Mengapa bahasa Melayu bisa menjadi bahasa persatuan di Indonesia?

Bahasa Indonesia digunakan oleh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Marauke.

Senin , 11 Apr 2022, 06:01 WIB

ANTARA/Galih Pradipta

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menolak usulan PM Malaysia menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN.

Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Suwirta, Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FPIPS UPI di Bandung. 

Republika menurunkan berita “Nadiem Tolak Usulan PM Malaysia Jadikan Bahasa Melayu Bahasa Resmi ASEAN”. Adapun alasan penolakan, sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) itu, di antaranya karena perlu kajian mendalam mengingat Bahasa Melayu belum setanding dengan Bahasa Indonesia, yang sudah memiliki keunggulan historis, yuridis, dan linguistik (Republika, 5/4/2022).

Walaupun asal-usul Bahasa Indonesia dalam sejarahnya, berasal dari Bahasa Melayu tapi perkembangan Bahasa Indonesia sangat pesat dan jauh meninggalkan kedudukan dan peranan Bahasa Melayu di Malaysia. Di Indonesia, peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah momentum penting untuk menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Bahasa Indonesia dinyatakan dalam UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 sebagai bahasa negara. Dengan kedudukannya sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, Bahasa Indonesia digunakan oleh rakyat Indonesia dan para pejabat negara dari Sabang di Aceh hingga Merauke di Papua, dari dahulu hingga sekarang, dengan jumlah penutur lebih dari 273 juta orang, atau lebih dari setengah jumlah penduduk ASEAN.

Manakala di Malaysia, Bahasa Melayu belum menjadi bahasa persatuan dan bahasa negara. Walaupun dalam Konstitusi (Perlembagaan) Malaysia sejak merdeka, pada 31 Agustus 1957 dan 16 September 1963, dinyatakan Bahasa Melayu adalah bahasa kebangsaan – bahkan diperkuat oleh Akta Bahasa Kebangsaan pada 1967 – tapi hingga sekarang Bahasa Melayu belum berhasil menjadi “bahasa menunjukkan bangsa”.

Sebabnya, Malaysia adalah negara yang dihuni oleh tiga suku-bangsa atau ras bangsa besar, yakni Melayu, China, dan India. Ras China dan India memandang Bahasa Melayu adalah bahasa ibunda bagi bangsa Melayu saja dan tidak mau digunakan sebagai bahasa nasional oleh bangsa China dan India di Malaysia.

Lagi pula jumlah penduduk bangsa Melayu adalah hanya 60 persen dari jumlah penduduk Malaysia yang berjumlah 33 juta orang. Alhasil penutur Bahasa Melayu di Malaysia tidak melebihi 20 juta orang, atau kurang dari setengah jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat di Indonesia.

Sejarah Bahasa Melayu


Bahasa Melayu, yang merupakan cikal-bakal Bahasa Indonesia, memang memiliki sejarah yang panjang. Sejak zaman kerajaan Sriwijaya pada abad ke-8 Masehi, Bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca, yakni sebuah bahasa yang berfungsi sebagai bahasa antara, atau bahasa pengantar, dan bahasa pergaulan.

Sejak dahulu sampai sekarang, kawasan Nusantara menjadi destinasi menarik bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia untuk melakukan aktivitas perdagangan, budaya, dakwah agama, hubungan diplomatik, dan bahkan politik. Dalam melakukan proses interaksi sosial dan komunikasi, Bahasa Melayu dijadikan lingua franca karena dinilai lebih mudah, fleksibel, dan egalitarian struktur bahasanya.

Di Indonesia sendiri, sebelum merdeka, Bahasa Melayu digunakan oleh berbagai suku-bangsa bila mereka berjumpa di ruang publik, khususnya pasar, sehingga dikenal istilah “Bahasa Melayu Pasar”. Dalam rangka mencari identitas ke-Indonesia-an dan perjuangan kemerdekaan, para tokoh pergerakan nasional di Indonesia menjadikan Bahasa Melayu sebagai media dan senjata perjuangan, serta mengubah nama Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia. Setelah Indonesia merdeka pula, Bahasa Indonesia diajarkan dan digunakan di lembaga pendidikan, sejak TK (Taman Kanak-kanak) hingga PT (Perguruan Tinggi) sebagai bahasa pengantar. Bahasa Indonesia juga wajib digunakan oleh para pejabat negara, dari Presiden hingga Kepala Desa, sebagai bahasa resmi pemerintahan.Di Malaysia, Bahasa Melayu sangat berbeda keadaannya. Baik sebelum maupun sesudah merdeka, Bahasa Melayu belum berhasil menjadi bahasa kebangsaan dan bahasa negara yang sejati. Dalam bidang pendidikan dasar dan menengah, Bahasa Melayu hanya digunakan oleh murid-murid yang belajar di SJK (Sekolah Jenis Kebangsaan) Melayu.

Manakala SJK China dan SJK India lebih suka mengajarkan dan menggunakan Bahasa Mandarin dan Bahasa Tamil (India) sebagai bahasa pengantar. Bahkan para pemimpin dan warga Malaysia sendiri lebih sering dan bangga menggunakan Bahasa Inggris, sebagai bahasa ilmu dan bahasa internasional, daripada Bahasa Melayu yang masih dipandang sebagai bahasa ibu, bahasa rasa, dan bahasa daerah bagi suku-bangsa Melayu.   

RefleksiPenolakan terhadap Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN, sebagaimana dinyatakan Menristekdikti Nadiem Makarim, harus dimaknai sebagai kritik diri dan masukan berharga bagi pemerintah Malaysia. Sejarah perkembangan Bahasa Melayu sangat lambat dan terbatas penggunaannya di Malaysia; berbeda dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dinamis, terbuka, dan luas penggunaannya. Pemerintah dan warga Malaysia harus yakin dengan dirinya sendiri bahwa Bahasa Melayu bisa menjadi bahasa kebangsaan, bahasa negara, bahasa ilmu, dan bahasa pengantar dalam bidang pendidikan dan pemerintahan. Tanpa keyakinan diri dan agenda nyata untuk memartabatkan Bahasa Melayu, ianya akan ditolak tidak hanya oleh negara-negara di ASEAN, bahkan oleh warga negara Malaysia sendiri yang berbilang kaum dan suku-bangsa.Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia telah banyak mengalami beda makna. Seorang Dosen UM (Universitas Malaya) di Kuala Lumpur pernah berkata: “Bila orang Indonesia cakap, setakat 50 peratus sahaja boleh faham”. Saya pikir, begitu pula sebaliknya. Banyak sekali kata yang sama, dengan makna yang berbeda. “Butuh” artinya, maaf, "penis" dalam Bahasa Melayu dan "perlu" dalam Bahasa Indonesia.

“Banci” artinya sensus dalam Bahasa Melayu dan "waria" dalam Bahasa Indonesia. “Ibu pejabat” artinya "kantor pusat" atau "headquarter" dalam Bahasa Melayu dan "istri orang penting" dalam Bahasa Indonesia. Saya harus mengakhiri tulisan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia ini, sebelum menjadi bahasa resmi ASEAN, karena benar-benar telah membuat “pening 7 pusingan”, atau “pusing 7 keliling”, bagi warga Malaysia dan Indonesia sendiri.

  • bahasa indonesia
  • bahasa melayu
  • bahasa resmi asean
  • bahasa melayu asean

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Marsudi Marsudi



Bahasa Indonesia lahir dari Bahasa Melayu yang pada zaman dulu menjadi bahasa lingua franca, yakni bagasa perdagangan antarpulau di nusantara. Kemudian dikukuhkan menjadi bahasa persatuan melalui momen Sumpah Pemuda. Bahasa Melayu menjadi dominan di kala itu dikarenakan fleksibelitasnya akan bahasa-bahasa lain. Dengan fakta tersebut, tepatnya 28 Oktober 1928, bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa persatuan dan tahun 1945 diresmikan sebagai bahasa negara.

Permasalahan yang muncul dalam eksistensi bahasa Indonesia adalah bagaimanakah cara mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia? Tidak hanya masalah eksistensi saja, tetapi sanggupkah bahasa-bahasa daerah di negeri ini memperkaya kosa kata dan istilah bahasa Indonesia? Selain itu, bagaimanakah potensi bahasa Indonesia di era globalisasi?

Eksistensi bahasa Indonesia, selain dipengaruhi kekonsistenan penggunaanya, juga didukung oleh kemampuan bahasa tersebut dalam mengungkapkan fenomena baru yang berkembang. Oleh karena itu, perkembangan bahasa Indonesia sangat tergantung pada tingkat keberhasilan menciptakan kosa kata dan istilah-istilah baru. Bahasa Indonesia sudah mulai mengglobal karena bahasa Indonesia memiliki sifat terbuka dan  demokratis. Perkembangan yang terjadi sekarang dan yang datang tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.



eksistensi bahasa, bahasa persatuan, potensi bahasa, globalisasi bahasa.



Hadiatmaja, Sarjana (dalam Murad.A). 1992. ”Potensi KosaKata Bahasa Jawa untuk Memperkaya Kosakata Bahasa Indonesia”. Kongres Bahasa Indonesia IV. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Halim, Amran. 1980. ”Fugsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia”. Politik Bahasa Nasional 2. Jakarta: Balai Pustaka.

Taha, Zainuddin (penyunting Alwi, Hasan). 2000. ”Kedudukan dan Fungsi Bahasa Daerah dalam Era Globalisasi”. Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi: Pemantapan Peran Bahasa sebagai Sarana Pembangunan Bahasa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

//groups.google.co.id/. Diakses 17 Oktober 2008.

//fiqihsantoso.wordpress.com/2008/01/29/peran-bahasa-indonesia-dalam-usaha-persatuan-indonesia/. Diunduh pada tanggal 17 Oktober2008

ntoso.wordpress.com/2008/01/29/peran-bahasa-indonesia-dalam-usaha-persatuan-indonesia/). Diunduh pada tanggal 18 Oktober 2008.

//www.feunpak.web.id/jima/orasi_dendysugono.htm. Diunduh pada tanggal 18 Oktober 2008.

//cabiklunik.blogspot.com/2007/09/bahasa-indonesia-merekat-bangsa.html. Diunduh pada tanggal 18 Oktober 2008.


DOI: //dx.doi.org/10.12962/j24433527.v1i2.674

  • There are currently no refbacks.

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.

p-ISSN (1979-5521)  e-ISSN (2443-3527)

 

      
         
 

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA