Reasuransi Umum
Sumber: https://media.nationalgeographic.org/assets/photos/818/719/3d97f911-594f-4257-880c-d9aa1c6da22d.jpg Pada tahun 2018, Indonesia patut berbangga dengan beroperasinya pembangkit listrik bertenaga angin (PLTB) pertama yang terletak di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Tengah. Pembangkit tersebut memiliki kapasitas yang besar, mencapai 75 MW, yang terdiri dari 30 turbin angin yang tersebar di lahan seluas 100 hektar. Terealisasinya PLTB tersebut menjadi salah satu bukti keseriusan Indonesia dalam pemanfaatan sumber energi terbarukan. Di negara-negara lain, terutama negara-negara di Eropa Barat seperti Belanda dan Jerman, pemanfaatan energi angin dalam memenuhi kebutuhan konsumsi listrik sudah sejak lama dilakukan. Hal tersebut dilakukan seiring dengan meningkatnya kekhawatiran akan perubahan iklim dan pemanasan global sebagai akibat dari tingginya emisi karbon yang timbul dari penggunaan sumber energi fosil. Pemanfaatan energi angin sebenarnya sudah dilakukan sejak seribu tahun yang lalu[1]. Salah satunya adalah melalui teknologi kincir angin tradisional yang acap dijumpai di Belanda untuk keperluan penggilingan padi. Namun, pemanfaatan energi angin untuk pembangkitan listrik masih tergolong baru jika dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan juga pembangkit listrik tenaga air. Percobaan pertama dalam pemanfaatan angin untuk menghasilkan listrik dilakukan di Glasgow, Skotlandia, di tahun 1887[1]. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), energi angin merupakan salah satu sumber energi yang akan diprioritaskan dalam pemenuhan konsumsi energi nasional. Potensi energi angin di Indonesia yang dapat dimanfaatkan mencapai 60,647 MW[2]. Provinsi dengan potensi energi angin terbesar adalah Nusa Tenggara Timur dengan nilai energi sebesar 10,188 MW. Provinsi kedua dengan potensi angin terbesar adalah Jawa Timur dengan energi angin mencapai 7,907 MW. DKI Jakarta, mengingat kondisi geografisnya yang berada di dataran rendah serta dipadati dengan bangunan bangunan, memiliki potensi terendah dari seluruh provinsi di Indonesia, yaitu hanya sebesar 4 MW. Hal ini menjadi tantangan tersendiri mengingat DKI Jakarta menjadi salah satu provinsi dengan konsumsi energi listrik terbesar se-Indonesia. Secara mekanisme, cara kerja PLTB memiliki prinsip yang sama dengan PLTA. Perbedaannya, pada PLTB, energi kinetik yang dimanfaatkan untuk memutar turbin adalah energi kinetik yang berasal dari aliran angin. Bentuk sudu turbin dirancang dengan memperhitungkan sifat-sifat aerodinamika yang umumnya dikenal dengan nama aerofoil. Seperti halnya pada desain sayap pesawat terbang, angin yang mengalir ke permukaan sudu turbin akan menghasilkan gaya angkat (lift force) pada sudu turbin. Gaya angkat tersebut lah yang berperan dalam terputarnya sudu turbin. Skema gaya angkat dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini. Gambar 1. Skema gaya angkat pada turbin angin Sumber: https://science.howstuffworks.com/environmental/green-science/wind-power.htm Gambar 2. Struktur Turbin Angin Sumber: https://science.howstuffworks.com/environmental/green-science/wind-power.htm Sistem turbin angin juga didukung oleh dua komponen elektrik yang fungsinya untuk mengondisikan energi listrik yang dihasilkan oleh turbin. Aliran angin yang dimanfaatkan untuk pembangkitan bersifat transient (selalu berubah kecepatan dan energinya setiap waktu). Akibatnya, listrik yang dihasilkan turbin angin pun tidak konstan. Apabila listrik ini langsung dialirkan ke beban, maka besar kemungkinan dapat merusak sistem transmisi dan distribusi listrik akibat dari ketidaksesuaian besar energi listrik dan beban. Dengan demikian, sebelum dialirkan ke beban, listrik terlebih dahulu dibuat stabil dengan menggunakan komponen bernama inverter. Selanjutnya, listrik akan mengalir ke transformer untuk diubah arus dan tegangannya agar sesuai dengan spesifikasi dari sistem transmisi dan distribusi listrik dan dapat dialirkan ke pengguna. Kelebihan dan kekurangan PLTB dirangkum pada tabel berikut.
