Apakah kencing dan Kotoran anak usia 2 tahun itu najis?

Kamis, 05 September 2019 | Islam

Hanya ada satu jenis najis yang dikategorikan sebagai najis ringan, yaitu air kencing bayi laki-laki yang belum mencapai usia 2 tahun yang belum diberi makanan selain susu.* Diberi makan di sini adalah dengan tujuan mengenyangkan. Jika diberi makanan selain susu tapi dengan tujuan berobat dan tahnik (diberi kunyahan kurma saat baru lahir), maka air kencingnya masih termasuk najis ringan.

* Mazhab Syafi'i tidak mensyaratkan harus ASI. Susu di sini mencakup semua jenis susu dari manusia dan hewan, termasuk susu sapi dan kambing. Bayi yang minum susu sapi pun air kencingnya digolongkan najis mukhaffafah.

Bagaimana dengan susu formula (dari sapi)? Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafiiyah kontemporer. Ada yang berpendapat kencing bayi yang minum susu formula tidak termasuk najis mukhaffafah lagi karena susunya sudah ketambahan zat atau bahan lainnya.* Kotoran BAB bayi laki-laki dan kencing bayi perempuan TIDAK termasuk najis mukhaffafah, sehingga harus dicuci seperti biasa.

# Bagaimana menghilangkan najis mukhaffafah?

Dipercikkan dengan air. Namun, ternyata tidak cukup itu saja. Dalam penjelasan kitab-kitab fiqih mazhab Syafi'i kita akan menemukan beberapa syarat dan cara mensucikannya, yaitu:
  1. Benda seperti kain yang terkena kencing harus dikeringkan atau diperas dulu sampai tidak ada yang menetes.
  2. Diperciki air yang banyak dan merata di semua bagian yang terkena najis. Tidak cukup hanya sekedar memerciki satu atau dua kali.
  3. Setelah diperciki, sifat-sifat najis (warna, bau dan rasanya) harus hilang. Jika sifat-sifat kencing masih ada maka wajib dicuci.
Jadi, dari beberapa sisi akan lebih praktis jika langsung dicuci sekalian saja..

Komentar

Zacky
25 Oktober 2020 - 10:12:12


Najis ringan adalah najis yang cara membersihkannya cukup ringan yaitu dengan cara membasuh atau mememercikan air pada benda atau pakaian yang terkena najis.[1] Najis ringan juga dapat dikatakan dengan najis mukhaffafah.[1] Yang termasuk dalam najis ringan adalah air kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan selain dari air susu ibunya atau anak laki-laki yang umurnya kurang dari dua tahun.[1] Menurut ajaran Islam bagi orang yang terkena najis dapat menghalangi sahnya beribadah.[2] Ajaran Islam mengajarkan bahwa wajib hukumnya seorang muslim untuk menghilangkan dan mensucikan diri dari najis, baik yang menempel apada badan atau pada pakaian yang dikenakan.[2] Menurut ajaran Islam najis adalah benda-benda yang kotor.[2] Ada beberapa benda yang tergolong atau termasuk dalam kategori najis yaitu bangkai kecuali ikan dan belalang, darah segala macam darah adalah najis, baik darah yang mengalir atau tertumpah misalnya darah yang mengalir dari binatang yang disembelih, babi, anjing, khamar yaitu semua minuman yang mengandung alkohol berkadar tinggi yang dapat memabukkan seperti arak, bir, dan sejenisnya.[3]

Apakah kencing dan Kotoran anak usia 2 tahun itu najis?

Membersihkan najis ringan cukup membasuh atau memercikan air pada benda atau pakaian yang terkena najis tersebut.

  1. ^ a b c Dewi Mulyani.2010.Fikih.Penerbit:PT Mizan Pustaka.14
  2. ^ a b c Aghala.2004.Mengakrabkan Anak pada Ibadah.Jakarta:Almahira.88
  3. ^ Yunan Yusuf.2008.Buku Pintar Shalat.Penerbit:PT Wahyu Media.8-10

 

Artikel bertopik Islam ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Najis_ringan&oldid=18315679"

Bagaimana cara menangani kencing bayi dan bekas najis? Kita lanjutkan pelajaran Manhajus Salikin kali ini.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:

Bayi laki-laki yang belum mengonsumsi makanan atas dasar ketertarikannya (sudah jadi kebutuhannya, pen.), maka cukup bekas kencingnya diperciki sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ

“Kencing bayi perempuan itu dicuci, sedangkan bayi laki-laki diperciki.” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)[1]

Jika bentuk najis itu hilang, maka tempat yang terkena najis menjadi suci. Kalau ada bekas warna dan bau, maka tidaklah masalah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan pada Khaulah binti Yasar mengenai bekas darah haidh,

يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ

“Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.”[2]

Penanganan Kencing Bayi

Yang dimaksud ‘jariyah’ dalam hadits di atas adalah bayi perempuan yang masih dalam masa menyusui. Sedangkan ‘ghulam’ yang dimaksud adalah untuk anak laki-laki hingga berusia baligh, namun kadang juga dimaksudkan untuk bayi laki-laki yang masih menyusui.

Adapun yang dimaksud ‘yughsalu’ adalah membanjiri air pada pakaian yang terkena kencing. Inilah yang diperlakukan pada bekas kencing bayi perempuan. Sedangkan bayi laki-laki cukup diperciki atau disebut dalam hadits dengan ‘yurosysyu’, dalam lafazh lain disebutkan dengan ‘yundhohu’, juga sama artinya diperciki. Maksud diperciki di sini adalah tidak membuat sampai air tersebut mengalir. Demikian keterangan dalam Minhah Al-‘Allam, 1:124 karya Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan.

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Hadits di atas menunjukkan penanganan yang berbeda antara kencing bayi laki-laki dan kencing bayi perempuan. Keduanya sama-sama menggunakan air, namun cara penyuciannya yang berbeda. Kencing anak laki-laki cukup diperciki pada tempat atau pakaian yang terkena kencing. Dalam hadits lain dari Ummu Qois binti Mihshon, bahwasanya ia datang dengan anak laki-lakinya yang masih kecil dan anaknya tersebut belum mengonsumsi makanan. Ia membawa anak tersebut ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lantas mendudukkan anak tersebut di pangkuannya. Anak tersebut ternyata kencing di pakaian beliau. Beliau lantas meminta diambilkan air dan memercikkan bekas kencing tersebut tanpa mencucinya.[3] Sedangkan kencing bayi perempuan tetap dicuci seperti kencing lainnya.

2- Anak laki-laki yang kencingnya diperciki adalah yang belum mengonsumsi makanan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ummu Qois di atas. Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin mengatakan bahwa makanan yang dikonsumsi sudah menggantikan susu (ASI) atau lebih dari itu. Adapun jika makanan sudah jadi kebutuhan yang lebih dari ASI, maka tetap dianggap ia sudah jadikan makanan sebagai kebutuhannya dan makanan itulah yang dimenangkan. Lihat Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram, 1: 214.

Bukan dimaksud di sini bahwa bayi tersebut tidak mengonsumsi makanan sama sekali karena ketika lahir pun ia sudah diberi obat, gula, dan ditahnik dengan kurma. Namun jika bayi tersebut sudah mengonsumsi makanan secara rutin walaupun kadang-kadang masih mengonsumsi ASI, tetap kencingnya dianggap seperti kencing orang dewasa yang mesti dicuci, tidak cukup diperciki.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kencing bayi laki-laki diperciki selama ia masih menyusui. Adapun jika ia sudah mengonsumsi makanan sebagai kebutuhan pokoknya, maka wajib kencing tersebut dicuci tanpa ada perselisihan di antara para ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 3:174).

3- Kencing bayi laki-laki diperlakukan berbeda dengan bayi perempuan karena beberapa alasan:

a- Bayi laki-laki lebih sering dimomong (digendong), maka seringnya kencingnya ditemukan sehingga diperingan dengan cukup diperciki dan tidak dicuci.

b- Bayi laki-laki tidak kencing di satu tempat saja, namun bisa berpindah-pindah. Hal ini berbeda dengan kencing bayi perempuan.

4- Hadits ini tidak menunjukkan bahwa kencing bayi laki-laki tidak najis. Kencing tersebut tetap najis namun cara penyuciannya yang berbeda. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Sebagian ulama Syafi’iyah menukil adanya ijma’ akan najisnya kencing bayi laki-laki. Para ulama tidak berselisih pendapat dalam hal ini kecuali Daud Azh-Zhahiri.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 173).

5- Hadits ini dipahami bahwa selain kencing -semisal kotoran bayi- diperlakukan seperti najis lainnya. Yang dibedakan di sini hanyalah dalam penyucian kencing.

Bekas Najis

Jika bentuk najis itu hilang, maka hilanglah hukum. Tempat yang sudah bersih dari bentuk najis dianggap suci walaupun ada bekas warna atau bau setelah dicuci. Contoh yang dibicarakan adalah tentang darah haidh dalam hadits di atas. Di sini diketahui bahwa pakaian yang terkena darah haidh menjadi suci ketika dicuci walaupun ada bekasnya. Lihat Ghayah Al-Muqtashidin, 1:76.

Semoga meraih ilmu yang bermanfaat.

[1] HR. Abu Daud, no. 376 dan An-Nasa’i, no. 305. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

[2] HR. Abu Daud, no. 365 dan Ahmad, 2:364. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[3] HR. Bukhari, no. 223 dan Muslim, no. 287.

Referensi:

  1. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
  2. Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathan.
  3. Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As- Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  4. Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  5. Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan ketiga, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj. hlm. 44-45.

Disusun di Perpus Rumaysho, 22 Muharram 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com