Apa saja tantangan dalam Merawat keberagaman etnik budaya, dan agama di Indonesia

Jawaban:

Penjelasan:

Perilaku Toleran terhadap Keberagaman Agama di Indonesia

Orang-orang Indonesia tentu menyakini salah satu agama / kepercayaan yang ada di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengakui enam agama yang ada di Indonesia. Agama itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, Buddha, & Khonghucu.

Negara menjamin warga negaranya untuk menganut & mengamalkan ajaran agamanya masing-masing. Jaminan negara terhadap warga negara untuk memeluk & beribadah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing & untuk beribadat menurut agamanya & kepercayaannya itu”.

Dalam kehidupan berbangsa, kita perlu menyadari sepenuhnya bahwa keberagaman dalam agama itu benar-benar terjadi. Agama tidak mengajarkan untuk memaksakan keyakinan kita kepada orang lain. Oleh sebab itu, bentuk perilaku kehidupan dalam keberagaman agama di antaranya diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut;

Melaksanakan ajaran agama yang dianutnya dengan baik & benar

Tidak memaksa keyakinan agama yang dianutnya kepada orang lain

Menghormati agama yang diyakini orang lain

Toleransi terhadap pelaksanaan ibadah yang dianut pemeluk agama lain

Perilaku baik dalam kehidupan keberagaman itu harus kita laksanakan. Tidak hanya dilingkungan keluarga, tetapi juga di sekolah, masyarakat serta dalam kehidupan berbangsa & bernegara.

2. Perilaku Toleran terhadap Keberagaman Suku & Ras di Indonesia

Perbedaan suku & ras antara manusia yang satu dengan manusia yang lain hendaknya tidak menjadi kendala dalam membangun persatuan & kesatuan bangsa Indonesia ataupun dalam pergaulan dunia. jadi kita harus menghormati harkat & martabat manusia lainnya. Kita juga harus mengembangkan semangat persaudaraan dengan sesama manusia dengan menjunjung nilai-nilai kemanusian.

Perbedaan kita dengan orang lain tidak berarti bahwa orang lain lebih baik dari kita /kita lebih baik dari orang lain. Baik & buruknya penilaian orang lain kepada kita bukan karena warna kulit, rupa wajah, & bentuk tubuh melainkan karena baik & buruknya dalam berperilaku. Oleh sebab itu, sebaiknya kita berperilaku baik kepada semua orang tanpa memandang berbagai perbedaan itu.

3. Perilaku Toleran terhadap keberagaman Sosial Budaya di Indonesia

Kehidupan sosial & keberagaman kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia tentu menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Maka kita harus bersemangat untuk memelihara & menjaga kebudayaan bangsa Indonesia.

Bagis seorang pelajar/mahasiswa, perilaku & semangat kebangsaan dalam mempertahankan keberagaman budaya bangsa dapat dilaksanakan dengan cara;

Mempelajari & menguasai salah satu seni budaya sesuai dengan minat & kesenangannya

Mengetahui keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia

Menyaring budaya asing yang masuk ke dalam bangsa Indonesia

Merasa bangga terhadap budaya bangsa sendiri.

Sikap toleransi yang perlu dikembangkan untuk mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman antara lain sebagai berikut;

Tidak memandang rendah suku/budaya yang lain

Tidak menganggap suku & budayanya paling tinggi & paling baik

Lebih mengutamakan negara dari pada kepentingan daerah/suku masing-masing.

Menerima keragaman suku bangsa & budaya sebagai kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya.

Dilihat 93,330 pengunjung

Adakah Sobat SMP di sini yang punya teman berbeda suku ataupun agama? Jika ada, kalian sangat beruntung karena dapat mengenal budaya serta ajaran baru. Selain itu, lingkungan yang majemuk bisa memberikan kalian referensi pertemanan yang lebih luas.

Indonesia adalah negara dengan sejuta keberagaman. Keberagaman yang ada telah menjadi simbol persatuan dan dikemas dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, kita harus menjaganya agar tetap utuh dan harmonis.

Namun, belakangan ini Indonesia kerap mengalami krisis toleransi. Perbedaan yang ada justru menimbulkan perpecahan. Padahal, perbedaan itu sendirilah yang seharusnya membuat Indonesia menjadi indah karena lebih “berwarna”.

Sebagai warga negara yang baik, kita harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan dengan menganut paham toleransi. Jangan sampai Indonesia terpecah-belah akibat isu-isu negatif. Ingat kata pepatah, “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.”

Bentuk keberagaman di Indonesia

Indonesia adalah negara yang kaya, baik dari segi sumber daya alam maupun keberagamannya. Ada beberapa bentuk keberagaman di Indonesia, mulai dari keberagaman suku, keberagaman agama, keberagaman ras, dan juga keberagaman anggota golongan.

Keberagaman suku

Indonesia adalah negara kepulauan. Dari geografis yang berbeda-beda tersebut, Indonesia memiliki banyak sekali suku. Suku bangsa atau yang disebut juga etnik dapat diartikan sebagai pengelompokan atau penggolongan orang-orang yang memiliki satu keturunan. Selain itu, kelompok suku bangsa ditandai dengan adanya kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis yang dimiliki.

Setiap suku bangsa mempunyai ciri atau karakter tersendiri, baik dalam aspek sosial maupun budaya. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok suku, lebih tepatnya 1.340 suku bangsa. 

Keberagaman agama

Indonesia adalah negara yang religius. Hal itu dibuktikan dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kebebasan dalam beragama dijamin dalam UUD 1945 pasal 29 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Di Indonesia sendiri, ada enam agama yang diakui oleh negara. Agama-agama yang diakui oleh negara adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan juga Konghucu. Keenam agama harus hidup berdampingan di masyarakat dengan prinsip toleransi antarumat beragama.

Keberagaman ras

Ras merupakan klasifikasi yang digunakan untuk mengategorikan manusia melalui ciri fenotipe (ciri fisik) dan asal usul geografis. Asal mula keberagaman ras di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti bangsa asing yang singgah di Tanah Air, sejarah penyebaran ras dunia, dan juga kondisi geografis. 

Ada beberapa ras yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Ras Malayan-Mongoloid yang berada di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan Sulawesi. Ras Melanesoid mendiami wilayah Papua, Maluku, dan juga Nusa Tenggara Timur. Selain itu, ada juga ras Asiatic Mongoloid yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, yaitu seperti orang Tionghoa, Jepang, dan Korea. Terakhir, ada ras Kaukasoid, yaitu orang-orang India, Timur-Tengah, Australia, Eropa, dan Amerika.

Keberagaman anggota golongan

Dalam masyarakat multikultural, keberagaman golongan bisa terjadi secara vertikal dan horizontal. Untuk vertikal, terdapat hierarki lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Contohnya seperti status sosial, pendidikan, jabatan, dan sebagainya. Secara horizontal, biasanya anggota golongan setara dan tidak ada hierarki. Namun, hal ini mengakibatkan banyak yang merasa anggota golongannya paling benar sehingga merendahkan anggota golongan lainnya. Contohnya adalah agama, idealisme, adat-istiadat, dan sebagainya.

Pentingnya menjaga toleransi di dalam keberagaman

Meskipun Indonesia adalah negara yang kaya akan perbedaan dan keberagaman, hal tersebut membuat Indonesia rentan terpecah-belah akibat perbedaan yang ada. Perpecahan di masyarakat bisa memicu konflik yang menimbulkan kerugian banyak pihak.

Oleh karenanya, diperlukan sifat toleran dan juga tenggang rasa terhadap perbedaan dan kemajemukan di masyarakat. Sifat toleransi haruslah ditanamkan sejak dini supaya bisa menerima perbedaan yang ada.

Contoh perilaku toleransi seperti memberikan kesempatan kepada tetangga melakukan ibadahnya, tolong-menolong antarwarga ketika melaksanakan hari raya, dan tidak membeda-bedakan tetangga, dan menghargai perbedaan budaya yang ada.

Sikap dan perilaku toleransi terhadap keberagaman masyarakat merupakan kunci untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan, serta mencegah proses perpecahan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Setiap individu hendaknya mengaplikasikan perilaku toleran terhadap keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan antargolongan.

Referensi: Modul PPKN SMP Terbuka Keberagaman Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika untuk kelas VII terbitan Direktorat SMP tahun 2020

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Penulis: Dr. Joni Tapingku, M.Th. (Rektor IAKN Toraja)

Lanjutan Opini sebelumnya

http://www.iainpare.ac.id/moderasi-beragama-sebagai-perekat/

OPINI— Persoalan dan tantangan bangsa Indonesia tidaklah sedikit. Banyak dan kompleks. Tidak mungkin terselesaikan tanpa kolaborasi dan tanpa hadirnya kesatuan dan persatuan di antara segenap anak bangsa; tanpa hadirnya kesatuan hati anak bangsa. Di bawah ini diuraikan sejumlah persoalan dan tantangan yang mengancam persatuan bangsa.

Tantangan Beyond Post-Modern Era

Kita sedang berada di zaman peradaban baru yang didominasi oleh “perang urat saraf”, yaitu melibatkan kekuatan teknologi terbarukan (updating technology). Tentu, teknologi yang terus terbarukan adalah anugerah Allah bagi manusia. Pada satu sisi, dengan adanya temuan dan teknologi yang semakin canggih akan semakin memanjakan dan memudahkan kita melakukan aktivitas dan pelayanan. Sebaliknya, dengan hadirnya teknologi terbarukan tersebut dapat menciptakan persoalan-persoalan baru yang menyeramkam. Inilah yang sedang mengemuka saat ini. Pemanfaatan media sosial yang kuat akan menjadi pemenang, baik dari sisi positif maupus sisi negatifnya. Penguasaan media cetak dan media elektronika yang semakin canggih memberikan referensi bahwa tantangan kita tidaklak sedikit. Teknologi dapat mengangkat derajat kehidupan manusia, tetapi pada saat yang sama pula dapat memusnahkan manusia itu sendiri.

Tantangan Intoleransi

Intoleransi adalah tindakan yang tidak toleran atau tidak memiliki tenggang rasa. Intoleransi ini sering dihubungkan dengan kepercayaan atau praktik agama lain. Dalam beberapa sumber, fakta menyebutkan bahwa tindak intoleransi beragama di Indonesia meningkat. Intoleransi ini sesungg merupakan buah dari kelalaian anak. bangsa untuk menjaga nilai, menjaga panji, menjaga semangat Pancasila yang merupakan buah dari kesepakatan bersama.

Persoalan Korupsi

Dalam berbagai kesempatan disebutkan bahwa korupsi adalah musuh bersama bahkan disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes). Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah, memperberat hukuman, memperkuat KPK, dsb. seakan-akan tidak mempan – tidak menjadi efek jera – bagi para  pelakunya. Undang-Undang KPK yang baru yang walaupun telah disahkan oleh DPR/MPR RI tetapi masih meninggalkan persoalan yang perlu dipastikan lebih jauh. Timbulnya protes dari elemen masyarakat dalam pasal-pasal tertentu tidak terlepas dari semangat agar bangsa ini terbebaskan dari cengkeraman korupsi. Hanya saja, dalam berbagai analisis bahwa persoalan kita adalah kompleks. Praktik nepotisme, lemahnya penegakkan hukum, wibawa hukum yang merosot, rendahnya komitmen moral, rendahnya peran hati nurani menjadi pemicu utama terjadinya praktik-praktik korupsi ini. Tidak heran bila Binoto Nadapdap menulis buku dengan judul “Korupsi Belum Ada Matinya”. Kapan matinya? Ini merupakan pertanyaan untuk dijawab oleh seluruh anak bangsa.

