Kota apa yang berhasil diduduki kerajaan Demak di Pajajaran *?

Pebriansyah Ariefana Selasa, 31 Agustus 2021 | 19:08 WIB

SuaraBanten.id - Kerajaan Banten termasuk salah satu kerajaan Islam di Indonesia yang paling tua berdiri di Tanah Pasundan. Termasuk peninggalan kerajaan Banten sangat bersejarah.

Kerajaan Banten sendiri merupakan salah satu kerajaan yang memiliki peranan yang cukup penting dalam penyebaran agama Islam di Tanah Jawa.

Sejarah Kerajaan Banten

Sebelum abad ke-13, wilayah Banten merupakan tempat yang sepi dari jalur perdagangan.

Baca Juga: Tong Sarakah, Lagu Daerah Banten Bermakna Mendalam, Baca Liriknya

Pasalnya, Selat Sunda pada waktu itu bukan termasuk jalur perdagangan. Kemudian, semenjak penyebaran Islam masuk di wilayah Jawa, Banten mulai ramai.

Hingga awal abad ke-16, wilayah Banten masih beragama hindu dan masih menjadi bagian dari wilayah Pajajaran yang berpusat di Bogor.

Bahkan, Kerajaan Pajajaran sempat melakukan kesepakatan dengan Portugis, sehingga Portugis bisa mendirikan wilayah dagang dan benteng di Sunda Kelapa.

Pada tahun 1526, Sultan Trenggono menugaskan anaknya, yaitu Fatahillah untuk menaklukan wilayah Pajajaran sekaligus memperluas Kerajaan Demak.

Pasukan Fatahillah berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Dari situlah, nama Sunda Kelapa kemudian diganti dengan nama Jayakarta yang berarti kota kemenangan.

Baca Juga: Golok, Senjata Tradisional Banten Terbuat dari Besi Baja Karbon, Dipakai Para Jawara

Hanya dalam waktu singkat, seluruh kawasan pantai utara dan Jawa Barat berhasil diduduki oleh Fatahillah sehingga agama Islam bisa menyebar di wilayah Jawa Barat. Dari situlah, Fatahillah kemudian diberi gelar nama Sunan Gunung Jati.

Liputan6.com, Jakarta Fatahillah yang disebut juga Faletehan, merupakan Panglima Pasukan Cirebon yang bersekutu dengan Demak dan berhasil menjadi penguasa Sunda Kelapa dari kekuasaan Portugis pada tanggal 22 Juni tahun 1527.

Sunda Kelapa kemudian oleh Fatahillah pada tanggal 22 Juni 1527 diganti nama menjadi Jayakarta. Fatahillah memang membenci orang Portugis, karena mereka dengan bantuan syahbandarnya menaklukkan kota kelahirannya, yaitu Pasei di Aceh (Sumatera) pada tahun 1521.

Nama aslinya Faddillah Khan atau Faletehan. Ia juga dinamai Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Berdasarkan jalannya peristiwa sejarah yang diuraikan dalam Purwaka Caruban Nagari nama Fadhillah lebih memungkinkan untuk disamakan dengan berita Portugis yang menyebut Falatehan, demikian juga arti Fadhillah sangat mirip dengan Fatahillah yang berarti juga "kemenangan karena Allah".

Menurut sumber Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari dan Negarakertabhumi, ayah Fatahillah dari Pasei merupakan seorang keturunan Arab dari Gujarat (India), yang pada tahun 1521 Pasei berhasil direbut Portugis.

Ia kemudian berlayar ke Mekah. Sekitar tahun 1525 ia ke Jepara dan menikah dengan Nyai Ratu Pembayun (adik Sultan Trenggana dari Demak). Kemudian berturut-turut menaklukkan daerah Banten dan Sunda Kalapa.

Sebelum menuju Sunda Kelapa, Fatahillah yang berangkat dengan armada perang Demak, terlebih dulu menuju ke Kesultanan Cirebon guna menggabungkan kekuatan (aspek maritim). Setelah itu, armada Fatahillah menuju Banten, yang memang telah bergolak melawan Pajajaran.

Tumbangnya Banten dari Pajajaran dan sebagian besar pemberontak di sana semakin menambah besar daya pukul kekuatan (fire power) armada Fatahillah. Pada 1526, Alfonso d'Albuquerque mengirim enam kapal perang dibawah pimpinan Francisco de Sa menuju Sunda Kelapa.

Kapal yang dikirim adalah jenis galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam. Armada itu diperkirakan membawa prajurit bersenjata lengkap sebanyak 600 orang.

Pada tahun yang sama, Sultan Trenggono mengirimkan 20 kapal perang bersama 1.500 prajurit di bawah pimpinan Fatahillah menuju Sunda Kelapa. Armada perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa yang ukurannya jauh lebih kecil dari galleon.

Pada awal 1527, Fatahillah menggerakkan armadanya ke Sunda Kelapa. Sementara, pasukan Banten secara bertahap menduduki wilayah demi wilayah Pajajaran dari arah Barat. Pasukan Cirebon bergerak menguasai wilayah Pajajaran bagian Timur Jawa Barat. Dalam kondisi itu, Sunda Kelapa telah dipertahankan oleh Kerajaan Pajajaran secara kuat, baik di darat maupun laut.

Setelah melalui pertempuran sengit, pada 22 Juni 1527, armada perang yang dipimpin Fatahillah akhirnya berhasil menaklukkan pasukan Portugis. Pascakemenangan tersebut, Fatahillah didaulat menjadi gubernur di Sunda Kelapa. Fatahillah pun mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang merupakan cikal bakal lahirnya kota Jakarta.

Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, Demak mengalami perkembangan pesat. Wilayah kekuasaannya bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Sultan Trenggono pun dianggap berjasa atas penyebaran Islam di kedua wilayah tersebut.

Perluasan wilayah Demak ke Jawa Barat membuat Kerajaan Sunda Pajajaran yang saat itu menguasai pelabuhan penting dan strategis, yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa, diliputi kecemasan. Oleh sebab itu, Raja Sunda, Sri Baduga, meminta bantuan kepada Portugis yang saat itu ada di Malaka. Cara yang dilakukan oleh Sri Baduga adalah dengan menjalin kerja sama perdagangan dengan Portugis, terutama untuk produk lada dan memberikan hak kepada Portugis untuk membangun benteng di Sunda Kelapa.

Bagi Kesultanan Demak, kerja sama tersebut merupakan ancaman. Maka, sebelum bangsa Portugis membangun benteng dan menancapkan kekuasaan di Sunda Kelapa, Demak lebih dulu menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1526. Serangan tersebut dipimpin oleh Fatahillah dan Sunda Kelapa pun berhasil dikuasai.

Berdasarkan penjelasan tersebut, jawaban yang tepat adalah C.    

Jakarta -

Selamat hari ulang tahun kota Jakarta. Tim detikcom pernah memproduksi video soal sejarah kota Jakarta yang dirilis pada 21 Juni 2020. Sejarah kota Jakarta sendiri berawal dari bandar tua bernama Sunda Kelapa, yang berganti menjadi Jayakarta oleh Fatahillah, mengalami perluasan wilayah saat bernama Batavia di era kolonial, menjadi Jakarta Tokubetsu Shi pada masa Jepang dan dikukuhkan menjadi Jakarta secara resmi pada tahun 1949.

Hari ulang tahun Jakarta yang jatuh tiap tanggal 22 Juni tidak lepas dari peristiwa perebutan Sunda Kelapa yang dilatari perebutan pengaruh jaringan perdagangan di wilayah pantai utara pulau Jawa yang terjadi pada 494 tahun lalu. Dua koalisi yang terlibat dalam peristiwa itu adalah kerajaan Sunda Pajajaran yang masih bercorak Hindu yang bekerja sama dengan Portugis, dan kekuatan Islam yakni Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon

Pada awal abad ke-16, Jakarta kala itu masih bernama Kalapa atau dikenal dengan pelabuhan Sunda Kelapa yang terletak di muara sungai Ciliwung dan menjadi pelabuhan utama Kerajaan Pajajaran. Sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, menceritakan peristiwa perebutan bandar Sunda Kelapa itu dilatari persaingan antara kekuatan Islam dengan kekuatan non-Islam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Jadi jaringan perdagangan islam yang ada di nusantara terutama di Jawa ingin mengamankan seluruh daerah pantai utara Jawa dari kemungkinan kedatangan kekuatan yang bisa berpotensi membahayakan kekuatan Islam," ujar Bondan.

Saat itu, Sunda Kelapa sendiri dinilai merupakan pelabuhan yang strategis di pulau Jawa. Pasalnya, lokasi Sunda Kelapa berdekatan dengan Selat Sunda dan Selat Malaka yang bisa menghubungkan nusantara ke Samudera Hindia.

"Karena itu Sunda Kelapa memiliki arti yang sangat penting, karena Banten ketika itu belum berkembang menjadi pelabuhan besar. Dan karena itulah kemudian Sunda Kelapa harus jadi kota pelabuhan yang dikuasai pedagang muslim kalau ingin kegiatan perdagangan Islam di nusantara tetap bisa berkembang dan terhubung dengan dunia maritim di samudera Hindia, karena dia adalah pintu masuk yang dekat dengan selat Sunda," ujar dosen Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tersebut.

Bondan menyatakan saat itu kerajaan Pajajaran yang berpusat di wilayah Pakuan (Bogor) atau di pedalaman pulau Jawa bagian barat memiliki kontak hubungan dengan kekuatan yang ada di luar pulau Jawa, yakni Portugis yang pada tahun 1511 menguasai Malaka. Pajajaran yang juga merasa terancam dengan berkumpulnya jaringan perdagangan Islam di Jawa bagian tengah melihat Portugis bisa menjadi kekuatan yang membantu mereka menahan laju kekuatan Islam.

"Malaka ini adalah emporium, kota dagang besar yang menjadi pusat dari kegiatan perdagangan Islam di nusantara. Dengan dikalahkannya Malaka oleh Portugis, maka Pajajaran itu melihat bahwa Portugis inilah kekuatan selain muslim yang bisa mempertahankan eksistensi mereka di pedalaman Jawa Barat," ujar Bondan.

Dikutip dari buku "Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta" karangan ahli sejarah kota Jakarta, Adolf Heuken SJ, pada 1522, perjanjian antara Sunda dengan Portugis terjalin setelah seorang Portugis, Enrique Leme, mengunjungi Sunda Kelapa dengan membawa hadiah bagi Raja Sunda yang disebut Samiam atau Sangiang (lafal Portugis untuk Sang Hyang), yakni Raja Surawisesa.

Kemudian pada tanggal 21 Agustus 1522 suatu perjanjian persahabatan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Portugal dijalin. Dalam tulisannya, Heuken menyebut Perjanjian ini menjadi perjanjian internasional pertama di Indonesia. Sebagai tanda perjanjian tersebut, sebuah batu besar yang dinamakan batu Padrao ditanam di pantai, sebagai tugu peringatan akan perjanjian.

Dalam perjanjian itu, orang Portugis mendapat izin untuk mendirikan sebuah gudang dan benteng di tepi Ciliwung. Sedangkan Pajajaran memandang kehadiran Portugis akan memperkokoh posisi mereka dalam urusan perdagangan terutama lada, dan juga dalam menghadapi tentara Islam dari Kesultanan Demak, yang kekuatannya sedang naik daun di Jawa Tengah.

Menurut Heuken, raja Pajajaran ingin sekali bersahabat dengan pelaut Portugis. Ia merasa terancam oleh Kesultanan Demak yang ekspansif, karena sudah merebut kota pelabuhannya yang kedua, yakni Banten. Sunda merasa terhimpit dan membutuhkan sekutu yang kuat.

