Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

ANALISIS KRITIS AKAD SALAM DI PERBANKAN SYARIAH

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

Supriadi, Sri Mulyani, Abd. Salam

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

KOMPETENSI HAKIM PENGADILAN AGAMA PONOROGO DI BIDANG EKONOMI SYARIAH

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

MODIFIKASI PEMBIAYAAN SALAM DAN IMPLIKASI PERLAKUAN AKUNTANSI SALAM

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

AKSI PRO SALAM POLA PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK PERTANIAN ORGANIK

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

2003) Drs. H. AHMAD ZUHDI MUHDLOR, SH., M. Hum. 1 M. NATSIR ASNAWI, S.HI

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

Salam Redaksi SALAM REDAKSI

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

SYSTEM PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

oleh: Ustz. Drs. H. Lukman Hakim

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

SALAM SALAM PEMBUKA, PEMBUKA

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

SIKAP DAN PERILAKU HAKIM AGAMA TERHADAP PERBANKAN SYARIAH

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

SALAM PADA TUHAN Oleh Nurcholish Madjid

Rekomendasi Skema Akad Salam pada Perbankan Syariah

Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani atau bercocok tanam sehingga membuatnya dikenal dengan sebutan “negara agraris”. Berdasarkan data dari FAO (2016), Indonesia menempati peringkat ketiga dunia sebagai negara produsen beras dengan total produksi beras sekitar 79,36 juta ton/tahun. Indonesia berada di bawah China sebagai negara penghasil beras terbesar didunia dengan jumlah produksi sebanyak 206,5 juta ton/tahun dan India yang menempati posisi kedua dengan jumlah produksi sekitar 153,8 juta ton/tahun. Data tersebut semakin menegaskan posisi Indonesia sebagai negara agraris. Selain itu, sektor pertanian memainkan peran sangat strategis dalam pembangunan nasional diantaranya sebagai penyerap tenaga kerja, berkontribusi terhadap produk domestik bruto, sumber devisa, bahan baku usaha kecil, sumber bahan pangan dan gizi serta pendorong bergeraknya sektor – sektor ekonomi rill lainnya. Namun dewasa ini, masih layakkah Indonesia disebut sebagai negara agraris? Nyatanya, Berdasarkan data Sakernas dalam detiknews.com, tenaga pertanian mengalami penurunan terlaju dibandingkan sektor lain pada 2018 yakni mencapai 0,89 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Banyaknya petani Indonesia yang lebih memilih beralih ke profesi lain disebabkan karena anggapan bahwa sektor pertanian kini dirasa kurang menjanjikan dan justru banyak menimbulkan kerugian, salah satunya disebabkan permasalahan permodalan dan adanya praktik tallaqi rukban yang sangat merugikan.

Permasalahan tallaqi rukban memang masih marak ditemukan di kehidupan para petani Indonesia, Tallaqi Rukban sering disebut juga Taqqi’ As-Silai’ dalam fiqih mu’amalah didefinisikan sebagai proses pembelian suatu jenis barang atau komoditi dengan cara mencegat para petani dari desa sebelum memasuki pasar dan membelinya dengan harga yang lebih murah dari harga pasar. Tranksaksi ini tentu menyebabkan kerugian bagi para petani yang buta atau tidak mengetahui berapa harga yang berlaku dipasar. Orang yang mencegatpun akan seenaknya menentukan harga kepada petani agar memperoleh keuntungan yang lebih besar (Asyari, 2010:100). Kelompok yang sering melakukan hal tersebut adalah para tengkulak/distributor nakal yang sering melakukan praktik rekayasa harga dengan memanfaatkan ketidaktahuan para petani untuk meraup lebih banyak keuntungan.

Perbankan syariah secara teori memiliki potensi sangat besar sebagai pahlawan bagi petani Indonesia dalam memecahkan permasalahan-permasalahanya tersebut. Lembaga ini memiliki core bussiness menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya ke pelaku usaha dalam bentuk kredit/pembiayaan. Secara konseptual, prospek perbankan syariah untuk mendukung kebangkitan sektor pertanian masih sangat terbuka. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi pandang, yaitu dari potensi jumlah dana dan aset yang dimiliki perbankan serta dari sisi melimpahnya potensi sektor pertanian di Indonesia. Salah satu akad dalam bank syariah yang mampu menjawab masalah yang dialami petani Indonesia adalah Bai’ As-Salam. Secara umum Bai’ As-Salam adalah jenis transaksi jual beli yang pembayarannya dilakukan pada saat akad, namun penyerahan barang terjadi dikemudian hari dengan waktu yang telah ditentutan. Transaksi ini memberikan keuntungan baik pada pembeli ataupun penjual. Keuntungan tersebut adalah si pembeli mendapatkan harga yang lebih murah dan si penjual mendapatkan modal untuk membeli barang yang dipesan (Ahmad Roziq, dkk. 2014). 

Walaupun secara teoritis akad Bai’ As-Salam telah nyata adanya dan telah diatur berbagai ketentuannya dalam Fatwa DSN MUI No.5/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam. Akan tetapi dalam praktiknya, komposisi penyaluran pembiayaan akad salam dari tahun 2014 hingga 2019 adalah Rp 0 pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Data statistik yang dilansir dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (2019) tersebut menunjukkan bahwa terdapat suatu kendala pada perbankan syariah dalam mengimplementasikan akad salam salah satunya masuk kategori pembiayaan yang high risk. Akan tetapi, jika akad salam ini diterapkan dalam produk perbankan syariah diyakini mampu menjadi angin segar bagi perkembangan sektor pertanian di Indonesia dalam mengatasi berbagai masalah yang dialami.

Dengan demikian, dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan rekomendasi atau saran model penerapan akad Bai’ As-Salam yang dapat diterapkan di perbankan syariah agar dapat mempermudah proses distribusi hasil panen petani dan terhindar dari praktik rekayasan harga yang dilakukan tengkulak/distributor nakal. Dalam pengembangan model akad salam ini penulis menemukan pola distribusi yang dapat efektif dan efesien sehingga dapat meningkatkan pendapatan dari hasil panen petani. Pengembangan model dalam optimalisasi akad salam yang penulis tawarkan adalah pihak perbankan menjadi perantara atau distributor dari hasil panen para petani. Sebelumnya pihak perbankan dapat menawarkan terlebih dahulu kepada para nasabah (pedagang dipasar dan di toko buah) sehingga ketika ada pesanan dari pedagang dan telah disepakati berapa harga jualnya dan telah disesuaikan dengan jumlah hasil panen para petani, selanjutnya pihak perbankan syariah dapat mengantarkan pesanan tersebut kepada para penjual dengan harga yang telah disepakati oleh petani, tentu setelah adanya transparasi dan kesepakatan berapa keuntungan yang dapat diterima oleh pihak perbankan. Lebih jelasnya dalam gambar "Rekomendasi Skema Akad Salam pada Perbankan Syariah" :

Pemesanan melakukan negoisasi terkait kesepakatan jumlah dan harga komoditas yang akan dipesan. Setelah itu dilakukan pembayaran dengan dua metode yaitu pelunasan langsung atau pembayaran secara cicilan dengan persyaratan pelunasan pada saat barang diterima. Di alur kedua, pihak perbankan melakukan pemesanan kepada petani sesuai dengan spesifikasi komoditas yang diinginkan pedagang dan penentuan laba yang akan diperoleh oleh perbankan. Disini harus ada kejelasan harga yang diperjualkan ke pedagang serta berapa keuntungan yang akan diterima perbankan. Selanjutnya, ketika telah disepakati oleh petani, komoditas yang dipesan diambil oleh pihak perbankan dan dilakukan pembayaran secara tunai. Alur keempat, pihak perbankan mengantarkan pesanan kepada pedagang sesuai kesepakatan diawal akad dan pedagang melakukan pelunasan apabila belum terlunasi (Khurul Aimmatul, dkk. 2018). Untuk semakin memperluas wilayah distribusi suatu komoditas, pihak perbankan dapat melakukan kerja sama dengan cabang perbankan syariah yang sama didaerah lain. Misalnya BRI syariah cabang Kediri dapat menghubungi BRI syariah cabang Nganjuk untuk memberlakukan akad salam kepada para pedagang di Nganjuk agar dapat memperoleh komoditas pertanian dari para petani Kediri.

Namun demikian, sejatinya akad salam tidak hanya dapat digunakan terbatas untuk komoditas pertanian saja, namun juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalkan pada produk garmer (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmer, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal ini berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmer tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmer tersebut. Bila garmer itu telah selesai diproduksi, maka produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara tunai maupun angsuran. 

Agar akad salam ini dapat diimplementasikan dengan baik di perbankan syariah, tentu perlu adanya kerja sama yang baik antara bank syariah dengan para petani. Ketakutan bank syariah akan munculnya risiko gagal panen oleh petani akibat kelalaiannya dapat dimitigasi dengan menggunakan skema berikut (Widiana dan Arna. 2017):

Dalam skema diatas, LKS atau dalam ini bank syariah dapat melakukan penyeleksian kepada petani yang dirasa mampu dan terpercaya untuk memasok komoditas berkualitas sesuai pesanan nasabah/pedagang. Selain itu, tidak hanya sekedar menjual dan membeli komoditas para petani, namun bank syariah juga berhak memberikan pembekalan bagi petani agar mampu meminimalisir terjadinya gagal panen serta cara menjaga kuantitas dan kualitas hasil panennya.

Dari rekomendasi model penerapan akad salam bagi perbankan syariah diatas, besar harapan penulis agar perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya dapat mengimplementasikannya pada produk yang ditawarkannya. Karena memang jika akad ini dapat dijalankan dengan baik, selain memberikan keuntungan bagi pihak bank syariah, penulis meyakini akad salam akan membawa seribu manfaat bagi para petani salah satunya dengan skema pembayaran dimuka akan sangat membantu petani dalam membiayai kebutuhan petani dalam memproduksi hasil pertanian. Dengan demikian, petani memiliki kesempatan dan dorongan yang lebih besar untuk meningkatkan kapasitas produksinya agar dapat menghasilkan produk pertanian yang lebih banyak sehingga disamping untuk diserahkan kepada pembeli sebanyak yang sudah ditentukan, juga dapat digunakan untuk diri sendiri atau dijual pihak lain. Selain itu, akad salam juga dapat menghilangkan praktik tallaqi rukban atau adanya tengkulak yang membuat petani semakin minim pendapatannya dan memudahkan petani untuk memasarkan hasil panennya. Dengan demikian, penerapan akad salam ini diamini kedepannya akan menggiring para petani Indonesia untuk mengembalikan citra Indonesia sebagai “negara agraris” yang bukanlah hanya slogan belaka namun memang benar adanya.


Page 2

Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani atau bercocok tanam sehingga membuatnya dikenal dengan sebutan “negara agraris”. Berdasarkan data dari FAO (2016), Indonesia menempati peringkat ketiga dunia sebagai negara produsen beras dengan total produksi beras sekitar 79,36 juta ton/tahun. Indonesia berada di bawah China sebagai negara penghasil beras terbesar didunia dengan jumlah produksi sebanyak 206,5 juta ton/tahun dan India yang menempati posisi kedua dengan jumlah produksi sekitar 153,8 juta ton/tahun. Data tersebut semakin menegaskan posisi Indonesia sebagai negara agraris. Selain itu, sektor pertanian memainkan peran sangat strategis dalam pembangunan nasional diantaranya sebagai penyerap tenaga kerja, berkontribusi terhadap produk domestik bruto, sumber devisa, bahan baku usaha kecil, sumber bahan pangan dan gizi serta pendorong bergeraknya sektor – sektor ekonomi rill lainnya. Namun dewasa ini, masih layakkah Indonesia disebut sebagai negara agraris? Nyatanya, Berdasarkan data Sakernas dalam detiknews.com, tenaga pertanian mengalami penurunan terlaju dibandingkan sektor lain pada 2018 yakni mencapai 0,89 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Banyaknya petani Indonesia yang lebih memilih beralih ke profesi lain disebabkan karena anggapan bahwa sektor pertanian kini dirasa kurang menjanjikan dan justru banyak menimbulkan kerugian, salah satunya disebabkan permasalahan permodalan dan adanya praktik tallaqi rukban yang sangat merugikan.

Permasalahan tallaqi rukban memang masih marak ditemukan di kehidupan para petani Indonesia, Tallaqi Rukban sering disebut juga Taqqi’ As-Silai’ dalam fiqih mu’amalah didefinisikan sebagai proses pembelian suatu jenis barang atau komoditi dengan cara mencegat para petani dari desa sebelum memasuki pasar dan membelinya dengan harga yang lebih murah dari harga pasar. Tranksaksi ini tentu menyebabkan kerugian bagi para petani yang buta atau tidak mengetahui berapa harga yang berlaku dipasar. Orang yang mencegatpun akan seenaknya menentukan harga kepada petani agar memperoleh keuntungan yang lebih besar (Asyari, 2010:100). Kelompok yang sering melakukan hal tersebut adalah para tengkulak/distributor nakal yang sering melakukan praktik rekayasa harga dengan memanfaatkan ketidaktahuan para petani untuk meraup lebih banyak keuntungan.

Perbankan syariah secara teori memiliki potensi sangat besar sebagai pahlawan bagi petani Indonesia dalam memecahkan permasalahan-permasalahanya tersebut. Lembaga ini memiliki core bussiness menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya ke pelaku usaha dalam bentuk kredit/pembiayaan. Secara konseptual, prospek perbankan syariah untuk mendukung kebangkitan sektor pertanian masih sangat terbuka. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi pandang, yaitu dari potensi jumlah dana dan aset yang dimiliki perbankan serta dari sisi melimpahnya potensi sektor pertanian di Indonesia. Salah satu akad dalam bank syariah yang mampu menjawab masalah yang dialami petani Indonesia adalah Bai’ As-Salam. Secara umum Bai’ As-Salam adalah jenis transaksi jual beli yang pembayarannya dilakukan pada saat akad, namun penyerahan barang terjadi dikemudian hari dengan waktu yang telah ditentutan. Transaksi ini memberikan keuntungan baik pada pembeli ataupun penjual. Keuntungan tersebut adalah si pembeli mendapatkan harga yang lebih murah dan si penjual mendapatkan modal untuk membeli barang yang dipesan (Ahmad Roziq, dkk. 2014). 

Walaupun secara teoritis akad Bai’ As-Salam telah nyata adanya dan telah diatur berbagai ketentuannya dalam Fatwa DSN MUI No.5/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam. Akan tetapi dalam praktiknya, komposisi penyaluran pembiayaan akad salam dari tahun 2014 hingga 2019 adalah Rp 0 pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Data statistik yang dilansir dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (2019) tersebut menunjukkan bahwa terdapat suatu kendala pada perbankan syariah dalam mengimplementasikan akad salam salah satunya masuk kategori pembiayaan yang high risk. Akan tetapi, jika akad salam ini diterapkan dalam produk perbankan syariah diyakini mampu menjadi angin segar bagi perkembangan sektor pertanian di Indonesia dalam mengatasi berbagai masalah yang dialami.

Dengan demikian, dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan rekomendasi atau saran model penerapan akad Bai’ As-Salam yang dapat diterapkan di perbankan syariah agar dapat mempermudah proses distribusi hasil panen petani dan terhindar dari praktik rekayasan harga yang dilakukan tengkulak/distributor nakal. Dalam pengembangan model akad salam ini penulis menemukan pola distribusi yang dapat efektif dan efesien sehingga dapat meningkatkan pendapatan dari hasil panen petani. Pengembangan model dalam optimalisasi akad salam yang penulis tawarkan adalah pihak perbankan menjadi perantara atau distributor dari hasil panen para petani. Sebelumnya pihak perbankan dapat menawarkan terlebih dahulu kepada para nasabah (pedagang dipasar dan di toko buah) sehingga ketika ada pesanan dari pedagang dan telah disepakati berapa harga jualnya dan telah disesuaikan dengan jumlah hasil panen para petani, selanjutnya pihak perbankan syariah dapat mengantarkan pesanan tersebut kepada para penjual dengan harga yang telah disepakati oleh petani, tentu setelah adanya transparasi dan kesepakatan berapa keuntungan yang dapat diterima oleh pihak perbankan. Lebih jelasnya dalam gambar "Rekomendasi Skema Akad Salam pada Perbankan Syariah" :

Pemesanan melakukan negoisasi terkait kesepakatan jumlah dan harga komoditas yang akan dipesan. Setelah itu dilakukan pembayaran dengan dua metode yaitu pelunasan langsung atau pembayaran secara cicilan dengan persyaratan pelunasan pada saat barang diterima. Di alur kedua, pihak perbankan melakukan pemesanan kepada petani sesuai dengan spesifikasi komoditas yang diinginkan pedagang dan penentuan laba yang akan diperoleh oleh perbankan. Disini harus ada kejelasan harga yang diperjualkan ke pedagang serta berapa keuntungan yang akan diterima perbankan. Selanjutnya, ketika telah disepakati oleh petani, komoditas yang dipesan diambil oleh pihak perbankan dan dilakukan pembayaran secara tunai. Alur keempat, pihak perbankan mengantarkan pesanan kepada pedagang sesuai kesepakatan diawal akad dan pedagang melakukan pelunasan apabila belum terlunasi (Khurul Aimmatul, dkk. 2018). Untuk semakin memperluas wilayah distribusi suatu komoditas, pihak perbankan dapat melakukan kerja sama dengan cabang perbankan syariah yang sama didaerah lain. Misalnya BRI syariah cabang Kediri dapat menghubungi BRI syariah cabang Nganjuk untuk memberlakukan akad salam kepada para pedagang di Nganjuk agar dapat memperoleh komoditas pertanian dari para petani Kediri.

Namun demikian, sejatinya akad salam tidak hanya dapat digunakan terbatas untuk komoditas pertanian saja, namun juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalkan pada produk garmer (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmer, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal ini berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmer tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmer tersebut. Bila garmer itu telah selesai diproduksi, maka produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara tunai maupun angsuran. 

Agar akad salam ini dapat diimplementasikan dengan baik di perbankan syariah, tentu perlu adanya kerja sama yang baik antara bank syariah dengan para petani. Ketakutan bank syariah akan munculnya risiko gagal panen oleh petani akibat kelalaiannya dapat dimitigasi dengan menggunakan skema berikut (Widiana dan Arna. 2017):

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

Skema Mitigasi Risiko Gagal Panen

Dalam skema diatas, LKS atau dalam ini bank syariah dapat melakukan penyeleksian kepada petani yang dirasa mampu dan terpercaya untuk memasok komoditas berkualitas sesuai pesanan nasabah/pedagang. Selain itu, tidak hanya sekedar menjual dan membeli komoditas para petani, namun bank syariah juga berhak memberikan pembekalan bagi petani agar mampu meminimalisir terjadinya gagal panen serta cara menjaga kuantitas dan kualitas hasil panennya.

Dari rekomendasi model penerapan akad salam bagi perbankan syariah diatas, besar harapan penulis agar perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya dapat mengimplementasikannya pada produk yang ditawarkannya. Karena memang jika akad ini dapat dijalankan dengan baik, selain memberikan keuntungan bagi pihak bank syariah, penulis meyakini akad salam akan membawa seribu manfaat bagi para petani salah satunya dengan skema pembayaran dimuka akan sangat membantu petani dalam membiayai kebutuhan petani dalam memproduksi hasil pertanian. Dengan demikian, petani memiliki kesempatan dan dorongan yang lebih besar untuk meningkatkan kapasitas produksinya agar dapat menghasilkan produk pertanian yang lebih banyak sehingga disamping untuk diserahkan kepada pembeli sebanyak yang sudah ditentukan, juga dapat digunakan untuk diri sendiri atau dijual pihak lain. Selain itu, akad salam juga dapat menghilangkan praktik tallaqi rukban atau adanya tengkulak yang membuat petani semakin minim pendapatannya dan memudahkan petani untuk memasarkan hasil panennya. Dengan demikian, penerapan akad salam ini diamini kedepannya akan menggiring para petani Indonesia untuk mengembalikan citra Indonesia sebagai “negara agraris” yang bukanlah hanya slogan belaka namun memang benar adanya.


Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

Lihat Money Selengkapnya


Page 3

Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani atau bercocok tanam sehingga membuatnya dikenal dengan sebutan “negara agraris”. Berdasarkan data dari FAO (2016), Indonesia menempati peringkat ketiga dunia sebagai negara produsen beras dengan total produksi beras sekitar 79,36 juta ton/tahun. Indonesia berada di bawah China sebagai negara penghasil beras terbesar didunia dengan jumlah produksi sebanyak 206,5 juta ton/tahun dan India yang menempati posisi kedua dengan jumlah produksi sekitar 153,8 juta ton/tahun. Data tersebut semakin menegaskan posisi Indonesia sebagai negara agraris. Selain itu, sektor pertanian memainkan peran sangat strategis dalam pembangunan nasional diantaranya sebagai penyerap tenaga kerja, berkontribusi terhadap produk domestik bruto, sumber devisa, bahan baku usaha kecil, sumber bahan pangan dan gizi serta pendorong bergeraknya sektor – sektor ekonomi rill lainnya. Namun dewasa ini, masih layakkah Indonesia disebut sebagai negara agraris? Nyatanya, Berdasarkan data Sakernas dalam detiknews.com, tenaga pertanian mengalami penurunan terlaju dibandingkan sektor lain pada 2018 yakni mencapai 0,89 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Banyaknya petani Indonesia yang lebih memilih beralih ke profesi lain disebabkan karena anggapan bahwa sektor pertanian kini dirasa kurang menjanjikan dan justru banyak menimbulkan kerugian, salah satunya disebabkan permasalahan permodalan dan adanya praktik tallaqi rukban yang sangat merugikan.

Permasalahan tallaqi rukban memang masih marak ditemukan di kehidupan para petani Indonesia, Tallaqi Rukban sering disebut juga Taqqi’ As-Silai’ dalam fiqih mu’amalah didefinisikan sebagai proses pembelian suatu jenis barang atau komoditi dengan cara mencegat para petani dari desa sebelum memasuki pasar dan membelinya dengan harga yang lebih murah dari harga pasar. Tranksaksi ini tentu menyebabkan kerugian bagi para petani yang buta atau tidak mengetahui berapa harga yang berlaku dipasar. Orang yang mencegatpun akan seenaknya menentukan harga kepada petani agar memperoleh keuntungan yang lebih besar (Asyari, 2010:100). Kelompok yang sering melakukan hal tersebut adalah para tengkulak/distributor nakal yang sering melakukan praktik rekayasa harga dengan memanfaatkan ketidaktahuan para petani untuk meraup lebih banyak keuntungan.

Perbankan syariah secara teori memiliki potensi sangat besar sebagai pahlawan bagi petani Indonesia dalam memecahkan permasalahan-permasalahanya tersebut. Lembaga ini memiliki core bussiness menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya ke pelaku usaha dalam bentuk kredit/pembiayaan. Secara konseptual, prospek perbankan syariah untuk mendukung kebangkitan sektor pertanian masih sangat terbuka. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi pandang, yaitu dari potensi jumlah dana dan aset yang dimiliki perbankan serta dari sisi melimpahnya potensi sektor pertanian di Indonesia. Salah satu akad dalam bank syariah yang mampu menjawab masalah yang dialami petani Indonesia adalah Bai’ As-Salam. Secara umum Bai’ As-Salam adalah jenis transaksi jual beli yang pembayarannya dilakukan pada saat akad, namun penyerahan barang terjadi dikemudian hari dengan waktu yang telah ditentutan. Transaksi ini memberikan keuntungan baik pada pembeli ataupun penjual. Keuntungan tersebut adalah si pembeli mendapatkan harga yang lebih murah dan si penjual mendapatkan modal untuk membeli barang yang dipesan (Ahmad Roziq, dkk. 2014). 

Walaupun secara teoritis akad Bai’ As-Salam telah nyata adanya dan telah diatur berbagai ketentuannya dalam Fatwa DSN MUI No.5/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam. Akan tetapi dalam praktiknya, komposisi penyaluran pembiayaan akad salam dari tahun 2014 hingga 2019 adalah Rp 0 pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Data statistik yang dilansir dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (2019) tersebut menunjukkan bahwa terdapat suatu kendala pada perbankan syariah dalam mengimplementasikan akad salam salah satunya masuk kategori pembiayaan yang high risk. Akan tetapi, jika akad salam ini diterapkan dalam produk perbankan syariah diyakini mampu menjadi angin segar bagi perkembangan sektor pertanian di Indonesia dalam mengatasi berbagai masalah yang dialami.

Dengan demikian, dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan rekomendasi atau saran model penerapan akad Bai’ As-Salam yang dapat diterapkan di perbankan syariah agar dapat mempermudah proses distribusi hasil panen petani dan terhindar dari praktik rekayasan harga yang dilakukan tengkulak/distributor nakal. Dalam pengembangan model akad salam ini penulis menemukan pola distribusi yang dapat efektif dan efesien sehingga dapat meningkatkan pendapatan dari hasil panen petani. Pengembangan model dalam optimalisasi akad salam yang penulis tawarkan adalah pihak perbankan menjadi perantara atau distributor dari hasil panen para petani. Sebelumnya pihak perbankan dapat menawarkan terlebih dahulu kepada para nasabah (pedagang dipasar dan di toko buah) sehingga ketika ada pesanan dari pedagang dan telah disepakati berapa harga jualnya dan telah disesuaikan dengan jumlah hasil panen para petani, selanjutnya pihak perbankan syariah dapat mengantarkan pesanan tersebut kepada para penjual dengan harga yang telah disepakati oleh petani, tentu setelah adanya transparasi dan kesepakatan berapa keuntungan yang dapat diterima oleh pihak perbankan. Lebih jelasnya dalam gambar "Rekomendasi Skema Akad Salam pada Perbankan Syariah" :

Pemesanan melakukan negoisasi terkait kesepakatan jumlah dan harga komoditas yang akan dipesan. Setelah itu dilakukan pembayaran dengan dua metode yaitu pelunasan langsung atau pembayaran secara cicilan dengan persyaratan pelunasan pada saat barang diterima. Di alur kedua, pihak perbankan melakukan pemesanan kepada petani sesuai dengan spesifikasi komoditas yang diinginkan pedagang dan penentuan laba yang akan diperoleh oleh perbankan. Disini harus ada kejelasan harga yang diperjualkan ke pedagang serta berapa keuntungan yang akan diterima perbankan. Selanjutnya, ketika telah disepakati oleh petani, komoditas yang dipesan diambil oleh pihak perbankan dan dilakukan pembayaran secara tunai. Alur keempat, pihak perbankan mengantarkan pesanan kepada pedagang sesuai kesepakatan diawal akad dan pedagang melakukan pelunasan apabila belum terlunasi (Khurul Aimmatul, dkk. 2018). Untuk semakin memperluas wilayah distribusi suatu komoditas, pihak perbankan dapat melakukan kerja sama dengan cabang perbankan syariah yang sama didaerah lain. Misalnya BRI syariah cabang Kediri dapat menghubungi BRI syariah cabang Nganjuk untuk memberlakukan akad salam kepada para pedagang di Nganjuk agar dapat memperoleh komoditas pertanian dari para petani Kediri.

Namun demikian, sejatinya akad salam tidak hanya dapat digunakan terbatas untuk komoditas pertanian saja, namun juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalkan pada produk garmer (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmer, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal ini berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmer tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmer tersebut. Bila garmer itu telah selesai diproduksi, maka produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara tunai maupun angsuran. 

Agar akad salam ini dapat diimplementasikan dengan baik di perbankan syariah, tentu perlu adanya kerja sama yang baik antara bank syariah dengan para petani. Ketakutan bank syariah akan munculnya risiko gagal panen oleh petani akibat kelalaiannya dapat dimitigasi dengan menggunakan skema berikut (Widiana dan Arna. 2017):

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

Skema Mitigasi Risiko Gagal Panen

Dalam skema diatas, LKS atau dalam ini bank syariah dapat melakukan penyeleksian kepada petani yang dirasa mampu dan terpercaya untuk memasok komoditas berkualitas sesuai pesanan nasabah/pedagang. Selain itu, tidak hanya sekedar menjual dan membeli komoditas para petani, namun bank syariah juga berhak memberikan pembekalan bagi petani agar mampu meminimalisir terjadinya gagal panen serta cara menjaga kuantitas dan kualitas hasil panennya.

Dari rekomendasi model penerapan akad salam bagi perbankan syariah diatas, besar harapan penulis agar perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya dapat mengimplementasikannya pada produk yang ditawarkannya. Karena memang jika akad ini dapat dijalankan dengan baik, selain memberikan keuntungan bagi pihak bank syariah, penulis meyakini akad salam akan membawa seribu manfaat bagi para petani salah satunya dengan skema pembayaran dimuka akan sangat membantu petani dalam membiayai kebutuhan petani dalam memproduksi hasil pertanian. Dengan demikian, petani memiliki kesempatan dan dorongan yang lebih besar untuk meningkatkan kapasitas produksinya agar dapat menghasilkan produk pertanian yang lebih banyak sehingga disamping untuk diserahkan kepada pembeli sebanyak yang sudah ditentukan, juga dapat digunakan untuk diri sendiri atau dijual pihak lain. Selain itu, akad salam juga dapat menghilangkan praktik tallaqi rukban atau adanya tengkulak yang membuat petani semakin minim pendapatannya dan memudahkan petani untuk memasarkan hasil panennya. Dengan demikian, penerapan akad salam ini diamini kedepannya akan menggiring para petani Indonesia untuk mengembalikan citra Indonesia sebagai “negara agraris” yang bukanlah hanya slogan belaka namun memang benar adanya.


Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

Lihat Money Selengkapnya


Page 4

Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani atau bercocok tanam sehingga membuatnya dikenal dengan sebutan “negara agraris”. Berdasarkan data dari FAO (2016), Indonesia menempati peringkat ketiga dunia sebagai negara produsen beras dengan total produksi beras sekitar 79,36 juta ton/tahun. Indonesia berada di bawah China sebagai negara penghasil beras terbesar didunia dengan jumlah produksi sebanyak 206,5 juta ton/tahun dan India yang menempati posisi kedua dengan jumlah produksi sekitar 153,8 juta ton/tahun. Data tersebut semakin menegaskan posisi Indonesia sebagai negara agraris. Selain itu, sektor pertanian memainkan peran sangat strategis dalam pembangunan nasional diantaranya sebagai penyerap tenaga kerja, berkontribusi terhadap produk domestik bruto, sumber devisa, bahan baku usaha kecil, sumber bahan pangan dan gizi serta pendorong bergeraknya sektor – sektor ekonomi rill lainnya. Namun dewasa ini, masih layakkah Indonesia disebut sebagai negara agraris? Nyatanya, Berdasarkan data Sakernas dalam detiknews.com, tenaga pertanian mengalami penurunan terlaju dibandingkan sektor lain pada 2018 yakni mencapai 0,89 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Banyaknya petani Indonesia yang lebih memilih beralih ke profesi lain disebabkan karena anggapan bahwa sektor pertanian kini dirasa kurang menjanjikan dan justru banyak menimbulkan kerugian, salah satunya disebabkan permasalahan permodalan dan adanya praktik tallaqi rukban yang sangat merugikan.

