Foto: UnsplashTerdapat sejumlah biaya yang harus dipersiapkan dalam transaksi jual-beli tanah. Salah satunya adalah pajak pembelian tanah. Show Ada dua jenis pajak pembelian tanah yang harus dibayarkan. Pertama, Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib dibayarkan oleh penjual. Kemudian, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dibebankan kepada pembeli. Dalam artikel ini akan kami ulas tentang kedua pajak tersebut, mulai dari dasar hukum hingga cara menghitungnya. Dasar Hukum Pajak Penghasilan dari Pembelian TanahAturan soal pengenaan pajak jual beli tanah maupun bangunan kepada penjual tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) 48/1994 – tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. Disebutkan bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pengalihan hak atas tanah atau bangunan wajib dibayarkan pajak penghasilan. Pajak ini harus dibayarkan sebelum membuat Akta Jual Beli (AJB). Bila aturan tersebut tidak diindahkan, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat menolak permohonan pembuatan AJB. Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 39 ayat 1 huruf g PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Lantas, berapa persentase PPh yang harus dibayarkan penjual? Jika merujuk pada aturan yang berlaku, PPh dikenakan sebesar 2.5% dari total (bruto) nilai pengalihan hak atas tanah yang ditransaksikan. Misalnya, sebuah tanah dijual dengan harga Rp400.000.000,00. Maka, besaran PPh yang harus dibayarkan adalah: 2.5% x Rp400.000.00 = Rp10.000.000,00. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanBea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pungutan yang ditarik saat pembelian jual beli properti, termasuk pembelian tanah. Tarif bea ini merujuk ke Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dengan besaran tarif 5% dari nilai perolehan objek pajak dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Jadi BPHTB tanah maupun bangungan nilainya akan berbeda dari satu daerah dan daerah lainnya. Lantas, di antara NPOP dan NJOP, manakah yang layak untuk disepakati sebagai harga tanah? Anda bisa memilih salah satu dari keduanya, karena pada dasarnya NPOP dan NJOP adalah harga yang telah disepakati penjual maupun pembeli. Namun, tidak hanya NPOP dan NJOP yang bisa memengaruhi besaran pajak. Tetap ada pula Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Jadi, cara menghitung pajak pembelian tanah ini adalah: Tarif Pajak 5% x dasar pengenaan pajak (NPOP – NPOPTKP). Sebagai contoh, harga tanah dijual di Bandung adalah Rp350 juta dengan NPOP Rp75 juta. Maka, cara menghitung BPHTB-nya adalah sebagai berikut:
Itulah penjelasan singkat mengenai pajak pembelian tanah yang wajib Anda ketahui. Kedua biaya yang dijelaskan tersebut wajib dibayarkan agar legalitas tanah yang dibeli jadi terjamin. Jika Anda sedang mencari tanah untuk berbagai kebutuhan, termasuk investasi, ada banyak pilihannya di Rumah223. Selain tanah, situs properti ini juga menyediakan daftar lengkap hunian seperti perumahan baru maupun apartemen seperti: Springhill Yume Lagoon, Istana Regency Jatinangor, atau Apartemen Roseville. Semoga informasi ini dapat membantu.
Pertanahan & PropertiKamis, 16 Agustus 2018
Apakah dalam jual beli tanah dan bangunan, pihak penjual dan pembeli akan dikenakan pajak? Jika ya, bagaimana cara perhitungannya dan bagaimana cara menghitungnya? ? ? Besarnya pajak penghasilan adalah 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. ? Contoh Cara perhitungan: ? Bu Shinta menjual rumah dengan luas 600m2 dan luas tanah 1200m2 dengan harga Rp?1?miliar. Berapa PPh yang harus dibayarkan oleh Bu Shinta? ? Besaran PPh terutang adalah: ? 2.5 % x 1.000.000.000 = Rp?25.000.000. ? ? Cara Menghitung BPHTB: ? Tarif BPTHB x (Nilai Perolehan Objek Pajak? Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) ? Contoh perhitungannya sebagai berikut: ? Wajib Pajak ?A? membeli tanah dan bangunan dengan: NPOP : Rp 150.000.000,00 NPOPTKP : RP 80.000.000,00 (-) NPOP Kena Pajak : Rp 70.000.000,00 BPHTB Terhutang : 5% x Rp 70.000.000,00 = Rp 3.500.000,00 ? Penjelasan lebih lanjut, silakan simak ulasan di bawah ini. ?
terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Besarnya PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah sebesar:[1]
Kami asumsikan Wajib Pajak yang Anda maksud bukanlah Wajib Pajak yang usaha pokoknya mealakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan juga bukanlah pengalihan yang ditujukan kepada pemerintah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah. Jadi rumus cara menghitung PPh untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: PPh = 2.5% X jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam hal jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan hak kepada pemerintah dan pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang, adalah nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh.[2] Hubungan istimewa dianggap ada apabila:[3]
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan, salah satunya adalah orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp 60 juta dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.[4] Contoh Cara perhitungan: Bu Shinta menjual rumah dengan luas bangunan 600m2 dan luas tanah 1200m2 dengan harga Rp 1 miliar. Berapa PPh yang harus dibayarkan oleh Bu Shinta? Besaran PPh terutang adalah: 2.5 % x 1.000.000.000 = Rp 25.000.000 Cara Menghitung Pajak Bagi Pembeli Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU 28/2009”),untuk pembeli, dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”), yaitu pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.[5] Hal ini didasarkan pada Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) huruf a angka 1) UU 28/2009 yang mengatur bahwa yang menjadi Objek Pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut salah satunya meliputi pemindahan hak karena jual beli. Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).[6] Tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah.[7] Berdasarkan Perda DKI Jakarta 18/2010, tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).[8] Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (“NPOP”).[9] Dalam hal jual beli, Nilai Perolehan Objek Pajak adalah harga transaksi, sementara dalam hal hibah, hibah wasiat, dan waris adalah nilai pasar.[10] Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (“NJOP”) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.[11] Cara Menghitung BPHTB :[12] Tarif BPTHB x (Nilai Perolehan Objek Pajak– Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) Besaran Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (“NPOPTKP”) di DKI Jakarta ditetapkan sebagai berikut:[13]
Berkaitan dengan pengalihan hak yang tidak terdapat hubungan istimewa di dalamnya pada kasus Anda, dalam Penjelasan Pasal 7 Perda DKI Jakarta 18/2010, diuraikan juga contoh perhitungannya sebagai berikut: Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan: NPOP : Rp 150.000.000,00 NPOPTKP : RP 80.000.000,00 (-) NPOP Kena Pajak : Rp 70.000.000,00 BPHTB Terhutang : 5% x Rp 70.000.000,00 = Rp 3.500.000,00 Akan tetapi, perlu diketahui bahwa terdapat pengenaan 0% atas BPHTB terhadap perolehan hak untuk pertama kali meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru, sebagaimana diatur dalam Pergub DKI Jakarta 126/2017. Pengenaan 0% atas BPHTB terhadap perolehan hak pertama kali karena pemindahan hak atau pemberian hak baru ini hanya berlaku bagi wajib pajak orang pribadi, yang merupakan Warga Negara Indonesia yang berdomisili di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta paling sedikit selama 2 (dua) tahun berturut-turut, serta dengan Nilai Perolehan Objek Pajak sampai dengan Rp2 miliar.[14] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. [1] Pasal 2 ayat (1) PP 34/2016 [2] Pasal 2 ayat (2) huruf d PP 34/2016 [4] Pasal 6 huruf a PP 34/2016 [5] Pasal 1 angka 41 UU 28/2009 [6] Pasal 88 ayat (1) UU 28/2009 [7] Pasal 88 ayat (2) UU 28/2009 [8] Pasal 6 Perda DKI Jakarta 18/2010 [9] Pasal 87 ayat (1) UU 28/2009 dan Pasal 5 ayat (1) Perda DKI Jakarta 18/2010 [10] Pasal 87 ayat (2) UU 28/2009 dan Pasal 5 ayat (2) Perda DKI Jakarta 18/2010 [11] Pasal 87 ayat (3) UU 28/2009 dan Pasal 5 ayat (3) Perda DKI Jakarta 18/2010 [12] Pasal 89 ayat (1) UU 28/2009 dan Pasal 7 ayat (1) Perda DKI Jakarta 18/2010 [14] Pasal 3 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 126/2017 Tags: Beli tanah apakah kena bphtb?Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pungutan yang ditarik saat pembelian jual beli properti, termasuk pembelian tanah.
Berapa tarif bphtb 2022?Besarnya BPHTB adalah 5% dari nilai transaksi setelah dikurangi NJOPTKP (nilai jual objek pajak tidak kena pajak).
Berapa persen bphtb jual beli tanah?Besarnya tarif BPHTB adalah 5 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang sudah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Nilai dari NJOP pada tiap wilayah biasanya tidak sama, sesuai dengan kondisi setempat.
Kapan bphtb dikenakan?Ketika pembeli membeli tanah bersertifikat, mereka diharuskan membayar BPHTB terlebih dahulu sebelum terjadinya transaksi atau sebelum akta dibuat dan ditandatangani. Frekuensi pembayaran bea terutang dapat dilakukan secara insidensial atau berkali-kali dan tidak terikat waktu.
|