Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

KONSEP GURU YANG IKHLAS MENURUT IMAM AL- GHAZALI DALAM KITAB IHYA ULUMIDDIN

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

KONSEP HATI PERSPEKTIF AL-GHAZALI DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN SKRIPSI

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

KONSEP TAFAKKUR SUFISTIK MENURUT IMAM AL-GHAZALI

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG EKONOMI ISLAM DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

KONSEP AKHLAK IMAM AL GHAZALI

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

KONSEP SIYASAH DAN ADAB BERNEGARA MENURUT IMAM AL-GHAZALI

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

BAB II KONSEP PEMBELAJARAN MENURUT IMAM AL-GHAZALI

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

ETIKA BISNIS MENURUT AL-GHAZALI: TELAAH KITAB IHYA ULUM AL-DIN

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

EVOLUSI PASAR MENURUT PEMIKIRAN IMAM AL- GHAZALI

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

MASLAHAT MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM AL- GHAZALI (STUDI PERBANDINGAN)

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK ANAK MENURUT Al-GHAZALI DALAM KITAB AYYUHAL-WALAD

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU MENURUT AL-GHAZALI

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MENURUT AL-GHAZALI

DOK. ROL

Guru

Red: Agung Sasongko

Oleh: Asep Sapa'at

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Saya ikhlas jadi guru. Percayalah tujuan saya ikhlas, hanya ingin mengajar dan mendidik murid-murid." Benarkah rasa ikhlas bisa ditakar lewat kata-kata? Ikhlas itu amalan hati, tak perlu disebut dengan kata-kata. Bisa jadi saat bilang ikhlas, itulah tanda ketidakikhlasan. Karena, ikhlas tersimpan di lubuk hati terdalam maka hanya Allah SWT saja yang pasti mengetahui ikhlas tidaknya seseorang dalam beramal (QS at-Taghabun: 4).

Siapa guru yang ikhlas itu? Ali bin Abi Thalib RA berkata, "Orang yang ikhlas adalah orang memusatkan pikirannya agar setiap amalnya diterima Allah SWT." Bahkan, seorang ulama mukhlisin, Ayyub As-Sakhtiyaany RA, mengatakan, "Demi Allah, tiadalah seorang hamba yang benar-benar ikhlas kepada Allah, melainkan ia merasa senang apabila dirinya seolah-olah tidak mengetahui kedudukan dirinya." Guru yang ikhlas paham dan sadar bahwa segala amal perbuatannya mesti bersih dari sikap riya, dan hanya diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah SWT semata.

Tidak ikhlas berarti tidak ada ruhnya dalam suatu amalan. Karena, ikhlas merupakan ruh dan syarat diterimanya amal seorang guru. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat (menilai) bentuk tubuh serta kemolekan wajahmu, tetapi Allah melihat (menilai) keikhlasan yang bersemayam dalam lubuk hatimu." (HR Bukhari dan Muslim).

Ada beberapa ciri keikhlasan seorang guru. Pertama, guru berbuat baik bukan karena ingin dipuji, hendak cari nama, atau mendapatkan penghargaan. Dipuji, dihargai, atau bahkan dicaci, sama saja bagi seorang guru yang ikhlas. Yang penting ridha Allah SWT, itu sudah cukup. Guru ikhlas tak silau pujian dari manusia. Oleh karena itu, guru yang ikhlas tak bisa diperbudak penghargaan dalam bentuk perkataan, perhatian, pemberian fasilitas dan tanda jasa, dan lain sebagainya. Firman Allah SWT, "Dan, apa saja harta yang kamu nafkahkan maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan, janganlah kamu membelanjakan (harta) untuk tujuan selain mencari keridhaan Allah semata." (QS al-Baqarah: 272).

Kedua, ikhlas itu tidak pamrih. Amalan seorang guru dikategorikan ikhlas jika dalam melaksanakan amalnya ia tidak mengharapkan untuk mendapatkan sesuatu, seperti pangkat, jabatan, atau kedudukan (QS al-Insan: 9). Guru ikhlas yakin setiap orang akan dinilai dari tanggung jawab terhadap amanah yang diembannya. Maka, guru yang ikhlas tak ujub karena pangkat dan kedudukannya, dan tak rendah diri pula karena tak punya posisi dan jabatan yang tinggi.

Ketiga, guru ikhlas konsisten berbuat baik dan memiliki perasaan nikmat dalam berbuat kebajikan. Guru yang ikhlas akan sibuk beramal baik meskipun membutuhkan pengorbanan harta, pikiran, tenaga, bahkan nyawa sekali pun. Karena baginya, semua amal baik itu adalah investasi terbaik untuk kehidupan di akhirat kelak. Firman Allah SWT, "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan amal kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami." (QS al-Anbiya: 90).

Ikhlas adalah sifat baik yang mudah diucap tapi sulit dilakukan. Disiplin saat di depan murid dan kepala sekolah, tetapi tidak peduli waktu saat sendiri. Berapi-api saat menyuruh murid belajar, tapi guru sendiri malas belajar. Dipuji senang, ditegur tidak terima dan sempitlah dada. Senang melihat guru lain susah dan susah melihat guru lain senang. Tanya pada nurani, sudahkah kita jadi pribadi guru yang ikhlas? Wallahu a'lam.

Apakah seorang guru yang mengajar dengan menerima gaji dapat dikatakan ikhlas Mengapa

3. Tujuan Menjadi Guru……….. 78 4. Efek dan Kontribusi Guru Yang Ikhlas …………. 85

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 89 B Saran-Saran ... 90 C Penutup ... 91 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

1 A. Latar Belakang Masalah

Guru ikhlas atau guru yang ikhlas merupakan suatu fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini. Penafsiran yang berbeda, akan menghasilkan pemahaman yang berbeda pula. Banyak orang yang keliru dalam menafsirkan guru ikhlas. Mereka beranggapan bahwa guru yang ikhlas adalah seseorang yang dengan rela mengajar tanpa harus diberi upah atas pekerjaannya tersebut. Jika memang demikian, lalu bagaimana seorang guru bisa mengajar dengan tenang sementara ia harus memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di sisi lain, mengajar juga merupakan suatu profesi yang menuntut keahlian dengan mendapat imbalan berupa bayaran, upah, dan gaji.1 Oleh karena itu, maka dari segi mana seorang guru dikatakan sebagai guru yang ikhlas. Dari sinilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang konsep guru yang ikhlas.

Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa siapa yang menekuni tugas sebagai pengajar, berarti ia tengah menempuh suatu perkara yang sangat mulia. Oleh karena itu, ia harus senantiasa menjaga adab dan tugas yang menyertainya.2 Salah satu diantaranya adalah, seorang guru harus menjaga adab dan tugasnya dengan meneladani Rasulullah SAW. Dalam hal ini, pengajar tidak diperkenankan menuntut upah dari aktivitas mengajarnya.

Sebagaimana firman Allah SWT.

Ÿω

߉ƒÌçΡ

óΟä3ΖÏΒ

[!#t“y_

Ÿωuρ

#—‘θä3ä©

∩∪

Kami tidak mengharap balasan dari kalian dan tidak pula ucapan terimakasih. (Q.S. Al-Insan: 9).3

1 Yamin, Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm. 3.

2 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994), Jilid I, Cet. 12, hlm. 212.

3 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006), hlm.

Dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan, bahwa ”Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan ridha Allah,” yaitu mengharapkan kerelaan dan pahala dari Allah. ”kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terimakasih.” Dalam hal ini Rasulullah tidak meminta imbalan atas pemberiannya kepada orang lain. Rasulullah juga tidak mengharapkan ucapan terimakasih, karena beliau hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT.4

Ayat tersebut menunjukkan, bahwa dalam memberi sesuatu hendaknya dilandasi dengan dasar keikhlasan, semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah bukan untuk yang lainnya, seperti mengharap pujian dan balasan yang seimbang serta ucapan terimakasih dari orang lain.5 Hal ini sama halnya bagi seorang guru dalam memberikan suatu ilmu, pemahaman dan pengertian kepada muridnya. Seorang guru harus senantiasa menjaga niatnya dengan baik, agar tidak terkecoh akan kemegahan duniawi dan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk memperoleh harta, pangkat dan jabatan. Akan tetapi, harus mendasarkan niatnya untuk mencari keridhaan Allah SWT dan mengamalkan ilmunya agar bermanfaat, baik bagi dirinya maupun untuk orang lain.

Meneladani Rasulullah SAW dengan tidak meminta upah pengajaran, tidak bermaksud mencari imbalan ataupun ucapan terimakasih melainkan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Selain itu, guru juga tidak merasa perlu penghargaan dari murid walaupun hal itu adalah kewajiban mereka. Para guru hendaknya menilai, bahwa mereka memiliki keutamaan karena mau membersihkan hatinya agar dekat kepada Allah dengan menabur berbagai ilmu. Seperti halnya orang yang meminjamkan tanahnya kepada orang lain untuk di tanami dan hasilnya untuk sang peminjam tersebut, maka manfaat yang diperolehnya dari tanah itu lebih besar daripada manfaat yang diperoleh oleh pemilik tanah itu. 6

4 Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Ibnu Katsir, terj. Syihabudin, (Jakarta: Gema Insani, 1999), Jilid 4, Cet. I, hlm. 878.

5 Ibid.

Dengan demikian, maka bagaimana guru mengharuskan seorang murid untuk memberi penghargaan kepadanya, sedangkan pahala pengajaran di sisi Allah lebih besar daripada pahala dari murid itu. Akan tetapi, kehadiran murid sangat berarti bagi seorang guru. Karena seandainya tidak ada murid, niscaya seorang guru tidak akan meraih pahala tersebut. Maka dari itu, hendaknya seorang guru jangan meminta upah, kecuali kepada Allah Yang Mahatinggi.

Sebagaimana firman Allah SWT mengisahkan Nabi Nuh a.s.,

ÏΘöθs)≈tƒuρ

öΝà6è=t↔ó™r&

ϵø‹n=tã

»ω$tΒ

(

÷βÎ)

y“̍ô_r&

āωÎ)

’n?tã

«!$#

∩⊄∪

Dan wahai kaumku, Aku tidak meminta harta kepada kamu (sebagai imbalan) atas seruanku, imbalanku hanyalah dari Allah. (Q.S. Hud: 29).7

Ayat tersebut menunjukkan, bahwa nabi Nuh merupakan orang yang ikhlas. Ia senantiasa mengharap ridha Allah dalam setiap seruannya mengajak kepada amar ma’ruf nahi mungkar. Ia tidak pernah mengharapkan upah dari kaumnya. Sebagaimana firman Allah sebelumnya, yang menggambarkan Rasulullah dalam memberikan sesuatu tidak mengharapkan adanya imbalan, melainkan hanya ridha Allah dan pahala disisi-Nya.8

Namun yang menjadi latar belakang dan permasalahan dalam hal ini, apakah benar ikhlas artinya tidak menerima upah setelah mengajar? Benarkah makna ikhlas tidak menerima amplop setelah kegiatan dakwah? Dalam Al-Qur’an, orang yang menyebarkan agama Islam termasuk fi sabilillah dan berhak mendapatkan bagian dari zakat, meskipun orang tersebut kaya raya. Dengan demikian, ketika seorang mubalig atau guru menerima upah, maka ia tidak kehilangan ikhlasnya. Ikhlas tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah.9

7 Departemen Agama, op.cit, hlm. 301. 8 Nasib Ar-Rifa’i, op.cit, hlm. 782-783.

9 Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), Cet. I, hlm.

Hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh Gusmian, bahwa:

Kita hanya pantas menggerakkan hidup ini untuk Sang Pemiliknya. Namun hal ini bukan berarti bahwa kreativitas dalam hidup kita tidak perlu dihargai secara material. Sebagian orang memahami ikhlas dengan melakukan kebajikan tanpa penghargaan secara material. Misalnya mengajar baca tulis Al-Qur’an gratis, menjadi pembicara di acara pengajian tanpa bayaran. Gratis bukanlah identik dengan sikap ikhlas, karena ikhlas adalah urusan sikap hati.10

Sebagai contoh, ada seorang penceramah dengan begitu bangga mengatakan di depan jamaah bahwa dirinya tidak mau menerima bayaran dari profesinya, karena merasa kasihan kepada para jamaah dan dengan mengatakan bahwa dirinya ikhlas. Hal ini belum tentu bahwa dia benar-benar orang yang ikhlas. Sebab dengan pengakuan keikhlasan itu, bisa jadi dia justru ingin mendapat pujian bahwa dirinya telah mampu menguasai ilmu ikhlas. Padahal, ia justru sedang riya’, mencari pujian di hadapan manusia dengan amal baiknya. Maka dengan demikian, keikhlasan bukan berarti tanpa penghargaan material di dunia, melainkan kemampuan seseorang dalam menjaga hati dari orientasi dan belenggu dunia.

Berkaitan dengan pemaparan di atas, peneliti ingin mengkaji konsep guru yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali. Hal ini bisa dilihat dari latar belakang beliau yang juga sebagai guru, dan melihat dari perjalanan hidup beliau dalam mengarungi samudera kehidupan, sehingga menemukan hakekat kebenaran. Hal ini sebagaimana pernyataan Imam Al-Ghazali:

Kehausan untuk mengetahui hakekat segala sesuatu adalah watak dasarku sejak lahir. Ini pembawaan yang dianugerahkan Allah di jiwaku, bukan hasil usahaku sendiri. Sejak remaja, sebelum usia 20 tahun, sampai berusia 50 tahun, aku telah mengarungi gelombang lautan (mazhab dan ilmu) yang sangat dalam. Aku menyelami kedalamannya sebagai seorang pengembara dan bukan sebagai seorang pengecut. Aku terjebak dikegelapannya, namun dapat mengatasi rintangannya. Aku menceburkan diri di tengah-tengahnya, menyelidiki setiap mazhab dan membuka misteri ajarannya, sehingga aku mengetahui kebenaran dan kesalahan masing-masing. 11

10 Gusmian, Surat Cinta Al-Ghazali: Nasihat-Nasihat Pencerah Hati, (Bandung: PT. Mizan

Pustaka, 2006), Cet. II, hlm. 168.

Pernyataan Al-Ghazali tersebut menunjukkan, bahwa ia benar-benar telah menyelami hidupnya dengan berbagai pengalaman spiritual, sehingga mengantarkan ia sebagai guru yang ikhlas. Hal ini karena ia telah menemukan hakikat kebenaran dan keikhlasan. Sehingga ia mampu mempraktikan dan membuktikannya, dengan mengamalkan dan mengajarkan ilmunya semata-mata karena Allah SWT.

Tugas mendidik memiliki nilai spiritual yang tinggi, jika tugas mendidik tersebut di orientasikan untuk mencari keridhaan Allah SWT. Selain itu, mendidik juga memiliki nilai universal yang dilakukan oleh siapapun di dunia ini. Oleh karena itu, tugas mendidik merupakan tugas yang sangat mulia dan merupakan tugas utama guru, maka guru harus secara sungguh-sungguh dan tulus-ikhlas melakukan tugas tersebut sehingga ia dapat menikmati, menjiwai dan merasa nyaman menjadi seorang guru.12

Adapun karena kemuliaan yang dimiliki oleh seorang guru, berbagai gelar disandangnya. Guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, manusia serba bisa, warga negara yang baik, soko guru, ki ajar, sang guru dan sebagainya.13 Betapa tingginya derajat seorang guru, sehingga wajarlah bila guru diberi berbagai julukan yang tidak akan pernah ditemukan pada profesi lain. Semua julukan itu perlu dilestarikan dengan pengabdian yang tulus ikhlas, dengan motivasi kerja untuk membina jiwa dan watak anak didik, bukan segalanya demi uang yang membatasi tugas dan tanggung jawabnya sebatas dinding sekolah. 14

Dengan demikian, maka ketulusan dalam mengajar sangat penting sekali untuk diperhatikan bagi seorang guru. Sehingga dalam setiap gerak langkahnya, seorang guru harus senantiasa menanamkan niat yang ikhlas, semata-mata untuk mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Dalam hal ini, penulis sangat tertarik ingin meneliti dan mengkaji, bagaimana konsep guru

12 Hidayatullah, Guru Sejati, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2009), hlm. 129-130.

13 Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), Cet. II, hlm. 41.

ikhlas yang akan di jabarkan dalam skripsi dengan judul: Konsep Guru yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin.

B. Penegasan Istilah

Untuk memudahkan pemahaman dan pemaknaan sekaligus untuk menghindari kesalahpahaman persepsi dalam memahami judul di atas serta untuk memperjelas dalam penulisan skripsi ini, maka terlebih dahulu akan penulis kemukakan beberapa istilah yang dipandang perlu dijelaskan. Adapun istilah-istilah tersebut sebagai berikut:

1. Konsep

Konsep secara bahasa berarti ide umum; pengertian; pemikiran; rancangan; rencana dasar.15 Sedangkan secara istilah konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret.

2. Guru Yang Ikhlas

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.16

Ikhlas secara bahasa berarti rela; dengan tulus hati; rela hati.17 Sedangkan secara istilah ikhlas adalah keterampilan (skill) penyerahan diri total kepada Tuhan untuk meraih puncak sukses dan kebahagiaan dunia akhirat.18

Adapun yang dimaksud dengan konsep guru yang ikhlas, adalah suatu konsep yang membahas tentang hakekat keikhlasan seorang guru dalam mengamalkan ilmunya, sehingga menjadikan ilmunya manfaat serta

15 M. Dahlan Al Barry & Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 362.

16 Undang-Undang R.I No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra

Umbara, 2006).

17 M. Dahlan Al Barry & Pius A Partanto, op.cit, hlm. 241.

membawa kebaikan bagi orang lain. Selain itu, bagaimana seorang guru bisa membawa hati dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar. Ia mendasarkan niat yang benar dan ikhlas semata-mata untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT, sehingga mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

3. Imam Al-Ghazali

Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi Al-Faqih Ash-Shufi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari. Ia mendapat gelar Hujjatul Islam yang artinya pembela Islam dan Zainuddin yang artinya hiasan agama. Ia lahir di Kota Thus pada tahun 450 Hijriah.19 Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1058-1111M) seorang filsuf, teolog, ahli hukum, dan Sufi. Di kalangan Barat ia dikenal dengan Nama Al-Qazeel. Al-Ghazali lahir dan meninggal di Thus Persia. Ia banyak menulis karya, diantaranya yang terbesar mengenai pencarian ilmu pengetahuan antara lain: Ihya Ulum

al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), al-Munqid Min al Zalalah

(penyelamat dari kesesatan), dan di dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (sanggahan terhadap pemikiran kaum filsafat).20

4. Kitab Ihya’ Ulumiddin

Kitab Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), merupakan salah satu karya monumental yang ditulis oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali pada awal abad ke-5 Hijriyah. Kitab ini terdiri dari empat bahagian besar (empat rubu’) antara lain: Pertama, bahagian (rubu’) peribadatan (rubu’ ibadah). Kedua, bahagian (rubu’) pekerjaan sehari-hari (rubu’ adat kebiasaan). Ketiga, bahagian (rubu’) perbuatan yang membinasakan (rubu’ al-muhlikat). Keempat, bahagian (rubu’) perbuatan

19 Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 2008),

hlm. 9.

20 Mujieb, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm.

yang menyelamatkan (rubu’ al-munjiyat). Setiap rubu’ terdiri dari sepuluh bab.21

Adapun pembahasan tentang guru terdapat pada bahagian (rubu’) peribadatan dalam bab ilmu, dan pembahasan tentang ikhlas ada pada bahagian (rubu’) perbuatan yang menyelamatkan dalam bab niat, benar dan ikhlas. Kitab Ihya’ ini juga merupakan referensi utama bagi penulis sekaligus sebagai obyek kajian dalam penelitian ini.

C. Fokus Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka penulis mambatasi permasalahan dengan fokus penelitian pada: Bagaimana Konsep Guru yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melaksanakan penelitian ini adalah: untuk mengetahui bagaimana konsep guru yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah, antara lain: 1. Secara teoritis:

Hasil studi ini diharapkan bisa menambah kepustakaan tentang konsep ikhlas, khususnya konsep guru yang ikhlas agar khalayak mengetahui betapa pentingnya keikhlasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan pentingnya ikhlas dalam melakukan setiap pekerjaan.

2. Secara praktis:

a. bagi guru : Terbentuknya sebuah kesadaran dalam diri seorang guru, bahwa dalam mengajar hendaknya dilandasi dengan niat tulus ikhlas semata-mata untuk mengamalkan ilmunya dan mengharap ridha dari Allah SWT, tidak berorientasi pada materi.

b. bagi siswa : Terbentuknya sebuah kesadaran dalam diri seorang murid, bahwa dalam menuntut ilmu hendaknya meluruskan niat untuk mencari ridha Allah dan menghilangkan kebodohan. E. Metodologi Penelitian

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengumpulkan data dengan metode kepustakaan (library research). Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari buku dan dokumen-dokumen lainnya.22

Metode kepustakaan ini penulis gunakan untuk meneliti tentang konsep guru yang ikhlas dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menurut Imam Al-Ghazali yang ditunjang dengan buku-buku ilmiah lainnya atau dari beberapa sumber yang lain.

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data langsung yang dikaitkan dengan objek penelitian yaitu kata-kata atau tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai.23 Sumber data primer yang digunakan oleh penulis sebagai rujukan adalah Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.24 Sumber data sekunder sebagai data pendukung dan pelengkap dari sumber data primer. Adapun sumber data sekunder

22 Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang: RaSAIL,

2008), Cet. I, hlm. 5-6.

23 Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2007), hlm. 157.

dalam penelitian ini adalah buku-buku atau karya-karya ilmiah yang isinya dapat melengkapi data yang diperlukan penulis dalam penelitian ini. Misalnya Mutiara Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali, Mengarungi Samudra Ikhlas karya Rachmat Ramadhana al-Banjari, Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu dan lain sebagainya.

2. Metode Analisis Data

Setelah data-data terkumpul, maka penulis akan menganalisis data. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari berbagai hasil pengumpulan data.25

Metode analisis data yang penulis gunakan adalah metode deskripsi. Karena data yang terkumpul kemudian dianalisis secara non statistik, adapun data yang terkumpul berupa data deskriptif. Menurut Sukardi, penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk menggambarkan secara sistematis fakta dan karakterisitik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.26 Metode ini penulis gunakan untuk mendeskripsikan konsep guru yang ikhlas. Adapun metode yang digunakan adalah:

a. Metode Analisis Isi (Content Analysis)

Menurut Earl Babbie “content analysis as the study of recorded

human communications, such as books, websites, paintings and laws.”

