Pengadilan Tata Usaha Negara mengadili siapa?

Penulis : Erick Makmur

Pengadilan Tata Usaha Negara mengadili siapa?
Pengadilan Tata Usaha Negara mengadili siapa?

Dalam berperkara di peradilan tata usaha negara, banyak gugatan yang ditolak oleh pengadilan tata usaha negara. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat atas syarat-syarat untuk berperkara di peradilan tata usaha negara. Mulai dari para pihak yang bersengketa, kewenangan pengadilan tata usaha negara dalam mengadili perkara, objek sengketa dari pengadilan tata usaha negara, cara-cara pengajuan gugatan hingga hal-hal administrasi seperti batas waktu pengajuan gugatan. Namun dalam artikel ini, penulis akan memfokuskan pada objek sengketa di peradilan tata usaha negara.

Keputusan Tata Usaha Negara (yang selanjutnya disebut KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Berdasarkan pengertian KTUN yang dapat menimbulkan akibat hukum tentu mempunyai kemungkinan untuk terjadinya konflik kepentingan antara badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN dengan seseorang atau badan hukum perdata.

Menurut Yuslim, unsur-unsur dari KTUN adalah:[2]

1.      Penetapan tertulis;

Pengertian penetapan tertulis harus diperhatikan baik-baik. Karena penetapan tertulis bukan berarti harus dinyatakan atau dibuat secara formal seperti halnya surat keputusan atau surat izin mendirikan bangunan. Namun, penetapan tertulis cukup hanya dengan tertulis di atas kertas. Hal ini dikarenakan penetapan tertulis hanya dimaksud untuk pembuktian nantinya.[3]

2.      Badan atau pejabat tata usaha negara;

Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 bahwa badan atau pejabat yang mengeluarkan KTUN tersebut harus bersifat eksekutif yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3.      Tindakan hukum tata usaha negara;

Untuk tindakan hukum perlu diketahui bahwa tindakan hukum tidak hanya terbatas pada penerbitan atau dikeluarkannya suatu KTUN. Namun tindakan hukum di sini harus diartikan bahwa tindakan tersebut juga termasuk tindakan faktual. Tindakan yang dimaksud faktual adalah hal-hal yang merupakan pelaksanaan dari KTUN yang tujuan untuk melaksanakan fungsi dari pemerintahan khususnya administrasi seperti persiapan dari pelaksanaan suatu KTUN misalnya persiapan perbaikan jalan.[4] Tindakan Administrasi Pemerintahan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. [5]

4.      Peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Tentunya dalam dikeluarkannya atau ditetapkan suatu KTUN perlu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mulai dari kewenangan yang diberikan dari peraturan yang berlaku kepada pejabat tersebut. Selain itu, isi dari penetapan tersebut tidak boleh melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5.      Konkret;

Konkret berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 bahwa artinya tidak abstrak, namun masih berwujud tertentu atau dapat ditentukan.

6.      Individual;

Untuk individu artinya bersifat khusus untuk hal tertentu saja. Misalnya jika KTUN ditujukan kepada orang-orang tertentu, maka KTUN tersebut harus menyebutkan nama-nama tersebut. Konkret bertujuan untuk menuangkan hal-hal yang bersifat umum dan abstrak ke dalam peristiwa yang jelas dengan mengeluarkan KTUN agar hal tersebut dapat dilaksanakan seperti pemberhentian si A sebagai pegawai negeri atau izin usaha bagi B; dan

7.      Final; dan

KTUN harus bersifat definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum yang artinya KTUN harus final. Untuk KTUN yang belum mendapatkan persetujuan dari instansi atasan membuat KTUN itu belum final dan karenannya belum dapat menimbulkan hak dan kewajiban.[6]

8.      Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Untuk unsur terakhir adalah KTUN harus menimbulkan akibat hukum. KTUN disini tidak hanya sebagai keputusan yang telah menimbulkan akibat hukum saja, namun keputusan harus dilihat memiliki kemungkinan / potensi untuk menimbulkan kerugian.[7] Misalnya suatu KTUN yang bersifat mencabut izin suatu badan hukum tanpa alasan yang jelas. Akibat hukum harus berupa (a) terjadi perubahan hak, kewajiban atau kewenangan, (b) terjadi perubahan kedudukan hukum pada badan hukum perdata atau seseorang, (c) terdapat hak, kewajiban, kewenangan atau status yang ditetapkan. [8]

Sebagai kesimpulan, KTUN yang menjadi objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang menimbulkan suatu akibat hukum karena tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan memberikan kerugian atau potensi kerugian terhadap pihak masyarakat. Perlu diketahui, dalam berperkara di PTUN juga harus memperhatikan syarat-syarat lainnya agar terhindar dari ditolaknya gugatan. Maka dari itu, masyarakat perlu teliti dan mempelajari terlebih dahulu terkait syarat-syarat tersebut yang meliputi objek yang disengketakan yaitu KTUN.

 [1] Francisca Romana Harjiyatni, et.al., Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Lingkungan (Studi Gugatan Organisasi Lingkungan Hidup), Jurnal Mimbar Hukum, Volume 26 – Nomor 2, Juni 2014, hlm. 261.

[2] Abi Jam’an Kurnia, Ciri-ciri Sengketa Tata Usaha Negara, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5cc25b8e8645e/ciri-ciri-sengketa-tata-usaha-negara/, diakses pada 27 Oktober 2020 pukul 13.03 WIB.

[3] Dola Riza, Hakikat KTUN Menurut Undang-Undang Peradlan Tata Usaha Negara Vs Undang-Undang Admnistrasi Pemerintahan, Jurnal Soumatera Law Review, Volume 2 – Nomor 2, 2019, hlm. 211.

[4] Id., hlm.212

[5] Id.

[6] Fakultas Hukum Brawijaya, Konten: Keputusan Tata Usaha Negara, https://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Keputusan-Tata-Usaha-Negara.pdf, diakses pada 27 Oktober 2020 pukul 13.14 WIB.

[7] Dola Riza, Op.cit., hlm. 212.

[8] Id.

Jika melihat aturan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 9/2004”) dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”) bahwa tata usaha negara (“TUN”) didefinisikan sebagai berikut:

Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

Sementara itu, sengketa Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU 51/2009 didefinisikan sebagai berikut:

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, kami akan jelaskan beberapa ciri sengketa tata usaha negara, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Para Pihak yang Bersengketa

Jika melihat rumusan Pasal 1 angka 10 UU 51/2009 di atas, yang bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah. Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.[1]

Menurut Rozali Abdullah dalam bukunya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (hal.5), Peradilan TUN hanya berwenang mengadili sengketa TUN, yaitu sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara.

  1. Diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara

Pengadilan adalah pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara di lingkungan peradilan tata usaha negara.[2] Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.[3]

  1. Keputusan Tata Usaha Negara sebagai Objek Sengketa

Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 didefinisikan sebagai berikut:

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Menurut Yuslim dalam bukunya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (hal. 47) bahwa rumusan Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 mengandung unsur-unsur:

  • penetapan tertulis,

  • Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,

  • tindakan hukum tata usaha negara,

  • peraturan perundang-undangan yang berlaku,

  • konkret,

  • individual,

  • final, dan

  • akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

  1. Dengan Mengajukan Gugatan Tertulis

Kita dapat pahami bahwa Sengketa Tata Usaha Negara diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan mengajukan gugatan tertulis yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.[4]

Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan tertulis disebutkan dalam Pasal 53 ayat (2) UU 9/2004 sebagai berikut:

  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

  2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

  1. Terdapat Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan

Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.[5]

Bagi pihak yang namanya tersebut dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.[6]

Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan:[7]

  1. Pasal 3 ayat (2) UU 5/1986, tenggang waktu sembilan puluh hari itu di hitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan;

  2. Pasal 3 ayat (3) UU 5/1986, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.

Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut.[8]

  1. Asas Praduga Tak Bersalah

Menurut Rozali Abdullah (hal. 6) bahwa di peradilan Tata Usaha Negara juga diberlakukan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) seperti yang kita kenal dalam hukum acara pidana. Di mana seorang pejabat Tata Usaha Negara tetap dianggap tidak bersalah di dalam membuat suatu Keputusan Tata Usaha Negara sebelum ada putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan ia salah di dalam membuat Keputusan Tata Usaha Negara atau dengan kata lain suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetap dianggap sah (tidak melawan hukum), sebelum adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan keputusan tersebut tidak sah (melawan hukum). Sehingga digugatnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tidak akan menyebabkan tertundanya pelaksanaan keputusan tersebut.

Dalam Pasal 72 UU 5/1986 dijelaskan mengenai peradilan in absentia atau sidang berlangung tanpa hadirnya tergugat. Selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

  1. Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan Surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan.

  2. Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan Surat tercatat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat.

  3. Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.

  1. Pemeriksaan Perkara Dengan Acara Biasa, Acara Cepat, dan Acara Singkat

Sebagaimana pernah dijelasakan dalam artikel Perbedaan Acara Biasa, Acara Cepat, dan Acara Singkat Pada Peradilan TUN, hukum acara formal TUN (hukum acara dalam arti sempit) berupa langkah-langkah atau tahapan yang terbagi atas:

Dalam pemeriksaan sengketa TUN dengan acara biasa, tahapan penanganan sengketa adalah:[9]

  • Prosedur dismisal, pemeriksaan administratif untuk menetapkan apakah suatu gugatan dapat diterima atau tidak dapat diterima.

  • Pemeriksaan persiapan, pada tahap ini dimaksudkan untuk melengkapai gugatan yang kurang jelas.

  • Pemeriksaan di sidang pengadilan

pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya.[10]

pemeriksaan dengan acara singkat dilakukan terhadap perlawanan.[11]

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

  1. Rozali Abdullah.2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada;

  2. Yuslim. 2015.Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika.

[1] Pasal 1 angka 12 UU 51/2009

[2] Pasal 1 angka 1 UU 51/2009

[4] Pasal 53 ayat (1) UU 9/2004

[6] Penjelasan Pasal 55 UU 5/1986

[7] Penjelasan Pasal 55 UU 5/1986

[8] Penjelasan Pasal 55 UU 5/1986

[9] Pasal 62, Pasal 63, Pasal 68 s.d. Pasal 97 UU 5/1986

[10] Pasal 98 ayat (1) UU 5/1986

[11] Pasal 62 ayat (4) UU 5/1986