Mengapa Undang-Undang Dasar Menurut Undang-Undang Dasar 1945 memiliki pengertian yang lebih sempit daripada pengertian hukum dasar?

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Secara etimologis, kata konstitusi, konstitusional, dan konstitusionalisme memiliki makna yang sama, namun penggunaan dan penerapannya berbeda. Konstitusi dalam pengertian sempit adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar (“UUD”), dan sebagainya.[1] Berikut akan kami jelaskan pengertian konstitusi secara rinci.

Baca juga: Pengertian Konstitusional Bersyarat dan Inkonstitusional Bersyarat

 

Pengertian Konstitusi

Konstitusi berasal dari bahasa Perancis “constituer” yang artinya membentuk negara, menyusun negara, dan menyatakan negara. Sedangkan dalam bahasa Latin kata konstitusi berasal dari 2 (dua) kata yakni “cume” dan “statuere”. Kata “cume” artinya “bersama dengan”, sedangkan “statuere” adalah “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan atau menetapkan”. Dengan demikian pengertian konstitusi dalam bentuk tunggal (konstitutio) adalah menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan pengertian konstitusi dalam bentuk jamak (constitusiones) adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan.[2]

Negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris memakai istilah constitution yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai konstitusi. Sedangkan istilah UUD merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Gronwet”.[3] Selain gronwet, Belanda juga mengenal istilah constitutie.[4]

Menurut Jimly Asshiddiqie, konstitusi bukan merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintahan, melainkan merupakan peraturan yang dibuat oleh rakyat untuk mengatur pemerintahan, dan pemerintahan itu sendiri. Tanpa keberadaan konstitusi, maka sama dengan kekuasaan tanpa kewenangan. Konstitusi adalah hukum dasar, norma dasar, dan sekaligus paling tinggi kedudukannya dalam sistem bernegara. Namun, sebagai hukum, konstitusi itu sendiri tidak selalu bersifat tertulis (schreven constitutie atau written constitution). Konstitusi dalam pengertian arti sempit adalah konstitusi yang bersifat tertulis atau biasa disebut UUD. Sedangkan konstitusi dalam pengertian arti luas adalah konstitusi yang tidak tertulis.[5]

Baca juga: Pengertian Konstitusi dan Praktiknya dalam Ketatanegaraan

 

Pengertian Konstitusi Menurut Para Ahli

Berikut adalah beberapa pengertian konstitusi menurut para ahli:

Konstitusi adalah dokumen yang memuat aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokok-pokok atau dasar-dasar yang sifatnya, baik tulisan maupun tidak tertulis yang mengambarkan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara.[6]

Gronwet atau UUD adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis.[7]

Pengertian konstitusi dibagi menjadi tiga, yaitu konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan (mengandung arti politis dan sosiologis), konstitusi sebagai kaidah yang hidup dalam masyarakat (mengandung arti hukum atau yuridis), dan konstitusi sebagai kesepakatan yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.[8]

Pengertian konstitusi adalah kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan serta hak-hak dari pemerintah dan hubungan antara pemerintah dan yang diperintah, yang menyangkut hak-hak asasi manusia.[9]

Secara sosiologis dan politis, konstitusi adalah naskah yang memuat bangunan negara dan sendi pemerintahan. Konstitusi megandung pengertian yang lebih luas dari UUD. Namun, secara yuridis terdapat faham kodifikasi yang menyamakan konstitusi dengan UUD.[10]

Pengertian konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara, berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengantur, atau memerintah dalam pemerintahan negara.[11]

Kesimpulannya, berdasarkan berbagai pendapat para ahli mengenai pengertian konstitusi, dapat dikatakan bahwa berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa konstitusi meliputi peraturan tertulis dan tidak tertulis.[12] Dengan demikian, konstitusi adalah kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan kekuasaan kepada para penguasa, gambaran dari lembaga-lembaga negara, serta gambaran yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia.[13]

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Referensi:

  1. Dian Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, Yogyakarta: STPN Press, 2017;
  2. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006;
  3. M. Rezky Pahlawan (et.al), Hukum Tata Negara, Banten: Unpam Press, 2020;
  4. Syafa’at Anugrah Pradana, Buku Ajar Hukum Tata Negara, Parepare: Institut Agama Islam Negeri Parepare, 2019.

[1] Syafa’at Anugrah Pradana, Buku Ajar Hukum Tata Negara, Parepare: Institut Agama Islam Negeri Parepare, 2019, hal. 28

[2] Dian Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, Yogyakarta: STPN Press, 2017, hal. 65

[3] M. Rezky Pahlawan (et.al), Hukum Tata Negara, Banten: Unpam Press, 2020, hal. 235

[4] Dian Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, Yogyakarta: STPN Press, 2017, hal. 65

[5] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 200

[6] Dian Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, Yogyakarta: STPN Press, 2017, hal. 65-66

[7] Dian Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, Yogyakarta: STPN Press, 2017, hal. 66

[8] M. Rezky Pahlawan (et.al), Hukum Tata Negara, Banten: Unpam Press, 2020, hal. 236

[9] M. Rezky Pahlawan (et.al), Hukum Tata Negara, Banten: Unpam Press, 2020, hal. 236

[10] Syafa’at Anugrah Pradana, Buku Ajar Hukum Tata Negara, Parepare: Institut Agama Islam Negeri Parepare, 2019, hal. 31

[11] Syafa’at Anugrah Pradana, Buku Ajar Hukum Tata Negara, Parepare: Institut Agama Islam Negeri Parepare, 2019, hal. 32.

[12] M. Rezky Pahlawan (et.al), Hukum Tata Negara, Banten: Unpam Press, 2020, hal. 236.

[13] M. Rezky Pahlawan (et.al), Hukum Tata Negara, Banten: Unpam Press, 2020, hal. 235-236.

Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa-untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa "Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan "dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi :

Oleh Yulianta Saputra, S. H.

LATAR BELAKANG

Dewasa ini banyak masyarakat Indonesia yang mengabaikan arti pentingnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi di Indonesia. Bahkan bukan hanya mengabaikan, namun banyak juga yang tidak mengetahui hakekat dan makna dari konstitusi tersebut.

Terlebih di era globalisasi ini masyarakat dituntut untuk mampu memilah-milah pengaruh positif dan negatif dari globalisasi tersebut. Dengan pendidikan tentang konstitusi diharapkan masyarakat Indonesia mampu mempelajari, memahami dan melaksanakan segala kegiatan kenegaraan berlandasakan konstitusi, hingga tidak kehilangan jati dirinya, apalagi tercabut dari akar budaya bangsa dan keimanannya.

Konstitusi adalah salah satu norma hukum dibawah dasar negara. Dalam arti yang luas: konstitusi adalah hukum tata negara, yaitu keseluruhan aturan dan ketentuan (hukum) yang menggambarkan sistem ketatanegaraan suatu negara. Dalam arti tengah: konstitusi adalah hukum dasar, yaitu keseluruhan aturan dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam arti sempit: konstitusi adalah Undang-Undang Dasar, yaitu satu atau beberapa dokumen yang memuat aturan-aturan yang bersifat pokok. Dengan demikian, konstitusi bersumber dari dasar Negara. Isi norma tersebut bertujuan mencapai cita-cita yang terkandung dalam dasar Negara.

Pernyataan-pernyataan tersebutlah yang membuat penulis mengangkat permasalahan ini ke dalam tema makalah. yang penulis beri judul ‘Sejarah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Konstitusi di Indonesia.’

KILAS BALIK

Sehari pasca kemerdekaan, yakni pada tanggal 18 Austustus 1945, UUD 1945 berhasil disahkan sebagai konstitusi melalui Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI, Dokuritsu Junbi Inkai).

Sebagai negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat, etat de droit), tentu saja eksistensi UUD 1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang panjang hingga akhirnya dapat diterima (acceptable) sebagai landasan hukum (juridische gelding) bagi implementasi ketatanegaraan di Indonesia.

Dalam sejarahnya, UUD 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa jepang dikenal dengan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang beranggotakan 21 orang, diketuai Ir. Soekarno dan Drs. Moh, Hatta sebagai wakil ketua dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa, 3 orang dari Sumatra dan masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. Badan tersebut (BPUPKI) ditetapkan berdasarkan maklumat gunseikan nomor 23 bersamaan dengan ulang tahun Tenno Heika pada 29 April 1945.

Badan ini kemudian menetapkan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka, yang kemudian dikenal dengan nama UUD’1945. Para tokoh perumus itu adalah antara lain Dr. Radjiman Widiodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran Soerjohamidjojo, Soetarjo Kartohamidjojo, Prop. Dr. Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abbas (Sumatra), Dr. Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Mr. Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH. Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul Wachid hasyim dan Mr. Mohammad Hasan (Sumatra).

Latar belakang terbentuknya konstitusi (UUD’45) bermula dari janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di kemudian hari. Janji tersebut antara lain berisi “sejak dari dahulu, sebelum pecahnya peperangan asia timur raya, Dai Nippon sudah mulai berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan pemerintah hindia belanda. Tentara Dai Nippon serentak menggerakkan angkatan perangnya, baik di darat, laut, maupun udara, untuk mengakhiri kekuasaan penjajahan Belanda”.

     Sejak saat itu Dai Nippon Teikoku memandang bangsa Indonesia sebagai saudara muda serta membimbing bangsa Indonesia dengan giat dan tulus ikhlas di semua bidang, sehingga diharapkan kelak bangsa Indonesia siap untuk berdiri sendiri sebagai bangsa Asia Timur Raya. Namun janji hanyalah janji, penjajah tetaplah penjajah yang selalu ingin lebih lama menindas dan menguras kekayaan bangsa Indonesia. Setelah Jepang dipukul mundur oleh sekutu, Jepang tak lagi ingat akan janjinya. Setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas dan leluasa untuk berbuat dan tidak bergantung pada Jepang sampai saat kemerdekaan tiba.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi tampak tak bisa lagi ditawar-tawar dan harus segera diformulasikan, sehingga lengkaplah Indonesia menjadi sebuah negara yang berdaulat, tatkala UUD 1945 berhasil diresmikan menjadi konstitusi oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI, Dokuritsu Junbi Inkai).

HAKEKAT DAN MAKNA PENGESAHAN UUD 1945

Keputusan rapat paripurna PPKI sejatinya sangat krusial lantaran Konvensi Montevideo (1933) tandas menyebutkan syarat minimal eligibilitas untuk diakuinya sebuah negara disandarkan pada dua unsur. Pertama, unsur deklaratif, yakni adanya pengakuan dari negara lain, dan kedua, unsur konstitutif, sebagai anasir pokok yang meliputi adanya rakyat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.

Pada 17 Agustus 1945, menurut fakta (ipso facto) kita memang menyatakan merdeka sebagai sebuah negara. Namun terkait pemerintahan yang berdaulat, dan wilayah, secara yuridis (ipso jure) sesungguhnya baru sah ‘dimiliki’ dan ‘diakui’ pada 18 Agustus 1945 melalui rapat paripurna PPKI yang menetapkan Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta selaku wakil presiden, juga menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia.

Transfigurasi konstitusi dalam hal ini (casu quo) dapat dianggap merupakan piagam kelahiran bagi negara baru (a birth certificate of new state), sehingga relasi (betrekking) konstitusi dengan negaranya amat erat berkelindan, begitu inheren, dan menjadi sesuatu yang mutlak adanya (conditio sine qua non). Tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak memiliki konstitusi. Bayangkan sebuah rumah tanpa fondasi. Berdiri, namun tidaklah kokoh. Begitulah personifikasi fungsi konstitusi, ia menopang dan menjamin tegak kokohnya rumah besar yang bernama negara.

Kemuliaan konstitusi itu pulalah yang menjadikannya sebagai basic law dan the higher law. Dalam konstitusi terdapat pula cakupan pandangan hidup (way of life, weltanschauung) dan inspirasi bangsa yang memilikinya. Dari dalil tersebut konstitusi kemudian dijadikan sebagai sumber hukum (source of law, rechtsbron) yang utama, sehingga tidak boleh ada satupun peraturan perundang-undangan (wettelijk regeling) yang bertentangan dengannya (in strijd zijn met de grondwet).

Kelahiran UUD 1945 pada puluhan tahun silam sesungguhnya merupakan klimaks perjuangan bangsa Indonesia sekaligus sebagai karya agung dari para pendiri bangsa (the founding fathers and mothers). Keistimewaan suatu konstitusi terdapat dari sifatnya yang sangat luhur dengan mencakup konsensus-konsensus (toestemming) tentang prinsip-prinsip (principles, beginselen) esensial dalam bernegara. Dengan demikian, maka konstitusi dapat dikatakan sebagai sebuah dokumen nasional (a national document) bersifat mulia yang notabene adalah dokumen hukum dan politik (political and legal document).

Tentang makna Konstitusi, Sri Soemantri menyebutnya sebagai dokumen formal yang berisi:

  1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu lampau;
  2. Tingkat-tingakat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
  3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu

     sekarang, maupun untuk masa yang akan datang, dan

  1. Suatu keinginan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa

     hendak dipimpin.

Materi substansinya antara lain adalah berupa pembagian dan pembatasan dari pada tugas ketatanegaraan secara prinsipiil, susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental, termasuk juga jaminan terhadap hak asasi manusia (human rights, mensenrechten) serta hak warga negara.

Sedangkan menurut C. F. Strong, “constitutions may be said to be collection of principle according to which the powers of the Governments the rights of the governed and the relation between the two are adjusted.” Dalam arti bahwa konstitusi dapat dikatakan sebagai suatu himpunan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah dan hak-hak yang diperintah serta hubungan antar keduanya.

Ekspektasinya dimaksudkan agar Indonesia kelak menjadi negara yang damai, adil, dan makmur sejalan dengan tujuan negara sebagaimana telah termaktub di dalam mukadimah atau pembukaan (preambule) UUD 1945.

PROSES PERGANTIAN DAN PERUBAHAN

Dalam perjalanan sejarah, konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian baik nama, subtansi materi yang dikandungnya maupun masa berlakunya, beserta perubahan-perubahannya yakni dengan rincian sebagai berikut :

  1. Undang-undang dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949);
  2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus 1950);
  3. Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (17 Agustus  1950-5Juli 1959);
  4. Undang-undang Dasar 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999);
  5. Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999-18 Agustus  2000);
  6. Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I dan II (18 Agustus 2000-9  Nopember 2001);
  7. Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II, dan III (9 Nopember 2001 –  10 Agustus 2002);
  8. Undang_undang Dasar 1945 dan perubahan I,II, III dan IV (10 Agustus 2002).

PERANTI BERNEGARA YANG HARUS DIKAWAL

Eksplanasi tersebut menerangkan bahwa pembentukan konstitusi sangatlah penuh dengan perjuangan. Perjalanan pencarian jati diri bangsa Indonesia berupa sejarah perubahan-perubahan konstitusi juga cukup melelahkan.

Konstitusi memang merupakan tonggak atau awal terbentuknya suatu negara dan menjadi dasar utama bagi penyelenggara negara. Oleh sebab itu, konstitusi menempati posisi penting dan strategis dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Konstitusi memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan negara menuju tujuannya.

Dengan demikian, Konstitusi merupakan media bagi terciptanya kehidupan yang demokratis bagi seluruh warga negara. Dengan kata lain, negara yang memilih demokrasi sebagai sistem ketatanegaraannya, maka konstitusi merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi di negara tersebut sehingga melahirkan kekuasaan atau pemerintahan yang demokratis pula. Kekuasaan yang demokratis dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi perlu dikawal oleh masyarakat sebagai pemegang kedaulatan. Agar nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan tidak diselewengkan, maka partisipasi warga negara dalam menyuarakan aspirasi perlu ditetapkan di dalam konstitusi untuk berpartisipasi dalam proses-proses kehidupan bernegara.

Konstitusi sebagai aturan pokok bernegara (staatsgrundgesetz) niscaya haruslah mendapat pengawalan agar tidak dijadikan sebagai wahana bagi para pihak yang ingin berkuasa.

Daftar Pustaka

Buku

Beni Ahmad Saebani & Ai Waty, 2016, Perbandingan Hukum Tata Negara, Pustaka Setia, Yogyakarta.

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi & Ni’matul Huda, 2013, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta.

Joeniarto, 2001, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta.

Septi Nur Wijayanti & Iwan Satriawan, 2009, Hukum Tata Negara dalam Teori & Prakteknya di Indonesia, Laboratorium Hukum UMY, Yogyakrta.

Soetomo, 1993, Ilmu Negara, Usaha Nasional, Surabaya.

Sri Soemantri, 2014, Hukum Tata Negara Pemikiran dan Pandangan, Remaja Rosdakarya.

____________Konstitusi Indonesia: Prosedur dan Sistem Perubahan Sebelum dan Sesudah UUD 1945 Perubahan, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Surat Kabar

Hendra Kurniawan, Konstitusi bagi Hidup Bernegara, Kedaulatan Rakyat,18 Agustus 2014.