Berkaitan dengan hal ini, Harold Lass well formulated the core

questions of content analysis: “Who says what, to whom, why, to what extent and with what effect?”27 Earl Babbie mendefinisikan content

analysis sebagai suatu penyelidikan yang mencatat sistem komunikasi

manusia, seperti buku-buku, website, lukisan-lukisan dan hukum-hukum. Sementara Harold Lass well merumuskan beberapa pertanyaan inti tentang content analysis, antara lain: siapa yang mengatakan,

25 Ibid, hlm. 335.

26 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), Cet. VII,

hlm. 157.

kepada siapa, mengapa, untuk apa secara luas dan bagaimana dengan pengaruhnya.

Berkaitan dengan pengertian content analysis tersebut, Burhan Bungin mengatakan bahwa content analysis adalah “teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Adapun

content-analysis ini berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi.”28 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka content analysis merupakan suatu metode untuk mengungkapkan isi pemikiran tokoh yang diteliti, yang meliputi beberapa pertanyaan inti tersebut tentang

content analysis. Adapun content analysis ini penulis gunakan untuk

mengungkapkan isi dan menggambarkan dari kitab Ihya’ Ulumiddin. b. Metode Interpretasi

Menurut Moleong, metode interpretasi data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan.29 Metode ini penulis gunakan untuk menganalisis beberapa buku secara implisit untuk mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya.

28 Bungin (Ed.), Metodologi Penelitian Pendidikan, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 231.

12

A. Guru

1. Pengertian Guru

Guru dalam literarur kependidikan Islam, biasa disebut sebagai

ustadz, mudarris, mu’allim, murabbiy, mursyid, dan muaddib.1 Sedangkan

dalam bahasa Inggris disebut teacher yang artinya pengajar dan educator yang artinya pendidik.2

Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Sementara guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa di masjid, di surau, di rumah, dan sebagainya.3

Menurut Undang-Undang RI Nomor 14, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.4

Guru sebagai seorang pendidik disebut mu’addib yaitu orang yang berusaha mewujudkan budi pekerti yang baik atau akhlakul karimah, sebagai pembentukan nilai-nilai moral atau transfer of values. Sementara guru sebagai pengajar disebut mu’allim yaitu orang yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada peserta didik, sehingga peserta didik

1

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cet. II, hlm. 209.

2 Hassan Shadily & John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1996), Cet. 23, hlm. 207.

3 Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), Cet. II, hlm. 31.

4 Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2006), hlm. 2-3.

mengerti, memahami, menghayati dan dapat mengamalkan berbagai ilmu pengetahuan yang disebut sebagai transfer of knowledge. 5

Adapun definisi atau pengertian guru menurut beberapa pakar pendidikan, sebagaimana dikutip oleh Nurdin, antara lain:

Guru menurut Ahmad D. Marimba adalah orang yang memikul pertanggung jawaban untuk mendidik. Sedangkan guru menurut Zahra Idris dan Lisma Jamal, adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan bimbingan kepada peserta didik dalam hal perkembangan jasmani dan ruhaninya untuk mencapai tingkat kedewasaan, memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu yang mandiri dan makhluk sosial. Sementara guru menurut Zakiah Daradjat adalah pendidik profesional, karena secara implisit telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan dari pundak para orang tua. Adapun guru menurut Poerwadarminta adalah orang yang kerjanya mengajar. 6

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa guru adalah orang yang bertanggung jawab memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta menanamkan nilai-nilai moral kepada anak didik mereka, sehingga menjadi manusia dewasa yang berguna bagi nusa dan bangsa serta memiliki akhlakul karimah. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam membentuk sebuah generasi penerus, yang bisa membawa perubahan suatu bangsa. Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan nilai-nilai sebagai suatu pedoman dalam membentuk generasi yang berbudi pekerti luhur. 2. Kriteria dan Syarat Guru

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diketahui beberapa kriteria seorang guru ideal. Adapun yang dimaksud guru ideal ialah sosok guru yang mampu menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan