Apa tujuan organisasi politik melayani

Demokrasi kekinian merupakan suatu demokrasi yang mampu meningkatkan partisipasi politik warga negara, sehingga menjadi jawaban untuk menghadapi setiap permasalahan kebangsaan saat ini. Seperti pemilihan Umum DPR, DPD dan Pemilihan Presiden serta Wakil Presiden juga dalam konteks Pemilihan yaitu Pemilihan Kepala Daerah. Dalam konteks tersebut seharusnya menjadi momen penting dalam menjalankan setiap sendi-sendi demokrasi, karena demokrasi bagi bangsa ini merupakan tatanan kenegaraan yang paling sesuai dengan martabat manusia yang menghormati dan menjamin terhadap pemenuhan hak asasi manusia.

Meskipun pemilihan umum dan pemilihan merupakan sarana untuk berdemokrasi bagi masyarakat dan merupakan hak politik warga negara yang dijamin konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan  dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” serta prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle) namun pada pelaksanaan dilapangan lagi-lagi masih menyisakan banyak celah dalam pemenuhan hak politik masyarakat terutama permasalahan hak politik sipil dari aparatur sipil negara.

`Hak politik yaitu hak yang dimiliki setiap orang yang diberikan hukum untuk meraih, merebut kekuasaan, kedudukan dan kekayaan yang berguna bagi dirinya. Penyaluran hak politik tersebut diantaranya diwujudkan melalui pemilihan umum (Pemilu) dan Pemilihan dalam konteks Pilkada. Pemilihan umum dan pemilihan merupakan suatu sarana untuk menyalurkan hak politik warga negara, dipilih dan memilih, ikut dalam organisasi politik, maupun mengikuti langsung kegiatan kampanye.

Hak politik merupakan bagian dari hak turut serta dalam pemerintahan. Hak turut serta dalam pemerintahan dapat dikatakan sebagai bagian yang amat penting dari negara yang menganut demokrasi. Hak ini bahkan dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari sistem demokrasi, karena apabila hak ini tidak ada dalam suatu negara, maka negara tersebut tidak semestinya mengakui diri sebagai negara demokratis sehingga hak-hak warga negara dapat terakomodir dalam pemilihan umum atau pemilihan.

Hak pilih itu tanpa disadari memiliki "efek magnetik" yang menarik keberpihakan ASN terhadap suatu pilihan tertentu  atau kelompok politik tertentu, sehingga menyebabkan terciptanya suatu kondisi yang tidak netral. seseorang ASN memilih untuk melakukan sesuatu dan memilih untuk berperilaku tertentu dalam konteks netral atau tidak adalah karena mengharapkan hasil dari pilihannya.Sangat mungkin di awali oleh harapan, dan harapan setiap individu ASN bisa terwujud apabila pilihan yang didukung terplih.

 Netralitas  ASN selalu menjadi salah satu isu hangat dalam praktek Pemilihan. Sumber daya manusia yang dimiliki ASN atau dalam administrasi disebut birokrasi  merupakan rebutan bagi para calon khususnya calon incumbent  karena posisi  ASN sangat strategis untuk menjadi mesin politik dalam mendulang suara sehingga akan ada timbal balik, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa ada beberapa oknum ASN yang secara langsung menjadi tim sukses walaupun secara tidak terang-terangan  menjadi tim sukses calon pilihan tertentu  karena hal itu jelas dilarang.

Netralitas dari  seorang ASN pada hakikatnya dipengaruhi oleh  Rasionalisasi politik  dan keputusan pribadi ASN itu sendiri  yaitu suatu proses penggunaan pikiran oleh individu  untuk menganalisa, menimbang dan memutuskan suatu tindakan politik yang sesuai dengan realita politik yang sedang berlangsung dan mampu memperkirakan peluang serta manfaat keputusan yang dibuat juga mengharapkan hasil dari pilihannya dengan berorientasi pada hasil yang akan di dapat ketika calon yang didukungnya terpilih.

Posisi ASN dalam politik ini sudah diatur dalam Undang-Undang Kepegawaian Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara yang mengatur secara tegas netralitas pegawai dalam pemerintahan. Dalam Pasal 3 UU Nomor 43 Tahun 1999 mengatur: (1) Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; (2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; (3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2, Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.Ketentuan tersebut jelas melarang keberpihakan ASN dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.

Netralitas ASN juga telah diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tepatnya pada Pasal 2 Huruf f disebutkan bahwa ASN harus bersikap netral dalam pemilihan umum, selain itu aturan mengenai sanksi pidana atas pelanggaran netralitas juga dapat dilihat di UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 dalam pasal 280 ayat 2 selain ASN pimpinan MA atau MK sampai perangkat desa, Kelurahan dilarang diikutsertakan dalam kegiatan kampanye. Jika pihak-pihak disebutkan tetap diikutsertakan maka akan dikenakan sanksi pidana kurungan dan denda. Sanksi tersebut tertuang dalam pasal 494 UU 7 tahun 2017 yang menyebutkan, setiap ASN, anggota TNI dan Polri, kepala desa, perangkat desa, dan/atau anggota badan permusyawaratan desa yang terlibat sebagai pelaksana atau tim kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 12 juta rupiah.  sedangkan dalam Undang-Undang 10 Tahun 2016 pasal 71 ayat 1 larangan kepada ASN untuk bersikap dan berbuat tindakan yang menguntungkan salah satu paslon terkait sanksi pasal 188 UU nomor 1 tahun 2015 menyebutkan pidana penjara paling lama 6  bulan atau denda maksimal 6 juta rupiah atau memberikan rekomendasi kepada KASN melalui Bawaslu sesuai Perbawaslu nomor 6 tahun 2018.

Pengawasan pelanggaran hukum terkait netralitas ASN, Bawaslu mendapat mandat mengawasi sesuai Perbawaslu nomor 6 tahun 2018 yang merupakan acuan dalam menjalankan tugas secara lugas dan tegas tdengan dibantu oleh pengawas Ad Hoc yaitu Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan Panwaslu LN dan Pengawas TPS.

 Persoalan netralitas ASN kemudian juga diatur dan ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Peraturan perundang-undangan tersebut diantaranya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, Edaran Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Nomor B-2708/KASN/9/2020 yang menghimbau Pemerintah Daerah yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 agar menggelar Apel Ikrar Bersama Gerakan Nasional Netralitas ASN pada Pilkada Serentak Tahun 2020.

Dalam penyelengaraan Pemilu dan Pemilihan hak politik ASN menjadi dilema terutama di daerah yang memasuki tahun politik disatu sisi mempunyai hak pilih disisi lain dalam UU nomor 5 tahun 2014 ditegaskan bahwa sebagai abdi negara harus bebas dari kepentingan politik. Sedangkan dilapangan fakta berbicara lain posisi ASN dilema bisa juga dibilang serba salah mengambil sikap netral dianggap tidak mendukung sehingga akan berisiko terhadap kariernya sementara jika mendukung berhadapan dengan pelanggaran hukum dan berisiko juga ketika yang naik bukan petahana maka akan menjadi tamat kariernya.

Fakta ini juga disampaikan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum yang menyebut ASN mengalami masalah klasik yaitu mempunyai hak pilih namun wajib netral dalam setiap ajang pemilihan. Ketua Bawaslu Abhan dalam Webinar bertajuk “Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak tahun 2020” pada selasa 27/10/2020 mengungkapkan bahwa tercatat 790 temuan atas dugaan pelanggaran atas netralitas ASN dan 64 laporan dari masyarakat dimana hasilnya 767 kasus ditindaklanjuti rekomendasi ke Komisi ASN sedangkan 87 kasus dianggap bukan pelanggaran. Sedangkan trend pelanggaran tertinggi imbuh Abhan ASN memberi dukungan melalui medsos yakni sebanyak 319 kasus, lainnya seperti menghadiri atau mengikuti silaturrahim, mempromosikan diri sendiri dan orang lain.

Pelanggaran ASN juga terjadi di Kabupaten Berau dengan  2 kasus pelanggaran  dalam pelaksanaan Pilkada yaitu Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Berau tahun 2020. Bawaslu Kabupaten Berau menyampaikan tindak lanjut temuan tersebut kepada Komisi ASN di Jakarta.  1 kasus mendapat tindak lanjut rekomendasi   disiplin ASN yang langsung ditembuskan oleh pejabat pembina kepegawaian sedangkan 1 kasus sampai saat ini Bawaslu Kabupaten Berau belum mendapatkan tembusan dari tindak lanjut kasus tersebut.

ASN mempunyai hak politik dalam setiap perhelatan pesta demokrasi baik pemilu maupun pemilihan kepala daerah namun asas netralitas sebagaimana tercantum dalam UU nomor 5 tahun 2014 sebagai upaya menjaga netralitas dari pengaruh intervensi politik pihak manapun dan dilarang untuk berpihak kepada kepentingan siapapun. Selain itu ASN juga dilarang untuk mencalonkan diri sebagai anggota maupun pengurus partai politik dengan tujuan menjaga keutuhan ASN

Sebagai abdi negara yang harus dilakukan ASN adalah menjaga netralitas baik dalam pemilu maupun pemilihan pilkada walaupun mempunyai hak pilih harus menjaga kerahasiaan pilihannya tanpa harus bertanya atau memberi informasi yang dapat di indikasikan mendukung partai politik atau calon pasangan tertentu demi menjaga netralitas. Apalagi tahapan Pemilu 2024 tidak lama lagi  yakni awal 2022 sudah dimulai.  Harapan kedepan agar ASN selalu menjaga netralitas dan lebih fokus pemikirannya, tenaga dan waktunya untuk melayani masyarakat.

Koordinator Sekretariat Bawaslu Kab. Berau

Jamhari, S.Pd., M.A.P

Tags:

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA