Bagaimana hukum tentang pencangkokan organ tubuh menurut kaidah islam

Abi Abdil Syeikh Abu Bakar, Al-Faraidul Bahiyyah, Terj. Moh. Adib, Al-Faraidul Bahiyyah. (1977). Kudus : Menara Kudus

Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Turmuzi, Sunan at-Turmudzi. Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah

Abu Daud, Sunan Abu Daud, Tahqiq Muhammad Muhyi Ad-Din abd Al-Hamid. Jilid 3. Bairut

Al-Imam Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al -Qusyairi Al-Yasaburi, Shahih Muslim, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah)

Al-Qardhawi, Yusuf. (1994). Fatwa Al-Mu’asirah, jilid 2. Kuwait: Dar Al-Qalam

Asmadi, Erwin. (2019). Regulasi Mandiri Transportasi Online Dalam Pembayaran Pesanan Makanan Atas Konsumen Yang Ingkar Janji, 4, (1), 103-118. //doi.org/10.30596/dll.v4i1.3164.

Badri Khaeruman. (2010). Hukum Islam dalam Perubahan Sosial. Bandung: Pustaka Setia

Barid Ishom. (1979). Dasar Pengertian Transplantasi. (Ceramah di Hadapan Sidang Majelis Tarjih Muhammadiyah, 1979)

Chuzaimah, Hafizh Anshary. (1995). Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta : Pustaka

Indra Laksana, dkk. (2011). Al-Qur’an dan Terjemah Dilengkapi dengan Kajian Usul Fiqih. Bandung: Syamil Qur’an

Miri, Djamaluddin. (2007). Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), cetakan ke-3. Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur

Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Juz II. Bairut: Dar al-Fikr

Muhammad Syarbini Al-Khathib, Mughni Al-Muhtaj, Juz IV

Oxfort Leaner’s Pocket Dictionary. (1991). Oxfort University Press

Salim, Peter. (2012). The Contemporary English-Indonesia Dictionary, Cet. Ke-5. Jakarta : Modern English Press

Zainuddin. (2019). Eksekusi Terhadap Pembatalan Surat Izin Mendirikan Bangunan Pada Perkara Tata Usaha Negara, 4, (2), 271-287.

Mukisi.com-Kadangkala pasien dihadapkan pada pilihan yang berat, yaitu transplantasi organ. Hingga saat ini tranplantasi organ masih menjadi perdebatan sengit boleh tidaknya. Lalu bagaimana Islam memandangnya?

Donor organ atau transplantasi organ menurut UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan serta PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia dalam pasal 1 ayat 5 UU tersebut Transplantasi adalah serangkaian tindakan medis untuk memindahhkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain maupun tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.

Kemudian, pada pasal 33 ayat 2 UU tersebut menyebutkan bahwa Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersil.

Dapat dipahami dari UU tersebut bahwa transplantasi diperbolehkan untuk dilakukan jika memang dibutuhkan, namun tak boleh ada transaksi atas organ yang didonorkan seperti saat seseorang menawarkan ginjalnya demi sepeser uang.

Tak hanya dalam UU, PP di atas juga mengatur demikian. Salah satu perbuatan yang dilarang adalah memperjualbelikan alat dan atau jaringan tubuh manusia.

Sementara itu, transplantasi organ ginjal pada manusia pertama kali dilakukan di Amerika Serikat dan disusul dengan negara Perancis pada tahun 1954. Meski demikian, transplantasi organ tetap sebuah permasalahan yang hangat untuk dikupas baik dari sisi kebutuhan hidup ataupun agama terutamanya dalam Islam.

Transplantasi Organ di Pandangan Islam

Hidup dan mati di tangan Allah subhanahu wa ta’ala. Tubuh yang sekarang dimiliki pun juga milikNya dan tidak ada yang boleh memutilasi ataupun mengeluarkan organ di dalamnya untuk keuntungan komersial. Oleh karenanya, para akademisi Islam sering membahas perihal Transplantasi ini.

Kemudian, dijelaskan oleh Profesor Aziz El-Matri, seorang spesialis ginjal dari Tunisia dan anggota The Transplantation Society dalam wawancara dengan organisasi The New Arab dilansir dari Al Araby dan republika bahwa Islam memandang tubuh manusia untuk disucikan.

Tubuh merupakan properti yang tidak bisa dicabut atau dipindahtangankan. Oleh karenanya, seorang muslim tidak bisa sembarangan mendonorkan bagian tubuhnya karena tubuhnya merupakan titipan dari Allah, selain itu sebagai manusia juga memiliki kewajiban untuk melestarikan kehidupan, baik manusia, hewan, dan tumbuhan. Namun, jika ditilik dari sisi kebutuhan untuk hidup, apapun alasannya transplantasi harus bisa dilakukan.

Sementara itu, Ustadz Agung Cahyadi, Lc, MA, seorang ahli fiqh sekaligus dosen STIDKI Ar Rahmah Surabaya memberikan pendapatnya. “Sebenarnya, dari dasar hukum tidak boleh transplantasi itu. Karena, sama-sama menyakiti manusia dengan membedah,” terangnya.

Selanjutnya kembali ia berpendapat, jika dihadapkan pada kebutuhan hidup seseorang transplantasi boleh dilakukan. “Sama seperti minum khamr, jika tidak ada air tersisa di dunia dan yang tersisa hanya minuman itu, maka boleh dikonsumsi karena terkait dengan kebutuhan seseorang untuk hidup,” terang alumnus Universitas Islam Madinah itu.

Majelis Ulama Indonesia Menyikapi Transplantasi

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai komisi fatwa di Indonesia juga mengambil sikap untuk menyikapi transplantasi. Dalam fatwanya yang keluar tahun 2010 mengatur hukum tentang cangkok organ.

Dalam fatwa tersebut ditegaskan, pencangkokan organ manusia ke dalam tubuh yang lain diperbolehkan melalui hibah, wasiat dengan meminta, tanpa imbalan, atau dari bank organ tubuh.

Lalu, jika organ diambil dari tubuh seseorang yang telah meninggal juga diperbolehkan dengan syarat harus disaksikan oleh dua dokter ahli. Selanjutnya, transplantasi dihukumi haram jika didasari bukan karena suatu kemaslahatan hidup orang.

“Transplantasi diharamkan bila didasari tujuan komersial. Tidak boleh diperjual belikan,” terang Ketua MUI, Ma’ruf Amin dikutip dari republika.

Oleh karenanya, pencangkokan organ atau transplantasi diperbolehkan. Asal sesuai syariat dan syaratnya terpenuhi. Selain itu, dalam melaksanakannya juga harus memperhatikan hal-hal yang detail agar dalam pencangkokan organ tersebut memberi kemanfaatan bagi penerima donor dan pendonornya. (ipw)

Jakarta -

Hukum transplantasi organ tubuh dapat ditempuh melalui pertimbangan sesuai aspek syar'i. Terkait dengan hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwanya sejak tahun 2019 lalu.

Sebelum fatwa tentang transplantasi organ ini dikeluarkan, MUI juga telah mengeluarkan beberapa fatwa lain, beberapa di antaranya adalah:

- Fatwa MUI nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengawetan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian- Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian- Fatwa MUI Nomor 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah- Fatwa MUI 13 Juni 1979 tentang wasiat menghibahkan kornea mata- Fatwa MUI nomor 30 tahun 2013 tentang Obat dan Pengobatan

-dan sebagainya.

Dalam fatwa MUI nomor 11 tahun 2019, demi mempertimbangkan menjaga kesehatan, maka MUI mengeluarkan fatwa tentang diperbolehkannya hukum transplantasi organ tubuh yang ditempuh melalui pertimbangan aspek syar'i.

Sebagai dasar, MUI menggunakan hadis Nabi Muhammad SAW, kaidah Fiqhiyah, dan firman Allah SWT.

Salah satunya yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 207:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ


Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.

Restu MUI untuk melakukan transplantasi organ tersebut diperbolehkan dengan menimbang beberapa hal sebagai berikut:

1. Terdapat kebutuhan yang memang dibenarkan secara syar'i, baik pada tingkatan al hajah maupun ad dharurah

Al hajah sendiri menurut MUI adalah segala kebutuhan mendesak secara umum yang tidak sampai pada batasan dharurah syar'iyah.

Sedangkan ad dharurah adalah bahaya yang amat berat pada seseorang, sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan adanya kerusakan jiwa, anggota tubuh, kehormatan, dan yang berhubungan dengannya.

2. Tidak membahayakan diri sendiri

3. Transplantasi dilakukan oleh ahlinya

Transplantasi organ yang dilakukan ini juga tidak boleh dilakukan untuk kepentingan yang sifatnya adalah tahsiniyat.

Tahsiniyat adalah kepentingan yang tidak sampai dalam batasan al hajah atau ad dharurah.

Terakhir, MUI juga menambahkan bahwa hukum transplantasi organ tubuh ini nantinya masih dapat diubah atau diperbaiki sebagaimana mestinya.

(nwy/nwy)

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kedokteran (salah satunya adalah transplantasi), telah membawa pengaruh yang sangat positif dalam kehidupan manusia, Teknik transplantasi organ dirintis oleh Carrel, yang melakukan transplantasi ginjal anjing pada tahun 1896. Kejadian ini menjadi titik awal perkembangan bukan hanya dibidang transplantasi, tetapi juga bidang bedah-bedah lainnya. Menghadapi masalah tersebut, para pakar Islam harus bekerja ekstra untuk menjawab berbagai berbagai hal yang terkait dengan transplantasi (pencangkokan organ tubuh). Hukum mendermakan atau mendonorkan organ tubuhnya ketika masih hidup, ada yang mengatakan bahwa itu diperbolehkan apabila itu miliknya. Tetapi, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hatinya, misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya?

Syekh As-Sa’di, tentang transplantasi organ tubuh manusia, mengatakan bahwa, segala masalah yang terjadi dalam setiap waktu, maka jenis dan bentuknya harus dilihat terlebih dahulu. Jika hakikat dan sifatnya telah diketahui, serta manusia bisa mengetahui jenis, alasan, dan hasilnya dengan sempurna, maka masalah tersebut dapat dirujuk ke dalam teks-teks syari’at. Karena, syari’at selalu memberikan solusi bagi seluruh masalah, baik masalah sosial, individu, global, dan partikular. Syari’at memberikan solusi yang bisa diterima oleh akal dan fitrah. Orang harus melihat hal tersebut dari sisi faktor, realita, dan syari’at. Dalam permasalahan ini kita harus bersikap netral, hingga tampak bagi kita dengan sempurna untuk memastikan salah satu di antara dua pendapat, kita bisa bersikap secara tepat terhadap orang-orang yang mengeluarkan pendapatnya tentang masalah ini. Di antaranya ada yang berpendapat tidak boleh, dan ada juga yang membolehkan. Karena, pada dasar manusia tidak memiliki hak terhadap badannya untuk merusak, memotong, atau menduplikatnya untuk orang lain.

Mendonorkan organ tubuh itu harus sesuai dengan syari’at, dengan syarat bahwa pendonoran itu dapat menyelamatkan yang didonor (resipien) dari kematian dan tidak menyebabkan pendonornya mati atau menderita sakit parah hingga mati.

Al-Qaradhawi. Yusuf, 1988, Hady al-Islam Fatawi Mu’ashirah, juz. 2, Cet. 3, Beirut: Dar al-Ma’rifah __________________, 1996,Fatwa-Fatwa Kontemporer, As’ad Yasin (terj), jilid. 2, Cet. 2, Jakarta: Gema Insani Press __________________, 2007, Fiqh Maqashid Syar’iah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, Arif Munandar Riswanto (terj), Cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Al-Suyuti, Tanpa tahun , Al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Furu’i, Beirut: Dar al-Fikr H. John (ed.), 2004, Kamus Ringkas Kedokteran Stedman Untuk Profesi Kesehatan, alih bahasa, Huriawati Hartono, dkk. Ed. 4, Jakarta: EGC Hasan. M. Ali, 2000, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Ed. 1, Cet. 4, Jakarta: Rajawali Pers Mubarok. Jaih, 2002, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta: Rajawali Pers Nata. Abuddin (ed.), 2006, Masail al-Fiqhiyah, Ed. 1, Cet. 2, Jakarta: Kencana Sjamsuhidajat. R., dan Wim de Jong (editor), 2004, Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. 2, Jakarta: EGC Yasin. Muhammad Nu’aim, 2003, Fikih Kedokteran, Munirul Abidin (terj), Cet. 2, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Washil. Nashir Farid Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2009, Qawa’id Fiqhiyyah, Wahyu Setiawan (terj), Cet. 1, Jakarta: Amzah

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA