Apa saja perbuatan keji yang harus kita jauhi sesuai perintah Allah SWT dalam Surah Al-Maidah?

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dudung Abdul Rohman *)

Perbuatan keji diistilahkan dengan al-fakhsya’. Perbuatan al-fakhsya’ dalam kamus Alquran diartikan sebagai dosa yang sangat jelek. Dalam kitab Tafsir al-Maraghi (2006:170) disebutkan, bahwa al-fakhsya’ adalah ucapan dan perbuatan yang jelek seperti zina, mabuk, rakus, mencuri, dan perbuatan tercela lainnya.

Dengan demikian, perbuatan keji ini, sangat berbahaya dan tercela. Oleh karena itu, Islam tidak mentolerir perbuatan keji ini sehingga melarangnya. Perbuatan keji ini bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain. Sehingga apabila dibiarkan akan merusak tatanan masyarakat sehingga terjadi kekacauan dan kebinasaan.

Seperti perbuatan zina, akan mengundang perbuatan jahat lainnya hingga pertengkaran, permusuhan sampai pembunuhan. Bahkan dengan perbuatan zina ini, selain mengacaukan keturunan, juga menyisakan penderitaan yang mendalam bagi keluarga korban. Karena itu, Islam melarangnya dengan memvonis bahwa perbuatan zina itu perbuatan kotor dan sejelek-jelek jalan.

Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Israa’ [17]:32).

Terjadinya perbuatan keji ini, diawali dari diperturutkannya hawa nafsu yang cenderung mengajak pada kejahatan. Karena hawa nafsu ini apabila tidak dikendalikan dan dikontrol dengan keimanan dan ketakwaan cenderung membabi buta dan melanggar norma-morma yang ada – baik norma agama maupun susila.

Oleh karena itu, ketika Nabi Yusuf as diajak berbuat mesum (keji) oleh Zulaikha, dengan tegas ia menolaknya dan lebih baik dijebloskan ke penjara daripada berbuat nista. Mengapa Nabi Yusuf as menolak ajakan berbuat zina itu, karena dia menyadari betul bahwa hal itu adalah perbuatan yang dilarang oleh agama dan susila, apabila dia melakukannya berarti sudah terperdaya oleh ajakan hawa nafsu yang selalu mengajak pada kejelekan.

Dalam Alauran ditegaskan artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang” (QS. Yusuf [12]:53).

Supaya kita dapat mengendalikan dan mengontrol dari dorongan hawa nafsu, maka kita harus mempertebal keimanan dengan senantiasa melaksanakan ibadah dan amal shaleh. Karena dengan melaksanakan ibadah dan amal shaleh, maka diri kita akan senantiasa diingatkan oleh murka dan siksa dari Allah SWT apabila berbuat dosa. Misalnya dengan melaksanakan shalat fardhu yang lima waktu secara baik dan benar. Ternyata dengan shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.

Allah SWT berfirman artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-‘Ankabuut [29]:45).

Dalam sebuah hadis dilukiskan, bahwa ketika kita melaksanakan shalat fardhu yang lima waktu itu seperti kita mandi sehari semalam lima kali di sumur yang airnya jernih dan bersih. Maka, tentu tubuh kita akan terbebas dari berbagai kotoran dan najis. Begitu pula apabila kita secara konsisten melaksanakan ibadah shalat fardhu sehari semalam lima kali. Maka, diri kita akan terjaga dan terbebas dari noda dan dosa. Malah dengan shalat itu akan menghapuskan dosa dan kesalahatan kita.

Allah SWT berfirman artinya: “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat” (QS. Huud [11]:114).

Dengan demikian, selaku manusia kita menyadari bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang bebas dari dosa. Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, baik disengaja maupun tidak. Maka manusia yang paling baik itu bukan yang tidak pernah melakukan dosa, namun dia menyadari akan kekurangan dan kealfaannya kemudian berusaha untuk dapat memperbaiki dan menggantinya dengan ibadah dan amal shaleh.

Dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa, dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang segera bertaubat. Juga dalam al-Qur’an diungkapkan, bahwa di antara sifat orang yang betakwa itu adalah ketika dia melakukan perbuatan dosa segera ingat kepada Allah dengan beristighfar (memohan ampunan) dan bertobat.

Allah SWT berfitrman artinya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Ali-‘Imran [3]:135). Wallahu A’lam Bish-Shawaab.

*) Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Bandung

Jakarta -

Surat Al Maidah adalah surat yang ke-5 dalam susunan mushaf Al Quran dan tergolong dalam surat Madaniyah. Pasalnya, buku Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur Jilid 1 dari Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy menyebutkan, semua ayat yang diturunkan sesudah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah dianggap sebagai surat Madaniyah, meskipun lokasi turunnya di Mekah.

Menurut hitungan ulama Kuffah, surat Al Maidah terdiri dari 120 ayat. Salah satu ayatnyam yakni surah Al Maidah ayat 8 berisi tentang perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk berlaku adil.

Berikut bacaan lengkap surat Al Maidah ayat 8 beserta latin dan artinya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Bacaan latin: Yā ayyuhallażīna āmanụ kụnụ qawwāmīna lillāhi syuhadā`a bil-qisṭi wa lā yajrimannakum syana`ānu qaumin 'alā allā ta'dilụ, i'dilụ, huwa aqrabu lit-taqwā wattaqullāh, innallāha khabīrum bimā ta'malụn

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Berdasarkan penjelasan dari tafsir Al Quran Kementerian Agama (Kemenag), ayat di atas merupakan perintah Allah SWT kepada orang mukmin agar melaksanakan segala urusan dengan cermat, jujur, dan ikhlas. Baik untuk urusan duniawi maupun urusan agama.

Terdapat tiga poin utama yang menjadikan umat muslim harus berlaku adil dalam surat Al Maidah ayat 8 ini. Rangkuman poin-poinnya adalah sebagai berikut,

  1. Sikap jujur dan adil menjadi salah satu kunci sukses dan memperoleh hasil yang diharapkan
  2. Berlaku adil karena dalam segala hal untuk mencapai ketenteraman, kemakmuran dan kebahagiaan dunia dan akhirat
  3. Berlaku adil sebagai wujud jalan terdekat untuk mencapai tujuan bertakwa kepada Allah SWT. Orang-orang bertakwa inilah yang dijanjikan Allah SWT berupa ampunan dan pahala yang besar di akhir ayat 8

Konsep berlaku adil secara konkrit juga telah diungkapkan dalam ayat ini. Terutama konsep berlaku adil dalam memberikan persaksian. Dijelaskan bahwa kebencian pada suatu kelompok atau seseorang tidak boleh menjadi landasan untuk memberi kesaksian yang tidak adil dan tidak jujur.

"Dalam persaksian, mereka harus adil menerangkan apa yang sebenarnya, tanpa memandang siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan lawan dan merugikan sahabat dan kerabat," tulis Kemenag.

Konsep berlaku adil dalam persaksian juga dijelaskan dalam surat An Nisa ayat 135 yang berbunyi,

۞ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Bacaan latin: Yā ayyuhallażīna āmanụ kụnụ qawwāmīna bil-qisṭi syuhadā`a lillāhi walau 'alā anfusikum awil-wālidaini wal-aqrabīn, iy yakun ganiyyan au faqīran fallāhu aulā bihimā, fa lā tattabi'ul-hawā an ta'dilụ, wa in talwū au tu'riḍụ fa innallāha kāna bimā ta'malụna khabīrā

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan."

Keduanya sama-sama menerangkan tentang seseorang yang berlaku adil dan jujur dalam persaksian. Namun, yang membedakan, surat An Nisa ini lebih cenderung menjelaskan kewajiban berlaku adil dan jujur kepada kerabat terdekat. Meskipun harus merugikan diri sendiri, ibu, bapak dan kerabat.

Berbeda dengan surat Al Maidah ayat 8 yang berisi tentang perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk berlaku adil sekalipun kepada lawan atau musuh.

Simak Video "Innalillahi, Ustazah di Tebet Meninggal Saat Baca Al-Quran"


[Gambas:Video 20detik]
(rah/row)