Tantangan Radikalisme

Radikalisme pada umumnya diartikan sebagai paham yang menghendaki terjadinya perubahan signifikan dalam bidang politik dan juga sosial. Pendekatan yang dipakai dengan cara ekstrim/kekerasan yang berpotensi terjadinya konflik. Bentuk perwujudan dan gerakan radikalisme bervariasi. Dalam tulisan Ahmad Jainuri dikatakan bahwa radikalisme dari perspektif pemikiran didasarkan pada keyakinan tentang nilai, ide, dan pandangan yang dimiliki oleh seseorang yang dinilainya sebagai yang paling benar dan menganggap yang lain salah. Ia sangat tertutup, biasanya sulit berinteraksi dan hanya saling berbicara dengan kelompoknya sendiri. Orang yang memiliki pandangan seperti ini biasanya tidak menerima pemikiran orang lain, selain pikiran dan kelompoknya sendiri. Otoritas pengetahuan yang dimilikinya dikaitkan dan diperoleh dari figur tertentu yang dinilai tidak dimiliki oleh orang lain. Karena itu, biasanya kaum radikal tidak menerima figur lain sebagai sumber rujukan pengetahuannya. Dalam dialog biasanya ia tidak ingin memahami keanekaragaman pendapat yang dimiliki orang lain, tetapi ingin menyatukan pandangan yang berbeda itu dengan pandangan dan pendapat menurut standar diri sendiri, bahkan dengan memaksakan kehendak. Pada sisi lain, radikalisme tindakan dan gerakan ditandai oleh aksi ekstrem yang harus dilakukan untuk mengubah suatu keadaan seperti yang diinginkan. Contoh dalam bidang politik seperti tindakan makar, revolusi, demonstrasi, dan protes sosial yang anarkis. 

Tantangan Terorisme

Achmad Jainuri menulis bahwa istilah teror dan terorisme telah menjadi idiom ilmu sosial yang sangat populer pada dekade 1990-an dan awal 2000-an sebagai bentuk kekerasan atas nama agama. Meskipun sesungguhnya terorisme bukanlah sebuah istilah baru, tetapi teror dan terorisme telah muncul sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Lebih lanjut Jainuri menjelaskan bahwa terorisme bagian dari gerakan radikalisme yang paling mutakhir di abad ini telah mencapai puncak ancaman peradaban. Pada tahun 1980, CIA (Central Intelligence Agency) mendefinisikan terorisme sama dengan ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan politik yang dilakukan oleh individu atau kelompok atas nama atau menentang pemerintah yang sah, dengan menakut-takuti masyarakat yang lebih luas dari pada korban langsung teroris. Tulisan A.M. Hendropriyono tentang terorisme lebih komprehensif. Dalam Bab IV bukunya yang berjudul Terosisme: Fundamentalis Kristen. Yahudi, Islam menyuguhkan informasi dan penilaian terhadap terosisme itu sendiri sebagai ancaman ketahanan di bidang ketahanan politik, pertahanan dan keamanan, serta kemanusiaan. Persoalan terorisme merupakan persoalan yang tidak gampang dipahami. Ada berbagai kisi yang tidak dapat dimengerti. Banyak pakar menyatakan bahwa pemahaman radikalisme yang sebenarnya tidaklah dibentuk oleh sebab yang tunggal tetapi banyak kisi lain yang belum dapat dipahami secara tuntas. Ada misteri (hidden agenda).

Tantangan Kemiskinan

Menurut data dan persentase penduduk miskin di Indonesia per Maret 2017 mencapai 27,77 juta. Secara terperinci disebutkan bahwa angka tersebut bertambah 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,7 juta orang (10,70 persen). Kemiskinan terjadi bukan hanya karena kekurangan sumber daya alam, tetapi juga karena faktor sumber daya manusia yang sangat terbatas dalam pengetahuan dan ketrampilan mengelola sumber daya alam.

Hal ini, tentu menyangkut dimensi pendidikan dalam konteks yang lebih luas. Karena itu, memang persoalan keindonesiaan kita adalah persoalan kompleks. Dapat dikatakan, kondisi ini telah menahundan terbiarkan selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Indonesia dengan kekayaan alamnya yang luar biasa tetapi masih saja berhadapan dengan kemiskinan. Karena itu, perlu introspeksi diri secara jujur tentang keindonesiaan dan berbenah agar keluar dari petaka kemiskinan.

Tantangan Alzheimer Sejarah

Salah satu pidato kenegaraan Presiden Soekarno yang disampaikan dalam rangka memperingati Ulang Tahun kemerdekaan RI ke-21 Tahun 1966 berjudul “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”  atau yang umumnya dikenal dengan sebutan Jasmerah. Jasmerah ini bersi penuturan data dan fakta-fakta sejarah yang diuraikan secara gamblang. Berisi gagasan dan semangat patriotisme. Berisi awasan dan sekaligus tindakan antisipatif. Berisi semangat juang tanpa pamrih. Berisi ajakan untuk mengisi kemerdekaan tanpa pamrih. Telah 76 tahun Indonesia merdeka ini merupakan momentum untuk mengingat kembali sejarah bangsa yang tertorehkan dalam banyak catatan dan pengalaman.

Tentu, pengalaman selama 76 tahun adalah pengalaman yang penuh makna. Selingan persoalan juga silih berganti yang menjadikannya semakin kuat dan dewasa. Para pejuang dan pendiri bangsa telah rela memberikan segala-galanya. Mereka memberi tanpa merasa berkekurangan. Mereka memberi tidak untuk kepentingan golongan atau kepentingan sektarian. Mereka memberi dengan kepentingan besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan rumah besar kita bernama Indonesia.

Merajut Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Dalam konteks kompleks yang telah dipaparkan di atas, pertanyaan urgen yang mesti kita jawab ialah, bagaimana kita merajut persatuan dan kesatuan bangsa yang sehat, harmonis, dan langgeng? Sebagai sesama anak bangsa, ada beberapa perspektif yang mesti dibangun sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Perlunya Kesadaran Kuat tentang Wawasan Kebangsaan

Seluruh komponen bangsa harus memiliki kesadaran ini, tidak terkecuali seluruh pemeluk agama. Dalam agama Kristen, Alkitab memberi bukti bahwa betapa pentingnya mendukung bangsa dan negara. Semangat kebangsaan ditunjukkan secara terbuka bebera teks Alkitab

Para pendiri bangsa Indonesia (the founding fathers) semula telah menyadari bahwa kenyataan pluralisme bangsa Indonesia dari segi suku, budaya, daerah, dan terutama agama yang d berpotensi melahirkan konflik dan perpecahan yang mengancam keutuhan bangsa. Sesungguhnya kemajemukan adalah kekayaan yang patut disyukuri. Pilar-pilar kebangsaan semestinya dikedepankan karena sudah merupakan konfesi/konsensus bersama dan bersifat final, yaitu: NKRI, UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Pendidikan yang Berkarakter

Pendidikan yang berkarakter merupakan upaya sadar yang dilakuakan seseorang atau sekelompok orang untuk menginternalisasikan nilai-nilai pada seseorang yang lain sebagai pencerahan agar peserta didik mengetahui, berfikir, dan bertindak secara bermoral dalam menghadapi setiap situasi. Tujuan dari pendidikan yang berkarakter adalah untu membentuk pribadi seseoranng menjadi manusia yang baik.

Dewasa ini, pendidikan karakter di Indonesia semakin menjadi pusat perhatian dalam dunia pendidikan. Hal ini disebabkan karena penurunan moral para penerus bangsa yang semakin mengkhawatirkan. Tidak sedikit kasus-kasus beredar tentang turunnya moral anak bangsa, mulai dari perlakuan yang tidak sopan kepada guru/dosennya, tawuran, dan tindak asusila. Berbagai masalah inilah yang membuat perhatian pemerintah semakin tertuju pada pendidikan yang berkarakter. Namun usaha yang dilakukan oleh pemerintah terhadap peserta didik sepertinya tidak sejalan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar lingkungannya, terutama di lingkungan sekolah atau kampus. Tidak sedikit tenaga pendidik yang memberikan contoh yang tidak baik kepada peserta didik. Padahal karakter dari seorang tenaga pendidik sangat berperan penting dalam pembentukan karakter seorang anak.

Jadi tenaga pendidik tidak hanya memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang bagaimana karakter yang baik itu, bagaimana seharusnya kita sebagai manusia itu berperilaku, tapi juga tenaga pendidik harus memberikan contoh yang baik pula kepada peserta didik agar sosialisasi yang diberikan itu dapat berjalan dengan sempurna dan agar pendidikan karakter itu dapat berjalan dengan sempurna pula. Pun peserta didik seharusnya juga harus memiliki kemampuan dalam memfilter mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang tidak baik. Kesimpulannya, tenaga pendidik dan peserta didik harus bekerja sama agar pendidikan karakter di Indonesia berhasil.

Pendidikan Berbasis Keluarga 

Salah satu fungsi keluarga dalam perspektif pendidikan adalah sebagai tempat bagi penanaman nilai-nilai positif bagi kehidupan, pengembangan, dan pemantapan keterampilan, tingkah laku dan pengetahuan dalam hubungan dengan fungsi-fungsi lain. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin berperadaban atau tidak mungkin berkebudayaan. Pengetahuan dapat bertambah karena melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal (resmi), informal (keluarga, lingkungan, teladan), maupun non formal (kursus). Melalui pendidikan, manusia bisa mengembankan kemampuan imajinasi menjadi kenyataan.

Mengingat begitu pentingnya pendidikan, melalui jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menekankan tentang tujuan pendidikan. Pada pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Diharapkan melalui rumusan tujuan pendidikan nasional ini memberikan arah bagi pendidikan yang baik dan relevan untuk menjawab kebutuhan konteks Indonesia. Hanya saja, yang terlihat selama ini justru sangat jauh dari cita-cita ideal bangsa. Di mana-mana ditemukan hal-hal yang kontras dengan tujuan pendidikan. Degradasi mentalitas-moralitas-spiritualitas anak bangsa sangat terasa memilukan dan memalukan. Perilaku koruptif di luar aturan main menjadi hal yang seakan-akan dilegitimasi. Semua mengatasnamakan kebenaran dan hukum. Semua mencari pembenaran. Semua mencari kambing hitam, dst.

Penanaman Nilai Pendidikan dalam Konteks Plural

Sebagai bangsa yang kaya raya dengan sumber daya alam tetapi juga kaya raya dari sisi budaya, kesadaran terhadap nilai pendidikan dalam konteks plural perlu digemakan. Salah kesadaran pluralitas keyakinan dibincangkan oleh Julianus Mojau dalam bukunya yang berjudul Meniadakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia. Buku ini, tidak hanya menggumuli tentang tantangan yang kompleks, tetapi juga berbicara tentang kekayaan dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Salah satu tekanan tulisan ini terangkum dalam harapan yang tertuang dalam prakatanya yang menyatakan, “Semoga buku ini akan memberi sumbangan kecil dengan cara terssendiri pada usaha kita bersama memelihara proses menjadi Indonesia dengan semangat kebangsaan emansipatoris dan juga boleh saling menerima perbedaan antarelemen masyarakat (suku, agama, bahasa, dan budaya serta pilihan orientasi ideologi) sebagai fitra-sosiologis-teologis proses menjadi Indonesia. Dengan begitu, hidup damai bukanlah sekadar sebuah retorika, melainkan menjadi praksis hidup bersama”.

Tekanan utama dari pikiran ini adalah: Pertama, perlunya  pemeliharaan (perawatan) secara berkesinambungan; Kedua, perlunya semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai/emansipasi ketika berhadapan dengan keragaman/kepelbagaian sebagai kekayaan; Ketiga, perlunya implementasi riil dalam konteks hidup bersama. Di luar kesadaran terhadap nilai-nilai ini akan kacau. Di luar ini akan terganggu.

Penutup

Harus diakui bahwa kita sedang menghadapi berbagai bentuk pertentangan dan konflik – yang  datang silih berganti – dengan berbagai wajah dan bentuk. Hal ini terjadi karena banyak faktor, antara lain belum terbiasanya dengan keterbukaan dan perbedaan (pluralitas). Orang juga belum terbiasa dengan perkembangan kemajuan dalam sebuah iklim yang terbuka, demokratis, dan plural. Pada gilirannya, hal ini menimbulkan kecurigaan dan gesekan yang tidak sedikit di antara berbagai elemen masyarakat dan bangsa.

Karakter moderasi beragama meniscayakan adanya keterbukaan, penerimaan, dan kerjasama dari masing-masing kelompok yang berbeda. Karenanya, setiap individu pemeluk agama, apa pun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan pemahaman keagamaan di antara setiap pemeluk agama.

Akhirnya, mari kita senantiasa menyerukan sama seperti seruan Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama pada masanya, bahwa “Beragama hakikatnya berindonesia, dan berindonesia hakikatnya beragama”.