Kenapa kelompok kriminal bersenjata dipapua disebut kelompok teroris

Jakarta -

Akhirnya pemerintah secara sah dan resmi menyatakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua sebagai 'teroris'. Pernyataan ini langsung dikemukakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md di Jakarta. Boleh jadi, pernyataan tersebut merupakan reaksi keras pemerintah pusat terhadap aksi KKB selama ini yang berpuncak pada gugurnya Kepala Badan Intelijen Daerah (KABINDA) Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha.

Sebagian besar masyarakat tentu menyambut baik pernyataan Menko Polhukam tersebut, dan hanya kelompok pro-KKB saja yang akan menyoal penyematan diksi 'teroris' kepada KKB itu. Alasannya, KKB merupakan kelompok kriminal biasa yang tidak punya dasar ideologi guna mengganti negara. Kalaupun ada sikap anti-Indonesia, maka sikap tersebut lebih bersumber pada rasa diperlakukan tidak adil selama ini. Serta ada pula alasan-alasan lain yang bertumpu pada HAM.

Reaksi terhadap pernyataan Menkopolhukam juga ditunjukkan oleh petinggi Papua secara resmi. Gubernur Papua Lukas Enembe meminta pemerintah pusat mengkaji ulang pemakaian diksi 'teroris' terhadap KKB. Lukas mengkhawatirkan dampak psikososial sekaligus stigmatisasi dari diksi 'teroris' kepada warga Papua perantauan. Kekhawatiran ini terasa janggal sebab yang disasar diksi 'teroris' sesungguhnya secara khusus tertuju pada KKB. Bukan pada warga biasa Papua.

Walau dalam dunia hukum masih sering diperdebatkan apakah terorisme itu masuk kategori politik atau hukum, namun ada kesepakatan luas bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Angka 2 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara jelas mendefinisikan terorisme menjadi dua wilayah perbuatan. Pertama, berbuat kekerasan; kedua, ancaman melakukan kekerasan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam definisi tersebut juga termaktub tiga syarat sebuah aksi kekerasan dikategorikan sebagai terorisme. Pertama, dampak terhadap manusia, yakni menimbulkan suasana teror atau rasa takut, bersifat meluas, dan bisa menimbulkan korban massal. Kedua, dampak terhadap lingkungan, yaitu menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital strategis, fasilitas publik, lingkungan hidup atau fasilitas internasional. Ketiga, ada motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Berdasar definisi di atas, maka aksi KKB di Papua termasuk telah menimbulkan suasana teror sekaligus tidak nyaman kepada warga, siapapun warga itu, apakah warga asli atau pendatang. Dalam catatan, memasuki Januari 2021, rangkaian aksi teror KKB telah berlangsung meluas. Bukan di satu lokasi saja, melainkan sudah ke berbagai lokasi. Pada 10 Februari 2021, lebih dari 300 warga Intan Jaya, Papua, telah mengungsi ke lokasi aman demi menghindari teror KKB. Sebulan sebelumnya, di Tembagapura, KKB menembaki helikopter milik PT Sayap Garuda Indah pada 6 Januari. Lalu, pembakaran dua menara BTS di Kabupaten Puncak, Papua, 7 Januari 2021.

Bahkan, aksi KKB juga membantai dua guru di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak sekaligus pembakaran sekolah tempat guru tersebut mengajar. Fakta ini membuktikan cara yang digunakan KKB merupakan cara teror, menciptakan keresahan masyarakat untuk tujuan tertentu. Rangkaian aksi KKB tersebut tak cuma berdimensi gangguan keamanan, melainkan juga menukik kepada motif ideologi dan politik di dalamnya.

Kelompok separatis dalam kajian terorisme

Penggunaan istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) ramai dibicarakan publik sejak awal Desember 2018. Seiring dengan bakal berakhirnya dana otonomi khsus (Otsus) untuk Papua, perubahan istilah dari OPM ke KKB ini menjadi bagian dari upaya pemerintah pusat untuk merangkul berbagai komponen masyarakat Papua. Boleh dikata, itulah pendekatan lunak (soft approach) sekaligus jawaban pemerintah pusat atas isu ketidakadilan di Papua.

Harapannya, pendekatan lunak bisa meraih simpati masyarakat Papua sekaligus mengubur niat oknum-oknum di Papua berpisah dari NKRI. Namun, fakta kemudian berbicara lain. Aksi KKB justru menjadi lebih intensif serta propaganda ideologi separatisme tak bisa dibendung lewat taktik merangkul kaum separatis. Kenyataan juga menunjukkan, KKB di Papua begitu piawai menyembunyikan watak separatismenya. Kepada khalayak luas, para pendukung KKB selalu berdalih perjuangannya semata demi menegakkan keadilan di Bumi Cendrawasih.

Dalam derajat tertentu, kampanye mencari keadilan ini sudah cukup berhasil membungkam siapapun yang mencurigai KKB sebagai kelompok separatis. Akibatnya, semua aksi KKB lantas dikategorikan sebagai aksi kriminal biasa. Bedanya, aksi itu selalu menggunakan senjata. Serangan KKB ke sejumlah lokasi pun dianggap sebagai serangan para kriminal yang tak bermotif separatis.

Pengejaran terhadap para kombatan KKB dianggap sebagai pengejaran terhadap pelaku kriminalitas biasa. Selama dua tahun lebih, propaganda pro-KKB berhasil menghalangi penyematan diksi 'teroris', meski fakta sering menunjukkan KKB sendiri menggunakan cara-cara teror ke masyarakat.

Berbagai literatur kajian terorisme menyebut, keberadaan kelompok teroris tidak tergantung pada kuantitas anggota kelompok. Berapapun jumlah anggota sebuah kelompok apabila telah secara sistematis melakukan teror ke masyarakat, maka kelompok terkait bisa dikategorikan kelompok teror. Apalagi terhadap kelompok berideologi separatisme yang menggunakan aksi kekerasan sebagai alat perjuangannya.

Pakar kajian terorisme Sidney Jones punya kisah menarik. Dalam penjelasannya pada program studi kebijakan internasional Universitas Stanford, AS, 5 Desember 2012, ia merujuk penjelasan seorang perwira kepolisian ihwal keterkaitan terorisme dan kelompok separatis. Menurut sang perwira, tulis Sidney dalam situs International Crisis Group, terorisme merupakan taktik menggunakan kekerasan atau ancaman kepada target, yakni masyarakat sipil. Separatisme jelas menjadi ideologi politik sebagaimana layaknya varian ideologi kontra-negara, bisa menggunakan cara apa saja untuk diwujudkan dalam praksis. Di antara cara itu adalah kekerasan ekstrem alias teror.

Catatan Brandon Boylan dalam Jurnal Conflict Management and Peace Science (2016) menyebut, sepertiga dari organisasi teroris di dunia merupakan kelompok etnik yang melakukan aksi-aksi teror sebagai alat perjuangannya. Ada ideologi dominan di balik kelompok etnik tersebut. Ideologi ini secara sadar dikonfrontasikan pada pemerintah yang sah di mana kelompok etnik tersebut berada.

Sementara, riset Lizardo (2003) yang terpublikasi dalam Jurnal Humboldt Journal of Social Relations menyebut kelompok separatis berbasis etnik masuk dalam tipe-1 organisasi teroris. Dipaparkan Lizardo, kelompok separatis berupaya mengeksplorasi simbol-simbol etnik yang dikombinasi dengan kesengsaraan, kepedihan, serta rasa diperlakukan tidak adil untuk menarik dukungan masyarakat di mana kelompok tersebut berada. Selain menyebut kelompok Basque di Spanyol Utara, Lizardo juga memasukkan kelompok etnik lainnya. Kelompok separatis semacam ini punya motif kuat menggantikan peran negara di mana mereka berada melalui cara kekerasan serta propaganda anti-pemerintah.

Bahkan, dalam kajiannya terhadap lima kategori kelompok teroris pada 2018, Ranya Ahmed sudah memasukkan OPM (yang kemudian disebut KKB) sebagai kelompok teroris berbasis separatisme. Kajian Ranya ini mengaitkan ideologi dengan pilihan taktik kelompok teroris. Menurut Ranya, sumber ideologi OPM yang menghendaki negara Papua merdeka berasal dari kecenderungan pengikut OPM untuk memisahkan diri dari Indonesia. Ini kecenderungan laten yang mewujud dalam gerakan separatisme dengan menggunakan aksi teror. Dalam Journal of Applied Security Research (2018', Ranya menegaskan kelompok separatis merupakan jenis kelompok perlawanan yang berusaha menyingkirkan pemerintahan yang sah.

Rosdiansyah dosen Luar Biasa FISIP Ilmu Komunikasi UPN Surabaya, peneliti pada Center for Radicalism, Extremism and Security Studies/CRESS

Lihat Video: Polri Libatkan Densus 88 untuk Tumpas KKB Papua

[Gambas:Video 20detik]

(mmu/mmu)

Agustian, R. A. (2011). Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara Dalam Perspektif Delik Politik Di Indonesia. Masalah-Masalah Hukum, 40(3), 344–348. //doi.org/10.14710/mmh.40.3.2011.344-348

Djafar, Z. (2012). Kemerdekaan Papua dan Relevansi Reaksi Tiga Negara. Jurnal LIPI, 9(01), 99–117.

Edon, S. F. L., & Hidayat, N. A. (2021). Kewajiban Pemerintah Indonesia terhadap Pelanggaran HAM yang Dilakukan Oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Di Papua. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(3), 854–869.

Fitri, A. (2018). Tugas Perbantuan TNI Dalam Penanganan Terorisme. Politica, 9(1), 73–89.

KemenkoPolhukam, H. (2021). Menko Polhukam: Organisasi dan Orang-Orang di Papua yang Lakukan Kekerasan Masif Dikategorikan Teroris. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan. //polkam.go.id/menko-polhukam-organisasi-orang-orang-papua-lakukan-kekerasan-masif/

Komariah, M. (2017). Kajian Tindak Pidana Terorisme dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 5(01), 148–162.

Mardiani, I. P., Anisah, I., Hasibuan, M., & Fadilah, N. (2021). Konflik Internal Antara Pemerintah Indonesia Dengan Gerakan Separatis Di Papua. Jurnal Syntax Fusion, 1(2), 49–57. //fusion.rifainstitute.com/index.php/fusion/article/view/12

Marzuki, P. M. (2014). Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group.

Mishael, G., Setiyono, J., & Hardiwinoto, S. (2016). Kebijakan Operasi Militer Tentara Nasional Indonesia Terhadap Organisasi Papua Merdeka Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional. Diponegoro Law Journal, 5(2), 1–12.

Mukhtadi. (2021). Strategi pemerintah dalam penanganan gerakan separatis papua dan implikasinya terhadap diplomasi pertahanan indonesia. Jurnal Diplomasi Pertahanan, 7(2), 85–94.

Mulia, K. D. A., Afrizal, M. S., & Hadi, L. D. (2020). Pertangungjawaban Pidana Anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) Sebagai Pelaku Makar. Justitia Jurnal Hukum, 4(2), 330–345. //journal.um-surabaya.ac.id/index.php/Justitia/article/view/4372

Oktiana, E. (2018). Kerjasama BNPT dan Terrorism Prevention Branch (TPB) UNODC dalam Mencegah Paham Radikal dan Tindak Kejahatan Terorisme di Indonesia. Journal of International Relations, 4(2), 251–257.

Pailalah, M. G. (2017). Permasalahan Pengakuan terhadap Kelompok-Kelompok Belligerent dari Segi Hukum Humaniter Internasional. Journal of USU International Law, 5(06), 1–47.

Puji, T. (2016). Peran Polisi Daerah Jawa Tengah dalam Menanggulangi Terorisme di Jawa Tengah pada Periode 2009-2014. Journal of International Relations, 2(3), 1–10.

Rahab, A. al. (2016). Operasi-Operasi Militer di Papua: Pagar Makan Tanaman? Jurnal Penelitian Politik LIPI, 3(01), 3–25.

Rahadian, D., & Jaya, N. S. P. (2014). Kebijakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Tindak Pidana Politik. Law Reform, 9(2), 34–57.

Rohim, N. (2015). Optimalisasi Otonomi Khusus Papua Dalam Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat Guna Meredam Konflik Dan Kekerasan. FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum, 8(1), 80–100. //doi.org/10.25041/fiatjustisia.v8no1.289

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Peraturan Presiden Nomor Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA