Apakah Piagam Madinah dapat disejajarkan dengan konstitusi?

Perkembangan konstitusi dan konstitusionalisme juga dapat dilacak pada peradaban negara-negara Islam. Ketika bangsa Eropa berada dalam keadaan kegelapan pada abad pertengahan (the dark age), di Timur Tengah tumbuh dan berkembang pesat peradaban baru di lingkungan penganut ajaran Islam. Atas pengaruh Nabi Muhammad SAW. Banyak sekali inovasi baru dalam kehidupan umat manusia yang dikembangkan menjadi pendorong kemajuan peradaban. Salah satunya adalah penyusunan dan penandatanganan persetujuan atau perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok penduduk Kota Madinah untuk bersama-sama membangun struktur kehidupan bersama yang pada kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter). "Piagam Madinah" dikenal dengan istilah konstitusi tertulis pertama di dunia dan sangat luar biasa. Para ahli menyebutkan Piagam Madinah ini dengan istilah yang bermacam-macam. Montgomery Watt menyebutnya dengan "the constitution of Medina': Nicholson menyebutnya "charter". Majid Khadduri menggunakan perkataan "treaty': Zainal Abidin Ahmad memakai perkataan Piagam, sebagai terjemahan kata "ash-shahifah“ yang merupakan nama yang disebut dalam piagam itu sendiri.

Konstitusi Madinah merupakan terjemahan dari kata shahifah al- madinah, yaitu pasal-pasal tertulis yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk mengikat dan mengatur masyarakat Madinah secara keseluruhan tanpa membedakan agama, suku, ataupun ras.

Piagam Madinah adalah konstitusi negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik Islam, tepatnya sekitar tahun 622 M. Piagam ini adalah piagam tertulis pertama. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dan wakil-wakil penduduk Kota Madinah tidak lama setelah beliau hijrah dari Mekah ke Yatsrib. Yatsrib adalah nama Kota Madinah sebelumnya pada tahun 622 M. Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan prinsip konstitusionalisme dalam perjanjiannya dengan segenap warga Yatsrib (Madinah). Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah SAW mengikat seluruh penduduk yang terdiri atas berbagai kabilah (kaum) yang menjadi penduduk Madinah.

Penilaian Piagam Madinah sebagai konstitusi pernah dikemukakan oleh Hamilton Alexander Rosskeem Gibb, mantan guru besar bahasa Arab di Oxford University, bahwa Piagam Madinah adalah hasil pemikiran yang cerdas dan inisiatif dari Nabi Muhammad SAW dan bukanlah wahyu. Oleh karena itu, sifat konstitusinya dapat diubah dan diamandemen. Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW adalah seorang pemimpin yang mempunyai perhatian yang sangat besar untuk menstabilkan masyarakat Madinah yang multietnis dengan mencetuskan konstitusi, konstitusi yang dimaksud adalah Piagam Madinah.

Kesatuan umat yang dicetuskan Nabi Muhammad SAW melalui Piagam Madinah, substansinya jelas menunjukkan bahwa konstitusi kesukuan runtuh dengan sendirinya. Dalam perspektif ini, tegaknya suatu konstitusi mulai terwujud bagi masyarakat baru Madinah, yang sekaligus juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW mulai diakui sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan politik.

Banyak di antara penulis Muslim beranggapan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi negara Islam pertama. Satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam Piagam Madinah tidak pernah disebut-sebut agama negara. Persoalan penting yang memerlukan pemecahan yang mendesak adalah terbinanya kesatuan dan persatuan di kalangan warga Madinah yang heterogen itu. Semua warga Madinah saat itu meskipun mereka berasal dari berbagai suku merupakan satu Komunitas (ummah). Hubungan antara sesama warga yang Muslim dan yang non-Muslim didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi agresi dari luar dan menghormati kebebasan beragama. Persyaratan sebuah negara, walaupun masih sederhana, telah terpenuhi, yaitu ada wilayah, pemerintahan, negara, rakyat, kedaulatan dan ada konstitusi lnilah yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW dan yang pertama kali mencetuskan ide konstitusi.

Jika dilihat dalam teks konstitusi Madinah, isinya mengatur sistem ketatanegaraan dari negara Madinah. Aturan tersebut mengikat dan terdapat sanksi bagi pihak yang melanggarnya tersebut. Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah (social contract) tahun 622 Mini ada tiga belas kelompok komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (1) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (2) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (3) Kaum Yahudi dari Banu 'Awf, (4) Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah, (5) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (6) Banu Jusyam, (7) Kaum Yahudi dari Banu AI-Najjar, (8) Kaum Yahudi dari Banu 'Amr ibn 'Awf, (9) Banu al-Nabit, (10) Banu al-'Aws, (11) Kaum Yahudi dari Banu Sa'labah, (12) Suku Jafnah dari Banu Sa'labah, dan (13) Banu Syuthaybah. Mereka setia dan patuh untuk menggunakan landasan dan hukum dari konstitusi Madinah tersebut.

 Referensi: Kadir Herman (2019) Dosen mata kuliah PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM. FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ESA UNGGUL

Embed Size (px) 344 x 292429 x 357514 x 422599 x 487

<iframe src="https://dokumen.tips/embed/v1/a-apakah-piagam-madinah-dapat-disejajarkan-dengan-konstitusi-atau-tidak-jelaskanl.html" class></iframe>

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah SAW hijrah ke Yatsrib, yang kemudian berubah menjadi Madinah. Di kota ini, Rasulullah SAW segera meletakkan dasar kehidupan yang kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat baru di bawah pimpinan beliau.

(Baca: Di Madinah Lahirnya Sistem Politik Islam)

Masyarakat baru ini merupakan masyarakat majemuk, yang terdiri atas tiga golongan penduduk. Pertama kaum Muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Ansar, dan ini adalah kelompok mayoritas. Kedua, kaum musyrikin, yaitu orang-orang suku Aus dan Khazraj yang belum masuk Islam, kelompok ini minoritas.

Ketiga, kaum Yahudi yang terdiri dari tiga kelompok. Satu kelompok tinggal di dalam kota Madinah, yaitu Bani Qainuqa. Dua kelompok lainnya tinggal di luar kota Madinah, yaitu Bani Nadir dan Bani Quraizah. (Baca Juga: Baiat Aqabah dan Lahirnya Negara Islam Madinah)

Setelah sekitar dua tahun berhijrah, Rasulullah SAW mengumumkan tentang peraturan dan hubungan antarkomunitas di Madinah. Pengumuman ini dikenal dengan nama Piagam Madinah. Piagam ini merupakan undang-undang untuk pengaturan sistem politik dan sosial masyarakat Islam dan hubungannya dengan umat yang lain.

Piagam inilah yang dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Piagam Madinah ini adalah konstitusi negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam.

Sebagai kepala negara, Rasulullah menyadari akan arti pengembangan sumber daya manusia melalui penanaman aqidah dan ketaatan kepada syariat Islam. Beliau membangun masjid yang dijadikan sebagai sentra pembinaan umat. Di berbagai bidang kehidupan, Rasulullah SAW melakukan pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT.

Di bidang pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan, beliau mengangkat beberapa sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. Rasul SAW mengangkat Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab sebagai wazir (menteri). Juga mengangkat beberapa sahabat yang lain sebagai pemimpin di sejumlah wilayah kekuasaan Islam, diantaranya Muaz bin Jabal sebagai gubernur di Yaman.

Selain itu, sebagai kepala negara, Rasulullah SAW juga melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain. Menurut Tahir Azhari dalam bukunya Negara Hukum, Rasulullah SAW mengirimkan sekitar 30 buah surat kepada kepala negara lain, diantaranya kepada Almuqauqis raja negeri Mesir, Kisra penguasa Persia, dan Kaisar Heraklius penguasa Romawi.

Dalam surat yang dikirim tersebut, Nabi mengajak mereka masuk Islam. Sehingga bisa dikatakan politik luar negeri negara Islam Madinah saat itu adalah dakwah semata. Bila mereka tidak bersedia masuk Islam maka diminta untuk tunduk, dan bila tidak mau juga maka barulah negara tersebut diperangi.

Apakah Piagam Madinah dapat disejajarkan dengan konstitusi?

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Dalam satu wilayah yang dihuni banyak orang, kemajemukan atau plural-itas merupakan sebuah realitas. Demikian halnya wilayah Madinah, ketika Muhammad SAW sebagai nabi sekaligus menjadi kepala negaranya, selama kurang lebih 13 tahun. Beliau menghadapi warga Madinah yang majemuk atau pluralik, termasuk dalam keyakinan keagamaan. Ada yang muslim, yang musyrik dan Yahudi. Dalam kondisi kemajemukan atau pluralitas ini, Nabi Muhammad SAW memprakarsai sebuah piagam perjanjian yang kemudian terkenal dengan Piagam Madinah antara kaum muslim, kaum musyrik dan kaum Yahudi, guna membina persatuan, kesatuan, kerukunan, dan keamanan seluruh warga Madinah. Sejalan dengan prakarsa nabi Muhammad SAW tersebut, pemerintah Republik Indonesia sejak awal kemer­dekaan tahun 1945 yang melihat warganya relatif lebih majemuk atau pluralik ada yang muslim, yang Katholik, yang protestan, yang hindu, yang budha dan yang aliran kepercayaan. Dirumuskanlah UUD 1945 sedemikian rupa y an g dapat mengakomodasi semua penganut keyakin­an agama tersebut, terciptanya persatuan, kesatuan, kerukunan dan keamanan seluruh warga negara Republik Indonesia. Antara Piagam Madinah dan UUD 1945 terlihat adanya kesamaan yang me­nonjol, baik ide maupun rumusannya. Baik Piagam Madinah maupun UUD 1945, ma­sing-masing menghendaki terbangunnya negara kesatuan yang kokoh dan dengan warga negara yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, yang anatara lain diwujudkan dalam bentuk prilaku yang berkemanusiaan. Tulisan ini akan menelusuri titik singgung antara Piagam Madinah dan UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi Negara.