Abu Bakar As Siddiq terpilih secara musyawarah menjadi Khalifah dan dibaiat pertama di

Jika Benar Ikuti Jika Salah Luruskanlah

Jumat 07 Mei 2021, 16:59 WIB

"Aku hanyalah manusia biasa dan aku bukanlah manusia yang terbaik di antara kalian. Apabila kalian melihat perbuatanku benar, maka ikutilah aku. Tapi bila kalian melihat perbuatanku salah, maka luruskanlah" (Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq).

Nukilan kata bernas diatas merupakan isi pidato Abu Bakar seusai dibaiat resmi diangkat menjadi Khalifah. Sebagaimana diketahui Nabi Muhammad SAW meninggal dunia pada 2 Rabiul Awal 11 Hijriyah tanpa meninggalkan wasiat kepada para sahabat untuk meneruskan kepemimpinannya.

Masa itu setelah Nabi wafat, Muncul tiga kelompok yang bersaing keras terhadap perebutan kepemimpinan yaitu Anshar, Muhajirin dan keluarga Hasyim.

Pada acara pertemuan di balai Bani Saidah di Kota Madinah, kaum Anshar mencalonkan Saad bin Ubadah pemuka Kazraj sebagai pemimpin. Sedangkan, Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena dipandang paling layak untuk menggantikan kepemimpinan nabi.

Di lain pihak, terdapat sekelompok orang yang menghendaki Ali bin Abi Thalib, karena nabi telah merujuk secara terang-terangan sebagai penggantinya, di samping Ali merupakan menantu dan kerabat nabi.

Puncaknya, tercatatlah dalam sejarah, estafet kepemimpinan mulus ditempuh dengan damai jalan musyawarah mufakat. Dengan mengusung semangat sesama muslim adalah saudara, maka terpilihlah Abu Bakar.

Abu Bakar adalah orang Quraisy yang merupakan pilihan ideal karena sejak pertama menjadi pendamping nabi, ia sahabat yang paling memahami risalah Muhammad, bahkan ia merupakan golongan as-sabiqun al-awwalun yang memperoleh gelar Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Dan inilah pidato lengkapnya; Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedangkan orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendakklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bila mana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu mematuhiku. Berdirilah (untuk) shalat, semoga rahmat Allah meliputi kamu."

Pidato Abu Bakar 250 tahun silam bukan sekedar retorika, sebab pidato tersebut diucapkan setelah terpilih bukan pidato masa kampanye yang mendagangkan janji. Inilah pidato pemimpin sebagai gantlemen agreement yang mengandung dan makna penuh konsekuensi di dalamnya.

Sayyidina Abu Bakar tampil berpidato sedemikian mulia, karena ia telah melalui kaji algoritma. Seni memimpin logis untuk menyelesaikan suatu masalah. Abu Bakar sosok pemimpin lurus bijaksana jauh dari sifat dramaturgi.

Bedakan dengan pemimpin penganut demokrasi yang berkiblat Dramatugi Erving Goffman. Bahwa manusia merupakan aktor yang menampilkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu melalui drama yang dilakukannya.

Pemimpin masa demokrasi cenderung menganut teori dramatugi. Dikarenakan berbagai faktor teknis dan non teknis yang menjeratnya. Maka untuk mencapai tujuan, dengan kegiatan interaksi satu sama lain sama halnya dengan pertunjukkan sebuah drama.

Sahabat Abu Bakar berani bertaruh diri
berpidato yang isinya merugikan dirinya, membatasi kekuasaannya, karena ia telah katam menjelajah kehidupan langsung bersama Nabi. Otomatis lika liku menjadikan algoritma bekal sebagai seorang pemimpin.

Pertama Abu Bakar tampil di area publik sebagai pemimpin berwajah asli, bukan wajah panggung yang diistilahkan dengan front region. Abu Bakar menjauhkan diri dari subjektivitas, pencitraan bahkan setting atau buatan untuk kepentingan panggung.

Kedua tampil apa adanya dengan wajah front personal yang lebih objektif. Wajah untuk keperluan personal, dan karenanya berkekalan alias limited. Ia pemimpin dengan watak asli tak segan berbentuk profan. Karena asli, maka abadi. Karena berjalan apa adanya menjadikan makna mendalam bahwa merakyat tak dapat dibuat buat.

Abu Bakar sejak di baiat, detik itu juga mengikat dirinya kepada publik. Membatasi sendiri kekuasaannya. Ia membuka diri menyeru umat untuk meluruskan tindakannya. Semua orang tahu apa yang terjadi pada sesuatu jika diluruskan.

Kalau ia sudah kadung mengeras, maka akan patah. Dan itu pasti akan sakit sekali. Kalau sudah terlanjur biasa dilayani, maka akan tak enak sama sekali jika limit jabatan terhenti. Dan Abu Bakar sangat siap dan paham akan semua itu.

Maka patut dijadikan renungan diri, mengapa pidato pelantikan Sahabat Abu Bakar kala itu dilafaskannya penuh kesungguhan di depan umat. Karena ia dapatkan jabatan khalifah itu dengan logaritma-nya yang benar.

Ia memulai dari nilai yang mulia, melalui proses yang lazim dan lurus, Ia tidak menggunakan wajah panggung, karenanya tak perlu menyikut serta kedap bisikan sesat.

Ya Allah Tuhan pemilik kekuasaan bimbing dan permudah segala urusan kebaikan hambamu. Sejujurnya bagi penulis Algoritma adalah takaran jabatan. Siapapun pemimpin tidak akan sanggup mengucapkan sebagaimana Sahabat Abu Bakar.*

Abu Bakar As Siddiq terpilih secara musyawarah menjadi Khalifah dan dibaiat pertama di
Ilustrasi (Net)

Genial - Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin keagamaan dan pemimpin politik sekaligus. Ia adalah nabi yang terakhir. Tidak mungkin ada nabi sepeninggal beliau. Artinya, posisi sebagai pemimpin keagamaan (setingkat nabi) tidak mungkin ada yang meneruskan tetapi sebagai pemimpin politik (setingkat kepala negara) dapat saja digantikan dan diteruskan oleh sahabat beliau.

Pertanyaannya: siapa yang menggantikan beliau sebagai pemimpin politik, apa syaratnya dan bagaimana caranya?

Wafatnya Rasul membuat Madinah bising dengan tangisan. Umat pun bertanya-tanya siapa yang akan memimpin mereka. Sebagian sahabat terkemuka rupanya sudah memikirkan hal itu dan berkumpul di “balairung” safiqah di perkampungan Bani Sa’idah. Yang mula-mula berkumpul disana adalah golongan Anshar, yang terbagi pada suku Kharaj dan ‘Aus. Umar rupanya mendengar pertemuan tersebut. Ia mencari Abu Bakar dan menerangkan gawatnya persoalan. Umar berkata,”Saya telah mengetahui kaum Anshar sedang berkumpul di Safiqah, mereka merencanakan untuk mengangkat Sa’ad bin Ubadah untuk menjadi pemimpin (ia dari suku Khazraj). Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan dari kita seorang pemimpin dan dari Quraisy seorang pemimpin ( minna amir wa minkum amir). Ini dapat membawa pada dualisme kepemimpinan yang tak pelak lagi akan menggoyang “bayi” umat Islam. Setelah mengerti betapa gawatnya pesoalan, Abu Bakar mengikuti Umar ke Safaqah. Di tengah perjalanan keduanya bertemu Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan ia diajak ikut serta. Ketika mereka tiba telah hadir terlebih dulu beberapa kaum muhajirin yang tengah terlibat perdebatan sengit dengan kaum Anshar. Umar yang menyaksikan di depan matanya bahwa Muhajirin dan Anshar akan mencabik-cabik ukhuwah Islamiyah…hampir-hampir tak kuasa menahan amarah dirinya. Saat ia hendak berbicara, Abu Bakar menahannya.

Setelah mendengar perdebatan yang terjadi, Abu Bakar mulai berbicara dengan tenang dan ia mengingatkan bahwa bukankah Nabi pernah bersabda: al-aimmah min Quraisy (kepemimpinan itu berada di tangan suku Quraisy ) . “Kami pemimpin (umara) dan kalian “menteri/pembantu (Wizara). Telah bersabda Rasul bahwa dahulukan Quraisy dan jangan kalian mendahuluinya.”

Abu Bakar tak lupa mengingatkan pada kaum Anshar akan sejarah pertentangan kaum Khazraj dan aus yang bila meletup kembali (dengan masing-masing mengangkat pemimpin) akan membawa mereka semua ke alam jahiliyah lagi. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraisy, Umar dan Abu Ubaidah. Keraifan Abu Bakar dalam berbicara di tengan suasana penuh emosional rupanya mengesankan mereka yang hadir. Umar menyadari hal ini dan ia mengatakan pada mereka yang hadir bahwa bukankah Abu Bakar yang diminta oleh nabi untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat bilamana nabi sakit ? Umar dan Abu Ubaidah segera membai’at Abu Bakar tapi mereka didahului oleh Basyir bin Sa’ad, seorang tokoh Khazraj, yang membaiat Abu Bakar. Kemudian yang hadir di safiqah, semuanya memberi baiat Abu Bakar. Keesokan harinya Abu Bakar naik ke mimbar dan semua penduduk Madinah membai’atnya. Abu Bakar resmi menjadi khalifah ar-Rasul. Kemudian ia berpidato, sebuah pidato yang menurut ahli sejarah dianggap sebagai suatu statement politik yang amat maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat “modern” (patisipatif-egaliter). Semuanya? ternyata tidak,  dari yang hadir di safiqah, Sa’ad bin Ubaidah tidak membai’at Abu Bakar dan tidak pula ikut shalat jama’ah bersamanya. Diantara penduduk madinah yang tidak hasir di safiqah dan tidak membai’at Abu Bakar adalah Fatimah Az-Zahra. Ali bin Abi Tahlib dan bani Hasyim serta pengikutnya tidak berbai’at selama enam bulan kemudian setelah wafatnya Fatimah Az Zahra. Ketika diberitahukan kepada Imam Ali r.a. tentang peristiwa yang telah terjadi di safiqah bani Sa’idah segera setelah rasul wafat, ia bertanya: “Apa yang dikatakan kaum Anshar?” “Kami angkat seorang dari kami sebagai pemimpin, dan kalian (kaum muhajirin) mengangkat seorang dari kalian sebagai pemimpin !” “Mengapa kamu tidak berhujjah atas mereka bahwa Rasulullah SAW telah berpesan agar berbuat baik kepada orang-orang Anshar yang berbuat baik dan memaafkan siapa diantara mereka yang berbuat salah ” tanya Imam Ali lagi. “Hujjah apa yang terkandung dalam ucapan seperti itu ?” “Sekiranya mereka berhak atas kepemimpinan umat ini, niscaya Rasulullah SAW tidak perlu berpesan seperti itu tentang mereka.” Kemudian Imam Ali bertanya: “Lalu apa yang dikatakan orang Quraisy?” “Mereka berhujjah bahwa Quraisy adalah ‘pohon’ Rasulullah SAW.” “Kalau begitu mereka telah berhujjah dengan ‘pohonnya’ dan menelantarkan buahnya!”  [*]

*Penulis : Nadirsyah Hosen
Wakil Ketua Pengasuh Pesantren Takhasus Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta.  Tulisan ini  sudah naik di situs personal Gus Nadir di https://nadirhosen.net