan saat pandemi tersebut. Seperti, nilai gotong royong, saling membantu, nilai persatuan, kan semua itu adalah nilai-nilai pancasila. Cuma ada sedikit masalah dari nilai agama, karena orang tidak bisa ke tempat ibadah. Yah, begitulah protoko kesehatan.

Apa harapan Anda khususnya untuk negara dalam memaknai pancasila di masa sekarang dan yang akan datang?

Harapan saya bahwa negara itu harus punya upaya yang massif, terstrutur, dan sistematis dalam internalisasi dan aktualisasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Baik masyarakat umum maupun aparat negara.

Wandi Janwar

Sabtu, 03 Juni 2017 - 09:36 WIB

Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila pada Masa Kini

Bambang Sumardjoko Guru Besar Ilmu Pendidikan dan Direktur Sekolah Pascasarjana UMS

BAGI kita, bangsa dan negara Republik Indonesia, Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Kedudukan dan fungsi Pancasila ini bersifat hakiki sehingga berbagai kedudukan dan fungsi Pancasila yang lain, seperti jiwa dan kepribadian bangsa, ideologi nasional, perjanjian luhur, tujuan bangsa, kepribadian manusia Indonesia, dapat dikembalikan pada sifat hakiki.

Pancasila merupakan nilai-nilai luhur yang harus dihayati dan dipedomani seluruh warga negara Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Penghayatan yang mendalam atas nilai-nilai dasar Pancasila akan memperkuat identitas, jati diri, dan karakter masya­rakat Indonesia yang berkepribadian Pancasila.

Jakarta -

Peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1945 telah menjadi konvensi kenegaraan. Momen yang tepat untuk merenungkan dan merefleksikan terkait aktualisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.Pancasila sepertinya memang mudah sekali dilupakan dalam kehidupan keseharian kita. Setiap saat kita menyaksikan bagaimana nilai-nilai yang ada di Pancasila ditinggalkan. Pancasila dilupakan ketika religiusitas diartikan sebatas penguatan laku formal ibadah saja, ketika tak ada cinta kasih antarumat manusia, ketika persatuan ditinggalkan, ketika politik semata diartikan sebagai mekanisme untuk mendulang suara, dan ketika keadilan sosial tak bisa dinikmati oleh seluruh anak bangsa.

Di jagat maya, beberapa tahun belakangan ini nilai-nilai Pancasila seolah raib dalam laku warganet yang terus saja senang menebar amarah dan kebencian. Pancasila dilupakan ketika energi kita justru lebih banyak dikerahkan untuk saling menghujat dan menghinakan di antara sesama anak bangsa hanya karena perbedaan agama, etnis, maupun pandangan politik.


Telah terjadi jarak yang amat jauh antara nilai ideal Pancasila dengan praktik dalam kehidupan berbangsa. Ada kegagalan praktik dalam implementasi nilai-nilai Pancasila. Padahal jika kita membaca sejarah, Pancasila sebagai dasar negara dirumuskan dengan begitu hati-hati. Pilihan Pancasila sebagai dasar negara telah melalui perdebatan panjang dan melelahkan antara para pendiri bangsa. Para pendiri bangsa ini berupaya keras mengeluarkan pikiran terbaiknya untuk menyusun Pancasila.


Yudi Latif (2011) menyebut dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila bahwa setiap fase konseptualisasi Pancasila melibatkan partisipasi berbagai unsur dan golongan. Oleh karena itu menurutnya Pancasila merupakan karya bersama milik bangsa. Pilihan Pancasila sebagai dasar negara adalah melalui proses yang begitu matang.


Bung Karno misalnya sebelum berpidato pada 1 Juni 1945 untuk menyampaikan pandangannya tentang dasar negara bermunajat memohon petunjuk kepada Sang Mahakuasa agar diberi jawaban tepat atas pertanyaan mengenai dasar negara Indonesia Merdeka. Soekarno berdoa, "Ya Allah ya Rabbi, berikanlah petunjuk kepadaku. Berikanlah petunjuk kepadaku apa yang besok pagi akan kukatakan, sebab Engkaulah ya Tuhanku, mengerti bahwa apa yang ditanyakan kepadaku oleh Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu bukan barang yang remeh, yaitu dasar daripada Indonesia merdeka" (Latif, 2011).


