Ilustrasi sawah. ©2018 Merdeka.com Show
Merdeka.com - Indonesia telah dijajah oleh Belanda selama hampir 350 tahun lamanya. Kala itu Indonesia disebut sebagai Hindia Belanda. Di mana setelah Belanda datang ke Indonesia, mereka memulai praktik eksploitatif seperti tanam paksa. Tanam paksa atau Sistem Kulvasi, Sistem Budidaya atau Cultuurstelsel merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan tarum (nila). Tanaman ekspor tersebut nantinya kemudian dijual dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial, dan bagi warga yang tidak memiliki tanah harus bekerja selama 75 haru dalam setahun pada kebun milik pemerintah. Sistem tanam paksa ini diketahui lebih keras daripada saat monopoli VOC, sebab ada target yang harus dipenuhi untuk pemasukan penerimaan pemerintah kolonial yang saat itu sangat dibutuhkan. Pemasukan tersebut kemudian digunakan untuk membayar hutang Belanda sebab, kas pemerintah Belanda amblas setelah Perang Jawa tahun 1830. Sistem itu pun berhasil dan pemerintah Belanda meraup keuntungan yang amat besar. 2 dari 5 halaman
Tahun (1825-1830) Belanda telah berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di Jawa dalam Perang Diponegoro. Namun hal itu menyebabkan keuangan Belanda menjadi surut bahkan memiliki utang. Oleh sebab itu Raja Wiliam 1 mengutus Johannes van den Bosch untuk mencari cara menghasilkan uang dari sumber daya di Indonesia. Lahirlah Cultuurstelsel, para petani sangat menderita kala itu karena alih-alih mereka berfokus menanam padi untuk makan sendiri, mereka malah harus menanam tanaman ekspor yang harus diserahkan ke pemerintah kolonial. Van den Bosch menyusun peraturan-peraturan pokok yang termuat pada lembaran negara (Staatsblad) Tahun 1834 No.22 sebagai berikut:
Meski peraturan tersebut jelas memberatkan para petani dan penduduk, namun kenyataan di lapangan, penderitaan yang dialami jauh lebih besar dan berkepanjangan karena dicekik kemiskinan dan ketidaktentuan penghasilan ke depannya. 3 dari 5 halaman
Secara ringkas, berikut tujuan tanam paksa yang diberlakukan oleh Van den Bosch pada rakyat Indonesia:
4 dari 5 halaman
Berikut dampak tanam paksa bagi rakyat Indonesia di era Van den Bosch:
5 dari 5 halaman ilustrasi ©2013 Merdeka.com/imam buhori Pada tahun 1840, penderitaan rakyat sudah terlihat sangat jelas dengan berbagai wabah penyakit di mana-mana serta kelaparan yang meraja lela. Di samping hal tersebut, pajak naik dan menyiksa rakyat. Akhirnya setelah dua puluh tahun kemudian secara berangsur, sistem tanam paksa dihapus secara radikal. Mulai dari tanam paksa lada, indigo, teh, tebu dan menyusul lainnya. Di Jawa, sistem tanam paksa benar-benar dihapus pada tahun 1870. [amd]Pada abad ke-19, pemerintah Belanda sempat mengalami kekosongan kas akibat utang VOC dan biaya perang yang tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, Gubernur Jendral Johannes van den Bosch menerapkan kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel pada tahun 1830. Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah B. KOMPAS.com - Cultuurstelsel adalah sistem tanam paksa yang diberlakukan Belanda di Indonesia pada tahun 1830. Yang mengusulkan pelaksanaan culturstelsel di Indonesia yaitu Johannes van den Bosch yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tujuan utama adanya kebijakan tanam paksa di bawah gubernur van den Bosch yaitu menyelamatkan Belanda dari krisis ekonomi. Sebab saat itu kas pemerintah Belanda kosong. Cultuurstelsel mewajibkan setiap desa menyisihkan tanahnya sebesar 20 persen untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum (nila). Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah mendapat berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870. Baca juga: Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari 1904 Hingga 1949 Latar BelakangCultuurstelsel muncul karena kebijakan sewa tanah yang diterapkan pada era Raffles tidaklah berjalan seperti yang seharusnya. Bukannya mendapat keuntungan besar, sistem ini justru membawa kerugian dengan menurunnya pendapatan dari hasil pertanian. Hal tersebut kemudian menjadi dasar van den Bosch mencetuskan sistem tanam paksa sejak dirinya menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1830. Selain itu, kebijakan ini juga dikeluarkan sebagai upaya untuk mengatasi krisis keuangan yang dialami Hindia Belanda. Latar belakang penerapan kebijakan tanam paksa oleh kolonial Belanda adalah menutupi kerugian dalam perang di Eropa dan perlawanan rakyat Indonesia. Pada dasarnya, Cultuurstelsel bertujuan untuk mengembalikan kondisi keuangan Belanda selepas krisis usai perang Jawa. Baca juga: Indonesia di Bawah Penjajahan Perancis Aturan
Baca juga: Sejarah Bhinneka Tunggal Ika KritikMenurut catatan dari seorang inspektur Tanam Paksa, yaitu L. Vitalis, ia menyebutkan bahwa pada 1835, di Priangan, mayat para petani bersebaran karena keletihan dan kelaparan. Berawal dari situ, serangan dari orang-orang non pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir tahun 1840. Masalah tersebut kemudian diangkat ke permukaan dan menjadi konflik bahwa pemerintah Belanda telah melakukan eksploitasi berlebih terhadap bumiputra Jawa. Kritik Kaum LiberalDari masalah yang muncul, para kaum Liberal kemudian berusaha untuk menghapuskan sistem tanam paksa. Upaya tersebut pun berhasil dilakukan pada 1870 dengan diberlakukannya UU Agraria atau Agrarische Wet. Selain bertujuan untuk menghapuskan Cultuurstelsel, kaum Liberal juga memiliki tujuan lain, yaitu kebebasan di bidang ekonomi. Kaum Liberal berpendapat bahwa seharusnya pemerintah tidak ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertugas sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, dan menegakkan hukum. Kritik Kaum HumanisMunculnya sistem tanam paksa dan UU Agraria ini justru menimbulkan kritik dari para kaum humanis Belanda. Kritik tersebut disampaikan oleh Eduard Douwes Dekker, seorang asisten residen di Lebak, Banten. Douwes Dekker menceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat cultuurstelsel dalam bukunya bertajuk Max Havelaar (1980). Namun, di dalam buku tersebut ia menggunakan nama samaran, yaitu Multatuli. Selain Douwes Dekker, terdapat tokoh lain juga, seperti van Deventer, ia menulis buku berjudul Een Eereschuld yang membocorkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia Belanda. Dalam buku tersebut, Deventer menghimbau agar pemerintah Belanda memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran dari van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis. Baca juga: Fungsi Bhinneka Tunggal Ika DampakBidang Pertanian:
Bidang Sosial:
Bidang Ekonomi:
Referensi:
|