Apabila shalat berjamaah hanya terdiri atas dua orang laki-laki semua posisi makmum

Kapanlagi.com - Islam sudah memberi aturan yang cukup jelas dalam tata cara pelaksanaan ibadah, termasuk dalam penentuan posisi sholat berjamaah. Posisi sholat berjamaah erat kaitannya dengan pengaturan shaf atau barisan jamaah dalam sholat. Bahkan, dikatakan bahwa salah satu kesempurnaan sholat berjamaah terletak pada kesempurnaan shaf.

Berdasarkan riwayat dari Anas bahwa Rasululloh Salalluhualaihi Wassalam bersabda :

"Sempurnakanlah shaf pertama , kemudian shaf berikutnya. Jika kurang (shaf pertama tidak mencukupi), maka hendaklah ia mengambil shaf yang paling belakang. (HR. An-Nasa'i No. II/93).

Namun, membicarakan posisi sholat berjamaah ini tak hanya selesai sampai shaf saja. Ada juga aturan mengenai posisi sholat berjamaah antara imam dan makmum, juga antara laki-laki dan perempuan. Untuk mengetahui penjelasan tentang posisi sholat berjamaah selengkapnya, silakan simak informasi yang dilansir dari berbagai sumber berikut ini.

 

Ilustrasi (Credit: Freepik)

Penentuan posisi sholat berjamaah ini berkaitan dengan aturan dan adab yang harus ditepati umat muslim saat beribadah. Aturan teknis ibadah menduduki posisi penting di mata Nabi. Beliau pula yang langsung melaksanakan dan mencontohkannya. Terdapat pemahaman yang salah jika ada orang yang dengan seenaknya sendiri menjalankan agama dalam tatanan teknis seperti penentuan posisi sholat berjamaah.

Urusan teknis ibadah tidak bisa dikelabui dengan kalimat "yang penting hatinya". Hal penting dalam ibadah ini mencakup aturan posisi sholat berjamaah antara imam dan makmum.

Berdasarkan informasi yang dilansir dari muslim.nu.or.id, penjelasan mengenai hal tersebut terdapat dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Abbas radliyallahu anhuma. Sepupu Nabi ini mengisahkan:

"Saya pernah menginap di rumah bibi saya Maimunah. Rasulullah SAW berdiri melaksanakan sholat. Saya berdiri di sebelah kiri beliau. Kemudian Nabi mengubah posisiku ke arah sisi kanan beliau."

Menurut Imam Nawawi, sunnahnya memang di kanan imam, tapi tidak sejajar dan agak mundur sedikit:

"Sunnahnya makmum yang hanya satu saja itu berdiri di samping kanan imam. Baik makmumnya laki-laki dewasa atau anak kecil. Para pengikut mazhab Syafi'i mengatakan, disunnahkan bagi makmum untuk mundur sedikit saja dari posisi berdirinya imam (tidak sejajar)."

Namun jika makmum datang terlambat sedangkan ia malah berdiri di samping kiri atau di belakang imam, posisi sholat berjamaah baginya disunnahkan untuk pindah ke posisi kanan imam walaupun sudah dalam keadaan sholat. Meski begitu, makmum tetap harus menjaga dari gerakan-gerakan yang dapat membatalkan sholat.

Namun, saat makmum tidak memindahkan sendiri posisinya, imam disunnahkan untuk memindahkan posisi makmumnya. Hal ini sesuai hadisnya Ibnu Abbas.

"Apabila makmum bersikukuh di samping kiri atau di belakang imam, hukumnya makruh tapi sholatnya tetap sah menurut kesepakatan ulama." (Imam Nawawi, Al-Majmu', [Darul Fikr], juz 4, halaman 291)

Jika ada imam dengan satu makmum, sunnahnya makmum berdiri di kanan imam dengan mundur sedikit. Imam juga dianjurkan proaktif menggeser makmum untuk berada di posisi sebelah kanannya. Formasi yang tidak sesuai anjuran dihukumi makruh, tapi tidak membatalkan sholat. Wallahu a'lam.

Ilustrasi (Credit: Freepik)

Seperti informasi umum dalam literatur fiqih yang dilansir dari islam.nu.or.id, konsep penataan posisi sholat berjamaah atau shaf yang dianjurkan yaitu, berurutan mulai dari laki-laki dewasa, anak kecil, dan shaf terakhir ditempati oleh perempuan. Sehingga, ketika ketentuan penataan shaf dengan formasi demikian dilanggar, maka dihukumi makruh yang akan berpengaruh dalam hal hilangnya fadilah jamaah dari ritual sholat berjamaah yang dilakukan.

Penjelasan mengenai aturan tersebut bisa dilihat dalam hadis berikut ini:

"Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi perempuan adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal." (HR. Muslim)

Maksud dari hadis tersebut tak bisa diartikan serta-merta tanpa melihat konteks dalam masyarakat. Mengingat realitas yang sering berlaku di masyarakat, posisi sholat berjamaah bagi perempuan berada di bagian kanan atau kiri jamaah laki-laki yang menempati ruang berbeda atau dipisah dengan satir (penghalang) antara jamaah perempuan dan jamaah laki-laki,sehingga para jamaah perempuan ini sejajar dengan shaf jamaah laki-laki dalam sholat berjamaah.

Setelah ditelaah secara mendalam, ternyata hal yang mendasari penempatan posisi sholat berjamaah bagi perempuan berada di akhir adalah dikarenakan konteks dalam hadis di atas yaitu ketika antara laki-laki dan perempuan berada di satu tempat yang sama (ikhtilath). Sehingga ketika perempuan berada di shaf awal, secara otomatis mereka bersanding dengan jamaah laki-laki dan hal ini jelas dianggap tidak pantas.

Oleh sebab itu, perempuan dianjurkan untuk menjauh dari jamaah laki-laki dengan menempati shaf yang paling belakang agar dapat terhindar dari fitnah serta larangan percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan.

Ketika perempuan dalam sholat berjamaahnya berada di ruangan tersendiri atau dipisah dengan penghalang yang mencegah pandangan jamaah laki-laki dari jamaah perempuan, maka dalam keadaan demikian, posisi shaf yang paling utama bagi perempuan adalah shaf yang paling awal, sebab illat (alasan yang mendasari sebuah hukum) kesunnahan menempati shaf paling belakang bagi perempuan yang berupa menghindari fitnah dan percampuran dengan laki-laki dalam satu tempat, dalam keadaan ini illat tersebut sudah tidak wujud, sehingga hukum yang dihasilkan menjadi berbeda.

Aturan mengenai penempatan shaf paling akhir bagi perempuan saat sholat berjamaah telah sesuai dengan penjelasan yang terdapat dalam hadis. Namun anjuran tersebut hanya berlaku ketika laki-laki dan perempuan berada dalam satu tempat tanpa adanya pemisah. Sehingga ketika jamaah perempuan berada di tempat yang berbeda dan terpisah dari jamaah laki-laki, maka shaf awal adalah shaf yang paling dianjurkan bagi mereka, seperti halnya ketentuan shaf yang dianjurkan bagi laki-laki. Wallahu a'lam.

Ilustrasi (Credit: Freepik)

Selain aturan mengenai posisi sholat berjamaah antara imam dan makmum atau antara laki-laki yang sudah dijelaskan di atas, terdapat pula anjuran posisi sholat berjamaah mengenai shaf atau barisan. Mengikuti anjuran untuk meluruskan shaf sangat membantu sholat kita lebih khusyuk, lebih aman dari gangguan, menyatukan hati para jamaah dan meraih pahala yang lebih besar. Oleh karena itu, penting bagi kalian untuk menyimak anjuran tentang posisi sholat berjamaah yang dilansir dari muslim.or.id berikut ini.

Perintah untuk Meluruskan Shaf

Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam memerintahkan kita untuk meluruskan shaf dalam sholat. Dari Anas bin Malik radhiallahu'anhu, Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

"Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah kesempurnaan sholat." (HR. Bukhari no.690, Muslim no.433).

"Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah bentuk menegakkan sholat (berjamaah)" (HR. Bukhari no.723).

Hikmah dalam Meluruskan Shaf

Lurusnya shaf adalah sebab terikatnya hati orang-orang yang sholat. Dan bengkoknya shaf dapat menyebabkan berselisihnya hati mereka. Dari Abu Mas'ud radhiallahu'anhu, ia berkata:

"Dahulu Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam memegang pundak-pundak kami sebelum sholat, dan beliau bersabda: luruskanlah (shaf) dan jangan bengkok, sehingga hati-hati kalian nantinya akan bengkok (berselisih) pula." (HR. Muslim, no. 432).

Ancaman Bagi yang Tidak Meluruskan Shaf

Meluruskan shaf hukumnya wajib. Karena Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam mengancam orang yang tidak meluruskan shaf dalam sholat berupa terjadinya perselisihan hati di antara mereka. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsamin mengatakan:

"Yang menjadi patokan meluruskan shaf adalah pundak untuk bagian atas badan dan mata kaki untuk bagian bawah badan" (Asy Syarhul Mumthi', 3/7-13).

Dalam kesempatan lain, beliau menjelaskan:

"Ini tidak diragukan lagi merupakan ancaman keras bagi orang yang tidak meluruskan shaf. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa meluruskan shaf hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan perintah Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam dalam hadis ini. Beliau mengancam orang yang menyelisihi perintah ini, maka perkara yang diperintahkan dan diancam pelakunya ketika meninggalkannya, ini tidak mungkin dikatakan hukumnya sunnah saja. Oleh karena itu pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah bahwa meluruskan shaf hukumnya wajib. Dan jamaah yang tidak meluruskan shaf mereka berdosa. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah" (Syarhul Mumthi', 3/6).

KLovers, itulah penjelasan dan anjuran mengenai posisi sholat berjamaah yang bisa kalian baca dan ikuti.

Yuk, lihat juga

Shalat adalah ibadah rutin yang sudah seharusnya setiap muslim dan muslimah memperhatikan tentang shalatnya apakah sudah sesuai dengan tuntunan syariat atau belum. Terutama dalam shalat berjama’ah, ada yang mesti diperhatikan yaitu posisi imam dan makmum. Bagaimana posisi imam dan makmum yang seharusnya? Yuk kita simak pembahasannya.

Pendahuluan Tentang Shalat Berjama’ah

Telah kita ketahui bersama wajibnya shalat berjama’ah bagi kaum laki-laki. Dan bahwasanya shalat berjamaah wajib dilaksanakan di masjid kecuali ketika ada udzur. Simak kembali serial artikel “Keutamaan dan Kewajiban Shalat Berjamaah” dan juga artikel “Apakah Shalat Jama’ah Wajib di Masjid?”.

Pada artikel kali ini akan dibahas bagaimana posisi berdirinya imam dan makmum dalam shalat berjama’ah. Baik jika pesertanya sedikit atau pun banyak. Baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan tempat yang sempit. Berikut ini penjelasannya.

Batasan Jumlah Orang dalam Shalat Jama’ah

Shalat jama’ah dianggap sah jika minimal dilaksanakan oleh dua orang. Karena secara bahasa, al jama’ah sendiri dari kata al ijtima’ yang artinya: sekumpulan orang. Dan dalam bahasa Arab, dua orang yang berkumpul sudah bisa disebut ijtima’. Juga sebagaimana hadits dari Abu Umamah Al Bahili, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika ada seorang yang memasuki masjid untuk shalat:

ألَا رَجُلٌ يَتصدَّقُ على هذا يُصلِّي معه؟ فقام رَجُلٌ فصَلَّى معه، فقال رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذان جَماعةٌ

“Tidakkah ada seseorang yang mau bersedekah terhadap orang yang shalat ini?”. Maka seorang lelaki pun berdiri untuk shalat bersamanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Dua orang ini adalah jama’ah” (HR. Ahmad no.22189, dishahihkan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).

Demikian juga dalam hadits Malik bin Huwairits radhiallahu’anhu, ia berkata:

أَتَى رَجُلَانِ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُرِيدَانِ السَّفَرَ، فَقَالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: إذَا أنْتُما خَرَجْتُمَا، فأذِّنَا، ثُمَّ أقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُما أكْبَرُكُمَا

“Dua orang mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan bahwa mereka akan pergi safar. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika kalian kalian safar (dan akan mendirikan shalat) maka adzan-lah dan iqamah-lah, dan hendaknya yang lebih tua dari kalian yang menjadi imam” (HR. Bukhari no. 630, Muslim no.674).

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa dua orang saja sudah mencukupi untuk tercapainya shalat berjama’ah.

Mengenai posisi berdirinya imam dan makmum dalam shalat berjama’ah perlu dirinci menjadi beberapa keadaan:

Jika keduanya laki-laki maka posisinya sejajar dan makmum terletak di samping kanan imam. Sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’ahuma, ia berkata:

بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ العِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ، فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، فَجِئْتُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ

“Saya pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah (binti Al Harits, istri Rasulullah). Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat isya (di masjid), kemudian beliau pulang, dan shalat 4 rakaat. Lalu beliau tidur. Kemudian beliau bangun malam. Akupun datang dan berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Beliau shalat 5 rakaat, kemudian shalat dua rakaat, lalu tidur kembali” (HR. Bukhari no. 117, 697).

Dalam riwayat lain:

أتيتُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – من آخر الليل فصلّيتُ خلفه، فأخَذ بيدي فجرّني فجعلني حذاءه

“Aku (Ibnu Abbas) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang shalat di akhir malam. Maka aku pun shalat di belakang beliau. Lalu beliau mengambil tanganku dan menarikku hingga sejajar dengan beliau” (HR. Ahmad 1/330, dan dishahihkan oleh Syuaib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Hal ini berlaku baik pada laki-laki maupun wanita yang shalat berdua sesama wanita.

Maka posisi makmum berada di belakang imam membentuk barisan. Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu mengatakan:

قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

“Aku berdiri di sisi kiri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga aku berdiri di sebelah kanan beliau. Kemudian datang Jabbaar bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tangan kami semua dan mendorong kami hingga kami berdiri di belakang beliau” (HR Muslim no. 5328).

Jika seorang lelaki mengimami wanita, maka perlu diketahui bahwa shalatnya seorang lelaki  bersama wanita perlu dirinci. Al Imam An Nawawi menjelaskan,

قال أصحابنا : إذا أمَّ الرجل بامرأته أو محرم له , وخلا بها : جاز بلا كراهة ; لأنه يباح له الخلوة بها في غير الصلاة . وإن أمَّ بأجنبية ، وخلا بها : حرم ذلك عليه وعليها , للأحاديث الصحيحة التي سأذكرها إن شاء الله تعالى . وإن أمَّ بأجنبيات وخلا بهن : فقطع الجمهور بالجواز

“Para ulama madzhab kami berkata, jika seorang lelaki mengimami istrinya atau mahramnya, dan hanya berdua, hukumnya boleh tanpa kemakruhan. Karena lelaki boleh berduaan dengan mereka (istri dan mahram) di luar shalat. Adapun jika ia mengimami wanita yang bukan mahram, dan hanya berduaan, maka haram bagi si lelaki dan haram bagi si wanita. Karena hadits-hadits shahih yang akan saya sebutkan menunjukkan terlarangnya. Jika satu lelaki mengimami beberapa wanita dan mereka berkhalwat, maka jumhur ulama membolehkannya” (Al Majmu’, 4/173).

Adapun posisi wanita jika bermakmum pada lelaki, baik wanitanya hanya seorang diri ataupun banyak, maka posisinya adalah di belakang imam. Berdasarkan keumuman hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

“Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami” (HR. Bukhari no.727, Muslim no.658).

Jika seorang wanita mengimami para wanita, maka imam berada di tengah. Dari Rabthah al Hanafiyah, ia berkata :

أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَ قَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِيْ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةِ

“‘Aisyah pernah mengimami para wanita dan ia berdiri diantara mereka dalam shalat wajib” (HR. Abdurrazaq dalam Al Mushannaf 3/140, Al Baihaqi 3/131).

Dari Hubairah, ia mengatakan bahwa :

أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتْهُنَّ فَكَانَتْ وَسَطًا

“Ummu Salamah pernah mengimami para wanita dan ia berada di tengah-tengah”. (HR Abdurrazaq dalam Al Mushannaf 3/140, Al Baihaqi 3/131).

Dalam kondisi tempat yang sempit sehingga tidak bisa memposisikan imam dan makmum dalam posisi yang ideal, maka posisinya menyesuaikan keadaan. Sebagaimana hadits dari Al Aswad bin Yazid, ia berkata:

دخلتُ أنا وعَلقمةُ علَى عبدِ اللَّهِ بنِ مَسعودٍ فقالَ لَنا أصلَّى هؤلاءِ ؟ قُلنا : لا ! قالَ قوموا فَصلُّوا. فذَهَبنا لنقومَ خلفَهُ فجعلَ أحدَنا عن يمينِهِ والآخرَ عن شمالِهِ … وقالَ : هكَذا رأيتُ رسولَ اللَّهِ فعلَ

“Aku bersama Alqamah masuk ke rumah Ibnu Mas’ud. Lalu beliau berkata kepada kami: apakah kalian sudah shalat? Kami berkata: belum. Beliau mengatakan: kalau begitu bangunlah dan shalat. Maka kami pergi untuk shalat bermakmum kepada beliau. Beliau memposisikan salah satu dari kami di sebelah kanan beliau dan yang lain di kiri beliau … beliau lalu berkata: demikianlah yang aku lihat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Muslim no.534, An Nasa-i no.719 dan ini lafadz an Nasa-i).

Shaf yang Paling Utama Bagi Makmum

Selain bershalat jama’ah itu sendiri memiliki banyak keutamaan dibanding shalat sendirian, posisi seseorang dalam shaf ketika shalat berjama’ah pun memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat. Tingkatan keutamaan posisi shaf ini ditentukan oleh beberapa patokan. Namun ada patokan yang disepakati oleh para ulama dan ada yang diperselisihkan.

Shaf pertama bagi laki-laki, shaf terakhir bagi wanita

Dalilnya, sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاسْتَهَمُوا

“Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang ada pada adzan dan shaf pertama, lalu mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan mengundi, pastilah mereka akan mengundinya” (HR. Bukhari 615, 652, 2689, Muslim 437)

dalam riwayat lain:

لَوْ تَعْلَمُونَ أَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لَكَانَتْ قُرْعَةً

“Seandainya kalian atau mereka mengetahui keutamaan yang terdapat pada shaf yang terdepan, niscaya itu sudah jadi bahan undian” (HR. Muslim 439)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf pertama” (HR. An Nasa-i, 810. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)

dalam riwayat lain:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الأَوَّلِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf-shaf terdepan” (HR. Ahmad 18152, Ibnu Majah 825, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Dalil-dalil mengenai hal ini sharih (jelas) penunjukkannya. Lalu terdapat dalil yang membedakan antara laki-laki dan wanita dalam hal ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خيرُ صفوفِ الرجالِ أولُها . وشرُّها آخرُها . وخيرُ صفوفِ النساءِ آخرُها . وشرُّها أولُها

“Shaf yang terbaik bagi laki-laki adalah yang pertama, yang terburuk adalah yang terakhir. Sedangkan shaf yang terbaik bagi wanita adalah yang terakhir, yang terburuk adalah yang pertama” (HR. Muslim 440)

Posisi yang dekat dengan imam

Posisi shaf yang semakin dengan imam, semakin besar keutamaannya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ليلني منكم أولو الأحلامِ والنهى, ثم الذين يلونَهم ثم الذين يلونَهم

“Hendaknya yang dibelakangku adalah orang yang bijaksana dan pandai, baru setelahnya adalah yang dibawah dia dalam hal kepandaian, begitu seterusnya” (HR. Muslim 432)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

ما بين بيتي ومِنبري روضةٌ من رياضِ الجنةِ ، ومِنبري على حوضِي

“Antara mimbarku dan rumahku adalah taman diantara taman-taman surga, dan mimbarku ada di dalam telagaku” (HR. Bukhari, 1196, Muslim, 1391)

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits ini dalam 2 qaul:

  1. Maksudnya adalah ta’abbud muthlaq, yaitu beribadah di tempat tersebut pahalanya berbeda dengan di tempat selainnya.
  2. Maksudnya bukan ta’abbud muthlaq, melainkan bentuk anjuran Nabi kepada para sahabat untuk mendapatkan tempat tersebut ketika beliau memberi pelajaran, lebih jelas mendengarnya, lebih dekat pada imam ketika shalat dan Nabi menjadi imam, sehingga para sahabat bisa mendapatkan lebih banyak ilmu, lebih banyak pemahaman, dan lebih meneladani Nabi dan itu semua merupakan sebab-sebab seseorang masuk ke surga.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

احْضرُوا الذكرَ، وادْنُوا من الإمَام، فإن الرجل لا يَزالُ يَتَبَاعَدُ حتى يُؤَخرُ في الجنة، وإن دَخَلَهَا

“Hadirilah khutbah jum’at dan mendekatlah kepada imam. Karena seorang yang selalu jauh dari imam, menyebabkan ia terbelakang dalam memasuki surga, andai ia memasukinya kelak” (HR. Abu Daud 1198, Al Hakim 1/289, Ahmad 5/11, lihat pembahasannya di sini)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf pertama” (HR. An Nasa-i, 810. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)

Dalam hadits ini digunakan kata الصُّفُوفِ dalam bentuk jamak bukan الصَّفِّ bentuk tunggal. Menunjukkan bahwa yang mendapat shalawat dari Allah dan para Malaikat itu tidak hanya shaf pertama saja, namun shaf-shaf depan yang jaraknya dekat dengan imam. Semakin dekat, semakin besar peluang mendapatkan shalawat dari Allah dan para Malaikat.

Sebelah kanan imam

Sebagian ulama memandang bahwa posisi sebelah kanan imam itu lebih utama dari sebelah kiri. Berdasarkan hadits:

إنَّ اللهَ وملائكتَه يُصلُّون على مَيامِنِ الصُّفوفِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf sebelah kanan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 4784, Ibnu Majah 995, Ibnu Hibban 2199).

Namun hadits ini munkar, walaupun sebagian ulama muhaddits memang menshahihkannya. Kemudian jika berdalil dengan keumuman tayamun, yaitu hadits:

إن كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يحبُّ التيمنَ في شأنهِ كلِّه . في نعلَيه، وترجُّلِه، وطهورِه

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyukai mendahulukan kanan dalam setiap urusannya, misalnya ketika memakai sandal, bersisir dan bersuci” (HR. Bukhari 426, 5854, 5380, Muslim 268).

Ini adalah pendalilan yang tidak sharih.

Namun memang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka menyukai posisi shaf kanan. Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu berkata:

خير المسجد المقام ثم ميمنة المسجد

“Posisi terbaik dalam masjid al haram adalah maqam Ibrahim, lalu shaf sebelah kanan” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 1/300)

Juga dari Bara’ bin ‘Adzib radhiallahu’anhu, ia berkata:

كنا إذا صلينا مع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ  أحببنا أن نكون عن يمينه يقبل علينا بوجهه

“Jika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kami senang berada di sebelah kanan karena beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami” (HR. Muslim 709).

Maksudnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam akan memandang yang di sebelah kanan setelah selesai salam. Semua ini juga tidak menunjukkan tasyri’. Ini hanya menunjukkan ijtihad para sahabat dan semangat mereka agar ketika Rasulullah selesai shalat merekalah yang dilihat pertama kali. Tidak menunjukkan pensyariatan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Dengan demikian yang rajih insya Allah, tidak ada keutamaan khusus dari posisi shaf sebelah kanan.

Kesimpulan

Dari paparan di atas kita simpulkan urutan keutamaan posisi shaf shalat dari yang paling besar adalah:

  1. Di belakang imam persis pada shaf pertama, karena shaf pertama dan paling dekat imam
  2. Posisi selain belakang imam, yang mendekati imam, di shaf pertama.
  3. Posisi di shaf pertama yang jauh dari imam
  4. Lurus di belakang imam  pada shaf kedua, karena itu posisi paling dekat imam di shaf kedua
  5. Posisi selain poin 3, yang paling dekat jaraknya dengan imam, di shaf kedua.
  6. Posisi di shaf kedua yang jauh dari imam

Dst.

Adapun bagi wanita, semakin belakang semakin utama.

Demikian pemaparan yang singkat ini, semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.

Pelajari lebih lanjut tentang shalat berjama’ah di artikel berikut.

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

🔍 Hukum Talak 3 Dalam Keadaan Marah, Hadits Tentang Istri Kepada Suami, Fadilah Sholat Berjamaah, Go Muslim, Ust Yazid Jawas

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA