Apakah era reformasi telah mampu membawa Indonesia pada negara demokrasi yang dicita citakan

Apakah era reformasi telah mampu membawa Indonesia pada negara demokrasi yang dicita citakan

Apakah era reformasi telah mampu membawa Indonesia pada negara demokrasi yang dicita citakan
Lihat Foto

KOMPAS/EDDY HASBY

Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR. Hegemoni Orde Baru yang kuat ternyata menjadi inspirasi bagi orangtua untuk memberi nama bagi anak-anak mereka.

KOMPAS.com - Indonesia adalah negara demokrasi yang dapat dibuktikan dari sudut pandang normatif dan empirik.

Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, bukti empirik bahwa Indonesia adalah negara demokrasi bisa dilihat dari alur sejarah politik di Indonesia, yaitu:

  1. Pemerintahan masa revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949)
  2. Pemerintahan parlementer (1949-1959)
  3. Pemerintahan demokrasi terpimpin (1959-1965)
  4. Pemerintahan orde baru (1965-1998)
  5. Pemerintahan orde reformasi (1998-sekarang)

Berikut ini pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada masa reformasi (1998-sekarang):

Baca juga: Bukti Normatif dan Empirik Indonesia Negara Demokrasi

Demokrasi Indonesia periode reformasi (1998-sekarang)

Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden pada Sidang Umum MPR pada Maret 1998.

Tetapi penyimpangan-penyimpangan pada masa pemerintahan Orde Baru membawa Indonesia pada krisis multidimensi, diawali krisis moneter yang tidak kunjung reda.

Krisis moneter membawa akibat terjadinya krisis politik, di mana tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah begitu kecil.

Kerusuhan-kerusuhan terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia.

Akibatnya pemerintahan orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto terperosok ke dalam kondisi yang diliputi berbagai tekanan politik baik dari luar maupun dalam negeri.

Dari dunia internasional, terutama Amerika Serikat, secara terbuka meminta Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden.

Dari dalam negeri, timbul gerakan massa yang dimotori oleh mahasiswa turun ke jalan menuntut Soeharto lengser dari jabatannya.

Baca juga: Bukti Normatif dan Empirik Indonesia Negara Demokrasi

Tekanan massa mencapai puncaknya ketika sekitar 15.000 mahasiswa mengambil alih Gedung DPR/MPR. Akibatnya proses politik nasional praktis lumpuh.

Soeharto ingin menyelamatkan kursi kepresidenan dengan menawarkan berbagai langkah. Seperti perombakan (reshuffle) kabinet dan membentuk Dewan Reformasi.

Tetapi pada akhirnya Presiden Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali mundur dari jabatannya.

Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 di Istana Merdeka menyatakan berhenti sebagai Presiden.

Dengan menggunakan UUD 1945 pasal 8, Soeharto segera mengatur agar Wakil Presiden Habibie disumpah sebagai penggantinya di hadapan Mahkamah Agung.

Karena DPR tidak dapat berfungsi akibat mahasiswa mengambil alih gedung DPR.

Kepemimpinan Indonesia segera beralih dari Soeharto ke BJ Habibie. Hal ini merupakan jalan baru demi terbukanya proses demokratisasi di Indonesia.

Kendati diliputi kontroversi tentang status hukumnya, pemerintahan Presiden BJ Habibie mampu bertahan selama satu tahun kepeminpinan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Jakarta -

22 tahun yang lalu, bangsa Indonesia memasuki fase perubahan besar dalam perjalanannya membangun negeri. Dalam Miriam Budiarjo (2008), selain terjadi perpindahan sistem politik pada masa 1945-1959 dan 1959-1965, yakni perpindahan dari masa demokrasi konstitusional ke masa demokrasi terpimpin, terjadi juga gelombang perubahan besar pada 1998, yaitu masa reformasi yang menandai berakhirnya kekuasaan rezim Orde Baru yang berkuasa sepanjang1965-1998.

Menurut Kacung Marijan (2010), gelombang reformasi terjadi dengan dilatarbelakangi setidaknya karena dua hal; yang pertama, gerakan-gerakan sosial politik sebagai usaha membuka kran demokrasi substantif, dan yang kedua ketidakpuasan publik terhadap pemerintah atas situasi ekonomi yang diakibatkan oleh krisis.

Dua hal tersebut, demokratisasi dan kesejahteraan kemudian menjadi pekerjaan besar berikutnya yang penting untuk dituntaskan pada masa reformasi ini. Kevin Oslon (2006) menekankan bahwa aspek kesejahteraan perlu hadir dalam perbincangan pemikiran demokrasi kontemporer. Sebab, aspek kesejahteraan tidak hanya dimaknai sempit dalam ruang sosial-ekonomi, tetapi merupakan bagian dari dimensi politik itu sendiri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Demokratisasi di Era Reformasi

Pada dasawarsa pertama pasca reformasi, agenda-agenda besar pembangunan negara didominasi oleh usaha-usaha segenap elemen bangsa untuk membuat terobosan-terobosan dalam proses demokratisasi. Hal tersebut dilakukan untuk mengurai permasalahan-permasalahan dalam sistem demokrasi pada rezim orde baru yang mengedapankan sisi demokrasi prosedural dengan wajah otoritarianisme.

Langkah-langkah strategis pemerintah seperti amandemen UUD 1945, menerbitkan sejumlah Undang-Undang politik, mengubah sistem pemilihan umum, membuat pola desentralisasi dan otonomi daerah serta menjamin kebebasan pers adalah upaya-upaya mereformasi hak-hak politik dan lembaga demokrasi Indonesia. Dalam sisi penguatan penegakan hukum, pemerintah mendirikan sejumlah institusi-institusi baru seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Serta tidak kalah penting adalah agenda reformasi militer yang berusaha mengembalikan fungsi angkatan bersenjata sebagai garda terdepan dalam bidang pertahanan yang alih-alih sebagai kekuatan politik.

Meski mengalami perkembangan yang fluktuatif, hasil-hasil dari pembangunan sistem demokrasi tersebut perlahan menghasilkan perkembangan yang baik dalam iklim demokrasi di Indonesia. Angka Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) terakhir pada 2018 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka IDI 2018 adalah 72,39. Angka tersebut terus naik dalam tiga tahun terakhir, dan sangat signifikan jika dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, yaitu IDI 2013 yang berada dalam angka 63,72.

Tetapi angka di atas bukan tanpa kelemahan, karena angka dari dua aspek IDI mengalami sedikit penurunan, yang berupa penurunan pada aspek Kebebasan Sipil sebesar 0,29 poin (dari 78,75 menjadi 78,46) dan penurunan aspek Hak-hak Politik sebesar 0,84 poin (dari 66,63 menjadi 65,79). Angka tersebut akan menjadi dasar bagi pemerintah sebagai dorongan untuk terus memberikan jaminan bagi warga negaranya agar mendapatkan ruang kebebasan sipil yang lebih luas dan akses politik kepada hak-hak politik yang lebih dalam.

Menggapai Kesejahteraan Umum

Pada dasawarsa kedua, setelah proses demokratisasi secara pelembagaan dan perundang-udangan mulai tertata dengan baik, tren pembangunan negara beralih pada upaya menciptakan kesejahteraan umum. Sembari tentu saja membenahi perihal demokratisasi yang masih berjalan. Hal tersebut didasarkan pada cita-cita reformasi selain membentuk tatanan demokrasi substansial, yakni menyelesaikan ketidakpuasan masyarakat atas situasi ekonomi saat itu.

Lagi pula, konstitusi telah mengamanatkan bahwa pemerintahan dibentuk, salah satunya, untuk memajukan kesejahteraan umum.

Dalam kacamata pendekatan strukturalis yang sering digunakan dalam menganalisis proses transformasi dan transisi pembangunan ekonomi sebuah negara berkembang, peranan pemerintah sangat signifikan dalam mengawal perkembangan ekonomi ke arah neraca keseimbangan.

Taryono (2012) memaparkan analisis empiris proses transformasi perekonomian ini di negara berkembang termasuk Indonesia, bahwa perubahan atau transformasi perekonomian pada umumnya mengarah dari sektor produksi primer (pertanian, perikanan, dan pertambangan) menjadi sektor produksi sekunder (manufaktur, konstruksi) dan kemudian menuju ke sektor tersier (jasa dan perdagangan).

Maka, proses pembangunan ekonomi pada sebuah negara berkembang adalah sesuatu yang mutlak. Itu dilakukan dengan syarat perlu ditiadakannya kekakuan (rigidity) interaksi antarsektor ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya, yang sering mendorong ke arah ketidakseimbangan.

Permasalahannya, sebagaimana negara berkembang yang lain, Indonesia memiliki permasalahan ketimpangan yang menimbulkan kekakuan interaksi ekonomi dan ketidakseimbangan tersebut. Sehingga upaya pemerintah menempatkan pembangunan infrastruktur yang merata, seperti membangun bandar udara, pelabuhan, jalan tol darat maupun laut, jalan kereta api, jembatan, pembangunan pos lintas batas negara dan bahkan pembangunan ibu kota negara baru, sebagai agenda prioritas dan wujud dari visi Indonesia sentris adalah kebijakan yang sesuai dalam menstimulus agenda transformasi ekonomi tersebut.

Interaksi antarsektor ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya membutuhkan infrastruktur penunjang tersebut di atas untuk pengembangan perekonomian dan kemudahan aksesibilitas. Agenda pembangunan kesejahteraan negara tersebut pula didukung kebijakan lain yang mengafirmasi kebutuhan daerah secara langsung seperti dana desa, BBM satu harga dan berbagai pembangunan infrastruktur lokal lainnya seperti pembangunan pasar, jalan desa, dan sanitasi.

Usaha-usaha pemerintah dalam mengupayakan kesejahteraan tersebut berbanding lurus dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2019 yang dirilis BPS. IPM yang memiliki tiga aspek pengukuran, yakni umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak terus meningkat. Khusus pada 2019, angka IPM menyentuh 71,92. Angka ini mengalami pertumbuhan sebesar 0,53 poin atau tumbuh sebesar 0,74 persen dibandingkan tahun 2018. Angka tersebut juga sangat signifikan jika dibandingkan dengan angka IPM 2010 lalu yang terukur pada angka 66,53.

Pada akhirnya, cita-cita reformasi yang ingin membangun sistem demokrasi yang mapan dan membangun kesejahteraan umum di Indonesia akan terus berlanjut. Sebagai bangsa yang sudah mengalami berbagai fase perubahan semenjak kemerdekaan, rasa optimisme akan kemajuan bangsa perlu terus ditanamkan. Pemerintah sebagai domain utama dalam agenda-agenda pembangunan bangsa tidak dapat sendiri dalam mengawal perubahan yang ada.

Iklim kompetitif dari dari dunia usaha dan pola bottom-up dari kelompok civil society dibutuhkan dalam mewujudkan agenda-agenda bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi dan cita-cita kesejahteraan. Lebih jauh lagi, sebagai agenda pembangunan yang akan menghantarkan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Aminuddin Ma'ruf Staf Khusus Presiden

(mmu/mmu)