Meratap mayat adalah kebiasaan orang-orang yang hidup pada masa atau agama

PortalMadura.Com – Kematian sudah menjadi ketentuan Allah SWT untuk semua hamba-Nya. Lalu kehilangan memang merupakan hal yang sangat menyedihkan. Apalagi jika kehilangan orang-orang tersayang di sekeliling kita. Meninggalkan kita menghadap Allah SWT, dengan lebih dulu. Tidak dipungkiri, hal yang akan kita lakukan adalah meratapi kesedihan yang mendalam, menangis atau bahkan ada yang marah, belum mengikhlaskan kepergian tersebut dengan menampar wajah, mengamuk, berteriak-teriak, menjambak rambut dan lain sebagainya.

Dalam hal tersebut, Rasulullah SAW bersabda:

“Bukanlah bagian dari umatku yang menampari pipi (ketika ditimpa kematian), merobek-robek baju dan meratapi mayat sebagaimana ratapannya orang-orang jahiliyah” (HR. Muttafaq ‘Alayh).

Berdasarkan Hadis tersebut maka sangat tidak dianjurkan bagi umat Muslim untuk terlalu meratapi kesedihan ketika sanak keluarga atau kerabatnya meninggal dunia. Kita semua, langit, bumi dan seisinya adalah milik Allah SWT. Kapan pun dan bagaimana pun itu Allah SWT berhak mengambil kembali dan melakukan apa saja.

Kemudian, seperti apakah ratapan yang dilarang? Jenis ratapan yang tidak diperbolehkan yaitu seperti menangis dengan berteriak-teriak, sembari menjambaki rambut dan merobeki baju, lalu menampari wajah sambil berkata tidak baik seperti mencela dan bersumpah-sumpah, mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Allah SWT. Ulama sepakat untuk melarang dan menghukumi haram. Hal tersebut sangat tidak mencerminkan akhlak umat muslim saat ditimpa musibah. Rasulullah SAW juga bersabda “Dua hal yang ada pada manusia, dan keduanya dapat menyebabkan manusia menjadi kafir, yaitu melaknat atau mengingkari keturunan dan meratapi kematian (niyahah)”. Lalu, bolehkah jika menangis tanpa disertai ratapan yang berlebihan?

Rasulullah SAW pernah menangis saat Ibrahim, putra Rasulullah SAW meninggal beberapa saat selepas dilahirkan. Beberapa tetes air mata keluar dari mata indah Rasulullah SAW sembari bersabda “ini adalah suatu rahmat kasih sayang”. Kemudian, Rasulullah SAW bersabda lagi sambil menggendong putranya “sesungguhnya mata meneteskan air mata, dan hati bersedih, maka janganlah kita mengatakan sesuatu kecuali perkataan yang diridhai oleh Allah SWT, dan sesungguhnya, kami semua umat islam bersedih atas kepergian Ibrahim”.

Imam Nawawi menjelaskan dalam kitab al-Adzkar bahwa saat ditimpa musibah maka kita diperbolehkan untuk menangis tanpa disertai ratapan yang berlebihan seperti yang dijelaskan di atas.

Karena menangis adalah sebagai wujud rasa cinta kita dan kasih sayang yang diberikan Allah SWT. Menangis juga bukanlah hal tercela karena menangis merupakan ekspresi yang sangat manusiawi. Saat kepergian putranya, Rasulullah SAW juga menangis, sedih dan pilu. Namun Rasulullah SAW mencoba untuk ikhlas dan sabar, dan Rasulullah SAW juga menganjurkan kita untuk tidak mengatakan perkataan-perkataan buruk yang Allah SWT tidak menyukainya. Berteriak-teriak saat ditimpa musibah, banyak mencela dan mengeluh takdir jelas sangat tidak dianjurkan.

Perbuatan tersebut termasuk dalam perbuatan yang dilaknat, termasuk dalam perbuatan jahiliyah dan dapat menyebabkan pelakunya kafir.

