Bagaimana sikap Yesus dalam urusan politik coba renungkan ketika Yesus memilih Simon orang Zelot

Bagaimana sikap Yesus dalam urusan politik coba renungkan ketika Yesus memilih Simon orang Zelot
Untuk membedakannya dengan Petrus, nama Zelot diletakkan di bagian akhir dari nama Simon. Bukan menunjukkan kepada daerah asalnya, juga bukan menunjukkan kepada orang tuanya, tetapi lebih mengarah kepada pandangan politiknya.

Kalau Anda mempelajari sejarah Cina, dan tahu nama kelompok Boxer, kira-kira seperti itulah golongan Zelot ini. Ini adalah kelompok nasionalisme Yahudi yang memperjuangkan kemerdekaan Yahudi dari penjajah Romawi. Oleh pemerintah Romawi, dikenal sebagai pemberontak bersenjata yang sering membunuh prajuri-prajurit Romawi atau siapa saja yang dipandang bekerja sama dengan Romawi.

Kelompok ini beberapa kali memberontak sebelum masa Kristus, dan juga seringkali dipukul mundur dan pemimpinnya dibunuh oleh pasukan Romawi. Meskipun kelompok pemberontak bersenjata, orang Zelot juga sangat kuat dalam pandangan Mesianik. Mereka percaya bahwa akan datang Mesias yang akan mengangkat pedang memimpin Israel mengusir seluruh bangsa asing yang menjajah Israel.

Mungkin juga Simon ini pada awalnya melihat hal yang sama dari diri Tuhan Yesus, Mesias yang akan memimpin membebaskan Israel dari belenggu penjajahan Romawi. Tetapi, sepertinya pada akhirnya Simon sadar siapa Tuhan Yesus sesungguhnya. Apa yang sesungguhnya dikerjakan Mesias bagi Israel dan bagi dunia.

Pelajaran penting dari Simon Zelot ini adalah kadangkala kita punya ambisi sendiri-sendiri, punya visi dan misi, dan mimpi dan cita-cita, atau apapun sebutannya, tetapi yang musti diingat ambisi pribadi itu haruslah selaras dengan kehendak Kristus. Bahkan kadangkala kita punya pandangan sendiri tentang Tuhan Yesus, Kristus itu begini … Kristus itu begitu … Kristus itu seperti ini; kita punya impian tersendiri apa yang akan Tuhan kerjakan bagi kita. Tuhan akan bikin hidupku seperti ini … Tuhan akan buat gerejaku seperti ini … rasa-rasanya kita musti belajar pada Simon Zelot ini ya, menguburkan ambisi-ambisi duniawi kita dan tunduk kepada kehendak Kristus atas hidup kita.

=======<0>=======

Jika tulisan saya berguna untuk Anda, bolehlah sedikit saweran untuk menyemangati saya berkarya.

Bagaimana sikap Yesus dalam urusan politik coba renungkan ketika Yesus memilih Simon orang Zelot
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

KEBETULAN Paskah tahun ini berlangsung setelah hajatan Pemilu 17 April 2019. Kiranya menarik dan relevan jika kita berbicara tentang Yesus dan politik. Cukup banyak buku tentang Yesus dan politik, apalagi dalam bahasa asing.

Cukup representatif dalam bahasa asing, seperti bahasa Jerman ialah Christlicher Glaube und politische Vernunft, karya Herwig Buechele (Wien-Zurich-Duesseeledorf, 1987) atau bahasa Inggris karya Jim Wallis berjudul  The Great Awakening: Reviving Faith & Politics in A Post-Religious Right America (New York: HarperCollins, 2008).

Yesus tidak berpolitik praktis
Umumnya memang ada benang merah yang memunculkan kesamaan dari berbagai buku tentang Yesus dan politik. Rata-rata semua punya pemahaman senada bahwa Yesus itu bukan politikus. Meski demikian, Yesus harus hidup dalam sikon yang kental dengan nuansa politis.      

Bahkan, Yesus pernah diharapkan masyarakat Yahudi 2000 tahun silam sebagai tokoh politik yang akan membebaskan Israel dari penjajahan Romawi. Itu terjadi pada Minggu Palma, lima hari sebelum penyaliban-Nya pada Jumat, ketika Yesus dielu-elukan orang banyak saat dia memasuki kota Jerusalem.

Orang-orang Yahudi memang sudah sejak lama punya harapan akan datangnya Mesias sang Pembebas. Orang-orang yang mengelu-elukan Yesus itu punya harapan mesianik bahwa Yesuslah sang Mesias itu.

Namun, betapa kecewanya orang-orang itu karena Yesus menolak untuk dijadikan raja atau tokoh yang sesuai dengan harapan mereka. Yesus ternyata tidak mau berpolitik praktis.

Dengan demikian, Yesus jelas bukan sosok politikus atau bermain dalam tataran politik praktis. Ketika dibawa kepada Gubernur Pontius Pilatus, saat ditanya wakil pemerintah Romawi, “Apakah Engkau seorang raja?”, Yesus menjawab bahwa kerajaan-Nya tidak berasal dari dunia ini.

Meski demikian, dunia tempat Yesus hidup ketika itu sudah menyeret-Nya ke dalam permasalahan politik. Bahkan oleh para ahli agama Yahudi yang tidak suka dengan sepak terjang Yesus yang selalu memihak orang kecil, disebarkan tuduhan atau fitnah bernada politis bahwa Yesus punya agenda memberontak melawan pemerintah Romawi.

Ajaran-ajarannya yang memuji orang miskin dan teraniaya, Yesus dituduh sebagai provokator. Tuduhan itu membawa konsekuensi berat. Sampai akhirnya Yesus dihukum mati lewat digantung disalib, sebuah hukuman ala Romawi yang biasanya dilakukan untuk para kriminal.

Ketika Yesus mati disalib, sebagian pengikut Yesus yang sejak semula mengelus-elus-Nya sebagai Mesias atau tokoh politik yang membebaskan langsung terpuruk dalam rasa putus asa yang besar. Yesus dianggap telah gagal dan keok oleh hukuman salib, sebagaimana ditulis sejarawan sekuler, Tacitus.

Politik etis
Meski tidak mendirikan partai politik atau menjadi politikus dari aliran tertentu, Yesus sebenarnya berpolitik juga, yakni politik etis. Dengan kata lain, lewat ajaran-ajaran-Nya seperti bisa kita baca dalam Injil, Yesus ialah inspirator bagi gerakan moral untuk memperjuangkan kaum lemah yang kala itu amat menderita.

Politik Yesus ialah politik memihak kaum lemah. Dalam buku A Marginal Jew: Rethinking the Historical Jesus: The Roots of the Problem and the Person oleh John P Meier, kita bisa melihat betapa selama hidupnya, Yesus terlibat dan menyatu dengan kaum miskin.

Dari kandang Betlehem hingga puncak Kalvari ialah saksinya. Orang buta, pelacur, pengemis, hingga penyamun ialah sosok-sosok miskin yang akrab dengan Yesus. Yesus bukan politikus yang suka menjual isu orang miskin, melainkan benar-benar solider dengan kaum miskin. Bahkan di awal karya-Nya, kata pujian pertama yang keluar dari mulut-Nya ialah ‘berbahagialah orang-orang miskin’ (Matius 5:2). Tidak sekadar memuji kaum miskin, Yesus juga lantang mengecam kolusi antara pejabat agama dan penguasa yang berpusat di Bait Allah di Jerusalem.

Bait Allah pada waktu itu menjadi tempat atau kantor Imam Besar (eksekutif), kantor Sanhedrin (legislatif), pusat peradilan (yudikatif) sekaligus tempat bagi Bank Sentral.

Yesus marah Bait Allah telah dijadikan ‘sarang para maling atau penyamun’. Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dari halaman Bait Allah. Dia berani menyerang jantung kekuasaan yang ada waktu itu.

Dengan demikian, Yesus ialah pejuang bagi tegaknya politik etis atau politik moral yang berani mengkritik persekongkolan antara pejabat agama dan birokrat pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan di atas penderitaan orang-orang lemah. Semua itu akhirnya membawa konsekuensi, Yesus dihukum mati lewat tiang salib.

Sayangnya, dalam perjalanan sejarah kekristenan selama 2000 tahun, kolusi antara pejabat agama dan penguasa yang dulu dikecam Yesus, justru sering dilakukan sendiri oleh mereka yang mengklaim mengikuti ajaran Yesus. Malah ironis, kadang nama Yesus diperalat sebagai tunggangan politik untuk meneror, bahkan membunuh, seperti ditulis dalam buku Jesus Before Chritianity, buah karya pastor Albert Nolan OP dari Afrika Selatan.

Kezaliman kapitalisme yang justru marak dipraktikkan di negara-negara maju dan notabene mayoritas warganya Kristen, bahkan di negara-negara maju masih ada parpol berlabel Kristen hingga sekarang, justru sering terjadi praktik tak terpuji, martabat luhur manusia dijadikan komoditas belaka.

Karena itu, bagi para politikus Kristiani yang menang pemilu legislatif dan lolos ke Senayan, perjuangkan kaum lemah seperti sudah dilakukan Yesus. Jadikan sejarah sebagai pelajaran, ketika agamawan atau politisi berbendera agama mengambil alih kekuasaan negara dalam pemerintahan teokrasi, justru banyak bencana kemanusiaan sebagaimana terjadi di era Yesus.

Gereja di Eropa pernah terjebak dalam hal ini sehingga perang dan penindasan atas orang-orang yang tak sealiran (seagama) pernah menjadi noda hitam dalam sejarah gereja. Bayangkan perang agama antara katolik melawan protestan pascareformasi Martin Luther menyebabkan jutaan orang mati sia-sia.

Maka dari itu, mari berjuang bersama Yesus memperjuangkan politik moral, berupa politik kenabian. Kita harus menjauhi politik partisan yang tidak lain ialah politisasi agama yang menjadikan agama sebagai kendaraan politik untuk merebut kekuasaan politik, meski hal demikian baru saja terjadi dalam pemilu di negeri ini.

Jadi, bagi politisi kristiani yang sungguh berhasil mendapatkan kursi kekuasaan, berusahalah agar dalam 5 tahun mendatang jangan sampai menyalibkan Yesus untuk kedua kalinya lewat praksis politik tak terpuji.

Santo Simon dialihkan ke sini. Lihat pula Saint-Simon.

Simon orang Zelot adalah salah satu dari 12 rasul pertama Yesus Kristus menurut catatan Perjanjian Baru di Alkitab Kristen. Ia disebut juga sebagai "Simon Kananaios" (atau "Simon orang Kanani"). Jejak kerasulannya tidak banyak dikenal dan sedikit tulisan mengenai dirinya.

Bagaimana sikap Yesus dalam urusan politik coba renungkan ketika Yesus memilih Simon orang Zelot

Santo Simon orang Zelot

Ikon Santo Simon

Rasul dan MartirLahirAbad pertama SM atau M
Kana atau KanaanWafat~107[1]
kemungkinan Pella, Armenia atau Suanir, Persia atau EdessaDihormati diGereja Katolik Roma, Gereja Ortodoks, Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Koptik, Gereja Katolik Ritus Timur, Gereja Anglikan, Gereja Lutheran.Tempat zairahrelik berada di banyak tempat, termasuk Toulouse dan Basilika Santo Petrus[2]Pesta28 Oktober (Gereja Roma); 10 Mei (Gereja Koptik)Atributkapal, salib dan gergaji, ikan (atau dua ekor ikan), tombak, dayung[2]Pelindungkurir, penggergaji, penyamak[3]

Nama "Simon" banyak disebutkan dalam Injil sinoptik dan Kisah Para Rasul, yang dapat merujuk ke rasul lainnya, tanpa penjelasan lebih lanjut.

Simon yang juga diberiNya nama Petrus, dan Andreas saudara Simon, Yakobus dan Yohanes, Filipus dan Bartolomeus, Matius dan Tomas, Yakobus anak Alfeus, dan Simon yang disebut orang Zelot, Yudas anak Yakobus, dan Yudas Iskariot yang kemudian menjadi pengkhianat. (Lukas 6:14-16)

Untuk membedakannya dengan Simon Petrus, ia disebut Kananious atau Kananites (Matius 10:4; Markus 3:18) dan dalam daftar rasul di Lukas 6:15, diulang di Kisah Para Rasul 1:13. Kata "Zelot" diturunkan dari bahasa Ibrani, qana, yang berarti "orang yang tekun" (bahasa Inggris: "The Zealous"). Kata Zelot sendiri juga bisa berarti kota Kana atau daerah Kanaan.

Robert Eisenman (Eisenman 1997 halaman 33-34) menunjukkan Zelot adalah nama sebuah kelompok.

Dalam Perjanjian Baru, Simon orang Zelot tidak pernah dikenali sebagai Simon saudara Yesus yang tertulis di Injil Markus 6:3. Menurut Catholic Encyclopedia Simon pada perikop itu adalah Simeon dari Yerusalem yang dikenal sebagai uskup Yerusalem kedua.

  • Eisenman, Robert. 1997. James the Brother of Jesus: The Key to Unlocking the Secrets of Early Christianity and the Dead Sea Scrolls. (Viking Penguin)

  1. ^ San Simone
  2. ^ a b Saint Simon the Apostle
  3. ^ saints07.htm Saint Simon the Apostle

  • (Inggris) All appearances of "Simon" in the New Testament
  • (Inggris) Legenda Aurea: Diarsipkan 2010-03-12 di Wayback Machine. Lives of Saints Simon and Jude
  • (Inggris) Catholic Encyclopedia article on St. Simon the Apostle

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Simon_orang_Zelot&oldid=18088107"