Mengapa tokoh Ayah pada novel Atheis dikatakan bukan seorang Ayah yang baik

BAB I

Dewasa ini, semakin banyak karya-karya sastra yang berkembang di Indonesia. Karya-karya sastra itu mempunyai sesuatu yang khas, sehingga karya sastra selalu berbeda. Itulah yang menjadi alasan bahwa karya-karya sastra sangat patut untuk dipelajari atau ditelaah. Karya sastra sendiri dibagi menjadi tiga, yakni prosa, pusisi, dan drama.

Prosa adalah karya sastra yang berbentuk cerita yang bebas, tidak terikat oleh rima, irama, dan kemerduan bunyi seperti puisi. Prosa dibagi menjadi 2, yakni prosa fiksi dan prosa non fiksi.

Prosa fiksi ialah prosa yang berupa cerita rekaan atau khayalan pengarangnya. Isi cerita tidak sepenuhnya berdasarkan fakta. Prosa fiksi disebut juga karangan narasi sugestif/imajinatif. Prosa fiksi atau prosa baru dapat berbentuk cerpen, novel, dongeng, roman, esai, dan resensi. Sedangkan, prosa non fiksi ialah karangan yang tidak berdasarkan rekaan atau khayalan pengarang tetapi berisi hal-hal yang berupa informasi fakkual (kenyataan) atau berdasarkan pengamatan pengarang. Prosa non fiksi disebut juga karangan semi ilmiah, seperti artikel, tajuk rencana, opini, biografi, tips, reportase, jurnalisme baru, iklan, pidato, dan feature.

Makalah ini akan membahas mengenai salah satu sebuah prosa fiksi yang sangat terkenal di Indonesia, yakni novel Atheis karya Achdijat Karta Miharja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia novel ialah karangan prosa yang panjang dan mengandung cerita kehidupan seseorang dengan orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

Makalah berjudul “Analisis Novel Atheis Karya Achdijat Karta Miharja” ini akan memaparkan mengenai unsur-unsur struktur cerita yang terdapat didalam novel Atheis ini. Struktur cerita sendiri ialah unsur-unsur instrinsik yang terdapat dalam novel. Unsur Intrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur suatu karya sastra.

1.      Apa saja unsur-unsur struktur cerita dalam novel Atheis?

Makalah ini bertujuan dan manfaat agar para membacanya mengetahui mengenai unsur-unsur struktur cerita yang terdapat di dalam novel Atheis karya Achdiat Kart Mihadja. Makalah ini juga diharapkan dapat menjadi acuan untuk mengenal unsur-unsur struktur cerita yang terdapat di dalam novel Achdiat Karta Miharja ini. Penyusun juga berharap bahwa makalah ini akan berguna bagi pembacanya.



I.          Identitas Novel Atheis

Mengapa tokoh Ayah pada novel Atheis dikatakan bukan seorang Ayah yang baik


Penulis                             : Achdijat Karta Miharja

Penerbit                           : Balai Pustaka, Jakarta

Tahun Terbit Pertama      : 1949



II.       Sinopsis Novel Atheis

Kisah ini diawali dengan Tokoh Aku dan Rusli membantu Kartini berjalan keluar dari kantor Ken Petai karena Kartini tidak sanggup berjalan tegak akibat sangat tergoncang dengan kematian mantan suaminya, Hasan.

Kemudian tokoh Aku menceritakan mengenai awal pertemuannya dengan Hasan di rumahnya, Hasan mengatakan bahwa ia sangat ingin berkenalan dengan tokoh Aku. Ia mengatakan bahwa dari dulu ia selalu ingin berkenalan dengan orang yang mempunyai banyak pengalaman. Tokoh Aku menceritakan bahwa setiap Hasan mengunjungi rumahnya, ia selalu mengenakan mantel gabardine hijau tua yang tertutup lehernya, topi vilt hitam bermerk Borsalino. Suatu malam, Hasan membawa sebuah portefeuile yang berisikan naskah yang ia buat sendiri. Ia sangat ingin tokoh Aku untuk membaca naskahnya. Naskah itu bercerita mengenai perjalanan hidup Hasan sendiri.

Naskah itu diawali dengan Hasan menceritakan kehidupan masa kecilnya, ia dibesarkan oleh orang tua yang sangat taat dan rajin ibadah. Orang tuanya memberikan pendidikan agama sedari ia kecil, sehingga ia tumbuh dewasa menjadi orang yang saleh. Suatu hari, ketika Hasan akan pergi ke Bandung untuk bekerja ia mengatakan kepada ayahnya bahwa ia ingin mempelajari ilmu yang dianuti oleh ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya sangat bahagia ketika Hasan mengatakan hal tersebut.

Hasan menjadi pribadi yang sangat saleh, tidak memikirkan duniawi, dan tidak pernah lelah untuk melakukan kewajibannya terhadap Tuhan karena ia telah memilih untuk memiliki ilmu seperti kedua orang tuanya. Hingga suatu hari, di tempatnya bekerja ia bertemu dengan teman lamanya bernama Rusli. Saat itu, Rusli bersama dengan seorang wanita cantik bernama Kartini. Hasan jatuh cinta terhadap Kartini, ia seakan melihat Rukmini gadis yang sangat dicintai saat pertama kali bertemu dengan Kartini.

Suatu hari, Hasan mengunjungi rumah Rusli disana ia berbincang-bincang dengan Rusli mengenai banyak hal dan betapa terkejutnya ia ketika ia mengetahui bahwa Rusli adalah seseorang yang tidak mempercayai akan keberadaan Tuhan. Di rumah Rusli juga ia mengetahui bahwa Kartini adalah seorang wanita modern yang sangat bebas, seorang wanita yang selalu mengenakan model kebaya modern bahkan ia adalah seorang wanita yang merokok. Melihat apa yang terjadi terhadap kedua temannya, Hasan berencana untuk membuat kedua temannya tersebut berjalan di jalan yang benar. Ia ingin membuat Hasan dan Kartini percaya akan Tuhan kembali.

Beberapa waktu setelahnya saat Hasan, Kartini, dan  Rusli berjalan-jalan mereka bertemu dengan teman Rusli yang bernama Anwar. Anwar adalah seorang yang atheis pula, bahkan ia menganggap dirinya adalah Tuhan. Ia adalah seorang yang sangat periang dan suka tertawa, semua cerita yang terlontar dari mulutnya selalu hidup.

Semakin Hasan mengenal Kartini, Anwar, dan Rusli, ia merasa bahwa apa yang selalu mereka obrolkan sangat menarik. Ia mulai membaca buku-buku yang sering dibaca oleh Rusli, ia juga mulai berdiskusi mengenai banyak hal dengan Anwar dan Rusli. Bahkan, kini Hasan tidak lagi menunaikan kewajibannya terhadap Tuhan karena menganggap bahwa semua itu sia-sia seperti yang dikatakan Rusli bahwa Tuhan dan agama ada karena manusia membuat mereka ada. Hasan kini hanya melakukan kegiatan duniawi tanpa peduli akan kewajibannya terhadap Tuhan lagi.

Hasan dan Kartini akhirnya menikah. Hasan tidak lagi peduli terhadap keluarganya, ia tidak ingin lagi menjadi orang munafik yang mengerjakan pura-pura melakukan kewajiban untuk menyembah Tuhan di depan orang tuanya. Ia bahkan bertengkar dengan ayahnya dan mengatakan bahwa ia tidak ingin lagi melakukan semua hal yang sia-sia seperti yang dilakukan kedua orang tuanya.

Kehidupan pernikahan antara Hasan dan Kartini tidak semulus yang diharapkan oleh Hasan, hal ini dimulai ketika Kartini membaca surat yang dikirimkan ayah Hasan bahwa ia tidak akan merestui pernikahannya dengan Kartini. Ayahnya mengatakan bahwa Kartini adalah wanita yang tidak pantas untuk dinikahi dan Kartini-lah yang membuatnya murtad. Semenjak saat itu, Kartini jarang berada di rumah. Setiap Hasan pulang dari kantor, ia tidak pernah melihat Kartini. Mimi pembantu rumah tangga mengatakan bahwa Kartini sedang keluar bersama Anwar, mendengar ucapan itu ia sangat marah. Ketika Kartini pulang, ia memarahi Kartini, menamparnya, bahkan menjambak Kartini. Ia mengatakan sumpah serapah terhadap Kartini dan menganggap bahwa Kartini berselingkuh dengan Anwar.

Naskah yang dibaca oleh tokoh Aku berakhir. Tokoh Aku heran ketika sudah lama Hasan tidak mengunjungi rumahnya lagi dan ia mendapatkan kabar bahwa Hasan ditahan oleh tentara Jepang. Setelah mendapatkan kabar tersebut, ia memutuskan untuk melanjutkan naskah  buatan Hasan dengan menambahi cerita mengenai Hasan yang ditahan. Sehingga, tokoh Aku berkeliling mencari tahu mengenai alasan Hasan ditahan oleh tentara Jepang kepada orang-orang di sekitar Hasan.

Naskah lanjutan itu diawali dengan cerita Kartini yang akhirnya memutuskan untuk keluar dari rumahnya, diperjalanan ia bertemu dengan Anwar. Kemudian, Kartini menceritakan mengenai Hasan yang kini mulai memukulnya setiap ia marah. Anwar menghasut Kartini untuk meninggalkan Hasan, ia mengatakan bahwa Hasan tidaklah pantas memukul seorang wanita apalagi istrinya. Akhirnya, Anwar dan Kartini memutuskan untuk menginap di sebuah hotel. Tanpa Kartini tau, ternyata Anwar hanya menyewa satu kamar dan disana Anwar hampir memperkosa Kartini. Kartini yang telah melepaskan diri dari Anwar kemudian berlari keluar meninggalkan Anwar di hotel.

Beberapa bulan kemudian, Hasan yang baru saja bersembunyi karena adanya serangan dari sekutu akhirnya memutuskan untuk tinggal di sebuah hotel. Saat ia membuka-buka buku tamu, ia bergitu terkejut melihat tulisan “Anwar dan istri”. Hasan sangat marah setelah amat penjaga hotel menceritakan mengenai sosok istri Anwar karena sosok itu adalah Kartini yang saat itu masih berstatus menjadi istrinya. Ia yang awalnya lelah tiba-tiba merasa sangat kuat lalu keluar dari hotel. Ia mengutuki semua yang terjadi terhadapnya, mengutuk Rusli dan Anwar yang membuatnya menjadi seorang atheis dan menyalahkan mereka. Hingga tiba-tiba ia tertembak karena dianggap sebagai mata-mata dan setelah berguling-guling akibat tembakan itu akhirnya Hasan tak bergerak kembali.

III.    Unsur-Unsur Struktur Cerita Novel Atheis

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tema adalah pokok pikiran atau dasar cerita yang dipercakapkan, yang digunakan sebagai dasar mengarang, mengubah sajak, dan sebagainya.

Tema yang terdapat dalam novel ini ialah “Kepercayaan Manusia”, alasannya adalah karena di dalam novel ini tokoh utama dan tokoh-tokoh yang mengelilinginya memiliki watak yang sangat bertolak belakang. Hasan sebagai tokoh utama yang pada awalnya sangat taat beribadah dan mengabdikan hidupnya pada perintah Tuhan, kemudian akhirnya menjadi tidak mempercayai adanya Tuhan karena terpengaruh oleh teman-temannya, yakni Rusli, Kartini, dan Anwar. Kepercayaan manusia merupakan latar belakang terjadinya setiap cerita dalam novel ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa novel ini mempunyai tema “Kepercayaan Manusia”.

Tokoh adalah peran yang terdapat dalam suatu karya sastra yang dapat dibedakan menjadi tokoh utama, tokoh sampingan, tokoh protagonis, tokoh antagonis, tokoh tritagonis dan lain sebaginya. Sedangkan, penokohan adalah merupakan sebuah citra (perwatakan) dalam sebuah karya sastra.

Tokoh dan penokohan yang terdapat dalam novel Atheis ini antara lain:

Memiliki watak yang baik, percaya diri, dan suka menasihati. Hal ini dapat dibuktikan melalui:

“Tiada lain, karena… ah entahlah saya selalu ingin berkenalan dengan orang yang telah banyak berpengalaman hidup.”

“Bagaimana?” tanyaku agak heran. Tapi terasa olehku, bahwa keriangan lebih terdengar dalam bunyi suaraku itu daripada rasa keheranan. (halaman 11)

Melalui dialog dan narasi diatas kata memiliki makna bahwa tokoh Aku sangat percaya diri karena pujian tersirat yang ditujukan kepadanya. Kata “keriangan” juga semakin membuktikan sifat tokoh Aku yang percaya diri.

“Yah…(berat dia mengeluh). Terasa olehku bahwa tak lama lagi saya sendiri pun akan mengalami segala apa yang diceriakan oleh temanku kemarin itu.”

“Kenapa Saudara pesimistis? Janganlah Saudara berkata begitu, Saudara masih muda. Masih kuat. Tegaklah!” (halaman 189)

Melalui dialog di atas dapat dibuktikan bahwa Tokoh Aku merupakan tokoh yang suka menasihati, dalam dialog tersebut terlihat jelas bahwa ia menasehati agar Hasan tidak pesimis.

Memiliki watak yang rendah hati, taat beragama, , suka mencurigai, mudah terpengaruh, dan penyemburu. Hal ini dapat dibuktikan melalui:

Saya mengerti. Hasan terlalu perendah hati untuk memberi jawaban yang lain bunyinya. (halaman 14)

Melalui narasi di atas tertulis dengan jelas bahwa tokoh Hasan memiliki sifat rendah hati.

Seperti lima-enam bulan yang lalu aku sangat rajin beribadat, melakukan sembahyang, puasa dan lain-lain, maka sekarang aku rajin membaca buku dan bertukar pikiran dengan Rusli atau kawan-kawan yang lain. (halaman 128)

Melalui narasi tersebut dapat dibuktikan bahwa Hasan dulunya merupakan orang yang sangat beribadat namun kemudian terpengaruh oleh teman-temannya.

…Api cemburu tiba-tiba menyala lagi. Bangkit pula aki. Kembali ke pintu… (halaman 173)

Melalui narasi di atas dapat dibuktikan bahwa Hasan merupakan tokoh yang penyemburu.

Memiliki watak yang sangat mencintai Hasan, dan berkehidupan bebeas. Hal ini dapat dibuktikan melalui:

Bercucuran air matanya. Ia seakan-akan berpijak di atas dunia yang tidak dikenalnya lagi. Hampa, kosong, serba kabur seperti di dalam mimpi. (halaman 10)

Melalui narasi diatas dapat diketahui bahwa “ia” yang merupakan Kartini sangat rapuh ketika Hasan meninggal, sehingga dapat diketahui bahwa Kartini sangat mencintai Hasan.

Memiliki watak yang baik, jahil, tidak mempercayai Tuhan, dan pandai berbicara. Hal ini dapat dibuktikan melalui:

Rusli berdaya upaya untuk membujuk-bujuknya, untuk melipurkan segala kesedihannya…(halaman 10)

Melalui narasi diatas dapat diketahui bahwa Rusli merupakan orang yang baik, karena ia sangat berupaya agar temannya tidak sedih.

Hanya dalam dua hal kami tidak pernah bersama-sama, yaitu kalau Rusli berbuat nakal, dan apabila aku sembahyang. Orang tuaku melarang nakal, menyuruh sembahyang. Orang tua Rusli tak peduli.

Dan kalau kami bersama-sama pergi ke masjid, maka aku untuk sembahyang, sedang Rusli untuk mengganggu khatib tua yang tuli atau untuk memukul-mukul bedug. Dan tak jarang pula aku sendiri diganggunya dalam sembahyang, dikili-kilinya telingaku, aku dipeluknya dari belakang, kalau aku sedang berdiri hendak melakukan rakaat pertama. (halaman 33)

Melalui narasi singkat di atas dapat diketahui bahwa Rusli merupakan tokoh yang jahil ketika ia kecil.

Pandai benar Rusli bercerita, sehingga aku yang mula-mula beku terhadap film itu, sekarang turut pula tertawa kalau Rusli tertawa, dan turut membilang “hebat” kalau Rusli menceritakan keindahannya. (halaman 64)

Melalui narasi di atas dapat dibuktikan bahwa Rusli merupakan orang yang pandai bercerita.

“Ah mengapa Saudara berkata begitu? Itu pikiran kolot. Tuhan tidak ada, Saudara!” (halaman 67)

Kata Rusli tadi, “Agama dan Tuhan adalah bikinan manusia…” (halaman 75)

Melalui dua dialog diatas dapat dibuktikan bahwa Rusli tidak mempercayai adanya Tuhan.

Memiliki watak yang periang, tidak mempercayai Tuhan, kurang sopan, pemberani, suka menghasut. Hal ini dapat dibuktikan melalui:

Sambil menunggu makanan, kami bercakap-cakap lagi. Anwar ternyata seorang periang. Suka tertawa. (halaman 102)

Melalui narasi di atas dapat dibuktikan bahwa Anwar merupakan tokoh yang periang.

“Kalau menurut saya,” sambung Anwar, “Tuhan itu adalah aku sendiri (telunjuknya sendiri menusuk dadanya). (halaman 104)

Melalui narasi di atas dapat dibuktikan bahwa Anwar merupakan tokoh yang tidak mempercayai adanya Tuhan karena ia beranggapan bahwa Tuhan ialah dirinya sendiri.

“…Hai jongos! Mana air tehku?” (halaman 106)

Melaui dialog yang diucapkan oleh Anwar tersebut, terlihat bahwa ia adalah orang yang tidak sopan.

…Apalagi pada Anwar, yang sudah menjadi sifatnya untuk mendesak-desak. Dan Kartini didesak-desaknya supaya apa yang telah terjadi itu. (halaman 200)

Melalui narasi di atas dapat dibuktikan bahwa Anwar merupakan tokoh yang suka mendesak.

Ia sebenarnya sudah bukan bercerita biasa lagi, melainkan menghasut melulu. Menghasut Kartini terhadap Hasan. (halaman 202)

Melalui narasi di atas dapat dibuktikan bahwa Anwar merupakan tokoh yang suka menghasut.

Memiliki watak yang religius, dan baik hati. Hal ini dapat dibuktikan melalui:

Baik ayah maupun ibu merasa sangat bahagia dengan anak pungutnya itu. Bukan karena mereka seolah-oleh mempunyai anak lagi, melainkan juga oleh karena dengan demikian, mereka itu sudah berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh agama, ialah menolong anak yatim. (halaman 20)

Melalui narasi di atas dapat membuktikan kedua sifat yang dimiliki orang tua Hasan, yakni religius dan baik hati. Religius serta baik hati dapat dilihat dari mereka yang melakukan kewajiban agamanya untuk menolong anak yatim.

Memiliki watak yang suka membentak, pintar mendongeng, dan penakut. Hal ini dapat dibuktikan melalui:

Pak Artasan, suara geram tadi itu, ternyata bukan saja pandai membentak, tapi juga pandai mendongeng. (halaman 143)

Melalui narasi di atas dapat dibuktikan bahwa Pak Artasan merupakan tokoh yang suka membentak namun pintar mendongeng.

Pak Artasan rupanya masih agak takut-takut. (halaman 148)

Melalui narasi di atas dapat dibuktikan bahwa Pak Artasan merupakan orang yang penakut.

Memiliki watak yang penakut dan . Hal ini dapat dibuktikan melalui:

Dari cahaya korek api itu, nampaklah Pak Artasan dan Pak Ahim dengan muka keheran-heranan dan agak takut, mendengar perkataan Anwar tadi.

Melalui narasi di atas dapat dibuktikan bahwa Pak Ahim merupakan tokoh yang penakut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama dan menggerakkan jalan cerita melalui kerumitan ke arah klimaks dan penyelesaian berdasarkan sebab akibat.

Alur yang terdapat dalam novel Atheis ini ialah jenis alur sjuzet, yakni penyajian motif, susunan peristiwa yang tidak disusun secara kronologis disebut deotomisasi/ defimilirasasi, penyimpangan sususan peristiwa.

Alur yang terdapat dalam novel ini juga dapat disebut sebagai alur sorot-balik (flashback), alasannya karena tahapan alur yang terdapat dalam novel ini tidak disusun secara berurutan melalui tahap pengenalan-tahap pemunculan konflik-tahap peningkatan konflik-tahap klimaks-tahap penyelesaian, melainkan diawali melalui tahap penyelesaian-tahap pengenalan-tahap permunculan konflik-tahap peningkatan konflik-tahap klimaks.

Berikut adalah tahapan-tahapan alur yang terdapat dalam novel Atheis:

Tahap penyelesaian merupakan tahap yang pertama dalam alur novel Atheis, hal ini dapat dibuktikan dengan bab awal dalam novel ini yang membahas mengenai kematian Hasan, dimana diceritakan bahwa Kartini sangat terpukul akan kematian  Hasan yang sangat ia cintai dan tokoh Aku serta Rusli berusaha untuk menenangkan Kartini.

Tahap pengenalan ini terdapat dalam bab II, III, dan IV dalam novel. Bab II menceritakan mengenai Hasan yang datang di rumah tokoh Aku, kemudian Hasan yang memberikan naskah buatannya kepada tokoh Aku. Bab II merupakan bagian dimulainya cerita Hasan, dimana Hasan berubah menjadi “tokoh Aku”. Dalam bab III ini, merupakan pengenalan kedua, dimana dalam bab ini menceritakan kehidupan masa kecil Hasan dan kedua orang tuanya. Bab IV menceritakan mengenai pertemuan Hasan dengan Rusli, teman masa kecilnya. Dalam bab ini Hasan juga bertemu dengan Kartini, seorang wanita modern dan bebas. Dalam bab ini diceritakan mengenai karakter Rusli serta Kartini, dan Hasan yang mulai dekat dengan keduanya.

3.3  Tahap Permunculan Konflik

Tahap permunculan konflik ini muncul pada bab V-VIII, dimana dalam bab V ini muncullah tokoh baru, yakni Anwar, ia seorang yang atheis sama seperti Rusli dan Kartini bahkan ia menganggap dirinya sendiri adalah Tuhan. Bab VI-VIII menceritakan mengenai Hasan yang mulai tertarik dengan paham yang dipercayai oleh Rusli, bahkan ia mulai membaca dan bertukar pikiran mengenai buku-buku Rusli. Dalam bab VI-VIII ini Hasan sudah tidak mempercayai Tuhan, ia merasa bahwa semua yang dikatakan oleh Rusli dan Anwar adalah benar.

3.4  Tahap Peningkatan Konflik

Tahap peningkatan konflik ini terdapat pada bab IX-XI, dimana konflik meningkat dimulai dari Hasan dan Anwar yang mengunjungi kampung halaman Hasan, kemudian Hasan mulai berseteru dengan kedua orang tuanya. Hasan terang-terangan bahwa ia tidak ingin lagi menjadi seperti kedua orang tuanya yang melakukan hal yang sia-sia. Kemudian peningkatan konflik ini diakhiri dengan Hasan yang akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Kartini.

Tahap Klimaks ini terdapat pada bab XII hingga akhir, atau bab XV. Tahap klimaks ini dimulai dari Kartini yang membaca surat yang diberikan oleh ayah Hasan, yang menyebutkan bahwa ayahnya tidak merestui Hasan menikah dengan wanita seperti Kartini. Ayah Hasan mengatakan dalam surat tersebut bahwa Kartini ialah wanita yang merusak Hasan. Suasana semakin menegangkan saat Hasan mengetahui bahwa Kartini sering pergi bersama Anwar saat ia tidak ada di rumah, karena api cemburu akhirnya ia bertengkar hebat dengan Kartini bahkan hingga memukul  Kartini. Tahap klimaks ini diakhiri dengan Hasan yang tertempak oleh tentara Jepang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), latar adalah keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Latar sendiri dibagi menjadi 2, yakni latar fisik dan latar sosial.

Latar fisik, dibagi menjadi 2, yakni latar tempat dan latar waktu. Berikut adalah latar tempat dan latar waktu yang terdapat dalam novel Atheis:

Latar tempat yang terdapat dalam novel Atheis antara lain:

Sempoyongan Kartini keluar dari sebuah kamar dalam kantor Ken Petai.

Ketika itulah perkenalanku mulai dengan seorang laki-laki yang memerkukan datang pada suatu sore ke rumahku.

Pada suatu hari, ketika aku sudah dewasa dan kebetulan berpakansi ke Panyeredan, berkatalah aku kepada Ayah…

Ayah sedang membaca kitab “Illya Ulum Adin” di serambi muka, ketika delman berhenti di muka rumahku. (“rumahku” dalam narasi tersebut berartikan rumah Hasan karena adanya perubahan “tokoh aku” dalam cerita)

Masa bulan puasa aku ikut sembahyang terawih di langgar.

Sambil mendayung ke Gang Kebon Manggu, bertanya-tanyalah aku dalam hati,…

Tepat jam setengah lima seperti telah dijanjikan, aku tiba di rumah Rusli.

8.      Rumah Bibi, tempat kos Hasan

Sampai di rumah, aku terus bergegas ke kamar mandi. Bunyi tabuh telah menghilang, ketika aku masih mendayung di jalan Raden Dewi. (“rumah” dalam narasi tersebut berartikan rumah bibi yang ditinggali Hasan saat ia berada di  Bandung)

“Ada!” sahut si Mimi, ketika kami sudah sampai di rumah Kartini.

… kata Anwar, ketika mereka lewat ke sebuah restoran kecil.

Di bioskop perhatianku tidak genap.

Kereta api merayap-rayap, seakan-akan segan ditumpangi orang-orang atheis seperti kami.

…Ia bergegas keluar hotel.

Stasiun Bandung sudah samar-samar diselimuti oleh senja…

Latar waktu yang terdapat dalam novel Atheis antara lain:

Subuh-subuh benar mereka sudah berangkat dari rumah hendak memburu kereta api yang paling pagi.

Tapi ya, karena masih siang, tentu tidak akan mencurigakan apa-apa, pikirku selanjutnya.

Sore itu kawan-kawan berkumpul di rumah Rusli.

Malam itu aku merasa kecewa, karena sudah masak kuidam-idamkan akan berkunjung ke rumah Rusli…

“Anwar dengan istri, pedagang, dari  Jakarta, hendak ke Tasikmalaya, tanggal 15 Februari, kamar nomor 8, untuk beberapa malam.”

“…Wah kebetulan sekali sekarang kan malam jumat juga…”

Pada hari kedua, sepulang berjumat dari masjid…

Hari sabtu, kantor-kantor pemerintah hanya bekerja sampai jam satu siang.

…mereka membicarakan soal-soal yang bisa menimbulkan perasaan yang kurang senang bagiku atau perbedaan yang mengganggu suasana hari Minggu itu.

Latar sosial dapat juga berartikan latar suasana, latar suasana yang terdapat dalam novel Atheis antara lain:

1.      Menyedihkan, yaitu ketika Hasan meninggal.

Hasan ternyata telah meninggal dunia. Beberapa menit yang lalu hal itu baru diketahui oleh Karini.

2.      Menegangkan, yakni ketika Hasan bertengkar dengan Kartini.

Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk ke dalam seperti seekor harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya.

Tar! Tar! Kutempeleng Kartini.

“Aduh!” pekiknya, sambil menutup pipinya yang kanan dengan tangannya. Kujambak rambutnya! Kurentakkan dia dengan sekuat tenaga, sehingga ia jatuh tersungkur ke lantai. Kepalanya berdentar kepada daun pintu. Menjerit-jerit minta ampun.

3.      Menakutkan, yakni ketika Hasan dan Anwar pergi ke kuburan.

“Ke kuburan itu. Cari si Jambrong. Saya mau ketemu dengan dia!”

“Ah saya takut, Raden!” jawab Pak Artasan terus terang. Demikianlah pula kata Pak Ahim.

Sudut pandang (point of view) adalah cara pengarang menempatkan dirinya terhadap cerita atau dari sudut mana pengarang memandang ceritanya.

Sudut pandang yang digunakan dalam novel Atheis ini adalah sudut pandang campuran, yakni menggunakan sudut pandang orang pertama bukan utama, sudut pandang orang pertama pelaku utama, dan sudut pandang orang ketiga mahatahu. Sudut pandang orang pertama bukan utama terdapat dalam bab I, II, dan XIII dimana tokoh aku hanya sebagai tokoh yang menceritakan mengenai tokoh lain, yakni tokoh Hasan. Sudut pandang orang pertama pelaku utama terdapat dalam bab III-XII, dimana semua cerita yang terdapat didalamnya hanya dalam pandangan tokoh aku yang merupakan tokoh Hasan. Dan sudut pandang orang ketiga mahatahu terdapat dalam bab XIV-XV, dimana dalam kedua bab itu penulis menggambarkan semua peristiwa yang terjadi seakan-akan melihat secara langsung semua peristiwa yang terjadi didalamnya.

Achdiat Karta Miharja memakai gaya bahasa campuran dalam novel Atheis ini, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa penggunaan bahasa Belanda dan bahasa Jepang dalam dialog antartokohnya seperti:

“zeg” dalam dialog tersebut merupakan bahasa belanda, sedang “bakeru” merupakan bahasa Jepang.

Contoh yang lainnya ialah dalam narasi di bawah ini:

Entahlah, benar juga rupanya kata pepatah Belanda “in de nood leert men bidden.”

Selain mengunakan bahasa campuran, penulis juga menggunakan beberapa majas yang membuat novel ini semakin menarik, yakni:

Majas perumpamaan adalah majas yang membandingkan suatu hal dengan hal yang lain. Dalam novel Atheis majas ini terlihat dalam kutipan:

Rupanya perkataan ayah itu laksana jari yang melepaskan cangkolan gramopon yang baru diputar. (halaman 17)

Majas hiperbola adalah majas yang mengandung pernyataan yang dilebih-lebihkan. Dalam novel Atheis majas ini terlihat dalam kutipan:

Semua kelihatannya sangat lesu, serupa dengan onggokan daging juga yang tak berdaya apa-apa. (halaman 7)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra, yaitu sebuah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.

Amanat yang terkandung dalam novel Atheis ini antara lain:

1.      Janganlah mudah terpengaruh ucapan yang menjeremuskan.

2.      Jadilah orang yang percaya diri, sehingga dapat memilih mana yang baik dan buruk.

3.      Janganlah menjadi orang yang menentang keinginan orang tua.

4.      Janganlah berprasangka buruk terhadap orang lain sebelum mengetaui kebenarannya.

5.      Jangan mudah mengikuti orang lain karena belum tentu orang lain itu benar.



Novel Atheis karya Achdiat Karta Miharja ini merupakan novel yang sangat patut untuk dianalisis, novel ini merupakan novel yang sangat menarik dan sangat patut untuk dibaca. Keunikan novel ini terlihat dari karakter tokoh, gaya bahasa, dan sudut pandang yang digunakan didalamnya. Achdiat Karta Miharja berhasil membuat semua tokoh yang terdapat novel ini menjadi hidup dan membawa pembaca untuk larut didalam ceritanya. Gaya bahasa yang tegas dan apa adanya membuat pembaca mudah untuk masuk kedalam ceritanya. Sudut pandang campuran yang digunakan juga mampu menarik pembaca dan membuat pembaca penasaran, sehingga bertekad untuk membaca hingga akhir novel Atheis ini. Achdiat Karta Miharja juga memberikan amanat-amanat secara tersirat yang membuat pembaca akan berhati-hati dalam pergaul dan mempercayai suatu hal.



Atterkesy. “Makalah  Analisis Novel Atheis Karya Achdiat K. Miharja”. http://atterkesy.blogspot.com diakses pada 10 Juni 2015 pukul 11.47 WIB.

Depdikbud. “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)”. http://kbbi.web.id diakses pada Mei 2015.

Depdikbud. “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)”. http://kbbi.web.id diakses pada Juni 2015.

Miharja, Achdiat K.. 2002. Atheis. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.



Negoro, Firdaus Adi. “Analisis Novel Atheis by Achdiat K. Miharja”. http://miracleofindonesia45.blogspot.com diakses pada 10 Juni 2015 pukul 11.49 WIB.