Apakah tali pengikat bagi bangsa Indonesia yang majemuk

Apakah tali pengikat bagi bangsa Indonesia yang majemuk
google

Opini, suaradewata.com - Merupakan sunnatullah bahwa kita lahir dan hidup di Indonesia, negeri yang kaya dengan ragam dan macam suku bangsa, agama, bahasa, ras, etnis, golongan, budaya dan entah apalagi. Tentunya keragaman itu memiliki berimplikasi positif maupun negatif. Implikasi negatif muncul ketika keberagaman dimaknai sebagai ancaman, bukan tantangan.  Sehingga tidak tumbuh sikap saling memahami atas perbedaan tersebut.

Sebaliknya, jika diantara anak bangsa ini  bisa menjalankan sikap saling memahami dan toleransi atas perbedaan itu,  keberagaman akan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat. Islam mengakui bahwa perbedaan adalah suatu hal yang alami bagi manusia, dan setiap umat harus berinteraksi dengan perbedaan. Dalam firman-Nya Allah menyatakan, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (QS.al-Hujuraat: 13).    Allah SWT telah menciptakan manusia berbeda-beda bangsa, budaya dan bahasanya, akan tetapi pada dasarnya mereka adalah “ummatan wahidatan” atau umat yang satu, maksudnya, perbedaan tidak bermakna menghapuskan kesatuan kemanusiaannya.

Kita juga  memiliki alat pemersatu perbedaan yang lahir dari nilai-nilai luhur bangsa, yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dengan berbagai tatanan yang sistematis di dalamnya. Pancasila merupakan dasar negara yang mengatur tentang tata kehidupan keberagamaan sebagaimana tersurat pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari sila pertama kita tahu bahwa semua berhak memeluk agama dan keyakinan masing-masing. Dalam UUD 1945 diatur dalam BAB XI AGAMA  pasal 29 ayat 1 “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan pasal 29 ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”. Dilihat dari pasal di atas kita tahu bahwa, negara Indonesia membebaskan masyarakatnya untuk memilih agamanya masing-masing tanpa ada unsur paksaan dari negara atau pemerintah, karena itu termasuk hak dan kewajiban kita masing-masing sebagai masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Meski demikian, harus diakui bahwa persoalan kerukunan hidup beragama masih merupakan tantangan serius yang harus d hadapi. Entah karena fsktor provokasi dan tantangan dari luar maupun dari negeri kita sendiri. Tapi apapun tantangan dan persoalannya, kita yakin bahwa Tuhan akan memberikan jalan penyelesaian. Sebagai negeri yang besar dan kaya keberagaman memang arena banyak tantangan yang harus dihadapi, tapi pasti banyak solusi yang bisa d gali. Sudah menjadi konsensus nasional bangsa ini  untuk saling menghargai dan menghormati prrbedaan agar nilai-nilai kerukunan dan keharmonisan bisa terus terjaga. 

Komunikasi antar sesama umat beragama secara kondusif merupakan tujuan utama dari kerukunan beragama itu sendiri. agar tercipta lingkungan yang nyaman dan jauh dari konflik karena perbedaan iman dan keyakinan. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. kerukunan ber agama pun akan sangat membantu manusia sebagai makhluk sosial yang berarti membutuhkan bantuan orang lain. Jadi, dengan rukun nya antar agama akan mendorong interaksi yang baik dan saling menguntungkan. Dapat pula kita menyambung tali silaturahmi antar sesama manusia. dalam konteks sosial, masyarakat dapat berinteraksi dengan siapapun tanpa adanya batasan agama. Jadi kita saling berbaur tanpa memandang agama.

Kerukunan beragama bukan merupakan kebutuhan atau tuntutan dari pemerintah. Itu merupakan kewajiban, yang lebih luasnya mengenai kemanusiaan. Karena hidup rukun dan damai adalah  kewajiban kemanusiaan dari diri setiap orang. Sila pertama dari Pacasila hakekatnya merupakan komitmen mendasar bagi bangsa bahwa hidup harus berlandaskan sendi-sendi agama. Oleh karena mari di bangunlah kehidupan beragama secara berkualitas dan bermartabat dengan menjunjung tinggi semangat kerukunan dan kedamaian antar umat beragama. Kerukunan beragama  bertujuan untuk menciptakan interaksi sosial yang baik dan merupakan kepentingan negara dalam mewujudkan negara yang aman, damai dan nyaman.

Menyadari hal ini,  para pendiri negeri ini telah memikirkan bagaimana upaya agar mempersatukan masyarakat Indonesia yang beraneka ragam melalui semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Yang  mempunyai arti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Secara mendalam bhineka tunggal ika memiliki makna walaupun indonesia sebagai negara yang multi kultural, dimana terdapat banyak suku, agama, ras , kesenian adat ,bahasa dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yaitu sebangsa dan  setanah air. Dipersatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang,bahasa dan lain sebagainya. Berbangsa dan bernegara menurut Al-Qur`an hanya sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, oleh karena itu berbangsa dan bernegara harus diyakini merupakan salah satu ibadahyang tidak kalah pentingnya dengan ibadah-ibadah yang lainnya, karena inikaitannya dengan bangsa, negara serta entitas pendukungnya yaitu warga negara.

Memelihara Toleransi

Toleransi dalam masyarakat majemuk dirasa penting, untuk terus menjaga silahturahmi warga dari berbagai suku, bahasa, budaya dan agama yang ada di NKRI. Dalam menjaga toloransi masyarakat majemuk, sering kali di beberapa situasi terakhir telah dikorbankan, baik dalam pesta demokrasi seperti Pilkada dan situasi lainnya. Saya berharap generasi muda dapat membentengi diri dari segala pengaruh negatif yang ada saat ini, termaksud memelihara toleransi di masyarakat. Kita hidup dalam masyarakat yang mejemuk yang kaya keanekaragaman, hal tersebut harus menjadi nilai positif bagi kita. Dalam penegakan hukum mengenal Pro Justicia kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidik, dan Restorative Justice dimana alternative hukum menjadi pilihan. UU tentang toleransi pertama UU 1/1965 tentang penodaan agama hukuman 5 Tahun penjara. UU 40/2008 penghapusan diskriminasi, ras dan etnis hukuman 5 Tahun dan denda Rp 500 juta. UU 11/2008 tentang informasi dan transaksi elektronik hukuman 6 Tahun, dan denda Rp 1 Milyar.

Semua hukuman yang ada adalah melanjutkan yang tertuang dalam undang-undang, dimana setiap hukuman tidak sama. Toleransi biasanya berhubungan dengan SARA dimana suku, agama, ras dan antar golongan yang tergabung dalam kebinekaan. Tragedi Sampit 2001 Dayak vs Madura, tragedi Ambon 1999 Muslim vs Kristen, tragedi Nasional 1998 Cina vs Pribumi, kejadian-kejadian tersebut menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, agar ke depan saudara-saudara kita tidak menjadi korban di kemudian hari. Oleh karena itu kami pihak kepolisian berharap semua generasi muda, dapat terus menjaga tolerasi antar suku, ras, agama dan golongan yang selama ini sudah terjaga dengan baik. Dalam toleransi pemecahan masalah secara kekeluargaan harus dikedepankan, sehingga adat dan budaya kita orang timur tetap terjaga.

Sementara itu, toleransi dalam prespektif agama, dari kacamata kami forum seminar seperti ini bisa menjadi solusi. Bangsa ini merupakan bangsa yang memiliki masyarakat majemuk, tantangannya bagaimana cara memelihara toleransi dalam masyarakat majemuk. Toleransi dalam agama sifat atau sikap menghargai orang lain, yang berbeda dengan pendapatnya. Sebaik-baiknya manusia harus berguna bagi orang lain. Kebebasan beragama merupakan bagian dari penghormatan terhadap hak-hak manusia yang sangat mendasar.

Dalam konteks sosial dan agama toleransi diwarnai sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak diterima oleh mayoritas dalam masyarakat. Sikap toleransi dan menghargai tidak hanya berlaku terhadap orang lain, terhadap yang berbeda agama dan keyakinan juga tetap mengenal toleransi. Dalam menyikapi keberagaman wajib dilandasi nilai-nilai Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan demikian konteks kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah berlandaskan nilai-nilai ketuhanan.

Disisi yang lain, toleransi dari prespektif kaum muda, pemuda menurut undang-undang 40 Tahun 2009 WNI yang berusia 16-36 tahun. Toleransi sikap yang saling memiliki dan menghargai perekat dan pengikat kerukunan bangsa. Potensi konflik dan tantangan dimana kita merupakan negara kepulau yang memiliki keragaman dalam segala hal. Nilai-nilai agama dan budaya tidak dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara. Semua agama mengajarkan tentang kebaikan. Adanya nilai-nilai budaya sebagai sumber etika dan moral. Terakhir kepedulian generasi muda dalam menjaga persatuan.

Terjadinya konfik sosial budaya terjadi karena salah dalam mengartikan toleransi, selain itu kesenjangan ekonomi, praktek birokrasi yang diwarnai KKN, praktek demokrasi yang mencampur adukan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Toleransi dari prespektif kaum muda menjadikan nilai-nilai agama dan budaya sebagai sumber etika kehidupan dalam rangka memperkuat akhlak dan moral. Sejarah perjuangan Bangsa Indonesia telah mencatat peran penting, sebagai garda terdepan bangsa ini. Toleransi merupakan kebutuhan mutlak dalam kehidupan bermasyarakat.

Wilnas (Peneliti Center of Risk Strategic Intelligence Assessment (Cersia) Jakarta dan alumnus pasca sarjana di sebuah universitas di Palembang, Sumatera Selatan)

Pancasila adalah landasan dari segala keputusan bangsa dan menjadi ideologi tetap bangsa serta mencerminkan kepribadian bangsa. Pancasila merupakan ideologi bagi negara Indonesia. Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara. Pancasila merupakan kesepakatan bersama bangsa Indonesia yang mementingkan semua komponen dari Sabang sampai Merauke.

  1. Asal Mula Kata Pancasila. Etimologi kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) yaitu panca yang berarti “lima” dan sila yang berarti “dasar”. Jadi secara harfiah, “Pancasila” dapat diartikan sebagai “lima dasar”.
  2. Sejarah Istilah Pancasila. Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dimana sila-sila yang terdapat dalam Pancasila itu sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat maupun kerajaan meskipun sila-sila tersebut belum dirumuskan secara konkrit. Menurut kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, Pancasila berarti “berbatu sendi yang lima” atau “pelaksanaan kesusilaan yang lima”.
  3. Pengertian Pancasila Menurut Para Ahli. Untuk meningkatkan pemahaman kita bersama  tentang arti kata Pancasila, sebaiknya kita membaca beberapa pengertian Pancasila menurut para tokoh pendiri bangsa berikut:
  4. Muhammad Yamin. Pancasila berasal dari kata Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti sendi, atas, dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Dengan demikian Pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah laku yang penting dan baik.
  5. Notonegoro. Pancasila adalah dasar falsafah negara indonesia, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Pancasila merupakan dasar falsafah dan ideologi negara yang diharapkan menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai dasar pemersatu, lambang persatuan dan kesatuan serta sebagai pertahanan bangsa dan negara Indonesia.
  6. Ir. Soekarno. Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian abad lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia.

Pada bulan April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat. Dalam pidato pembukaannya dr. Radjiman antara lain mengajukan pertanyaan kepada anggota-anggota Sidang, “Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?”. Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu:

  1. Lima Dasaroleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.
  2. Panca Silaoleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul “Lahirnya Pancasila“. Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan Sosial; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:        Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.

Sebelum sidang pertama itu berakhir, dibentuk suatu Panitia Kecil untuk:

  • Merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar Negara berdasarkan pidato yang diucapkan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.
  • Menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka.

Dari Panitia Kecil itu dipilih 9 orang yang dikenal dengan Panitia Sembilan, untuk menyelenggarakan tugas itu. Rencana mereka itu disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 yang kmeudian diberi nama Piagam Jakarta. Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah:

Presiden Joko Widodo pada tanggal 1 Juni 2016 telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila sekaligus menetapkannya sebagai hari libur nasional yang berlaku mulai tahun 2017.

Akhir-akhir ini  muncul kesadaran baru tentang betapa pentingnya Pancasila digelorakan lagi, yang sudah beberapa lama seperti dilupakan. Sejak memasuki masa  reformasi, maka apa saja yang  berbau orde baru  boleh  dibuang  dan atau  dijauhi. Reformasi seolah-olah mengharuskan semua tatanan  kehidupan termasuk ideologinya  agar supaya diubah, menjadi idiologi reformasi. Siapapun kalau masih berpegang pandangan  lama, semisal Pancasila, maka dianggap tidak mengikuti zaman.

Pancasila pada orde baru dijadikan  sebagai tema sentral dalam menggerakkan seluruh komponen bangsa ini. Maka dirumuskanlah ketika itu  Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau disingkat dengan P4. Pedoman itu  berupa butir-butir pedoman berbangsa dan bernegara.  Nilai-nilai yang ada pada butir-butir P4  tersebut sebenarnya tidak ada sedikitpun yang buruk atau ganjil, oleh karena itu,  menjadi mudah diterima oleh seluruh bangsa Indonesia.

Hanya saja tatkala memasuki  era reformasi, oleh karena pencetus P4  tersebut adalah orang yang tidak disukai, maka buah pikirannya pun dipandang harus dibuang, sekalipun baik. P4 dianggap tidak ada gunanya. Rumusan P4 dianggap sebagai alat untuk memperteguh kekuasaan. Oleh karena itu, ketika penguasa yang bersangkutan jatuh, maka semua pemikiran dan pandangannya  dianggap tidak ada gunanya lagi, kemudian ditinggalkan.

Sementara  itu,  era reformasi  belum berhasil  melahirkan  idiologi pemersatu bangsa yang baru.  Pada saat itu semangatnya adalah memperbaiki pemerintahan yang dianggap korup, menyimpang,  dan otoriter, dan  kemudian harus  diganti dengan semangat demokratis. Pemerintah harus berubah dan bahkan undang-undang dasar 1945 harus diamandemen. Beberapa hal yang masih didanggap  sebagai identitas bangsa, dan harus dipertahankan  adalah bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia raya, dan  lambang Burung Garuda. Lima prinsip dasar yang mengandung nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara,  yang selanjutnya disebut Pancasila, tidak terdengar lagi, dan apalagi P4.

Namun setelah melewati sekian lama  masa reformasi, dengan munculnya idiologi baru, semisal NII dan juga lainnya, maka  memunculkan kesadaran baru, bahwa ternyata Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dianggap penting untuk digelorakan kembali. Pilar kebangsaan itu dianggap sebagai alat pemersatu bangsa yang tidak boleh dianggap sederhana hingga dilupakan. Pancasila dianggap sebagai alat pemersatu, karena berisi cita-cita dan  gambaran tentang nilai-nilai ideal  yang akan diwujudkan oleh bangsa ini.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang mencakup lebih dari 17.500 pulau, baik yang berpenghuni dan memiliki nama, maupun yang tidak berpenghuni dan belum memiliki nama. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang 81.000 KM, setelah Kanada. Dari keseluruhan pulau yang dimilikinya, Indonesia memiliki 92 pulau terluar (TERDEPAN) yang tersebar di 19 provinsi. Sebanyak 67 pulau di antaranya berbatasan langsung dengan negara lain dan 12 pulau di antaranya rawan diklaim oleh negara lain.

Indonesia, dalam pandangan Nurcholish Madjid (1939-2005), merupakan bangsa yang sukses. Bagaimana tidak? Indonesia adalah bangsa yang mampu mempertautkan solidaritas kultural, merangkum tak kurang dari 250 kelompok etnis dan bahasa, di sekitar 17.500 pulau. Dari sekian banyak etnis dan bahasa, Indonesia mampu menghadirkan suatu lingua franca yang mampu mengatasi isolasi pergaulan antarsuku.

Sebelum negeri ini merdeka, para pendiri bangsa merumuskan cara untuk mengikat suku bangsa dalam sebuah negara kebangsaan. Tepatnya sebelum pidato 1 Juni 1945, mereka berkumpul dan menyepakati persatuan sebagai landasan negara Indonesia merdeka. Bahkan, Muhammad Yamin secara tersirat menyinggung “negara kebangsaan” yang mengandaikan kedaulatan yang berfungsi memberi perlindungan dan pengawasan pada putra negeri serta kesempatan luas berhubungan dengan negara lain.

Dalam nada lain, Sosrodiningrat menegaskan bahwa persatuan berarti bebas dari rasa perselisihan antar golongan, pertikaian antar individu dan suku. Saat yang sama, perhatian, penghargaan, dan penghormatan terhadap corak dan bentuk kebiasaaan kelompok lain menjadi penting untuk menopang persatuan ini.

Persatuan merupakan kata yang penting di dalam Indonesia yang beragam dalam hal agama, suku, etnis dan bahasa. Pentingnya persatuan sebagai landasan berbangsa dan bernegara Indonesia bukan hanya bertumpu pada perangkat keras seperti kesatuan politik (pemerintahan), kesatuan teritorial, dan iklusivitas warga, akan tetapi juga memerlukan perangkat lunak berupa eksistensi kebudayaan nasional. Bahwa persatuan memerlukan apa yang disebut Soekarno sebagai “identitas nasional”, “kepribadian nasional”, dan “berkepribadian dalam kebudayaan”.

Akar nasionalisme Indonesia sejak awal justru didasarkan pada tekad yang menekankan cita-cita bersama di samping pengakuan sekaligus penghargaan pada perbedaan sebagai pengikat kebangsaan. Di Indonesia, kesadadaran semacam itu sangat jelas terlihat. Bhinneka Tunggal Ika (“berbeda-beda namun satu jua”) adalah prinsip yang mencoba menekankan cita-cita yang sama dan kemajemukan sebagai perekat kebangsaan. Dalam prinsipnya, etika ini meneguhkan pentingnya komitmen negara untuk memberi ruang bagi kemajemukan pada satu pihak dan pada pihak lain pada tercapainya cita-cita akan kemakmuran dan keadilan sebagai wujud dari tujuan nasionalisme Indonesia.

Prinsip Indonesia sebagai negara “bhineka tunggal ika” mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan dan kesatuan. Namun, realitas sosial-politik saat ini, terutama setelah reformasi, menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan: konflik dan kekerasan berlangsung hanya karena persoalan-persoalan yang sebetulnya tidak fundamental tapi kemudian disulut dan menjadi isu besar yang melibatkan etnis dan agama.

Kini, setelah enam puluh enam tahun setelah Pancasila dikemukakan secara publik saat ini merupakan momentum reflektif bagi bangsa Indonesia untuk meradikalkan Pancasila agar bisa beroperasi dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila haruslah dijadikan dasar kehidupan bersama karena di dalamnya mengajarkan nilai-nilai kehidupan bersama, multikulturalisme, persatuan, demokrasi, keadilan sosial dan penghormatan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Pancasila haruslah menjadi perekat bangsa, menjadi landasan persatuan dan kesatuan Indonesia.

Persoalan wilayah perbatasan dinilai menjadi masalah yang sangat krusial dalam sebuah negara. Hal ini karena ia menyangkut juga batas wilayah negara tersebut. Untuk negara seperti Indonesia, masalah perbatasan mestinya mendapat perhatian lebih karena beberapa tahun kemarin kita dikejutkan dengan lepasnya pulau Sipadan-Ligitan ke pelukan negeri jiran, Malaysia.

Setelah Sipadan-Ligitan yang lepas, kawasan Kepulauan Miangas di Sulawesi juga terancam lepas karena klaim laut oleh Filipina. Hal ini juga menjadi persoalan bagi Kepulauan Riau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Belajar dari pengalaman Sipadan-Ligitan, aksi nyata untuk pembangunan wilayah perbatasan lebih dibutuhkan dan lebih jelas pembuktiannya daripada sekadar pengesahan Peraturan Pemerintah.

Selain karena absennya perhatian pemerintah dalam persoalan perbatasan ini, masalah kesenjangan struktural dan ketidakmerataan juga menjadi faktor dominan bagi lepasnya wilayah-wilayah tersebut dari bumi Indonesia. Kasus lepasnya Timor-Timor dari pangkuan Bumi Pertiwi patut menjadi pelajaran penting agar kasus serupa tidak terjadi di wilayah lain. Lalu lintas perdagangan barang/orang, misalnya di Entikong, Kalimantan Barat, juga patut menjadi perhatian pemerintah Indonesia agar menghilangkan ketergantungan pada pihak Malaysia. Berbagai problem seperti kemiskinan,kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga,  keterbatasan akses permodalan dan pasar bagi masyarakat, kebijakan fiskal dan moneter yang kurang kondusif, keterisolasian dan mobilitas penduduk akibat keterbatasan akses transportasi, lemahnya penegakan hukum, dan problem degradasi sumberdaya alam, merupakan sederet persoalan yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk segera dicarikan solusinya. Sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap terjaga keutuhannya.

Tak ada persatuan tanpa keadilan. Dengan kata lain, persatuan haruslah dibangun atas dasar keadilan dan kesejahteraan sosial. Mustahil, negara bisa membangun persatuan jika tidak ditopang keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya. Karena itu, sila ketiga dan sila kelima dalam Pancasila memiliki keterkaitan erat. Hal ini terumus dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 bahwa ketika negara sudah terbentuk maka kekayaan negara dieksplorasi demi kemaslahatan warga negara Indonesia. Sehingga tidak adil jika hanya satu daerah yang menikmati hasil pembangunan.

Namun setelah melewati sekian lama  masa reformasi, dengan munculnya idiologi baru, semisal NII dan juga lainnya, maka  memunculkan kesadaran baru, bahwa ternyata Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dianggap penting untuk digelorakan kembali. Pilar kebangsaan itu dianggap sebagai alat pemersatu bangsa yang tidak boleh dianggap sederhana hingga dilupakan. Pancasila dianggap sebagai alat pemersatu, karena berisi cita-cita dan  gambaran tentang nilai-nilai ideal  yang akan diwujudkan oleh bangsa ini.

Bangsa Indonesia yang bersifat majemuk, terdiri atas berbagai agama, suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah,   menempati wilayah dan kepulauan yang sedemikian luas, maka  tidak mungkin berhasil disatukan tanpa alat pengikat.  Tali pengikat itu adalah cita-cita, pandangan hidup yang dianggap ideal yang dipahami, dipercaya dan bahkian  diyakini sebagai sesuatu yang mulia dan luhur.

Memang setiap  agama yang ada  pasti memiliki ajaran tentang  gambaran kehidupan ideal, yang  masing-masing berbeda-beda. Perbedaan itu tidak akan mungkin  dapat dipersamakan. Apalagi, perbedaan  itu sudah melewati  dan memiliki sejarah panjang. Akan tetapi,  masing-masing pemeluk agama lewat para tokoh atau pemukanya,  sudah berjanji dan berekrar akan membangun negara kesatuan berdasarkan Pancasila itu.

Memang  ada sementara pendapat,  bahwa agama akan bisa mempersatukan bangsa. Dengan alasan bahwa masing-masing agama selalu mengajarkan tentang persatuan, kebersamaan dan  tolong menolong, sebagai dasar hidup bersama. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak sedikit konflik  yang terjadi antara penganut agama yang berbeda.  Tidak sedikit orang merasakan  bahwa perbedaan selalu menjadi halangan untuk bersatu. Maka Pancasila, dengan sila pertama adalah  Ketuhanan Yang Maha Esa, merangkum dan sekaligus menyatukan  pemeluk agama yang berbeda itu.  Mereka yang berbeda-beda dari berbagai aspeknya itu  dipersatukan  oleh cita-cita dan kesamaan idiologi bangsa ialah Pancasila.

Itulah sebabnya, maka  melupakan Pancasila sama  artinya dengan mengingkari  ikrar, kesepakatan,  atau janji bersama sebagai bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Selain  itu, juga dem ikian, manakala muncul kelompok atau sempalan yang akan mengubah   kesepakatan itu, maka sama artinya dengan  melakukan pengingkaran sejarah dan  janji  yang telah disepakati bersama. Maka, Pancasila adalah sebagai tali pengikat bangsa yang harus selalu diperkukuh  dan digelorakan pada setiap saat. Bagi bangsa Indonesia melupakan Pancasila, maka sama artinya dengan melupakan kesepakatan dan bahkan janji bersama itu.

Oleh sebab itu, Pancasila, sejarah  dan  filsafatnya harus tetap diperkenalkan dan diajarkan kepada segenap warga bangsa ini, baik lewat pendidikan formal maupun non formal. Pancasila  memang hanya dikenal di Indonesia, dan tidak dikenal di negara lain. Namun hal itu tidak berarti, bahwa bangsa  ini tanpa Pancasila bisa seperti bangsa lain. Bangsa Indonesia memiliki sejarah, kultur, dan sejarah politik yang berbeda dengan bangsa lainnya. Keaneka-ragaman bangsa Indonesia memerlukan  alat pemersatu, ialah Pancasila.

Realitasnya, kesenjangan sosial masih terjadi di era reformasi ini, sebagaimana yang terjadi di wilayah perbatasan. Bangunan demokrasi yang ditegakkan pascareformasi memang ditantang untuk menjawab harapan masyarakat yang begitu besar. Para pengambil kebijakan dituntut untuk membuktikan bahwa pilihan demokrasi yang memakan biaya cukup mahal bukanlah pilihan yang keliru. Jawaban yang diberikan tidak cukup dengan pemberian ruang kebebasan yang lebih besar, tetapi juga kehidupan ekonomi yang lebih baik.

Itulah cita-cita hakiki demokrasi Indonesia yang terkandung dalam Pancasila, yakni cita-cita yang tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di bidang politik namun juga emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi. Hal ini seturut dengan tesis yang mengatakan bahwa dasar pendirian sebuah negara, apapun ideologinya, adalah bagaimana membawa warganya kepada kesejahteraan dan kemakmuran bersama. “Kemerdekaan nasional”, tegas Soekarno saat sidang pertama RIS tahun 1949, “bukanlah tujuan akhir bagi kita semua. Bagi kita kemerdekaan nasional Indonesia hanyalah syarat untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dalam arti jasmani dan rohani. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah tujuan kita bersama”. Polemik

Perbaikan ekonomi bangsa dan pewujudan kesejahteraan rakyat memang bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata, tetapi juga memerlukan bantuan dan partisipasi warga masyarakat, pelaku ekonomi dan bisnis, negarawan, politikus, akademisi, dan elemen organisasi pemerintah. Selanjutnya, kebijakan politik harus memberi kerangka insentif berbasis meritokrasi, bagi inteligensia yang mencurahkan talenta-talenta terbaiknya dalam berbagai bidang profesi. Oleh karena itu, marilah kita bersama merevitalisasi nilai dan pelaksanaan Pancasila secara kongkret. Kita telah diingatkan oleh Bung Karno wahai Pemuda! Indonesia akan kembali menjadi bangsa terhormat, atau bahkan menjadi kuli yang terhina di rumah sendiri (Dan Sejarah akan menulis di sana, di antara benua Asia dan Benua Australia, di antara lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup suatu bangsa yang mula-mula mentjoba untuk hidup kembali sebagai sebuah bangsa, akhirnja kembali mendjadi satu kuli di antara bangsa-bangsa, kembali mendjadi een natie van koelis, en een koelie onder de naties – Sukarno, ”Tahun Vivere Pericoloso” (Tahun-tahun nyrempet bahaya), 17 Agustus 1964).

DIRAGAHAYU PANCASILA 1 JUNI 2017

Penulis Lisstra penkostrad