Apa perbedaan demokrasi liberal dan demokrasi parlementer

Walaupun dari beberapa negara menggunakan sistem demokrasi, namun ada beberapa perbedaan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan falsafah atau panangan hidup dari masing-masing negara.

Dalam sistem demokrasi liberal mempergunakan paham hidup yaitu liberal namun, dalam sistem politik yang menggunakan demokrasi Pancasila mempergunakan pandangan hidup yaitu Pancasila.

Demokrasi Pancasila

Sebelum kita mempelajari perbedaan antara demokrasi Pancasila dengan demokrasi Liberal, kita akan mempelajari tentang demokrasi Pancasila.

Pengertian Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila ialah sebuah sistem demokrasi yang konstitusional dengan menggunakan kedaulatan rakyat dalam setiap menyelenggarakan kegiatan negara serta menyelenggarakan kegiatan pemerintahan yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945.

Baca juga : Pengertian Pancasila Sebagai Ideologi Indonesia, Peran & Fungsinya

Demokrasi ini menggunakan asas kekeluargaan seta gotong royong yang diimplementasikan demi tercapainya kesejahteraan rakyat, yang memuat mengenai faktor-faktor berkesadaran religus, berlandaskan kebenaran, kecintaan, serta memiliki budi pekerti yang luhur, berkarakter Indonesia serta berkesinambungan.

Ciri-ciri Demokrasi Pancasila

Dibawah ini merupakan beberapa ciri-ciri dari demokrasi Pancasila, yaitu:

  1. Kedaulatan yang berada di tangan rakyat
  2. Selalu berlandaskan pada kekeluargaan serta gotong royong
  3. Menggunakan musyawarah dalam mencapai mufakat, merupakan cara dalam menggambil keputusan
  4. Tidak menggunakan yang namanya partai pemerintah serta partai oposisi
  5. Pemerintah dijalankan berlandaskan pada konstitusi
  6. Terdapatnya pemilu yang dilakukan secara berkesinambungan
  7. Adanya hak serta kewajiban yang selaras
  8. Saling menghargai hak asasi manusia
  9. Ketidaksetujuan pada kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dapat disalurkan kepada wakil-wakil rakyat yang telah terpilih.
  10. Tidak mengakui danya sistem monopartai
  11. Tidak terdapatnya diktator mayoritas serta tirani minoritas
  12. Mendahulukan atas kepentingan rakyat dari pada kepentingan pribadi atau golongan.

Demokrasi Liberal

Sebelum kita mempelajari perbedaan antara sistem demokrasi Liberal dengan sistem demokrasi Pancasila, kita akan mempelajari tentang demokrasi Liberal.

Pengertian Demokasi Liberal

Demokrasi Liberal ialah sebuah demokrasi yang meletakkan kekuasaan lembaga legislatif lebih tinggi dari pada lembaga eksekutif. Kepala pemerintahan dijabat oleh seorang Perdana Menteri, yang mana Perdana Menteri serta menteri-menteri dalam kabinet tersebut dapat diangakat serta diberhentikan oleh Parlemen.

Dalam demokrasi liberal ini kedudukan Presiden adalah sebagai kepala negara. Demokrasi ini sering disebut dengan demokrasi parlementer. Di negara Indonesia, demokrasi ini terjadi kettika dikeluarkannya Maklumat Pemerintahan No. 14 November 1945, yang mana Menteri memiliki tanggung jawab terhadap parlemen.

Baca juga : Pengertian Ideologi Liberalisme, Sosialisme, Komunisme, Fasisme, Fundamentalisme

Demokrasi ini lebih mementingkan kepada pengakuan atas hak-hak warga negara, baik itu sebagai individu maupun masyarakat.

Ciri-ciri Demokrasi Liberal

Demokrasi Liberal atau sering disebut Demokrasi parlementer ini mempunyai ciri-ciri yaitu sebagai berikut:

  1. Negara dapat mengontrol dengan baik mengenai alokasi sumber daya alam serta manusia.
  2. Adanya pembatasan kekuasaan eksekutif secara konstitusional
  3. Adanya pembatasan terhadap kekuasaan eksekutif oleh peraturan perundang-undangan
  4. Adanya kebolehan memperjuangkan dirinya pada kaum minoritas (agama, etnis).

Perbedaan Sistem Demokrasi Liberal Dan Sistem Demokrasi Pancasila

Perbedaan antara demokrasi Liberal dengan demokrasi Pancasila, yaitu antara lain:

Dilihat dari segi hukum

  1. Demokrasi Liberal: Warga negara memiliki kebebasan yang luas dalam melakukan segala sesuatu, namun tidak boleh melakukan pelanggaran hukum.
  2. Demokrasi Pancasila: Warga negara menggunakan aturan yaitu UUD 1945

Dilihat dari segi agama

  1. Demokrasi Liberal: Masalah ketuhanan merupakan masalah setiap individu, negara tidak memiliki wewenang dalam mengatur agama yang anut oleh warga negaranya, mereka bebas untuk beragama ataupun tidak beragama.
  2. Demokrasi Pancasila: Masalah agama merupakan masalah pribadi, sehingga warga negara memiliki kekebasan dalam memeluk agama.

Dilihat dari segi ekonomi

  1. Demokrasi Liberal: Dalam masalah ekonomi, adanya persaingan yang kuat serta sejumlah modal berada ditangan golongan kecil masyarakat
  2. Demokrasi Pancasila: Pemerintah ikut terlibat dalam sistem perekonomian ini. Para penguasaha swasta serta semua rakyat baik dari kelompok ekonomi yang lemah ataupun kelompok ekonomi yang kuat atau aktif. Dalam mencapai sebuah kemakmuran bangsa, adanya saling bekerjasama serta membantu satu sama lainnya dalam kegiatan ekonomi.

Dilihat dari segi praktik ketatanegaraan

  1. Demokrasi Liberal: Kepentingan serta hak warga negara lebih diutamakan dari pada kepentingan negara, namun tidak berarti bahwa kepentingan negara tersebut diabaikan.
  2. Demokrasi Pancasila: Dalam melaksanakan kegiatan ketatanegaraan harus dilandaskan pada UUD 1945 serta Pancasila.

Dilihat dari segi penguasa

  1. Demokrasi Liberal: Dalam demokrasi ini kekuasaan tertinggi berada di tangan kelompok bangsawan.
  2. Demokrasi pancasila: Dalam demokrasi ini kekuasaan tertinggi berada ditangan pemerintah.

Demikian artikel dalam kesempatan kali ini, yaitu tentang perbedaan demokrasi liberal dengan demokrasi pancasila. Jika terdapat kekuarangan ataupun kesalahan, silahkan beri komentar dibawah ini. Semoga bermanfaat.

Originally posted 2018-05-17 15:35:41.

tirto.id - Indonesia sempat menganut sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer. Namun, penerapan sistem demokrasi ini tidak bertahan lama. Berikut ini sejarah masa Demokrasi Parlementer di Indonesia

Sejarah sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer atau Liberal diterapkan di Indonesia pada 1950-1959. Ketika menganut sistem ini, pemerintahan Indonesia dipimpin oleh perdana menteri bersama presiden sebagai kepala negara.

Demokrasi Parlementer adalah sistem pemerintahan di mana parlemen negara punya peran penting. Pada sistem ini, rakyat memiliki keleluasaan untuk ikut campur urusan politik dan boleh membuat partai.

Tokoh-tokoh Indonesia yang memercayai dibutuhkannya Demokrasi Parlementer atau dikenal juga sebagai Demokrasi Liberal di antaranya Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir.

Menurut keduanya, sistem pemerintahan tersebut mampu menciptakan partai politik yang bisa beradu pendapat dalam parlemen serta dapat menciptakan wujud demokrasi sesungguhnya, yakni dari rakyat, bagi rakyat, dan untuk rakyat.

Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat (2008:122) menambahkan, Indonesia berbentuk republik berlandaskan kedaulatan rakyat.

Penerapan Demokrasi Parlementer

Tanggal 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan bentuk negara hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan kedaulatan dengan Belanda, resmi dibubarkan.

Abdurakhman dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia Kelas 12 (2015:48) menyebutkan bahwa RIS kemudian diganti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Seiring dengan itu, sistem pemerintahannya pun berubah menjadi Demokrasi Parlementer dan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Menurut tulisan Ahmad Muslih dan kawan-kawan dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (2015:96), pada masa Demokrasi Parlementer, muncul partai-partai politik baru yang bebas berpendapat serta mengkritisi pemerintahan.

Kendati awal kelahiran semua partai ini merupakan semangat revolusi, namun akhirnya mengakibatkan persaingan tidak sehat. Bahkan, bisa dikatakan ketika masa itu Indonesia mengalami ketidakstabilan pemerintahan.

Baca juga:

  • Sejarah Demokrasi Parlementer: Ciri-ciri, Kekurangan, & Kelebihan
  • Sejarah Sistem Presidensial: Arti, Ciri-ciri, Kelebihan, Kekurangan
  • Sejarah Sistem Demokrasi Terpimpin di Indonesia 1959-1965

Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)

Secara garis besar, kabinet-kabinet di Indonesia terbagi menjadi tujuh era di bawah pimpinan perdana menteri.

Setiap periodenya pasti memiliki permasalahannya masing-masing. Berikut ini ketujuh masa tersebut:

1. Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)

Kabinet ini berupaya sekuat tenaga melibatkan semua partai yang ada di parlemen. Namun, Mohamad Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan memberikan posisi kepada partai politik yang berseberangan.

Natsir adalah tokoh Masyumi, partai Islam yang amat kuat saat itu. Usahanya untuk merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI) selalu saja kandas.

Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and Integralism (2015) menyebutkan, PNI memang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi.

PNI bahkan melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 yang dilkeluarkan Natsir. Sebagian besar parlemen berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri dari jabatannya.

Baca juga:

  • Tugas TNI: Sejarah, Peran, & Fungsinya sebagai Alat Pertahanan RI
  • Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila dan Sejarah Perubahannya
  • Karakteristik Partisipasi Politik: Ciri-ciri, Penerapan, & Contoh

2. Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952)

PNI mendapatkan posisinya dalam kabinet ini. Namun, sama seperti sebelumnya masih terdapat masalah. Sama seperti Natsir, Sukiman Wiryosanjoyo sang perdana menteri adalah orang Masyumi.

Beberapa kebijakan Sukiman ditentang oleh PNI, bahkan kabinetnya mendapatkan mosi tidak percaya dari partai politik yang dibentuk oleh Sukarno tersebut. Kabinet Sukiman berakhir pada 23 Februari 1952.

3. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)

Pada masanya, Wilopo selaku perdana menteri berhasil mendapatkan mayoritas suara parlemen.

Tugas pokok Wilopo ketika itu menjalankan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante. Akan tetapi, sebelum Pemilu dilaksanakan, Kabinet Wilopo gulung tikar.

Baca juga:

  • Macam Teori Kekuasaan Negara Menurut John Locke & Montesquieu
  • Pengamalan Pancasila Sila ke-1 di Lingkungan Tempat Bermain
  • Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955)

Ali Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei 1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan diadakan pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955.

Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar pada Juli 1955 dan digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955- Maret 1956)

Burhanuddin Harahap dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang sudah direncanakan tanpa mengubah waktu pelaksanaan. Pemilu 1955 berjalan relatif lancar dan disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis.

Kendati begitu, masalah ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak disetujui oleh koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap bubar pada Maret 1956.

Baca juga:

  • Sejarah Operasi Trikora: Latar Belakang, Isi, Tujuan, dan Tokoh
  • Sejarah Konferensi Meja Bundar (KMB): Latar Belakang, Tokoh, Hasil
  • Sejarah Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh Belanda

6. Kabinet Ali Sastoamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957)

Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali Sastoamidjojo untuk kali kedua ini, dari persoalan Irian Barat , otonomi daerah, nasib buruh, keuangan negara, dan lainnya.

Ali Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Kabinet ini pun mulai menuia kritik dan akhirnya bubar dalam setahun.

7. Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959)

Terdapat 5 program kerja utama yang dijalankan Djuanda Kartawijaya, yakni membentuk dewan, normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan.

Salah satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda diterapkan. Kebijakan ini ternyata membuat negara-negara lain keberatan sehingga Indonesia harus melakukan perundingan terkait penyelesaiannya.

Baca juga:

  • Penyebab Sejarah Pemberontakan DI-TII Daud Beureueh di Aceh
  • Sejarah Pemberontakan Andi Azis: Penyebab, Tujuan dan Dampaknya
  • Sejarah Pemberontakan Nambi vs Majapahit: Mati karena Fitnah Keji

Akhir Demokrasi Parlementer

Singkatnya waktu periode pemerintahan kabinet-kabinet membuat keadaan politik Indonesia tidak stabil, bahkan hal ini ditakutkan berimbas pada segala aspek lain negara.

Hal tersebut akhirnya terselesaikan setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Di dalamnya, termuat bahwa Dewan Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias meninggalkan UUDS 1950. Selain itu, dibentuk juga Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Demokrasi Liberal yang sebelumnya sudah membawa kekacauan terhadap stabilitas pemerintahan akhirnya digantikan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang berlaku sejak 1959 hingga 1965.

Baca juga:

  • Fosil Homo Soloensis: Sejarah, Penemu, Lokasi, dan Ciri-ciri
  • Kerajaan Kutai Martapura: Penyebab Runtuhnya & Daftar Raja
  • Fakta Sejarah Misteri Hotel Niagara Malang: Viral & Disebut Angker

Baca juga artikel terkait DEMOKRASI PARLEMENTER atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
(tirto.id - prd/isw)


Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Yuda Prinada

Subscribe for updates Unsubscribe from updates