Makna dipilih secara demokratis sesuai mekanisme pemilihan kepala daerah

Sebelum terselenggaranya Pilpres 9 Juli 2014, pembahasan RUU Pemilukada mengarah pada keinginan untuk mempertahankan pilkada kabupaten/kota dipilih secara langsung. Namun kini yang berkembang di DPR periode 2009-2014 pada masa akhir jabatannya adalah pilkada dilakukan oleh DPRD. Perubahan arah ini tentu sangat mengejutkan bagi pegiat demokrasi dan bagi perkembangan demokrasi di Tanah Air.

Mesti dipahami bahwa penyelenggaraan pemilukada berdasarkan pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, "Gubernur, Bupati, Wali Kota dipilih secara demokratis." Terhadap ketentuan ini kemudian di-breakdown ke dalam UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menjadi "Pemilihan kepala daerah yang kemudian disebut gubernur, bupati, dan wali kota sepenuhnya menjadi kewenangan DPRD. Pemerintah pusat hanya melantik dan mengesahkan hasil pemilihan kepala daerah yang sepenuhnya dilakukan oleh DPRD".

Berdasarkan UU No 22 Tahun 1999, sesungguhnya telah terjadi kemajuan dalam hal pemilihan kepala daerah yang semula sentralistik menjadi desentralisasi oleh DPRD. Namun, pergeseran dari sentralistik ke desentralisasi ini belum memberikan jaminan bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah akan berjalan lebih baik. Justru berdasarkan UU ini, pelaksanaan pilkada banyak masalah serius, antara lain, distorsi antara siapa yang diinginkan rakyat dengan pilihan anggota DPRD.

Hal tersebut terjadi karena masih kuatnya dominasi pimpinan partai politik (DPP) yang memberikan restu kepada calon yang boleh diajukan dalam arena pilkada. Dalam hal ini DPP partai politik dalam pelaksanaannya turut menentukan calon dan yang akan dipilih.

Sayangnya anggota DPRD lebih mendengarkan suara elite politik di partainya ketimbang suara rakyat yang diwakilinya. Juga terjadi politik uang pada proses pendaftaran hingga pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD mengingat penentu yang diterima dan tidak sebagai bakal calon adalah fraksi di DPRD.

Beberapa masalah itu kemudian digagas pilkada secara langsung oleh rakyat yang dikonkretkan dengan terbitnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Perubahan hukum pilkada terjadi pada cara memilih kepala daerah. Semula pilkada dilakukan atas dasar pencalonan fraksi-fraksi di DPRD dan dipilih oleh anggota DPRD menjadi dicalonkan oleh partai politik yang memperoleh suara 15 persen dari jumlah kursi DPRD kemudian dipilih secara langsung oleh rakyat.

Dominasi pemerintah pusat memang berkurang, tapi semangat sentralistik masih terasa. Hal itu masih dirasakan cara partai politik mengajukan calon gubenur, bupati, atau wali kota masih menggunakan restu-restuan dari DPP partai politik yang berkantor di Jakarta.

Harus dipahami juga, jika gagasan ini disetujiui DPR dan disahkan Presiden, maka akan terjadi perubahan konsekuensi pertanggungjawaban. Sebab, jika bupati/wali kota dipilih oleh rakyat, maka bupati/wali kota bertanggungjawab kepada rakyat. Dengan demikian jika dipilih oleh DPRD, maka bupati/wali kota bertanggung jawab kepada DPRD. Pengalaman tahun tahun lalu, ketika bupati/wali kota dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD, bupati/wali kota cukup repot menghadapi manuver politik anggota DPRD saat bupati/wali kota menyampaikan laporan pertanggungjawaban per tahunnya. Tentu saja hal ini cukup mengganggu jalannya pemerintahan.

Selain itu, pemilihan pilkada oleh DPRD mengandung beberapa kelemahan, yakni terjadi ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan antara kepala daerah selaku penyelenggara kekuasaan eksekutif dan DPRD sebagai lembaga legislatif. Dapat dipastikan akan terjadi model pemerintahan yang berbentuk legislative heavy karena kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya, yakni DPRD.

Jika ini yang terjadi, justru bertolak belakang dengan gagasan demokratisasi yang menghendaki adanya check and balances berbasis trias politica. Kepala daerah akan diperlakukan sebagai "bawahan" DPRD dan dipermainkan oleh DPRD jika kepala daerah tidak mengakomodasi kepentingan politik anggota Dewan Perwakilan Daerah. Kondisi ini akan mempersempit kebebasan kepala daerah dalam berinovasi membangun daerahnya.

Makna Pasal 18 (4) UUD 1945

Merujuk pada dua ketentuan yang termuat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 56 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tidak ditemukan satu kata pun bahwa pilkada diselenggarakan secara langsung. Yang ditemukan adalah kata dipilih secara demokratis.

Maka perlu dikupas lebih jauh makna kata demokratis. Sebab, demokratis bisa dimaknai demokrasi secara langsung, demokrasi secara perwakilan, atau bahkan secara progresif dapat diartikan disetujui oleh seluruh rakyat secara aklamasi, pun juga cara yang tidak kurang nilai demokratisnya.

Maka, pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati yang sejak berlakunya UU No 32 Tahun 2004 diselenggarakan secara langsung saja, tapi bisa dilakukan dengan tiga cara: demokrasi perwakilan oleh DPRD, demokrasi secara langsung oleh rakyat, atau secara aklamasi.

Khusus untuk pemilihan gubernur, bisa dengan alternatif gubernur dipilih oleh anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kota/kabupaten dalam wilayah provinsi, tapi pertanggungjawaban tetap pada rakyat. Dengan demikian gagasan ini bisa dijadikan jalan lain  antara pemilihan gubernur oleh DPRD dan secara langsung oleh rakyat atau secara penetapan oleh DPRD, (contoh gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta). Cara-cara tersebut tidak melampau makna dipilih secara demokratis sehingga tidak melanggar ketentuan UUD 1945.

Untuk menentukan pilihan apakah dilakukan secara langsung, dipilih oleh DPRD atau penetapan oleh DPRD dikembalikan kepada kemauan dan kesiapan daerah masing masing. Selama ini, pemilukada yang diselenggarakan secara langsung sudah berjalan baik, maka terus diselenggarakan secara langsung. Sedangkan yang masih berujung konflik masif, perlu dipikirkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Pemerintah daerah bersama DPRD dan segenap komponen masyarakat diberi kebebasan menentukan apakah penyelenggaraan pilkada dilakukan secara langsung, perwakilan atau penetapan oleh DPRD. Sedangkan, untuk pemilihan gubernur bisa dilakukan dengan dipilih oleh anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kota/kabupaten dalam wilayah provinsi setempat.

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berdasarkan pada kemauan dan kesiapan masing masing daerah, maka dapat dipastikan penyelenggaraan pilkada akan dapat berlangsung lebih khidmat dan tidak kehilangan nilai demokrasinya. Sekarang tinggal daerah mana yang mencoba pilkada sesuai kondisi masyarakat setempat. Karena pada hakikatnya, rakyat Indonesia menghormati dan menghargai keanekaragaman, termasuk dalam hal berdemokrasi.

Sulardi

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonom. Sebagai daerah otonom, daerah provinsi dan kabupatenjkota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah baik di daerah provinsi maupun kabupatenjkota, yang merupakan eksekutif di daerah, sedangkan DPRD baik di daerah provinsi maupun daerah kabupatenjkota merupakan lembaga legislatif daerah.

KUPANG-Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana, Nikolaus Pira Bunga berpendapat, makna tentang kepala daerah dipilih secara ’demokratis’ tidak jelas atau kabur."Dalam rumusan pasal 18 ayat 4 UUD 1945 sangat jelas yakni gubernur, bupati dan wali kota sebagai kepala daerah dipilih secara demokratis. Pengertian demokratis disini berarti dipilih oleh rakyat atau DPRD juga demokratis," kata Pira Bunga, di Kupang, Senin terkait reaksi parpol dan masyarakat atas putusan DPR mengesahkan UU Pilkada.Dia menjelaskan, mekanisme pemilihan presiden dan wapres jelas yakni dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi gubernur, bupati dan wali kota dipilih secara demokratis."Siapa pemilihnya? anggota DPRD atau rakyat. Harus diperjelas siapa pemilih dalam pemilihan secara demokratis itu," katanya seperti dikutip Antara.Menurut dia, gubernur, bupati dan wali kota dipilih secara demokratis, itu tidak berarti gubernur, bupati dan wali kota dipilih oleh rakyat atau sebaliknya.Dalam kaitan ini, mestinya MPR melakukan amandemen pasal 18 ayat 4 UUD Tahun 1945 agar menjadi jelas gubernur, bupati dan wali kota dipilih rakyat atau dipilih oleh DPRD.Jika pasal 18 UUD 1945 ini tidak diubah, maka yang terjadi adalah orde uji coba sistem pemilihan kepala daerah ini sebagai ajang menghitung ongkos, termasuk ongkos anak bangsa dari sistem pemilihan kepala daerah yang tidak jelas dan tidak terukur, kata Pira Bunga.

"Artinya, yang paling esensi dari persoalan UU Pilkada ini adalah perlu ada regulasi yang pasti yaitu dengan mengubah dulu pasal 18 ayat 4 UUD 1945 dengan menghilangkan rumusan "dipilih secara demokratis" supaya tidak kabur," katanya.(*/hrb)

Editor : herry barus ()

Baca berita lainnya di GOOGLE NEWS

MAKNA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA)

MENURUT PASAL 18 AYAT (4) UUD 1945*)

Oleh:

Muhammad Irham

Abstrak

Penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam beberapa undang-undang. Pada Orde Baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pada Era Reformasi,  ada beberapa undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun  2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lainnya yang bersifat data sekunder yang ada di perpustakaan maupun jurnal hukum lainnya. Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa makana Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, adalah sebagai berikut: 1. Yang dipilih secara demokrasi adalah kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota). Dengan kata lain Wakil Kepala Daerah (Wakil Gubernur, Wakil Bupati, Wakil Walikota) tidak diharuskan dipilih satu paket dengan kepala daerah. Ketentuan ini juga dapat ditafsirkan bahwa posisi wakil kepala daerah sesungguhnya dapat dihilangkan dalam sistem Pemerintahan Daerah. 2. Kehadiran UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD (telah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2009), yang tidak lagi memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang kemudian dilanjutkan dengan pengundangan UU Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kepastian hukum bahwa makna “dipilih secara demokratis” adalah pemilihan langsung oleh rakyat (one man one vote).

Kata Kunci: UUD 1945, Pemilihan Kepala Daerah

Immanuel Kant seperti dikutip Soehino dalam Salim, HS, berpendapat bahwa: ”tujuan negara adalah menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga negaranya. Dalam pengertian kebebasan di sini adalah kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan, sedangkan yang membuat undang-undang adalah rakyat sendiri. Undang-undang merupakan penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan”.[2]

Sebagai bangsa yang ingin tetap bersatu maka kita telah menetapkan dasar dan idiologi negara, yakni Pancasila yang dipilih sebagai dasar pemersatu dan pengikat yang kemudian melahirkan kaidah-kaidah penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum. Selanjutnya prinsip-prinsip dan mekanisme ketatanegaraan untuk menjamin demokrasi diatur didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang memasang rambu-rambu agar bangsa ini tetap utuh. Dengan demikian, tuntunan akan integrasi dan demokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Geertz telah diatur dalam Pancasila dan UUD 1945.[4]

  1. Metode Penelitian
  2. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lainnya yang bersifat data sekunder yang ada di perpustakaan maupun jurnal hukum lainnya.[6]

  1. Penelitian terhadap asas-asas hukum, seperti misalnya penelitian terhadap hukum positif  yang tertulis atau penelitian terhadap kaedah-kaedah hukum yang hidup di dalam masyarakat.
  2. Penelitian terhadap sistematika hukum, dilakukan dengan menelaah pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
  3. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum, dapat dilakukan baik sinkronisasi secara vertikal (beda derajat) ataupun secara horizontal (sama derajat/sederajat).
  4. Penelitian sejarah hukum, merupakan penelitian yang lebih dititik beratkan pada perkembangan-perkembangan hukum. Dalam setiap analisa yang dilakukan dalam penelitian ini akan mempergunakan perbandingan-perbandingan terhadap satu atau beberapa sistem hukum.
  5. Penelitian terhadap perbandingan hukum, merupakan penelitian yang menekankan dan mencari adanya perbedaan-perbedaan yang ada pada berbagai sistem hukum.

Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan yang bertitik tolak dari asas-asas hukum, seperti misalnya penelitian terhadap hukum positif  yang tertulis atau penelitian terhadap kaedah-kaedah hukum yang hidup di dalam masyarakat, yaitu dengan menelaah bahan-bahan hukum tertulis, teori-teori hukum. Selanjutnya menurut Peter Mahmud Marzuki Pendekatan dalam penelitian hukum terdiri dari: pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).Jenis Data dan Sumber Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dimana data diperoleh dari:Bahan hukum Primer, yaitu mencakup peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, antara lain:

–          Undang-Undang Dasar 1945;

–          Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

–          Undang-Undang dan atau Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait dengan penelitian ini.

  1. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan erat hubungannya dengan bahan primer yang dapat membantu menganalisa dan memahami bahan-bahan hukum primer. Bahan hukum primer ini seperti: buku, hasil penelitian, majalah, jurnal-jurnal hukum atau jurnal-jurnal umum, artikel, catatan kuliah dan makalah, serta yang lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
  2. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang bersifat menunjang bahan-bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Umum Bahasa Indonesia.

Dalam penelitian hukum normatif dapat dilakukan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya:

  1. Mengumpulkan informasi untuk mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
  2. Inventarisasi bahan-bahan untuk mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan sebagai sumber data sekunder.
  3. Kunjungan ke perpustakaan, baik perpustakaan daerah, perpustakaan fakultas maupun perpustakaan universitas untuk mendapatkan buku-buku, hasil peneltian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, misalnya laporan penelitian, bulletin, brosur, dan sebagainya.

Pada penelitian hukum normatif, pengelolaan data hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan–bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.Pembahasan

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32  Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 24 ayat  (1) dijelaskan, bahwa setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah, Ayat (3) menjelaskan, Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah. Kemudian ayat (5) menyebutkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. 

Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa, jabatan wakil kepala daerah baru ada setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang dipilih dalam satu pasangan secara langsung. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, penyelenggaraan  pemerintahan di daerah hanya dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya yang merupakan penguasa tunggal di daerah yang dipilih melalui rapat paripurna DPRD.

Selanjutnya menurut Bagir Manan seprti yang dikutip Suharizal, Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintah mandiri di daerah yang demokratis. lebih lanjut Bagir Manan mengatakan bahwa asas dekonsentrasi adalah instrument sentralisasi, karena itu sangat keliru kalau ditempatkan dalam sistematika pemerintahan daerah yang merupakan antithesis dari sentralisasi.UUD 1945 tidak mengharuskan kepala daerah dipilih secara langsung, dan calon kepala daerah tidak harus berasal dari partai politik atau gabungan dari partai politik.Frasa “dipilih secara Demokratis” tidaklah dapat ditafsirkan bahwa rekrutmen pasangan calon menjadi kewenangan mutlak partai politik sebagai salah satu lembaga yang berfungsi melakukan rekrutmen politik dalam pengisian jabatan publik melalui mekanisme yang demokratis. Sebab demokratis dituntut adanya pemerintahan daerah yang memperoleh hak otonomi.Lembaga yang memiliki kewenangan melakukan rekrutmen calon kepala daerah, adalah lembaga yang juga menjadi penanggung jawab pelaksana pemilu (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif) yaitu KPU(D). Dalam Pasal 22E ayat (1) menyatakan; “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.” Ayat (2) “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Sedangkan sebagai pelaksananya disebut dalam Pasal 22E ayat (5) menyatakan; “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.Pasal 18 Ayat (4) tersebut hanya mengharuskan yang dipilih secara demokrasi adalah kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota). Dengan kata lain Wakil Kepala Daerah (Wakil Gubernur, Wakil Bupati, Wakil Walikota) tidak diharuskan dipilih satu paket dengan kepala daerah. Ketentuan ini juga dapat ditafsirkan bahwa posisi wakil kepala daerah sesungguhnya dapat dihilangkan dalam sistem Pemerintahan Daerah.[15]

Umumnya kepala daerah dan Wakada pecah kongsi lantaran ada kon­­flik kepentingan diantara keduanya. Bahkan tidak jarang, keduanya memu­tuskan untuk sama-sama kembali men­calonkan diri sebagai kepala daerah pa­da periode berikutnya. Akibatnya, baik kepala daerah dan Wa­­kada sama-sama sibuk mencari pe­nga­­ruh serta dukungan untuk kepen­tingan pemenangan Pilkada. Sehing­ga orientasi pemimpin daerah tidak lagi pada bagaimana melaksanakan pem­ba­ng­­u­nan dan meningkatkan kesejah­teraan rak­yat, tetapi bagaimana menebar penga­ruh dan dukungan dari semua kalangan, ter­masuk birokrasi. Perpecahan itu juga mengakibatkan pegawai tidak fokus meningkatkan kinerja, karena terpe­ngaruh dukung-mendukung.Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa makana Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, adalah sebagai berikut:

  1. Yang dipilih secara demokrasi adalah kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota). Dengan kata lain Wakil Kepala Daerah (Wakil Gubernur, Wakil Bupati, Wakil Walikota) tidak diharuskan dipilih satu paket dengan kepala daerah. Ketentuan ini juga dapat ditafsirkan bahwa posisi wakil kepala daerah sesungguhnya dapat dihilangkan dalam sistem Pemerintahan Daerah.
  2. Kehadiran UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD (telah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2009), yang tidak lagi memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang kemudian dilanjutkan dengan pengundangan UU Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kepastian hukum bahwa makna “dipilih secara demokratis” adalah pemilihan langsung oleh rakyat (one man one vote).

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pres, Jakarta

Dahlan Thaib, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta

Salim, HS, 2010, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pres, Jakarta

Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi dan Isu, Rajawali Pres, Jakarta

­­______, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, hlm

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pres, Jakarta

Suharizal, 2011, Pemilukada: Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, Rajawali Pres, Jakarta

______, 2002, Reformasi Konstitusi 1998-2002 Pergulatan Konsep dan Pemikiran Amandemen UUD 1945, Anggrek Law Firm, Padang

Undang-Undang :

Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009

Internet:

http://padangekspres.co.id

http://avivsyuhada.wordpress.com

*) Di terbitkan dalam Jurnal Ilmiah “EKOTRANS”, ISSN 1411 – 4615, Vol.13 No.1, Januari 2013

[2]  Dahlan Thaib, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 4, hlm. 5

[4]Moh, Mahfud, MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, hlm. 90 – 91

[6]Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 13-14.  

[8]Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pres, Jakarta, hlm. 14.

[10] Suharizal, 2011, Pemilukada: Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, Rajawali Pres, Jakarta, hlm. 25