Apakah anak dari istri kedua berhak mendapat warisan dari istri pertama?

Litigasi - Arti perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.

UU Perkawinan menganut asas monogami yang artinya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri dalam waktu yang bersamaan, demikian juga seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Akan tetapi UU Perkawinan memberikan pengecualian sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan dimana Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang pria untuk beristri lebih dari seorang. Dalam hal ini yang dapat diberi izin adalah seorang pria sedangkan wanita tidak dibenarkan atau tidak dapat memperoleh izin untuk memiliki lebih dari satu suami pada waktu yang bersamaan.

Perkawinan poligami di tengah masyarakat banyak menimbulkan pertanyaan mengenai hak waris untuk istri kedua maupun anak-anaknya. Namun UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam(KHI) telah menjelaskan bahwa perkawinan poligami yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang dan tercatat di lembaga Pencatat Perkawinanistri kedua dan anak yang dilahirkan dapat disebut sebagai ahli waris yang sah namun mempunyai kedudukan yang berbeda dengan istri pertama. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU Perkawinan, yang menegaskan bahwa:

1) Dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:
a. suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya;
b. istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya terjadi;
c. Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.  

Kemudian Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan bahwa:

(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri;

(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang pria yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan kedua, ketiga atau keempat.

Dengan demikian penjelasan ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak waris istri kedua dalam perkawinan poligami tetap ada, sepanjang perkawinannya memenuhi ketentuan dan persyaratan yang telah diatur dalam UU Perkawinan dan tercatat di Lembaga Pencatat Perkawinan. Namun untuk hak warisnya antara istri pertama dan istri kedua masing-masing terpisah dan beridiri sendiri. artinya untuk istri kedua mulai berhak atas harta waris bersama dengan suaminya terhitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan.

Pasal 190 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan: Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.

Isteri kedua berhak mewarisi harta peninggalan suaminya sepanjang harta itu didapat pada masa pernikahan dengan isteri kedua itu. Sementara harta yang telah didapat pada masa perkawinan sebelumnya maka isteri kedua tidak berhak mendapatkan bagian. 

(irv)

NURUL YAKIN, 031042071 N (2012) KEDUDUKAN ANAK DARI ISTRI KEDUA ATAS HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.

Official URL: http://lib.unair.ac.id

Abstract

Dalam perkawinan poligami diatur mengenai kedudukan hukum atas hak-hak pewarisan, karena setiap hak didukung oleh subjek hukum baik itu merupakan orang atau badan hukum, khususnya kepada anak yang dilahirkan dari perkawinan poligami dan semua itu merupakan wilayah hukum waris. Penelitian tentang Kedudukan Anak Atas Harta Warisan dalam Perkawinan Poligami ini bertujuan untuk menganalisis hak waris anak dari isteri kedua sebagai ahli waris dan penerepan pembagian hak warisan anak dalam perkawinan poligami. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang mengacu pada peraturan perundang-undangan. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu terdiri dari peraturan perundang-undangan dan Al-Qur�an, dan bahan hukum sekunder terdiri dari pendapat para ahli, buku-buku, referensi dan makalah. Pada penelitian ini spesifikasi yang dipergunakan adalah deskriptif analitis, yaitu memaparkan, menggambarkan atau mengungkapkan data-data yang mempunyai relevansi dengan permasalahan. Dalam pasal 174 KHI serta dalam surat An-Nisa ayat 7 dan pasal 832 BW, menetapkan pembagian harta warisan yang lebih diutamakan adalah orang yang mempunyai hubungan darah (nasab) dengan pewaris. Dengan demikian isteri dan anak-anaknya sangatlah berperan dalam pembagian warisan. Pembagian warisan antara kedua hukum yaitu hukum waris Islam dan hukum waris perdata BW berbeda karena adanya perbedaan asas yang dipakai. Dalam hal suami menikah lebih dari satu kali, mengenai pembagian harta warisan anak. Menurut hukum Islam, dimana bagian anak-anaknya baik dari isteri pertama, kedua, ketiga dan keempat, jika itu hanya ada seorang anak perempuan, maka mendapat bagian ½ bagian, dan bila ada dua atau lebih anak perempuan, maka mendapat 2/3 bagian, akan tetapi bila anak perempuan bersama dengan anak laki-laki maka bagian anak laki-laki tersebut adalah dua banding satu (2:1). Hal ini berbeda dalam hukum perdata (BW), dimana anak-anak dan/atau keturunannya sama-sama kedudukannya dalam mewaris dan tidak dipersoalkan apakah anak-anak itu laki-laki atau perempuan, mereka masing-masing akan mendapatkan bagian yang sama, entah itu dari perkawinan isteri pertama, kedua dan seterusnya.

Actions (login required)

Apakah anak dari istri kedua berhak mendapat warisan dari istri pertama?
View Item

Jakarta -

Pembagian harta waris bukan hal yang sederhana. Banyak permasalahan hukum yang timbul apabila masing-masing pihak tidak memahami ketentuan hukum dan hak mereka berkaitan dengan waris. Apalagi jika hal tersebut melibatkan anak tiri dari pernikahan sebelumnya.

Hal tersebut juga yang menjadi kegundahan dari pembaca detik's Advocate, sesuai dengan pertanyaannya sebagai berikut:

Almarhum ayah kami sepanjang hidupnya telah melaksanakan dua kali pernikahan. Pernikahan dengan istri pertama dikaruniai empat orang anak, dan berakhir dengan perceraian dan kemudian telah dilakukan pembagian harta bersama. Sedangkan keempat anak dari pernikahan pertama tersebut kemudian diurus oleh ayah kami.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada pernikahan dengan istri kedua, ayah dikaruniai tiga orang anak, sehingga jumlah anak yang diurus oleh ayah dan istri kedua berjumlah tujuh orang. Ayah dan istri kedua terus menjalankan pernikahan sampai dengan ayah meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta.

Berdasarkan keadaan tersebut, kami ingin bertanya apakah:

1. ibu kami (istri kedua) berhak atas harta perkawinannya dengan ayah kami yang didapatkan selama pernikahan kedua?
2. Lalu apakah anak bawaan ayah kami dari pernikahan pertamanya berhak atas harta perkawinannya dengan ayah dan ibu kami yang didapatkan selama pernikahan kedua?
3. Apakah anak bawaan ayah kami dari pernikahan pertamanya juga berhak atas harta warisan ibu kami (istri kedua) dalam hal kelak ibu kami wafat?
4. Apakah ibu kami (istri kedua) kelak dapat mewariskan harta yang menjadi haknya kepada anak kandungnya? dan bagaimana cara agar pembagian waris tersebut tidak menimbulkan permasalahan kelak?

Terima kasih.

Pembaca lain juga bisa mengirim pertanyaan seputar hukum yang dikirim ke email: dan di-cc ke


Untuk menjawab masalah di atas, tim detik's Advocate meminta pendapat hukum advokat Andhika Prayoga, S.H., M.Si. Berikut jawaban lengkapnya:

Hak istri dari Pernikahan Kedua

Berdasarkan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terhadap setiap harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama.

Dalam hal perkawinan tersebut putus, misalnya karena kematian atau perceraian, maka dilakukan pembagian terhadap harta bersama sesuai dengan ketentuan hukum agama, adat, atau hukum lainnya.

Apabila merujuk Pasal 128 KUH Perdata, pembagian harta bersama dibagi sama rata antara suami dan istri, kecuali apabila suami dan istri telah memperjanjikan lain besarannya dalam suatu perjanjian.

Kaidah pembagian harta bersama juga dapat merujuk pada Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3764/Pdt/1992 tanggal 30 Maret 1992 yang menyatakan:

"seorang janda akan mendapat ½ (setengah) bagian dari harta bersama dan ½ (setengah) bagian lagi selebihnya menjadi harta warisan dari almarhum suaminya, yang akan dibagi antara janda itu dan anak-anaknya, dan masing-masing mendapatkan bagian yang sama besarnya".

Dengan demikian, ibu saudara (istri kedua) berhak atas separuh harta bersama yang didapatkan selama perkawinannya dengan ayah saudara.

Hak Anak Tiri atas Harta Bersama Pernikahan Kedua

Pada prinsipnya, pembagian waris dilakukan karena alasan: telah terjadi kematian pemberi waris (Pasal 830 KUH Perdata); dan ditujukan kepada mereka yang memiliki hubungan darah di antara pewaris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata).

Dengan demikian, terhadap anak tiri, dalam konteks ini yaitu anak bawaan ayah saudara dari pernikahan pertamanya, secara hukum tetap memiliki hubungan hukum waris dengan ayah kandungnya, meskipun ayahnya telah terikat dengan pernikahan lain. Dengan demikian anak tiri tersebut berhak atas harta warisan berupa: (i) harta bawaan ayah (apabila ada), dan (ii) separuh harta bersama yang menjadi hak ayah setelah dibagi dengan ibu saudara (istri kedua).

Hak Anak Tiri atas Harta Warisan Istri Kedua

Anak tiri pada dasarnya tidak memiliki hubungan darah dengan ibu saudara (istri kedua), karena anak tiri hanya memiliki hubungan darah dengan ayah saudara, sehingga ia tidak berhak atas: (i) setiap hak waris yang diterima ibu saudara (istri kedua) dari ayah, maupun harta waris ibu saudara (istri kedua) yang kelak terbagi apabila ia telah meninggal.

Hak Anak Kandung dari Pernikahan Kedua

Anak Kandung, yaitu anak yang dilahirkan dari pernikahan kedua ayah saudara dengan ibu (istri kedua), berhak atas harta warisan ayah dan harta warisan ibu (istri kedua) apabila keduanya telah meninggal. Terhadap harta warisan yang berasal dari ayah, anak kandung harus berbagi dengan anak tiri.

Untuk menghindari permasalahan mengenai pembagian waris tersebut, sejak awal harus diantisipasi dengan dilakukannya permohonan penetapan pembagian harta bersama dan pembagian waris setelah ibu saudara (istri kedua) wafat.


Demikian, semoga membantu. Terima kasih.

Andhika Prayoga, S.H., M.Si.

Advokat

Penulis buku Strategi Hukum Mencegah Bisnis Pailit dan Hukum Pembubaran, Likuidasi, dan Pengakhiran Perseroan Terbatas.

Profil lengkap:
https://www.linkedin.com/in/andhikaprayoga/

Tentang detik's Advocate

detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.

Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum waris, perlindungan konsumen dan lain-lain.

Apakah anak dari istri kedua berhak mendapat warisan dari istri pertama?

Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.

Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: dan di-cc ke-email:

Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.

(asp/asp)