Namun, perjanjian Sunda-Portugis itu juga kemudian mencemaskan Sultan Trenggana dari Demak. Maka, pada tahun 1527, Sultan Trenggana mengutus Fatahillah mengancam Kalapa dengan 1.452 orang tentara. Heuken menulis Fatahillah merupakan panglima pasukan Cirebon yang sebelumnya pada 1525/1526 ikut merebut atau bahkan memimpin serangan atas Banten.

Lebih lanjut, Bondan menyatakan Fatahillah bersama gabungan pasukan Islam relatif mudah menguasai Sunda Kelapa karena pihak Pajajaran masih dalam persiapan membangun pertahanan dan kerjasama dengan Portugis belum sempat terealisasi. Pasalnya, penyerangan itu terjadi sebelum tahapan pendirian benteng dan kerjasama militer antara Sunda-Portugis.

Saat kapal Portugis menghampiri Sunda Kelapa untuk melaksanakan kesepakatan, mereka belum mengetahui adanya pergantian kekuasaan di Sunda Kelapa.

"Jadi ketika mereka datang mereka ga tahu tuh kota pelabuhan sudah diduduki kekuatan Islam. Dan ini yang menyebabkan Portugis dengan mudah dipukul mundur. Kan mereka ga tahu, ini yang berkuasa di Sunda Kelapa siapa? Apakah dulu yang mengikat perjanjian atau bukan? Kan mereka ga kenal, mungkin ketika melihat orang-orangnya sama saja, orang-orang Indonesia, ya mereka anggap sama aja, lalu tiba-tiba diserang," jelas Bondan.

Setelah peristiwa itu, Fatahillah kemudian menjadikan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Islam dan menjadi rangkaian jaringan perdagangan Islam yang ada di pantai utara Jawa.

"Dengan berkuasanya kekuatan Islam kota Pelabuhan itu otomatis menjadi pelabuhan muslim, jadi itu merupakan rangkaian jaringan perdagangan muslim yang ada di pantai utara Jawa. Dan dengan itu, kerajaan Pakuan Pajajaran kehilangan aksesnya ke pesisir dan itu terputusnya mereka dengan dunia luar yang menyebabkan kekuatan Pakuan Pajajaran runtuh. Ini sekitar pertengahan abad ke-16, tahun 1527. Itu yang terjadi," ujarnya.

Sejumlah versi menyebut, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang berarti "kemenangan yang sempurna." Meski demikian, Adolf Heuken menulis tidak ada dokumen yang menyebut pergantian nama menjadi Jayakarta. Menurutnya, nama Jakarta baru muncul dalam dokumen yang ditulis pada 1560 oleh Joao de Barros dalam Da Asia yang terbit pada tahun 1615.

Sementara itu, Bondan Kanumoyoso menyatakan kisah perubahan nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta masih menjadi kontroversi. Sebagai sejarawan, ia sendiri mengaku belum mendapat catatan sejarah yang memuaskan kenapa nama Jayakarta yang berasal dari bahasa sansekerta dipilih meski sudah berganti penguasa dan menjadi pelabuhan Islam.

"Jadi agak meragukan sebetulnya, apa yang sebetulnya terjadi ini perlu di cek. Kenapa kota itu masih dinamakan nama sanskrit, yang berbau pengaruh Hindu. Padahal penguasanya adalah Islam. Saya sendiri belum menemukan penjelasan yang cukup memuaskan ya. Mungkin harus riset tersendiri mencari tahu apa yang sebetulnya terjadi kenapa dinamakan Jayakarta, karena Jayakarta itu bahasa sanskrit dan bukan bahasa Arab," jelas Bondan.

Sementara terkait tanggal lahir kota Jakarta, Bondan menyatakan hal itu ditetapkan berdasarkan keputusan politik pemerintah kota Jakarta setelah Indonesia merdeka. Pemilihan 22 Juni 1527 sebagai hari lahir Jakarta diresmikan Wali Kota Jakarta Sudiro pada 1956 dan mengacu pada satu peristiwa di bandar tua bernama Sunda Kelapa ratusan tahun silam.

Simak Video "Pertempuran di Balik Hari Lahir Jakarta"


[Gambas:Video 20detik]
(hnf/hnf)