Bagi Wajib Pajak berupa badan, menghitung pajak penghasilan (PPh) menjadi hal penting dalam pelaporan pajak. Perhitungan PPh badan ini akan mendapatkan hasil atau gambaran berapa besaran pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan nantinya. Mengingat negara kita menganut asas self-assessment, maka Anda harus menghitung sendiri jumlah besaran pajak nantinya. Oleh karena itu, ada baiknya Anda simak cara menghitung PPh badan terutang berikut. Show Peredaran bruto hingga Rp50 miliarWajib Pajak berupa badan yang berdomisili di dalam negeri dan memiliki peredaran bruto hingga Rp50 miliar berhak menerima pengurangan tarif 50% dari tarif yang termaktub dalam Undang-Undang PPh Pasal 17 Ayat (1) Huruf b dan Ayat (2a). Pemberlakuan pengurangan dikenakan untuk perusahaan dengan bruto hingga Rp4,8 miliar. 1. Perusahaan dengan bruto kurang dari Rp4,8 miliarUntuk kasus ini, rumus yang digunakan adalah (50% x 25% x PKP). Contohnya, PT Angkasa pada tahun pajak 2019 memiliki peredaran bruto dengan jumlah Rp4,5 miliar. Sementara jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah Rp800 juta. Maka, jumlah perhitungannya adalah: PPh Terutang = (50% x 25%) X Rp800 juta = Rp100 juta. 2. Perusahaan dengan bruto lebih dari Rp4,8 miliar hingga kurang dari Rp50 miliarSementara untuk jenis yang kedua dapat dihitung menggunakan rumus [(50% x 25%) x PKP memperoleh fasilitas] + [25% x PKP tidak memperoleh fasilitas]. Dengan contoh PT Yemen di tahun pajak 2019 peredaran brutonya adalah Rp30 miliar dan perhitungan bagan penghasilan mendapatkan fasilitas yakni: (Rp4.800.000.000 : Rp30.000.000.000) x Rp3.000.000.000 = Rp480.000.000 Maka, jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto dan tidak mendapatkan fasilitas adalah: Rp3.000.000.000 – Rp480.000.000 = Rp2.520.000.000,-. Maka PPh yang terutang yakni:
Baca juga: Cara Menghitung PPh 21 yang Harus Anda Pahami Peredaran bruto di atas Rp50 miliarJika di atas adalah cara menghitung PPh badan terutang hingga Rp50 miliar, maka selanjutnya Anda perlu mengetahui perhitungan bagi badan dengan bruto di atas Rp50 miliar dari segi pendapatan brutonya. Di sini, ada peraturan atau ketentuan umum tanpa pengurangan tarif. Dengan kata lain, PPh terutang mulai tahun pajak 2010 sebesar 25% dikalikan dengan PKP. Sebagai contoh, PT CDE di tahun 2019 lalu mencatatkan peredaran brutonya sebesar Rp60 miliar. Perhitungan PPh badan terutangnya adalah: 25% x Rp60 miliar = Rp1.5 miliar. Cara menghitung PPh badan terutang yang berbentuk Perseroan TerbukaUntuk Wajib Pajak yang berupa badan dan berbentuk Perseroan Terbuka (PT), akan mendapatkan penurunan tarif PPh 5% yang lebih rendah bila dibandingkan Wajib Pajak dalam negeri. Meski begitu, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain:
Adapun contoh perhitungannya, PT ABC Tbk memiliki modal Rp1,5 miliar. Modal itu ditempatkan dan disetorkan penuh dengan besaran Rp1 miliar yang nilai nominal untuk setiap lembar sahamnya adalah Rp1.000. Jadi, total saham yang ditempatkan maupun disetor penuh adalah 1 juta lembar saham. Kemudian, PT ABC Tbk ini mencatat 40% saham, yakni, 400 ribu lembar saham di Bursa Efek Indonesia yang dimiliki oleh 320 pihak dengan persentase kepemilikannya maksimal 4,99%. Kondisi ini dilakukan selama 183 hari kalender di satu tahun pajak. Jadi, PT ABC Tbk ini berhak mendapatkan penurunan tarif hingga 5% lebih rendah. Baca juga: Mengenal Macam-macam Pajak di Indonesia. Mulai tahun 2020 hingga tahun 2021, pemerintah melakukan pengurangan tarif PPh badan menjadi 22%, dan akan menjadi 20% ditahun 2022, dan untuk perseroan terbukan mendapatkan 3% dari tarif tersebut. Adaapun hitungannya sama seperti contoh diatas. Setidaknya, itulah cara menghitung PPh badan terutang yang wajib Anda ketahui dalam melakukan penyetoran pajak pada setiap tahunnya. Jika cara menghitung manual dirasa cukup sulit dan memberatkan, maka kini Anda bisa menggunakan layanan aplikasi pajak online AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi langsung oleh DJP.
Berdasarkan UU PPh Pasal 1, Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek Pajak berdasarkan Pasal 2 UU PPh meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan dan Bentuk Usaha Tetap, di mana perlakuan perpajakan bagi Bentuk Usaha Tetap dipersamakan dengan subjek pajak badan. Subjek Pajak terbagi menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek Pajak yang menerima ataupun memeroleh penghasilan disebut dengan Wajib Pajak selama Subjek Pajak tersebut telah memenuhi syarat objektif dan subjektif. Atas penghasilan Wajib Pajak dalam tahun pajak tersebut dapat dikenakan pajak. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Penghasilan yang dapat dikenakan pajak bersifat final diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, sedangkan penghasilan yang berhubungan dengan non objek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh. Dalam perhitungan PPh khususnya bagi wajib pajak badan, dasar perhitungan untuk menentukan besaran Pajak Penghasilan terutang disebut Penghasilan Kena Pajak yang dapat dikurangi biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU PPh dan biaya yang tidak boleh menjadi pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh. Tabel 1. Tarif Pajak bagi Wajib Pajak Badan
Contoh Perhitungan Pajak Penghasilan Badan Pada 2019 PT Z telah melakukan pembukuan dengan penjualan bruto Rp30 miliar dan PKP sebesar Rp3 miliar. Tarif perhitungan pajak PT Z di tahun 2019 menggunakan ketentuan UU PPh Pasal 31E dengan rincian sebagai berikut,
Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan penghasilan neto wajib pajak dalam satu tahun pajak untuk digunakan sebagai dasar perhitungan Penghasilan Kena Pajak. Metode ini tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan tepatnya pada pasal 14 serta dijelaskan secara khusus di dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 yang ditetapkan tanggal 10 April 2015. Di dalam PER-17/PJ/2015 yang terdiri dari 9 Pasal dan 4 Lampiran menjelaskan secara rinci tentang mekanisme Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Tabel 2. Lampiran PER-17/PJ/2015 dan Penggunaannya
Sumber: Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 Dalam penggunaannya, tidak semua wajib pajak dapat menggunakan metode Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Terdapat beberapa syarat yang wajib terpenuhi untuk wajib pajak yang ingin menggunakan metode ini dalam menghitung penghasilan netonya. Pertama Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto dalam kurun waktu 1 tahun yang kurang dari Rp4,8 miliar wajib menyelenggarakan pencatatan. Jika peredaran brutonya lebih dari Rp4,8 miliar, maka wajib pajak tersebut wajib untuk menyelenggarakan pembukuan dan tidak dapat memanfaatkan fasilitas Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Syarat yang kedua wajib pajak orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan dan menerima atau memperoleh penghasilan tidak dikenai pajak penghasilan bersifat final, menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. |