Ini menjadi salah satu bukti bahwa upaya merumuskan Pancasila betul-betul dijiwai oleh melibatkan laku spiritual dan semangat yang begitu hebat. Sebab itu, tidak elok rasanya jika ada yang kemudian menghina, dan mengajak untuk meragukan dan menggugat dasar negara yang sudah menjadi kesepakatan bersama para pendiri bangsa. Atau, bahkan berusaha mengganti dasar negara ini. Sangat menyedihkan ketika di media sosial kita masih menyaksikan banyak kelompok yang secara jelas berusaha untuk menebal-nebalkan kebencian dengan menghasut, memprovokasi, dan menfitnah.


Dari Ruang Pendidikan

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Anak-anak harus diajak untuk mencintai Pancasila. Ini jelas bukan soal menghapalkan kelima sila Pancasila, dan membacakannya secara lantang. Mencintai Pancasila berarti mengajak mereka menghayati kelima sila tersebut lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan. Menjaga Pancasila berarti mempraktikan sila-sila tersebut dalam laku keseharian.


Pada tingkatan Sekolah Dasar maupun Sekolah Menengah Pertama yang paling penting bukan pada penguasaan sejarah lahirnya Pancasila, tapi harus lebih memprioritaskan pada praktik-praktik nilai-nilai Pancasila. Bukan pada hapalan yang bersifat kognitif, melainkan lebih pada praktik nyata di kehidupan sehari-hari. Bagaimana mereka mempraktikan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan dalam interaksi keseharian mereka di sekolah, keluarga, maupun masyarakat itulah yang utama.


Pada jenjang Sekolah Menengah Atas, anak harus sudah diajak untuk menyelami secara kritis mengenai sejarah lahirnya Pancasila. Mereka sudah diajak untuk menganalisis, mengapa misalnya, dasar negara yang dipilih oleh para pendiri bangsa adalah Pancasila? Pada Pelajaran PPKn, anak-anak didik harus diajak untuk membaca teks-teks yang berkaitan dengan Pancasila, kewarganegaraan, dan kebangsaan dengan cara yang lebih kritis.


Teks-teks terkait sejarah Pancasila harus dihadirkan oleh guru di ruang kelas. Anak-anak diminta secara seksama membaca teks-teks tersebut. Kemudian dengan pendekatan pendidikan kritis ala Freire (1999), guru dapat memandu peserta didik untuk berusaha menemukan kembali (reinventing), menciptakan kembali (recreating), dan menuliskan ulang (rewriting) Pancasila sesuai dengan konteks kekinian. Dalam proses itulah diskusi terjadi. Anak-anak akan memahami betul mengapa para pendiri bangsa menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Mereka akan memahami secara historis maupun faktual, juga merelasikannya dengan kehidupan saat ini.


Peserta didik harus diberi ruang besar untuk menafsirkan Pancasila dengan bahasa yang lebih mereka pahami. Pancasila dalam bahasa dan laku yang lebih gaul, konteks yang lebih kekinian. Elaborasi dalam hal-hal tersebutlah yang perlu terus digali. Selain itu, tugas-tugas yang diberikan juga harus mendekatkan mereka dengan realitas Indonesia yang beragam. Berikan tugas agar para siswa dapat bergaul dan berdiskusi dengan individu maupun kelompok yang berbeda latar belakang baik dari segi suku, agama, bahasa, dan kelas sosial dengan mereka. Tugas yang membuat mereka bersinggungan dan berjumpa dengan ragam kelompok.


Proses pendidikan sudah semestinya menjadi corong dan penjaga kebangsaan. Proses yang menurut Ki Hadjar Dewantara harus selaras dengan penghidupan dan kehidupan bangsa agar anak memiliki rasa cinta bangsa (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962). Sebab itu, dari ruang pendidikanlah kecintaan terhadap bangsa dan negara patut dikuatkan. Proses pendidikan harus menjadikan rasa cinta anak terhadap bangsa ini. Jika itu tidak dilakukan, sudah pasti proses pendidikan sudah melenceng dari cita-cita para pendiri bangsa.


Sehingga, menguatkan Pancasila dalam pemahaman maupun praktik di dunia pendidikan menjadi amat penting. Harapannya, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain, menghargai kemanusiaan, mengedepankan persatuan, senang bermusyawarah dan berdialog, juga berusaha mewujudkan keadilan sosial akan dapat diimplementasikan tak sebatas dalam kata, namun juga dalam perbuatan. Semoga.


Anggi Afriansyah peneliti Pusat Sosiologi Pendidikan-Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Pernah menjadi Guru PPKn di SMAI Al Izhar

(mmu/mmu)