Desa Tirtomulyo, Kecamatan Kretek, Bantul DIY terletak ±7 km dari Pantai Parangtritis. Mata pencaharian masyarakatnya didominasi oleh petani, sehingga sebagian wilayah desa tersebut adalah lahan pertanian. Kondisi permukaan tanah yang relatif datar membuat angin yang berhembus dari Pantai Selatan masih memiliki kekuatan cukup besar. Beberapa wilayah di Desa tersebut masih belum tersentuh listrik, khususnya di daerah pematang sawah. Sehingga di bagian wilayah tersebut belum tersedia penerangan yang memadahi.Oleh karena itu, mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY melalui program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian kepada Masyarakat (PKMM) membuat inovasi yaitu membuat kincir angin poros vertikal tipe savonius sebagai sumber energi alternatif cadangan pembangkit tenaga listrik di wilayah tersebut. Kincir angin memanfaatkan energi kinetik angin untuk dikonversi menjadi energi listrik. Para mahasiswa tersebut yaitu Kinanti Prabandari, Aden Setia Hadi, Arif Rahman, Widi Sulistia Nugraha, dengan dosen pembimbing Yosi Aprian Sari, M.Si.Kinanti menerangkan, kincir angin dengan poros vertikal digunakan untuk mengatasi kondisi angin di Indonesia yang arahnya berubah-ubah karena prinsip kerja kincir angin dengan poros vertikal tidak bergantung dengan arah datangnya angin. Sedangkan kincir angin tipe Savonius merupakan tipe yang ideal untuk angin di Indonesia yang memiliki kecepatan rendah.Energi angin merupakan salah satu metode menghasilkan energi listrik dengan cara memutar turbin/kincir angin yang dihubungkan dengan generator, hasilnya akan disimpan di dalam elemen penyimpan, dan untuk menjaga tegangan keluaran dari generator dibutuhkan pengendali energi listrik agar dapat berjalan dengan optimal. Prinsip kerja dari alat ini adalah mengonversi energi kinetik yang bersumber dari angin menjadi energi listrik.Untuk pembuatan prototipe-nya, lanjut Kinanti, kami dilakukan di Laboratorium Fisika UNY. Dalam pengujian prototipe-nya dilakuan di Desa Tirtomulyo, Kretek, Bantul, Yogyakarta. Dalam melakukan perancangan desain alat, terlebih dahulu kami melihat atau mensurvei tempat yang akan dijadikan tempat pemasangan alat. Karena pembangkit listrik dengan kincir angin tipe Savonius yang dibuat dalam program ini harus disesuaikan dengan keadaan geografis.Dijelaskan juga, dalam pembuatan alat ini diperlukan bahan yang tahan terhadap berbagai kondisi (baik lembab atau kering). Hal ini dikarenakan alat ini akan ditempatkan di luar ruangan atau outdoor. Sebelum dicobakan di Bantul, Kami juga melakukan pengujian alat tersebut yang meliputi berfungsi tidaknya alat, ketahanan alat terhadap lingkungan, serta menentukan efisiensi alatDari program dapat disimpulkan bahwa kincir angin tipe savonius cocok untuk angin indonesia yang berhembus pelan. Kincir angin tipe savonius dapat diaplikasikan sebagai pembangkit listrik tenaga angin guna membantu masyarakat Desa Tirtomulyo dalam mengatasi kelangkaan kebutuhan listrik di daerah lahan pertanian, serta fungsi kerja kincir angin poros vertikal tipe Savonius dapat dioptimalkan. (witono N) |