Syeikh al-Utsaymin juga menjelaskan dalam kitabnya al-Fawaid al-Muntaqah min Syarhi Kitab al-Tawhid terkait beberapa sebab dilarangnya meratapi mayit secara berlebihan atau niyahah.

Di antaranya yaitu, jika menangis dan meratapi mayit berlebihan maka hal tersebut hanya akan menambah kesedihan yang berlarut-larut.

Meratapi mayit berlebihan akan memicu kemurkaan Allah SWT sebab tidak menerima apa yang sudah ditakdirkan Allah SWT.

Meratapi mayit juga akan menimbulkan orang lain ikut berkabung dalam kesedihan. Terakhir, meratapi mayit dengan niyahah merupakan hal yang tidak ada manfaatnya dan tidak dapat mengembalikan ketentuan yang sudah Allah SWT gariskan dan takdirkan.

Alangkah baiknya, umat Muslim jika ditimpa musibah berupa ditinggalkan oleh orang-orang yang disayang hendaknya untuk berkata baik, mendoakan ampunan dan rahmat untuknya serta tidak menangis berlebihan yang dapat menyebabkan ia jatuh dalam kekufuran. Naudzubillah.

Itulah penjelasan mengapa kita tidak boleh terlalu meratapi mayat. Sungguh semua makhluk hidup pada hakikatnya akan kembali kepada Allah SWT. Mari kita tanamkan rasa ikhlas sejak dini dalam diri kita agar selalu terlapangkan hati kita saat melihat orang yang kita sayangi atau umat muslim dipanggil ke rahmatullah. Semoga Allah selalu melindungi kita dari perbuatan-perbuatan yang buruk,Amin. Semoga bermanfaat. (islami.co/Anek)

The post Umat Muslim, Jangan Terlalu Meratapi Mayat appeared first on PortalMadura.com.

Sumber ilustrasi: httpperindusyahid119.blogspot.com

Meratap tatkala ditinggal mati oleh orang tercinta sangat dilarang oleh Rasul. Yang dibolehkan hanya menangis, sebagai pelampias rasa sedih. Bukan berteriak-teriak, mengungkit-ngungkit  kebaikan si mayit semasa hidupnya, seolah-olah keluarga yang ditinggalkan tidak ridho menerima kematian yang ditetapkan oleh Allah SWT.   

Rasul bersabda, "Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair dan memakai pakaian dari kudis." (HR. Muslim no. 934).

Kenapa disebutkan wanita? Karena yang suka meratap itu adalah emak-emak. Laki-laki pun jika  meratap dan belum bertaubat sampai meninggal dunia, dia juga berhak terkena ancaman hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

Saya salut dengan warga daerah saya berdomisili sekarang. Kapan ada anggota keluarganya meninggal, kaum kerabat menghadapinya dengan tenang. Tak sedikit pun terdengar suara ratapan. Kecuali bacaan Surah Yasin. Isak tangis pun termasuk hal langka. Mulai mendiang dinyatakan meninggal, sampai selesai pemakaman.

Sejatinya, meratapi mayat merupakan tradisi  turun temurun oleh sebagian masyarakat yang sulit dihilangkan.

Di  suatu kampung yang pernah saya diami, kalau ada vestifal meratap mayat  tingkat nasional, menurut saya pantas salah satu emak-emak di sana juaranya. 

Bukan lebay. Apabiala seorang perempuan telah meratap, jangankan manusia, hewan di sekitarnya mungkin juga meneteskan air mata. Sudah tangisnya mendayu-dayu, ditambah tutur ratapannya yang menyayat pilu. Saya tak tahu apakah sekarang kebiasaan tersebut masih dipraktikan  atau tidak. 

Andai seorang suami meninggal dalam usia masih muda, isterinya meratap kira-kira begini, "aduh, Maaasss ...! Tumbang sudah  pohon besar tempatku bersandar. Ke mana aku dan anak-anakmu mengadu. Kau tinggalkan aku dalam kesulitan. Anak-anak kita masih kecil, Maaasss ... bla ...bla ...." (dalam bahasa daerah).

Celakanya, belum tumbuh rumput di tanah kuburan, dia mulai mencari suami baru. Meskipun tidak semua.

Bukan berarti mereka tidak pernah diberikan pencerahan oleh ustad dan orang yang mengerti agama. Mungkin mereka menganggap tanpa meratap tandanya tidak sayang kepada anggota keluarga yang meninggal.

Justru kadang-kadang menimbulkan fitnah. "Eh ... si Anu, waktu bapaknya meninggal, air mata gatalnya aja tak keluar. Mungkin dia senang. Biar bebas menguasai tanah dan sawah,  bla ... bla ...."


Page 2

Meratap tatkala ditinggal mati oleh orang tercinta sangat dilarang oleh Rasul. Yang dibolehkan hanya menangis, sebagai pelampias rasa sedih. Bukan berteriak-teriak, mengungkit-ngungkit  kebaikan si mayit semasa hidupnya, seolah-olah keluarga yang ditinggalkan tidak ridho menerima kematian yang ditetapkan oleh Allah SWT.   

Rasul bersabda, "Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair dan memakai pakaian dari kudis." (HR. Muslim no. 934).

Kenapa disebutkan wanita? Karena yang suka meratap itu adalah emak-emak. Laki-laki pun jika  meratap dan belum bertaubat sampai meninggal dunia, dia juga berhak terkena ancaman hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

Saya salut dengan warga daerah saya berdomisili sekarang. Kapan ada anggota keluarganya meninggal, kaum kerabat menghadapinya dengan tenang. Tak sedikit pun terdengar suara ratapan. Kecuali bacaan Surah Yasin. Isak tangis pun termasuk hal langka. Mulai mendiang dinyatakan meninggal, sampai selesai pemakaman.

Sejatinya, meratapi mayat merupakan tradisi  turun temurun oleh sebagian masyarakat yang sulit dihilangkan.

Di  suatu kampung yang pernah saya diami, kalau ada vestifal meratap mayat  tingkat nasional, menurut saya pantas salah satu emak-emak di sana juaranya. 

Bukan lebay. Apabiala seorang perempuan telah meratap, jangankan manusia, hewan di sekitarnya mungkin juga meneteskan air mata. Sudah tangisnya mendayu-dayu, ditambah tutur ratapannya yang menyayat pilu. Saya tak tahu apakah sekarang kebiasaan tersebut masih dipraktikan  atau tidak. 

Andai seorang suami meninggal dalam usia masih muda, isterinya meratap kira-kira begini, "aduh, Maaasss ...! Tumbang sudah  pohon besar tempatku bersandar. Ke mana aku dan anak-anakmu mengadu. Kau tinggalkan aku dalam kesulitan. Anak-anak kita masih kecil, Maaasss ... bla ...bla ...." (dalam bahasa daerah).

Celakanya, belum tumbuh rumput di tanah kuburan, dia mulai mencari suami baru. Meskipun tidak semua.

Bukan berarti mereka tidak pernah diberikan pencerahan oleh ustad dan orang yang mengerti agama. Mungkin mereka menganggap tanpa meratap tandanya tidak sayang kepada anggota keluarga yang meninggal.

Justru kadang-kadang menimbulkan fitnah. "Eh ... si Anu, waktu bapaknya meninggal, air mata gatalnya aja tak keluar. Mungkin dia senang. Biar bebas menguasai tanah dan sawah,  bla ... bla ...."


Meratap mayat adalah kebiasaan orang-orang yang hidup pada masa atau agama

Lihat Sosbud Selengkapnya


Page 3

Meratap tatkala ditinggal mati oleh orang tercinta sangat dilarang oleh Rasul. Yang dibolehkan hanya menangis, sebagai pelampias rasa sedih. Bukan berteriak-teriak, mengungkit-ngungkit  kebaikan si mayit semasa hidupnya, seolah-olah keluarga yang ditinggalkan tidak ridho menerima kematian yang ditetapkan oleh Allah SWT.   

Rasul bersabda, "Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair dan memakai pakaian dari kudis." (HR. Muslim no. 934).

Kenapa disebutkan wanita? Karena yang suka meratap itu adalah emak-emak. Laki-laki pun jika  meratap dan belum bertaubat sampai meninggal dunia, dia juga berhak terkena ancaman hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

Saya salut dengan warga daerah saya berdomisili sekarang. Kapan ada anggota keluarganya meninggal, kaum kerabat menghadapinya dengan tenang. Tak sedikit pun terdengar suara ratapan. Kecuali bacaan Surah Yasin. Isak tangis pun termasuk hal langka. Mulai mendiang dinyatakan meninggal, sampai selesai pemakaman.

Sejatinya, meratapi mayat merupakan tradisi  turun temurun oleh sebagian masyarakat yang sulit dihilangkan.

Di  suatu kampung yang pernah saya diami, kalau ada vestifal meratap mayat  tingkat nasional, menurut saya pantas salah satu emak-emak di sana juaranya. 

Bukan lebay. Apabiala seorang perempuan telah meratap, jangankan manusia, hewan di sekitarnya mungkin juga meneteskan air mata. Sudah tangisnya mendayu-dayu, ditambah tutur ratapannya yang menyayat pilu. Saya tak tahu apakah sekarang kebiasaan tersebut masih dipraktikan  atau tidak. 

Andai seorang suami meninggal dalam usia masih muda, isterinya meratap kira-kira begini, "aduh, Maaasss ...! Tumbang sudah  pohon besar tempatku bersandar. Ke mana aku dan anak-anakmu mengadu. Kau tinggalkan aku dalam kesulitan. Anak-anak kita masih kecil, Maaasss ... bla ...bla ...." (dalam bahasa daerah).

Celakanya, belum tumbuh rumput di tanah kuburan, dia mulai mencari suami baru. Meskipun tidak semua.

Bukan berarti mereka tidak pernah diberikan pencerahan oleh ustad dan orang yang mengerti agama. Mungkin mereka menganggap tanpa meratap tandanya tidak sayang kepada anggota keluarga yang meninggal.

Justru kadang-kadang menimbulkan fitnah. "Eh ... si Anu, waktu bapaknya meninggal, air mata gatalnya aja tak keluar. Mungkin dia senang. Biar bebas menguasai tanah dan sawah,  bla ... bla ...."


Meratap mayat adalah kebiasaan orang-orang yang hidup pada masa atau agama

Lihat Sosbud Selengkapnya


Page 4

Meratap tatkala ditinggal mati oleh orang tercinta sangat dilarang oleh Rasul. Yang dibolehkan hanya menangis, sebagai pelampias rasa sedih. Bukan berteriak-teriak, mengungkit-ngungkit  kebaikan si mayit semasa hidupnya, seolah-olah keluarga yang ditinggalkan tidak ridho menerima kematian yang ditetapkan oleh Allah SWT.   

Rasul bersabda, "Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair dan memakai pakaian dari kudis." (HR. Muslim no. 934).

Kenapa disebutkan wanita? Karena yang suka meratap itu adalah emak-emak. Laki-laki pun jika  meratap dan belum bertaubat sampai meninggal dunia, dia juga berhak terkena ancaman hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

Saya salut dengan warga daerah saya berdomisili sekarang. Kapan ada anggota keluarganya meninggal, kaum kerabat menghadapinya dengan tenang. Tak sedikit pun terdengar suara ratapan. Kecuali bacaan Surah Yasin. Isak tangis pun termasuk hal langka. Mulai mendiang dinyatakan meninggal, sampai selesai pemakaman.

Sejatinya, meratapi mayat merupakan tradisi  turun temurun oleh sebagian masyarakat yang sulit dihilangkan.

Di  suatu kampung yang pernah saya diami, kalau ada vestifal meratap mayat  tingkat nasional, menurut saya pantas salah satu emak-emak di sana juaranya. 

Bukan lebay. Apabiala seorang perempuan telah meratap, jangankan manusia, hewan di sekitarnya mungkin juga meneteskan air mata. Sudah tangisnya mendayu-dayu, ditambah tutur ratapannya yang menyayat pilu. Saya tak tahu apakah sekarang kebiasaan tersebut masih dipraktikan  atau tidak. 

Andai seorang suami meninggal dalam usia masih muda, isterinya meratap kira-kira begini, "aduh, Maaasss ...! Tumbang sudah  pohon besar tempatku bersandar. Ke mana aku dan anak-anakmu mengadu. Kau tinggalkan aku dalam kesulitan. Anak-anak kita masih kecil, Maaasss ... bla ...bla ...." (dalam bahasa daerah).

Celakanya, belum tumbuh rumput di tanah kuburan, dia mulai mencari suami baru. Meskipun tidak semua.

Bukan berarti mereka tidak pernah diberikan pencerahan oleh ustad dan orang yang mengerti agama. Mungkin mereka menganggap tanpa meratap tandanya tidak sayang kepada anggota keluarga yang meninggal.

Justru kadang-kadang menimbulkan fitnah. "Eh ... si Anu, waktu bapaknya meninggal, air mata gatalnya aja tak keluar. Mungkin dia senang. Biar bebas menguasai tanah dan sawah,  bla ... bla ...."


Meratap mayat adalah kebiasaan orang-orang yang hidup pada masa atau agama

Lihat Sosbud Selengkapnya


Page 5

Meratap tatkala ditinggal mati oleh orang tercinta sangat dilarang oleh Rasul. Yang dibolehkan hanya menangis, sebagai pelampias rasa sedih. Bukan berteriak-teriak, mengungkit-ngungkit  kebaikan si mayit semasa hidupnya, seolah-olah keluarga yang ditinggalkan tidak ridho menerima kematian yang ditetapkan oleh Allah SWT.   

Rasul bersabda, "Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair dan memakai pakaian dari kudis." (HR. Muslim no. 934).

Kenapa disebutkan wanita? Karena yang suka meratap itu adalah emak-emak. Laki-laki pun jika  meratap dan belum bertaubat sampai meninggal dunia, dia juga berhak terkena ancaman hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

Saya salut dengan warga daerah saya berdomisili sekarang. Kapan ada anggota keluarganya meninggal, kaum kerabat menghadapinya dengan tenang. Tak sedikit pun terdengar suara ratapan. Kecuali bacaan Surah Yasin. Isak tangis pun termasuk hal langka. Mulai mendiang dinyatakan meninggal, sampai selesai pemakaman.

Sejatinya, meratapi mayat merupakan tradisi  turun temurun oleh sebagian masyarakat yang sulit dihilangkan.

Di  suatu kampung yang pernah saya diami, kalau ada vestifal meratap mayat  tingkat nasional, menurut saya pantas salah satu emak-emak di sana juaranya. 

Bukan lebay. Apabiala seorang perempuan telah meratap, jangankan manusia, hewan di sekitarnya mungkin juga meneteskan air mata. Sudah tangisnya mendayu-dayu, ditambah tutur ratapannya yang menyayat pilu. Saya tak tahu apakah sekarang kebiasaan tersebut masih dipraktikan  atau tidak. 

Andai seorang suami meninggal dalam usia masih muda, isterinya meratap kira-kira begini, "aduh, Maaasss ...! Tumbang sudah  pohon besar tempatku bersandar. Ke mana aku dan anak-anakmu mengadu. Kau tinggalkan aku dalam kesulitan. Anak-anak kita masih kecil, Maaasss ... bla ...bla ...." (dalam bahasa daerah).

Celakanya, belum tumbuh rumput di tanah kuburan, dia mulai mencari suami baru. Meskipun tidak semua.

Bukan berarti mereka tidak pernah diberikan pencerahan oleh ustad dan orang yang mengerti agama. Mungkin mereka menganggap tanpa meratap tandanya tidak sayang kepada anggota keluarga yang meninggal.

Justru kadang-kadang menimbulkan fitnah. "Eh ... si Anu, waktu bapaknya meninggal, air mata gatalnya aja tak keluar. Mungkin dia senang. Biar bebas menguasai tanah dan sawah,  bla ... bla ...."


Meratap mayat adalah kebiasaan orang-orang yang hidup pada masa atau agama

Lihat Sosbud Selengkapnya