Permasalahan tallaqi rukban memang masih marak ditemukan di kehidupan para petani Indonesia, Tallaqi Rukban sering disebut juga Taqqi’ As-Silai’ dalam fiqih mu’amalah didefinisikan sebagai proses pembelian suatu jenis barang atau komoditi dengan cara mencegat para petani dari desa sebelum memasuki pasar dan membelinya dengan harga yang lebih murah dari harga pasar. Tranksaksi ini tentu menyebabkan kerugian bagi para petani yang buta atau tidak mengetahui berapa harga yang berlaku dipasar. Orang yang mencegatpun akan seenaknya menentukan harga kepada petani agar memperoleh keuntungan yang lebih besar (Asyari, 2010:100). Kelompok yang sering melakukan hal tersebut adalah para tengkulak/distributor nakal yang sering melakukan praktik rekayasa harga dengan memanfaatkan ketidaktahuan para petani untuk meraup lebih banyak keuntungan.

Perbankan syariah secara teori memiliki potensi sangat besar sebagai pahlawan bagi petani Indonesia dalam memecahkan permasalahan-permasalahanya tersebut. Lembaga ini memiliki core bussiness menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya ke pelaku usaha dalam bentuk kredit/pembiayaan. Secara konseptual, prospek perbankan syariah untuk mendukung kebangkitan sektor pertanian masih sangat terbuka. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi pandang, yaitu dari potensi jumlah dana dan aset yang dimiliki perbankan serta dari sisi melimpahnya potensi sektor pertanian di Indonesia. Salah satu akad dalam bank syariah yang mampu menjawab masalah yang dialami petani Indonesia adalah Bai’ As-Salam. Secara umum Bai’ As-Salam adalah jenis transaksi jual beli yang pembayarannya dilakukan pada saat akad, namun penyerahan barang terjadi dikemudian hari dengan waktu yang telah ditentutan. Transaksi ini memberikan keuntungan baik pada pembeli ataupun penjual. Keuntungan tersebut adalah si pembeli mendapatkan harga yang lebih murah dan si penjual mendapatkan modal untuk membeli barang yang dipesan (Ahmad Roziq, dkk. 2014). 

Walaupun secara teoritis akad Bai’ As-Salam telah nyata adanya dan telah diatur berbagai ketentuannya dalam Fatwa DSN MUI No.5/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam. Akan tetapi dalam praktiknya, komposisi penyaluran pembiayaan akad salam dari tahun 2014 hingga 2019 adalah Rp 0 pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Data statistik yang dilansir dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (2019) tersebut menunjukkan bahwa terdapat suatu kendala pada perbankan syariah dalam mengimplementasikan akad salam salah satunya masuk kategori pembiayaan yang high risk. Akan tetapi, jika akad salam ini diterapkan dalam produk perbankan syariah diyakini mampu menjadi angin segar bagi perkembangan sektor pertanian di Indonesia dalam mengatasi berbagai masalah yang dialami.

Dengan demikian, dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan rekomendasi atau saran model penerapan akad Bai’ As-Salam yang dapat diterapkan di perbankan syariah agar dapat mempermudah proses distribusi hasil panen petani dan terhindar dari praktik rekayasan harga yang dilakukan tengkulak/distributor nakal. Dalam pengembangan model akad salam ini penulis menemukan pola distribusi yang dapat efektif dan efesien sehingga dapat meningkatkan pendapatan dari hasil panen petani. Pengembangan model dalam optimalisasi akad salam yang penulis tawarkan adalah pihak perbankan menjadi perantara atau distributor dari hasil panen para petani. Sebelumnya pihak perbankan dapat menawarkan terlebih dahulu kepada para nasabah (pedagang dipasar dan di toko buah) sehingga ketika ada pesanan dari pedagang dan telah disepakati berapa harga jualnya dan telah disesuaikan dengan jumlah hasil panen para petani, selanjutnya pihak perbankan syariah dapat mengantarkan pesanan tersebut kepada para penjual dengan harga yang telah disepakati oleh petani, tentu setelah adanya transparasi dan kesepakatan berapa keuntungan yang dapat diterima oleh pihak perbankan. Lebih jelasnya dalam gambar "Rekomendasi Skema Akad Salam pada Perbankan Syariah" :

Pemesanan melakukan negoisasi terkait kesepakatan jumlah dan harga komoditas yang akan dipesan. Setelah itu dilakukan pembayaran dengan dua metode yaitu pelunasan langsung atau pembayaran secara cicilan dengan persyaratan pelunasan pada saat barang diterima. Di alur kedua, pihak perbankan melakukan pemesanan kepada petani sesuai dengan spesifikasi komoditas yang diinginkan pedagang dan penentuan laba yang akan diperoleh oleh perbankan. Disini harus ada kejelasan harga yang diperjualkan ke pedagang serta berapa keuntungan yang akan diterima perbankan. Selanjutnya, ketika telah disepakati oleh petani, komoditas yang dipesan diambil oleh pihak perbankan dan dilakukan pembayaran secara tunai. Alur keempat, pihak perbankan mengantarkan pesanan kepada pedagang sesuai kesepakatan diawal akad dan pedagang melakukan pelunasan apabila belum terlunasi (Khurul Aimmatul, dkk. 2018). Untuk semakin memperluas wilayah distribusi suatu komoditas, pihak perbankan dapat melakukan kerja sama dengan cabang perbankan syariah yang sama didaerah lain. Misalnya BRI syariah cabang Kediri dapat menghubungi BRI syariah cabang Nganjuk untuk memberlakukan akad salam kepada para pedagang di Nganjuk agar dapat memperoleh komoditas pertanian dari para petani Kediri.

Namun demikian, sejatinya akad salam tidak hanya dapat digunakan terbatas untuk komoditas pertanian saja, namun juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalkan pada produk garmer (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmer, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal ini berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmer tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmer tersebut. Bila garmer itu telah selesai diproduksi, maka produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara tunai maupun angsuran. 

Agar akad salam ini dapat diimplementasikan dengan baik di perbankan syariah, tentu perlu adanya kerja sama yang baik antara bank syariah dengan para petani. Ketakutan bank syariah akan munculnya risiko gagal panen oleh petani akibat kelalaiannya dapat dimitigasi dengan menggunakan skema berikut (Widiana dan Arna. 2017):

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

Skema Mitigasi Risiko Gagal Panen

Dalam skema diatas, LKS atau dalam ini bank syariah dapat melakukan penyeleksian kepada petani yang dirasa mampu dan terpercaya untuk memasok komoditas berkualitas sesuai pesanan nasabah/pedagang. Selain itu, tidak hanya sekedar menjual dan membeli komoditas para petani, namun bank syariah juga berhak memberikan pembekalan bagi petani agar mampu meminimalisir terjadinya gagal panen serta cara menjaga kuantitas dan kualitas hasil panennya.

Dari rekomendasi model penerapan akad salam bagi perbankan syariah diatas, besar harapan penulis agar perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya dapat mengimplementasikannya pada produk yang ditawarkannya. Karena memang jika akad ini dapat dijalankan dengan baik, selain memberikan keuntungan bagi pihak bank syariah, penulis meyakini akad salam akan membawa seribu manfaat bagi para petani salah satunya dengan skema pembayaran dimuka akan sangat membantu petani dalam membiayai kebutuhan petani dalam memproduksi hasil pertanian. Dengan demikian, petani memiliki kesempatan dan dorongan yang lebih besar untuk meningkatkan kapasitas produksinya agar dapat menghasilkan produk pertanian yang lebih banyak sehingga disamping untuk diserahkan kepada pembeli sebanyak yang sudah ditentukan, juga dapat digunakan untuk diri sendiri atau dijual pihak lain. Selain itu, akad salam juga dapat menghilangkan praktik tallaqi rukban atau adanya tengkulak yang membuat petani semakin minim pendapatannya dan memudahkan petani untuk memasarkan hasil panennya. Dengan demikian, penerapan akad salam ini diamini kedepannya akan menggiring para petani Indonesia untuk mengembalikan citra Indonesia sebagai “negara agraris” yang bukanlah hanya slogan belaka namun memang benar adanya.


Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

Lihat Money Selengkapnya


Page 5

Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani atau bercocok tanam sehingga membuatnya dikenal dengan sebutan “negara agraris”. Berdasarkan data dari FAO (2016), Indonesia menempati peringkat ketiga dunia sebagai negara produsen beras dengan total produksi beras sekitar 79,36 juta ton/tahun. Indonesia berada di bawah China sebagai negara penghasil beras terbesar didunia dengan jumlah produksi sebanyak 206,5 juta ton/tahun dan India yang menempati posisi kedua dengan jumlah produksi sekitar 153,8 juta ton/tahun. Data tersebut semakin menegaskan posisi Indonesia sebagai negara agraris. Selain itu, sektor pertanian memainkan peran sangat strategis dalam pembangunan nasional diantaranya sebagai penyerap tenaga kerja, berkontribusi terhadap produk domestik bruto, sumber devisa, bahan baku usaha kecil, sumber bahan pangan dan gizi serta pendorong bergeraknya sektor – sektor ekonomi rill lainnya. Namun dewasa ini, masih layakkah Indonesia disebut sebagai negara agraris? Nyatanya, Berdasarkan data Sakernas dalam detiknews.com, tenaga pertanian mengalami penurunan terlaju dibandingkan sektor lain pada 2018 yakni mencapai 0,89 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Banyaknya petani Indonesia yang lebih memilih beralih ke profesi lain disebabkan karena anggapan bahwa sektor pertanian kini dirasa kurang menjanjikan dan justru banyak menimbulkan kerugian, salah satunya disebabkan permasalahan permodalan dan adanya praktik tallaqi rukban yang sangat merugikan.

Permasalahan tallaqi rukban memang masih marak ditemukan di kehidupan para petani Indonesia, Tallaqi Rukban sering disebut juga Taqqi’ As-Silai’ dalam fiqih mu’amalah didefinisikan sebagai proses pembelian suatu jenis barang atau komoditi dengan cara mencegat para petani dari desa sebelum memasuki pasar dan membelinya dengan harga yang lebih murah dari harga pasar. Tranksaksi ini tentu menyebabkan kerugian bagi para petani yang buta atau tidak mengetahui berapa harga yang berlaku dipasar. Orang yang mencegatpun akan seenaknya menentukan harga kepada petani agar memperoleh keuntungan yang lebih besar (Asyari, 2010:100). Kelompok yang sering melakukan hal tersebut adalah para tengkulak/distributor nakal yang sering melakukan praktik rekayasa harga dengan memanfaatkan ketidaktahuan para petani untuk meraup lebih banyak keuntungan.

Perbankan syariah secara teori memiliki potensi sangat besar sebagai pahlawan bagi petani Indonesia dalam memecahkan permasalahan-permasalahanya tersebut. Lembaga ini memiliki core bussiness menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya ke pelaku usaha dalam bentuk kredit/pembiayaan. Secara konseptual, prospek perbankan syariah untuk mendukung kebangkitan sektor pertanian masih sangat terbuka. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi pandang, yaitu dari potensi jumlah dana dan aset yang dimiliki perbankan serta dari sisi melimpahnya potensi sektor pertanian di Indonesia. Salah satu akad dalam bank syariah yang mampu menjawab masalah yang dialami petani Indonesia adalah Bai’ As-Salam. Secara umum Bai’ As-Salam adalah jenis transaksi jual beli yang pembayarannya dilakukan pada saat akad, namun penyerahan barang terjadi dikemudian hari dengan waktu yang telah ditentutan. Transaksi ini memberikan keuntungan baik pada pembeli ataupun penjual. Keuntungan tersebut adalah si pembeli mendapatkan harga yang lebih murah dan si penjual mendapatkan modal untuk membeli barang yang dipesan (Ahmad Roziq, dkk. 2014). 

Walaupun secara teoritis akad Bai’ As-Salam telah nyata adanya dan telah diatur berbagai ketentuannya dalam Fatwa DSN MUI No.5/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam. Akan tetapi dalam praktiknya, komposisi penyaluran pembiayaan akad salam dari tahun 2014 hingga 2019 adalah Rp 0 pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Data statistik yang dilansir dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (2019) tersebut menunjukkan bahwa terdapat suatu kendala pada perbankan syariah dalam mengimplementasikan akad salam salah satunya masuk kategori pembiayaan yang high risk. Akan tetapi, jika akad salam ini diterapkan dalam produk perbankan syariah diyakini mampu menjadi angin segar bagi perkembangan sektor pertanian di Indonesia dalam mengatasi berbagai masalah yang dialami.

Dengan demikian, dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan rekomendasi atau saran model penerapan akad Bai’ As-Salam yang dapat diterapkan di perbankan syariah agar dapat mempermudah proses distribusi hasil panen petani dan terhindar dari praktik rekayasan harga yang dilakukan tengkulak/distributor nakal. Dalam pengembangan model akad salam ini penulis menemukan pola distribusi yang dapat efektif dan efesien sehingga dapat meningkatkan pendapatan dari hasil panen petani. Pengembangan model dalam optimalisasi akad salam yang penulis tawarkan adalah pihak perbankan menjadi perantara atau distributor dari hasil panen para petani. Sebelumnya pihak perbankan dapat menawarkan terlebih dahulu kepada para nasabah (pedagang dipasar dan di toko buah) sehingga ketika ada pesanan dari pedagang dan telah disepakati berapa harga jualnya dan telah disesuaikan dengan jumlah hasil panen para petani, selanjutnya pihak perbankan syariah dapat mengantarkan pesanan tersebut kepada para penjual dengan harga yang telah disepakati oleh petani, tentu setelah adanya transparasi dan kesepakatan berapa keuntungan yang dapat diterima oleh pihak perbankan. Lebih jelasnya dalam gambar "Rekomendasi Skema Akad Salam pada Perbankan Syariah" :

Pemesanan melakukan negoisasi terkait kesepakatan jumlah dan harga komoditas yang akan dipesan. Setelah itu dilakukan pembayaran dengan dua metode yaitu pelunasan langsung atau pembayaran secara cicilan dengan persyaratan pelunasan pada saat barang diterima. Di alur kedua, pihak perbankan melakukan pemesanan kepada petani sesuai dengan spesifikasi komoditas yang diinginkan pedagang dan penentuan laba yang akan diperoleh oleh perbankan. Disini harus ada kejelasan harga yang diperjualkan ke pedagang serta berapa keuntungan yang akan diterima perbankan. Selanjutnya, ketika telah disepakati oleh petani, komoditas yang dipesan diambil oleh pihak perbankan dan dilakukan pembayaran secara tunai. Alur keempat, pihak perbankan mengantarkan pesanan kepada pedagang sesuai kesepakatan diawal akad dan pedagang melakukan pelunasan apabila belum terlunasi (Khurul Aimmatul, dkk. 2018). Untuk semakin memperluas wilayah distribusi suatu komoditas, pihak perbankan dapat melakukan kerja sama dengan cabang perbankan syariah yang sama didaerah lain. Misalnya BRI syariah cabang Kediri dapat menghubungi BRI syariah cabang Nganjuk untuk memberlakukan akad salam kepada para pedagang di Nganjuk agar dapat memperoleh komoditas pertanian dari para petani Kediri.

Namun demikian, sejatinya akad salam tidak hanya dapat digunakan terbatas untuk komoditas pertanian saja, namun juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalkan pada produk garmer (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmer, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal ini berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmer tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmer tersebut. Bila garmer itu telah selesai diproduksi, maka produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara tunai maupun angsuran. 

Agar akad salam ini dapat diimplementasikan dengan baik di perbankan syariah, tentu perlu adanya kerja sama yang baik antara bank syariah dengan para petani. Ketakutan bank syariah akan munculnya risiko gagal panen oleh petani akibat kelalaiannya dapat dimitigasi dengan menggunakan skema berikut (Widiana dan Arna. 2017):

Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

Skema Mitigasi Risiko Gagal Panen

Dalam skema diatas, LKS atau dalam ini bank syariah dapat melakukan penyeleksian kepada petani yang dirasa mampu dan terpercaya untuk memasok komoditas berkualitas sesuai pesanan nasabah/pedagang. Selain itu, tidak hanya sekedar menjual dan membeli komoditas para petani, namun bank syariah juga berhak memberikan pembekalan bagi petani agar mampu meminimalisir terjadinya gagal panen serta cara menjaga kuantitas dan kualitas hasil panennya.

Dari rekomendasi model penerapan akad salam bagi perbankan syariah diatas, besar harapan penulis agar perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya dapat mengimplementasikannya pada produk yang ditawarkannya. Karena memang jika akad ini dapat dijalankan dengan baik, selain memberikan keuntungan bagi pihak bank syariah, penulis meyakini akad salam akan membawa seribu manfaat bagi para petani salah satunya dengan skema pembayaran dimuka akan sangat membantu petani dalam membiayai kebutuhan petani dalam memproduksi hasil pertanian. Dengan demikian, petani memiliki kesempatan dan dorongan yang lebih besar untuk meningkatkan kapasitas produksinya agar dapat menghasilkan produk pertanian yang lebih banyak sehingga disamping untuk diserahkan kepada pembeli sebanyak yang sudah ditentukan, juga dapat digunakan untuk diri sendiri atau dijual pihak lain. Selain itu, akad salam juga dapat menghilangkan praktik tallaqi rukban atau adanya tengkulak yang membuat petani semakin minim pendapatannya dan memudahkan petani untuk memasarkan hasil panennya. Dengan demikian, penerapan akad salam ini diamini kedepannya akan menggiring para petani Indonesia untuk mengembalikan citra Indonesia sebagai “negara agraris” yang bukanlah hanya slogan belaka namun memang benar adanya.


Contoh akad salam dalam PERBANKAN Syariah

Lihat Money Selengkapnya