Tokoh tari yang mempunyai karakter gagah dan berupa Raksasa adalah

GERAK DAN KARAKTER TARI PADA TOKOH WIBISANA DALAM LAKON SMARATAPA WAYANG ORANG KAUTAMAN SKRIPSI Oleh Dwi Ariyani NIM 15134144 FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2019

GERAK DAN KARAKTER TARI PADA TOKOH WIBISANA DALAM LAKON SMARATAPA WAYANG ORANG KAUTAMAN SKRIPSI Untuk memenuhi persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Progam Studi Seni Tari Jurusan Tari Oleh Dwi Ariyani NIM 15134144 FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2019

iii

PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini, Nama : Dwi Ariyani NIM : 15134144 Tempat, Tgl. Lahir : Sragen, 4 April 1997 Alamat : Kategan, Rt 02 Gemolong, Sragen. Progam Studi : Seni Tari Fakultas : Seni Pertunjukan Menyatakan skripsi karya ilmiah saya dengan judul: Gerak dan Karakter Tari pada Tokoh Wibisana dalam Lakon Smaratapa Wayang Orang Kautaman adalah benar benar hasil cipta karya sendiri, saya buat dengan ketentuan yang berlaku, dan bukan jiplakan (plagiasi). Jika kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuwan dalam skripsi saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian skripsi saya ini, maka gelar kesarjanaan saya siap untuk dicabut. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar benarnya dan penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukum. Surakarta, 24 September 2019 Dwi Ariyani iv

MOTTO Angel ora ateges nyerah, ngoyak kanthi pangarep-arep (Sulit bukan berarti menyerah, kejar dengan harapan aku mampu). ~Ariyani~ PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan untuk ~ Allah SWT ~ Kebanggaanku Bapak Kusminto dan Ibu Sarini, kakak saya Ari Nurzeto dan adik saya Niken Ari Tri Anisa ~ Keluarga dan sahabat tercinta saya Vici Duta Febriansyah, Dhea Ayu, Trisila Wahyu, Kartika Purnama, Akhadila Diah, Gabriella Saras, Resa Putri, Wahyu Gyta, Mutiah Firdausi, Sindi Wulan, dan teman teman seni tari angkatan 2015 ~ Pembaca dan Almamater kebanggaan ISI Surakarta v

ABSTRAK Penelitian Gerak dan Karakter Tari pada Tokoh Wibisana dalam Lakon Smaratapa Wayang Orang Kautaman ini mengkaji permasalahan bentuk tokoh Wibisana, gerak dan karakter tari pada tokoh Wibisana dalam Lakon Smaratapa pada 19 Oktober 2018 di Teater Besar ISI Surakarta. Dua permasalahan tersebut dikaji dengan menggunakan beberapa konsep. Perangkat analisis untuk mengkaji bentuk tokoh Wibisana, dengan menggunakan konsep verbal dan nonverbal oleh Maryono. Pembahasan gerak dan karakter tari pada tokoh Wibisana menggunakan konsep penyusunan gerak oleh Dorris Humprey, serta konsep karakter dalam Wayang Kulit yang terdapat 3 jenis karakter yaitu tipologi, temperanment, dan watak. Penelitian juga berusaha mencermati representasi rasa dari pemeran tokoh yang diuraikan dengan konsep sengguh, lungguh, dan mungguh. Penelitian ini bersifat kualitatif, data data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, studi pustaka, dan analisis data. Hasil dari penelitian adalah pertama, Wibisana adalah salah satu tokoh Wayang Kulit Purwo dalam wiracarita Ramayana, penyajian bentuknya mengacu pada Wayang Kulit yang terlihat dari antawecana, gerak, tata rias, dan tata busana. Kedua, diketahui bahwa penggarapan gerak dan karakter tari berdasarkan pada gerak alus mbanyu mili dan diberi penekanan pada gerak yang memunculkan karakter tari tokoh Wibisana yang alus lanyap dengan gerak cakrak. Karakter tokoh Wibisana juga didukung oleh vokal berupa tembang dan antawecana. Pembahasan karakter Wibisana dilihat dari latar belakangnya, diketahui bahwa karakternya adalah wibawa, membela kebenaran, baik, dan rela berkorban. Kata kunci: Bentuk sajian, gerak, karakter tari. vi

KATA PENGANTAR Puji syukur Allhamdulillah atas kehadirat Allah Subhanahu Wata ala, yang telah melimpahkan rahmat-nya sehingga penyusunan Tugas Akhir Skripsi yang berjudul Gerak dan Karakter Tari pada Tokoh Wibisana dalam Lakon Smaratapa Wayang Orang Kautaman yang digelar pada 19 Oktober 2018 di Teater Besar Institut Seni Indonesia Surakarta dapat terselesaikan. Selesainya skripsi ini berkat dukungan dan dorongan dari berbagai pihak yang terkait. Penulis mengucapkan rasa terimakasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini di antaranya. Dr. Katarina Indah Sulastuti, S.Sn.,M.Sn selaku pembimbing yang sangat sabar dan memberi perhatian dalam mengarahkan penulis dari awal penelitian sampai akhir. Dr. Daryono, S.Kar., M.Hum selaku penguji utama dan Suharji, S.Kar., M.Hum selaku ketua penguji yang telah memberi masukan dan arahan-arahan. Narasumber penelitian penulis di antaranya Matheus Wasi Bantolo, S.Sn.,M.Sn, Wahyu Santoso Prabowo, S.Kar.,M.Sn, Nanang Henri Priyanto, S.Sn, Achmad Dipoyono, S.Sn.,M.Sn, Dr. Bambang Suwarno. Retno Irawati Surono selaku produser Wayang Orang Kautaman yang sudah memberi izin penelitian, Blacius Subono, dan Juworo Wahyu Aji, S.Sn selaku pihak yang membantu informasi notasi Gendhing. Rektor Institut Seni Indonesia Surakarta, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan, Seluruh dosen dan staf karyawan Progam Studi Seni Tari vii

Institut Seni Indonesia Surakarta yang telah memberikan kesempatan belajar menimba ilmu pengetahuan selama menempuh perkuliahan. Penulis menghaturkan terimakasih kepada kedua orang tua bapak Kusminto dan ibu Sarini yang tulus dan ikhlas memberikan doa dan dukungan dalam bentuk apapun dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan pada rekan rekan, sahabat, Jurusan Tari yang tak henti hentinya memberikan doa dan semangat. Juga rekan rekan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Semoga kebaikan dan budi baik saudara semuanya mendapat balasan dari Allah SWT. Aamiin. Surakarta, 24 September 2019 Dwi Ariyani viii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN HALAMAN PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL ii iii iv v vi vii viii ix xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah 5 C. Tujuan 5 D. Manfaat 6 E. Tinjauan Pustaka 6 F. Landasan Konseptual 8 G. Metode Penelitian 11 1. Pengumpulan Data 11 a. Observasi 12 b. Wawancara 13 c. Studi Pustaka 14 d. Analisis Data 15 H. Sistematika Penulisan 16 BAB II BAB III LAKON SMARATAPA DALAM WAYANG ORANG KAUTAMAN A. Latar Belakang Wayang Orang Kautaman 17 B. Lakon Smaratapa dalam Pertunjukan Wayang Kautaman 21 1. Tema dan Amanat 24 2. Penokohan 26 3. Latar (Setting) 28 4. Alur (Plot) 30 BENTUK TOKOH WIBISANA PADA LAKON SMARATAPA A. KOMPONEN VERBAL 47 ix

1. Penari 48 2. Tata Rias 52 3. Tata Busana 54 4. Properti 68 5. Panggung 69 6. Setting 71 7. Pencahayaan 75 8. Musik 76 9. Ekspresi wajah/polatan 82 10. Pola Lantai 84 11. Alur Cerita 90 12. Gerak 95 B. KOMPONEN VERBAL 106 BAB IV GERAK DAN KARAKTER TARI TOKOH WIBISANA A. Latar Belakang Tokoh Wibisana dalam Wayang Kulit 115 B. Gerak dan Karakter Tari Tokoh Wibisana 1. Gerak Tokoh Wibisana 121 2. Karakter Tari Tokoh Wibisana 123 3. Analisis Gerak dan Karakter Tokoh Wibisana 130 C. Konsep Sengguh Lungguh Mungguh 1. Konsep Sengguh 150 2. Konsep Mungguh 152 3. Konsep Lungguh 154 BAB V PENUTUP A. SIMPULAN 155 B. SARAN 157 DAFTAR ACUAN 158 NARASUMBER 160 DISKOGRAFI 160 GLOSARIUM 161 BIODATA PENULIS 166 x

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Bagian adegan prolog Rama dan Sinta 32 Gambar 2. Title atau judul pertunjukan lakon Smaratapa 33 Gambar 3. Pertemuan Rama dengan pasukan kera di Pancawati untuk menentukan utusan Rama 35 Gambar 4. Pasukan kera menari bersama mengantar kepergian Anoman ke Alengka 36 Gambar 5. Sinta, Trijata, Sarpakenaka, Bedhayan Raseksi di Taman Soka 38 Gambar 6. Anoman melawan Indrajid 39 Gambar 7. Wibisana bertemu dengan Kumbakarna 40 Gambar 8. Kedatangan Wibisana di Mangliawan 41 Gambar 9. Eyang Baruna menasihati Rama yang akan menguras lautan 42 Gambar 10. Pertemuan para raksasa di Alengka 43 Gambar 11. Peperangan pasukan Rama dan Rahwana di Alengka 45 Gambar 12. Pemeran Tokoh Wibisana, Matheus Wasi Bantolo dalam lakon Smaratapa 52 Gambar 13. Visual tata rias Wayang Orang tokoh Wibisana 54 Gambar 14. Visual Wayang Kulit tokoh Wibisana 56 Gambar 15. Jarik parang atau kain diwiron (lipitan) yang digunakan tokoh Wibisana. 57 Gambar 16. Jarik parang atau kain parang 58 Gambar 17. Celana yang digunakan tokoh Wibisana 58 Gambar 18. Stagen polos warna hitam dan sabuk cinde yang digunakan tokoh Wibisana 59 Gambar 19. Sampur gendologiri warna orange dan biru 59 Gambar 20. Boro yang digunakan tokoh Wibisana 60 Gambar 21. Samir yang digunakan tokoh Wibisana 60 Gambar 22. Praba yang digunakan tokoh Wibisana 61 Gambar 23. Slempang panjang yang digunakan tokoh Wibisana 61 Gambar 24. Epek yang digunakan tokoh Wibisana 62 Gambar 25. Timang yang digunakan tokoh Wibisana 62 Gambar 26. Keris yang digunakan tokoh Wibisana 63 Gambar 27. Irah-irahan gelung supit urang 63 Gambar 28. Sepasang sumping yang digunakan tokoh Wibisana 64 Gambar 29. Kalung penanggalan 64 Gambar 30. Kalung ulur yang digunakan tokoh Wibisana 65 Gambar 31. Klat bahu yang digunakan tokoh Wibisana 65 xi

Gambar 32. Gelang tangan yang digunakan tokoh Wibisana 66 Gambar 33. Binggel atau gelang kaki 66 Gambar 34. Uncal kencana yang digunakan tokoh Wibisana 67 Gambar 35. Disain panggung tampak depan penonton 71 Gambar 36. Bentuk setting panggung adegan Candhakan 3, tokoh Wibisana bersama Kumbakarna 72 Gambar 37. Bentuk setting panggung adegan Mangliawan tokoh Wibisana menemui Rama 73 Gambar 38. Bentuk setting panggung adegan tambak 73 Gora, tokoh Wibisana membangun tambak Gambar 39. Bangunan Tambak Gora di belakang tokoh Wibisana yang dibuatnya 74 Gambar 40. Bentuk setting tambak yang dihancurkan Anoman 74 Gambar 41. Bangunan tambak setelah diperbaiki 75 Gambar 42. Pola lantai tokoh Wibisana memasuki panggung 85 Gambar 43. Pola lantai tokoh Wibisana memberi hormat Kumbakarna 86 Gambar 44. Pola lantai awal mulai antawecana 86 Gambar 45. Pola lantai perpindahan di sela sela antawecana 87 Gambar 46. Pola lantai tokoh Wibisana pemit dengan Kumbakarna 87 Gambar 47. Pola lantai tokoh Wibisana meninggalkan kakaknya disusul Kumbakarna 88 Gambar 48. Pola lantai tokoh Wibisana menemui Rama disaksikan para Kera 88 Gambar 49. Pola lantai tokoh Wibisana setelah mendapat izin Rama membuat tambak dan mulai membuat tambak. 89 Gambar 50. Pola lantai tokoh Wibisana ketika tambak dihancurkan Anoman 89 Gambar 51. Pola lantai tokoh Wibisana berjalan mundur meninggalkan panggung setelah kedatangan Rama 90 Gambar 52. Gestur Wibisana yang menggambarkan perasaan sedih 134 Gambar 53. Gestur memeluk atau menghormati 135 Gambar 54. Gestur berpamitan 136 Gambar 55. Gestur menunjuk tempat 137 Gambar 56. Salah satu pola gerak asimetris 138 Gambar 57. Salah satu disain asimetri rangkaian penggel besut 139 Gambar 58. Salah satu disain asimetri tangan kanan di depan dada, tangan kiri trap cethik 140 xii

Gambar 59. Salah satu disain simetri kedua tangan sejajar 141 Gambar 60. Salah satu disain asimetri pola tanjak kanan 142 Gambar 61. Salah satu pola disain asimetri kedua tangan membuka ke samping 144 Gambar 62. Salah satu disain asimetri pola junjungan kaki kanan 145 Gambar 63. Salah satu disain asimetri pola ndudut keris 148 Gambar 64. Salah satu disain asimetri tangan kiri ngrayung sejajar kepala, tangan kiri trap cethik 148 Gambar 65. Salah satu disain simetri pola tangan dan kaki sejajar 148 Gambar 66. Salah satu disain asimetri ambil sampur srimpet kaki ke belakang 149 xiii

DAFTAR TABEL Tabel 1. Penari dan karakter tari dalam lakon Smaratapa 27 Tabel 2. Latar atau setting pertunjukan lakon Smaratapa 29 Tabel 3. Deskripsi Gerak tokoh Wibisana Adegan Candhakan 3, Mangleawan dan Tambak Gora 96 xiv

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wayang Wong merupakan sebuah genre yang digolongkan ke dalam drama tari, adalah suatu drama tari berdialog prosa yang ceritanya mengambil dari epos Wiracarita Ramayana dan Mahabarata. Konsepsi dasar Wayang Wong adalah mengacu pada Wayang Kulit Purwa, oleh karena itu Wayang Wong merupakan personifikasi Wayang Kulit Purwa. Struktur dramatik dalam Wayang Wong biasanya mengacu pada struktur dramatik dari Wayang Kulit (Hersapandi,199: 29). Wayang Wong atau Wayang Orang dalam bahasa Indonesia hidup di kalangan seniman istana maupun luar istana. Wayang Orang Kautaman atau biasa disebut Wayang Kautaman merupakan wajah baru yang berkembang di luar istana. Nanang Henri Priyanto menjelaskan bahwa Wayang Orang Kautaman berdiri pada tahun 2014 dengan mengedepankan tontonan masa kini dan keseriusan dalam disiplin berproses. Dewasa ini Wayang Kautaman menggelar pertunjukan dengan lakon Smaratapa, merupakan produksi ke empat dalam pentas tahunan Wayang Kautaman. Smaratapa merupakan lakon yang dipentaskan pada Jum at 19 Oktober 2018 di Teater Besar ISI Surakarta. Nanang

2 mendefinisikan Smaratapa sebagai pertapaan cinta, smara artinya asmara atau cinta dan tapa sebagai pertapaan. Bukan pertapaan cinta yang diam, tapi cinta yang aktif (Nanang Henri Priyanto, Wawancara, 10 Desember 2018). Smara menurut Kamus Bausastra Jawa smara berarti asmara dan tapa merupakan nglakoni mati raga sarta sumingkir saka ing alam (melakukan mati raga dan meninggalkan alam) serta pertapaan merupakan papan mara tapa atau tempat untuk bertapa (Kamus Bausastra Jawa, 2001: 733). Kedua arti tersebut saling berkaitan definisinya, sehingga tidak menimbulkan definisi kata yang sulit untuk dipahami dari pengertian Smaratapa. Definisi Smaratapa tersebut kemudian divisualisasikan ke dalam bentuk gerak dan karakter tari, mengingat Wayang Orang aktor-aktrisnya adalah manusia di mana terdapat tokoh-tokoh dalam pewayangan. Tokoh dalam Wayang Orang, tidak terlepas dari tokoh tokoh yang ada pada Wayang Kulit, yang diadopsi dari Wiracarita Ramayana dan Mahabarata. Lakon dalam Smaratapa bersumber pada Wiracarita Ramayana, sehingga tokoh tokohnya terdiri dari Rama, Sinta, Rahwana, Wibisana, Anoman dan lain sebagainya. Setiap tokoh mempunyai karakter yang berbeda, karakter tari dalam tari Jawa khususnya Surakarta, secara umum dibagi menjadi 3 yaitu tari putri, tari putra alus, dan putra gagah. Wibisana merupakan tokoh dengan karakter putra alus lanyap, sekaligus menjadi fokus penulis dalam penelitian. Penggambaran tokoh

3 Wibisana diperankan oleh Matheus Wasi Bantolo, salah satu Dosen Jurusan Tari ISI Surakarta. Karakter tokoh Wibisana digambarkan dalam pertunjukan Wayang Kautaman lakon Smaratapa di Gedung Teater Besar ISI Surakarta pada 19 Oktober 2018. Berkaitan dengan karakter, pemilihan Wasi sebagai penari tokoh Wibisana tentunya tidak terlepas dari kesesuaian Wasi dalam memerankan tokoh Wibisana pada lakon Smaratapa. Di dalam lakon Smaratapa tokoh Wibisana ditampilkan pada adegan Candhakan 3, Mangliawan dan Tambak Gora. Gerak dan karakter, tokoh Wibisana berkiblat pada karakterisasi yang ada pada tokoh Wayang Kulit, sehingga pola teknik gerak yang dilakukanpun ada kaitannya dengan pola gerak dalam Wayang Kulit Purwa. Terkait dengan hal tersebut Soedarsono mengatakan bahwa karena Wayang Orang dilakukan manusia, maka pola geraknya mengalami penggarapan yang lebih luas dan terperinci sehingga melahirkan karakterisasi gerak yang khas untuk pertunjukan Wayang Orang. Di dalam Wayang Orang Manusia yang menjadi pemeran dalam pertunjukan Wayang Orang, sehingga memiliki fleksibilitas dalam gerak dan ekspresi wajah yang lebih besar (Soedarsono, 1997: 59). Gerak yang digunakan merupakan gerak alusan dalam tari Jawa. Alusan dalam tari Jawa pengaturan waktu dan tenaga tidak selembut tari putri dan tidak sekuat tari gagah tetapi lebih mendekati tari putri.

4 Penggunaan gerak pada alusan juga lebih kecil dari tari gagah. Tari alus yang digunakan termasuk pada tari alus cakrak untuk tokoh alus lanyap. Selain itu, gerak yang dilakukan merupakan gerak stilisasi sehingga penggambaran karakter tidak dilakukan menggunakan gerak gerak sehari hari tapi gerak sudah diolah dan diperhalus. Ragam atau variasi gerak yang dilakukan sama seperti gerak dasar alusan pada umumnya seperti kebyak kebyok sampur, Lumaksana, sampir sampur dan lain sebagainya. Tembang dan Antawecana atau dialog dalam bahasa Jawa juga menjadi penguat visualisasi gerak dan karakter tari tokoh Wibisana. Gerak dan karakter tari tidak akan menjadi satu kesatuan yang utuh tanpa adanya elemen elemen dalam tari seperti tata rias dan tata busana, yang dapat membangun karakter tari tokoh Wibisana. Gerak dan karakter tari pada tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa Wayang Orang Kautaman yang diperankan oleh Matheus Wasi Bantolo, menimbulkan kesan yang hidup dan hal tersebut menjadikan ketertarikan tersendiri bagi penulis. Selain itu dalam adegan Candhakan 3 Wibisana bersama Kumbakarna posisinya sebagai bagian penentu konflik lakon Smaratapa dan dasar penggarapannya. Ketertarikan lain juga terdapat pada keinginan mengenal dan menguraikan karakter tari pada tokoh Wibisana yang divisualisasikan dalam bentuk gerak melalui proses proses pencarian gerak dalam wadah Wayang Orang. Oleh karena itu, penulis mencoba mencermati lebih

5 dalam gerak dan karakter tari pada tokoh Wibisana melalui penelitian dengan judul Gerak dan Karakter Tari pada Tokoh Wibisana dalam Lakon Smaratapa Wayang Orang Kautaman. B. Rumusan Masalah Pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah. 1. Bagaimana bentuk tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa Wayang Orang Kautaman? 2. Bagaimana gerak dan karakter tari pada tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa Wayang Orang Kautaman? C. Tujuan Penulis mempunyai tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, pencapaian yang ingin dicapai sebagai berikut. 1. Memberi informasi mengenai bentuk tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa Wayang Orang Kautaman. 2. Menguraikan gerak dan karakter tari pada tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa Wayang Orang Kautaman.

6 3. Menambah konstribusi pengenalan karakter tari putra alus lanyap, khususnya alus cakrak yang disajikan dalam pertunjukan Wayang Orang. D. Manfaat Penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat yang diinginkan, sebagai berikut. 1. Mengetahui bentuk tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa Wayang Orang Kautaman dalam bentuk tulisan. 2. Dapat memberikan informasi gerak dan karakter tari pada tokoh Wibisana dalam Wayang Orang Kautaman. 3. Hasil akhir berupa dokumentasi tulisan bagi penulis dan pembaca. E. Tinjauan Pustaka Berkaitan dengan panduan dan bukti tidak adanya unsur duplikasi dan orisinalitas penelitian, penulis mencantumkan beberapa tulisan hasil penelitian. Berdasarkan beberapa tulisan tersebut dapat diketahui bahwa objek yang diajukan peneliti, belum ada yang meneliti. Penulis menggunakan tulisan tersebut sebagai referensi dan tinjauan dalam objek gerak dan karakter tari pada tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa Wayang Orang Kautaman.

7 Skripsi Analisis Gerak dan Karakter Mustakaweni dalam Karya Bramantya Luluh Ing Tresna Karya Wahyu Santoso Prabowo oleh Anestri Sulanjari tahun 2018, membahas sudut pandang karakter tokoh Mustakaweni dari sudut pandang perempuan Jawa dan analisis gerak karakter tokoh Mustakaweni. Skripsi tersebut membahas gerak dan karakter tetapi berbeda karakter penokohan dan sanggit cerita sehingga berbeda dengan penelitian penulis. Skripsi Gerak dan Karakter Bedhaya Sangga Buwana Karya Hadawiyah Endah Utami Tahun 2017, oleh Vivi Kuntari pada tahun 2018. Pembahasan yang diulas dalam skripsi tersebut berisi gerak dan karakter Tari Bedhaya Sangga Buana. Pembahasan skripsi ditujukan untuk penari bedhaya dan bukan tokoh dalam pewayangan sehingga berbeda dengan objek formal penulis. Penulis menggunakan skripsi tersebut sebagai referensi penelitian dalam mengulas karakter. Skripsi Karakter Tokoh Arjuna dalam Lakon Arjuna Wiwaha Wayang Wong Sekar Budaya Nusantara, oleh Fifit Ika Ari Fiyani pada tahun 2011. Membahas karakter tokoh Arjuna, Skripsi ini berbeda dengan objek materiil penulis namun objek formalnya juga sama sama membahas karakter. Penulis menjadikan skripsi tersebut sebagai referensi dalam membahas tokoh karakter alus khususnya dalam konteks Wayang Orang. Tesis Alusan dalam Tari Jawa, oleh Matheus Wasi Bantolo pada tahun 2002. Membahas tari Alusan putra yang ada di Surakarta, tesis

8 tersebut di dalamnya juga membahas gerak dan karakter tari khususnya tari putra alus. Tesis tersebut tidak terfokuskan pada satu tokoh, sehingga berbeda dengan objek yang dikaji penulis dan menjadikan tesis tersebut sebagai referensi. F. Landasan Konseptual Penelitian ini, menggunakan beberapa konsep untuk memudahkan penulis dalam menjawab permasalahan yang sudah dirumuskan. Konsep yang digunakan, diharapkan dapat menjelaskan lebih dalam tentang tokoh Wibisana terkait dengan gerak dan karakter tarinya. Penelitian ini berusaha mengungkap tentang tokoh Wibisana dalam lakon Samaratapa Wayang Orang Kautaman. Pembahasan lakon, tidak jauh dari adanya unsur unsur yang terdapat di dalam lakon. Dalam hal ini Louise G. Stevens dalam bukunya Introduction to Drama, yang dikutip oleh Soediro Satoto mengemukakan, bahwa: Selain unsur alur (plot) dan penokohan (perwatakan, karakterisasi), unsur latar (setting) adalah penting dalam drama (baca: lakon). Karena latar berpengaruh terhadap kejadian kejadian apa; dalam hal lain berpengaruh terhadap mood atau suasana lakon itu secara keseluruhan. Jadi yang dimadsud unsur unsur lakon ialah (1) tema dan amanat, (2) alur (plot), penokohan (karakterisasi) atau perwatakan, (4) latar atau setting (Soediro Satoto, 1985: 15). Pendapat tersebut digunakan untuk menganalisis unsur unsur lakon dalam lakon Smaratapa.

9 Konsep yang digunakan untuk mengulas bentuk pemeran tokoh Wibisana, dilihat dari bentuk kesatuan elemen elemen dalam seni pertunjukan yang disatukan menjadi sebuah koreografi tari. Dalam hal ini digunakan konsep yang dikemukakan oleh Maryono, bahwa bentuk koreografi terdiri dari komponen verbal dan nonverbal. Maryono membagi jenis jenis komponen Nonverbal menjadi 13 jenis yaitu (1) Tema, (2) Alur cerita atau alur dramatik, (3) Gerak, (4) Penari, (5) Pola lantai, (6) Ekspresi wajah/polatan, (7) Tata Rias, (8) Tata Busana, (9) Musik, (10) Panggung, (11) Properti, (12) Pencahayaan, (13) Setting. Penulis juga menyantumkan jenis komponen verbal karena merupakan sebuah bentuk genre Wayang Orang maka juga perlu memaparkan (1) Sastra tembang, (2) Janturan atau monolog, (3) Antawecana atau dialog, (4) Geguritan atau puisi, dan (5) Syair (Maryono, 2015: 25). Konsep di atas digunakan untuk membahas bentuk tokoh Wibisana sebagai wujud hasil akhir dari proses yang menjadi kesatuan dalam pertunjukan. Pemaparan bentuk, dapat berupa deskripsi objek dengan menggunakan konsep di atas. Jenis komponen di atas disesuaikan dengan kenyataan yang ada dalam pertunjukan, oleh karena itu penulis menggunakan jenis komponen yang sesuai. Pembahasan tokoh Wibisana dalam upaya menjelaskan bentuk gerak mengacu pada konsep penyusunan tari oleh Dorris Hamprey. Dorris Hamprey dalam The Art of Making Dances yang diterjemahkan oleh Sal

10 Murgiyanto dalam bukunya Seni Menata Tari. Memberi cara tahap penyusunan tari sebagai berikut (1) Disain (2) dinamika, (3) ritme, (4) motivasi dan gestur (Sal Murgiyanto: 1983). Selanjutnya untuk mengkaji karakter, menurut Agus Sujanto dalam buku Psikologi Umum yang dikutip oleh Agus Tasman dalam bukunya Analisis Gerak dan Karakter, menyebutkan bahwa kharacter adalah istilah bahasa Belanda dan kata characterologie atau characteriologie berasal dari kata character berarti watak dan logie berarti ilmu, jadi characterologie adalah ilmu yang mengkaji watak. Selain pendapat dari Agus Sujanto, selain itu melihat perkembangan jenis karakter berdasarkan konstruksi dibagi menjadi tiga yaitu Tipologi atau jasmaniah (sifat dari lahir), temperanment (sifat dan kejiwaan yang mempengaruhi tingkah laku), dan Watak (tingkah laku) (Agus Tasman, 2008: 19). Penulis juga memaparkan unsur keindahan rasa dari penari yang masih berkaitan dengan membangun gerak dan karakter tari tokoh dalam penyusunan tari. Wahyu Santoso Prabowo dalam tulisannya Tari Wireng Gaya Surakarta Refleksi Kearifan Budaya dan diperkuat dengan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa menurut para Empu tari Jawa mempertimbangkan konsep tari yaitu (1) Sengguh, (2) Lungguh, (3) Mungguh (Wahyu Santoso Prabowo, 2002: 20 dan Wawancara 7 Mei 2019). Pembahasan gerak dan karakter tari pada tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa, dianalisis sesuai dengan fakta yang ada di dalam pertunjukan

11 menggunakan konsep di atas. Konsep tersebut diharapkan mampu memaparkan fenomena yang akan dipaparkan. G. Metode Penelitian Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode yang memahami tentang fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar dengan mengamati perilaku manusia, persepsi, motivasi, dan tindakan. Secara holistik, selain itu metode kualitatif juga mendeskripsikan dalam bentuk kata kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 1998: 34). Penelitian ini dalam mengumpulkan data melalui kegiatan observasi, wawancara, studi pustaka dan analisis data. 1. Pengumpulan Data Penulis melakukan teknik pengumpulan data, dimulai dari observasi, wawancara, studi pustaka dan analisis data. Beberapa referensi berupa buku, skripsi, dan jurnal ilmiah juga digunakan dalam mencari informasi secara tertulis. Data juga diperoleh dari beberapa narasumber yang terkait dengan objek penelitian. Penulis juga menyertakan foto dan video dokumentasi pertunjukan Wayang Orang Kautaman lakon

12 Smaratapa, dalam menganalisis gerak dan karakter tari. Penulis melakukan penelitian di wilayah Surakarta tepatnya di Gedung Teater Besar ISI Surakarta pada tanggal 19 Oktober. Tahapan teknik pengumpulan data sebagai berikut. a. Observasi Metode observasi digunakan untuk melihat dan mengamati perubahan fenomena-fenomena sosial yang ada di dalam suatu pertunjukan. Dalam penelitian kualitatif, pengamatan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk memperoleh data didasarkan atas pengalaman secara langsung (Moleong, 2012: 174). Pengamatan dilakukan dengan melihat secara langsung atau studi lapangan melihat pertunjukan Wayang Kautaman lakon Smaratapa di Gedung Teater Besar Institut Seni Indonesia Surakarta. Aktivitas pengamatan berlangsung pada malam hari tanggal 19 Oktober 2018. Penulis juga menyaksikan proses latihan selama sehari pada tanggal 09 Desember 2018 di Gedung F ISI Surakarta. Penulis setelah melakukan kegiatan observasi, selanjutnya mencari rekaman audio visual pertunjukan lakon Smaratapa dari sutradara Wayang Orang Kautaman Nanang Henri Priyanto. Naskah lakon Smaratapa didapatkan dari Matheus Wasi Bantolo selaku pemeran tokoh Wibisana. Notasi gendhing didapatkan dari Blasius Subono selaku penata musik dan Juworo Bayu Aji selaku Niyaga dalam lakon Smaratapa. Dokumentasi

13 berupa foto atau gambar didapatkan dari media sosial (instagram) milik Wayang Orang Kautaman atas izin Sutrada Retno Irawati Surono dan Matheus Wasi Bantolo serta koleksi pribadi penulis. Data-data dan dokumen yang sudah ada dicermati untuk kegiatan analisis selanjutnya. b. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan tujuan tertentu yang melibatkan dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan (Moleong, 2012:186). Wawancara dilakukan secara langsung di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah pada tanggal 7 dan 10 Desember 2018. Wawancara di wilayah kampus Institut Seni Indonesia Surakarta pada 2 April 2019, 9 April 2019 dan 7 Mei 2019. Wawancara juga dilakukan di rumah Bambang Suwarno pada tanggal 11 Juli 2019. Penulis juga merekam hasil wawancara, dan mencatat hal hal yang penting dalam proses wawancara. Adapun narasumber yang memiliki keterkaitan dengan objek penelitian sebagai berikut. 1. Nanang Henri Priyanto, Sutradara Wayang Kautaman yang memberi informasi mengenai Wayang Kautaman dan Karakter pewayangan.

14 2. Matheus Wasi Bantolo, pemeran tokoh Wibisana yang memberi informasi mengenai gerak dan karakter Wibisana dalam Wayang Kautaman. 3. Achmad Dipoyono, Koreografer pada lakon Smaratapa, memberi informasi peran koreografer dan pertunjukan Smaratapa. 4. Wahyu Santoso Prabowo, Empu tari dan pemain tokoh Baruna, memberi informasi kesesuaian Wasi dalam memerankan tokoh Wibisana. 5. Bambang Suwarno, Dosen Prodi Pedalangan, yang memberikan informasi struktur Wayang Kulit dan Wayang Orang. 6. Juworo Bayu Aji, Niyaga pertunjukan Lakon Smaratapa, yang memberi informasi notasi gendhing. c. Studi Pustaka Studi pustaka memuat pustaka pustaka yang digunakan, berupa buku, jurnal ilmiah, tesis dan skripsi yang ada di Perpustakaan Institut Seni Indonesia Surakarta dan video dokumentasi pertunjukan lakon Smaratapa. Pustaka yang digunakan menambah pengetahuan dan memperkuat informasi yang dibutuhkan bagi penulis. Membaca, memahami, dan mengambil intisari ataupun mengutip pendapat dari pustaka pustaka tersebut, disesuaikan dengan permasalahan penelitian. Studi Pustaka tersebut di antaranya (1) Alusan dalam Tari Jawa oleh Matheus Wasi Bantolo membahas tari alusan yang ada di Jawa, (2)

15 Analisis Gerak dan Karakter oleh Agus Tasman membahas bentuk gerak dan karakter pada gerak, (3) Konsepsi dan Indikasi Rasa dalam Tari Jawa Gaya Surakarta oleh Katarina Indah Sulastuti membahas rasa dalam tari Jawa Gaya Surakarta, (4) Analisa Tari oleh Maryono membahas komponen verbal dan nonverbal. d. Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2012: 280). Data-data setelah dianalisis kemudian disajikan secara sistematis agar mudah dipahami, serta menggambarkan permasalahan dari isi penelitian. Setelah itu, dilakukan penarikan kesimpulan dari seluruh data yang sudah didapat dan disusun. H. Sistematika Penulisan Penulis membagi pembahasan penelitian kedalam 5 Bab bagian untuk memudahkan penataan penulisan yaitu. BAB I. Pendahuluan Bab ini berisi pengantar penelitian yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat, tinjauan pustaka, landasan konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

16 BAB II. Pembahasan latar belakang Wayang Orang Kautaman dan lakon Smaratapa yang berkaitan dengan pertunjukan tokoh Wibisana. BAB III. Bab ini memaparkan bentuk tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa. Pemaparan bentuk tokoh Wibisana ditekankan pada elemen koreografi dengan menggunakan konsep komponen non verbal yaitu penari, tata rias, tata busana, musik, tema, alur, gerak, pola lantai, ekspresi wajah, panggung, properti, pencahayaan, dan setting. Komponen verbal di antaranya sastra tembang, janturan, antawecana, geguritan, dan syair. BAB IV. Memaparkan analisis gerak dan karakter tari pada tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa, serta kesesuaian atau penilaian terhadap pemain tokoh Wibisana. BAB V. Penutup. Berisi simpulan, dan saran.

17

17 BAB II LAKON SMARATAPA DALAM WAYANG ORANG KAUTAMAN A. Latar Belakang Wayang Orang Kautaman Ulasan latar belakang Wayang Orang Kautaman diperlukan untuk memberi informasi lebih dalam kepada pembaca untuk memahami spesifikasi Wayang Orang Kautaman yang berkaitan dengan lakon Smaratapa. Nanang Henri Priyanto menjelaskan bahwa Wayang Orang Kautaman terbentuk pada tahun 2014, dengan nama Wayang Kautaman, nama atau istilah Kautaman berasal dari gedung Pewayangan Kautaman Building yang ada di Jakarta Timur. Meskipun berdomisili di Jakarta, para pendukung pertunjukan diambil dari para Seniman Surakarta lebih tepatnya para Alumni ISI Surakarta dan tim produksinya saja yang berada di Jakarta. Adanya diskusi dari Ira Surono selaku produser dan Nanang Henri Priyanto selaku sutradara yang berisi, keinginan untuk menghadirkan tontonan atau pertunjukan Wayang Orang masa kini menjadi awal terbentuknya Wayang Orang Kautaman (Nanang Henri Priyanto, Wawancara 10 Desember 2018). Wayang Orang Kautaman merupakan rumah proses yang menghadirkan pertunjukan Wayang Orang yang berkaitan dengan kehidupan masa kini. Kata masa kini berhubungan dengan bagaimana

18 Wayang Orang Kautaman memberikan inovasi atau pembaharuan dalam pertunjukan pada setiap lakon yang ditampilkan. Inovasi terletak pada cara penggarapan yang tidak menutup diri dengan perkembanganperkembangan, tetapi tetap pada substansi Wayang Orang pada umumnya. Salah satunya merupakan cara penggarapan lakon yang dipadatkan dalam dunia Pedalangan disebut dengan metode sanggit. Poerwodarminto menjelaskan sanggit berasal dari asal kata anggit yang secara leksikal berarti mengarang atau menciptakan hal hal baru yang dengan imajinasi yang baru pula (1976: 48). Sanggit dapat berupa bentuk kreativitas dan kebebasan Dalang dalam penggarapan unsur unsur pertunjukan dalam rangka memberikan kemantapan rasa terhadap sajian. Penerapan sanggit diterapkan pada disiplin proses pertunjukan didasarkan pada keseriusan dan detail dalam proses latihan sehingga pertunjukan Wayang Orang Kautaman memerlukan waktu yang lama untuk mencapai hasil yang diinginkan. Keseriusan dan detail penggarapan ditujukan untuk membentuk dan membangun pencapaian kesesuaian gerak dan karakter tokoh dalam lakon. Bentuk dari pertunjukan juga diharapkan mampu memangkas jarak antara pertunjukan dengan penonton. Artinya dalam hal ini Wayang Kautaman berusaha membuat pertunjukan yang dikemas fresh atau segar sehingga tidak membuat penonton bosan. Oleh karena mengacu pada disiplin proses pertunjukan, Wayang Orang Kautaman hanya menggelar

19 pertunjukannya dalam setahun sekali dibeberapa Kota seperti Surakarta, Surabaya, dan Jakarta (Nanang Henri Priyanto, Wawancara 10 Desember 2018). Berpijak dari ulasan di atas Wayang Orang Kautaman menjadi wadah terwujudnya suatu lakon yang hasil akhirnya berupa bentuk pertunjukan. Selain lakon Smaratapa, Wayang Orang Kautaman juga sudah mementaskan lakon lakon yang mengadopsi cerita Ramayana dan Mahabarata yaitu Yudakala Tresna tahun 2015, Sotya Gandewa 2016, Abimanyu Mandira Sungsang tahun 2017 dan Smaratapa tahun 2018. Yudakala Tresna merupakan lakon pertama yang dipentaskan Wayang Orang Kautaman pada 18 19 April 2015 di Gedung Pewayangan Kautaman dan 31 Juli 2015 di Teater Besar ISI Surakarta. Lakon tersebut diambil dari cerita Mahabarata dengan tokoh besar seperti Karna, Arjuna, dan Dewi Kunthi. Yudakala Tresna berhubungan dengan waktu, peperangan dan kasih sayang. Yudakala Tresna, Yuda berarti perang, kala berarti waktu, dan tresna dalam bahasa Indonesia merupakan cinta. Produksi kedua Wayang Orang Kautaman merupakan lakon Sotya Gandewa yang mengadopsi cerita Mahabarata yang dipentaskan di Gedung Pewayangan Kautaman pada Sabtu dan Minggu 9-10 April 2016 dan Jum at 6 Oktober 2016 di Teater Besar ISI Surakarta. Tokoh dalam Mahabarata yang mendukung pertunjukan di antaranya Guru Durna, Ekalaya, dan Arjuna. Sotya Gandewa menceritakan kepedihan hati Durna

20 sebagai seorang pendidik sekaligus abdi negara dan berakhir dengan cerita terpecahnya murid Durna di Kurukasetra. Abimanyu Mandira Sungsang adalah lakon yang disajikan pada 7-8 April 2017 di Gedung Kesenian Jakarta. Cerita yang diambil mengadopsi dari cerita Mahabarata, berisi tokoh ternama seperti Arjuna dan Abimanyu. Lakon menceritakan konflik batin Abimanyu yang merasa senang sekaligus kecewa dan marah, kemarahannya karena Ayahnya Arjuna membawa kabar tak diharapkan. Arjuna meminta Abimanyu untuk menikahi Dewi Utari, sementara disisi lain Abimanyu sudah mempunyai istri Dewi Siti Sundari. Ketiga lakon Wayang Orang Kautaman di atas merupakan lakon yang mengadopsi dari cerita Mahabarata, dapat diketahui dalam epos Mahabarata mengandung banyak makna makna kehidupan. Ketiga lakon diproduksi di bawah naungan Wayang Orang Kautaman yang sebelumnya sudah dijelaskan cara teknik penggarapan yang serius dan detail. Teknik penggarapan juga diterapkan dalam lakon Smaratapa, perlu diketahui Smaratapa merupakan lakon yang pertama kali digarap dengan mengambil epos Ramayana.

21 B. Lakon Smaratapa Dalam Pertunjukan Wayang Orang Kautaman Riris K. Sarumpaet yang dikutip oleh Soediro Satoto, menjelaskan bahwa lakon adalah kisah yang didramatisasi dan ditulis untuk dipertunjukan di atas pentas oleh sejumlah pemain. Lakon dapat juga berarti drama (1985:13). Sumber lakon yang digarap Wayang Orang Kautaman mengadopsi epos wiracarita Ramayana dan Mahabarata yang merupakan karya sastra yang berasal dari India. Terjemahan dari bahasa sanskrit kebahasa Jawa kuna pada abad ke X. Kitab Ramayana di Indonesiakan pada zaman Raja Dyah Balitung, sedangkan Mahabarata di salin ke bahasa Jawa kuna pada zaman Raja Dharmawangsa Teguh. Smaratapa merupakan lakon yang bersumber pada epos Wiracarita Ramayana, mengisahkan Sinta yang diculik oleh Rahwana dan usaha Rama untuk membebaskan Sinta dalam balutan lakon Smaratapa. Ide lakon tersebut merunut pada jalan cinta yang bermacam macam, dan tidak melulu tentang laki laki dan perempuan. Smara yang berarti asmara dan Tapa adalah pertapaan, yang bisa diartikan sebagai pertapaan cinta. Pertapaan cinta dimadsudkan tidak terfokus pada satu cinta Rama dan Sinta atau tentang laki laki dan perempuan, tetapi lebih kepada cinta dari masing masing tokoh. Semua tokoh mempunyai cintanya sendiri, seperti cintanya Kumbakarna pada adiknya, cinta Sarpakenaka atas dasar nafsu pada Lesmana, dan cinta Wibisana pada kakak dan Negaranya Alengka.

22 Pertunjukan lakon Smaratapa berlangsung pada Jum at 19 Oktober 2018 di Teater Besar Institut Seni Indonesia Surakarta pukul 19.30 WIB dengan durasi pertunjukan kurang lebih 1 jam 42 menit. Proses penggarapan lakon Smaratapa dalam Wayang Orang Kautaman memerlukan waktu kurang lebih 7 bulan untuk membuat naskah oleh Sutradara. Waktu latihan dengan penari dan semua pendukung kurang lebih 3 sampai 2 bulan. Penerapan proses yang panjang dan membutuhkan waktu yang lama tentunya hanya bisa diikuti oleh pendukung yang mempunyai waktu. Proses latihan tersebut, tentunya akan membentuk suatu karakter yang kuat di dalam sebuah lakon dan tingkat kualitas pertunjukan akan semakin baik dan menarik. Selain itu tidak dapat dipungkiri, dibalik terwujudnya pertunjukan lakon Smaratapa didukung oleh orang orang yang ada di balik layar. Pendukung tersebut tak lain adalah produser Retno Irawati Surono, Sutradara Nanang Henri Priyanto, Achmad Dipoyono dan Wahyu Sapto Pamungkas sebagai koreografer, Blacius Subono sebagai penata gending, Sugeng Yeah sebagai penata artistik, penata kostum oleh Ali Marsudi dan Karawitan padepokan seni Nurroso. Lakon Smaratapa berhasil mencuri perhatian kalangan seniman muda maupun tua serta masyarakat umum. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya antusias penonton saat menyaksikan lakon Smaratapa di Gedung Teater Besar ISI Surakarta dan ditampilkan di tiga kota yakni

23 Surakarta, Surabaya, dan Jakarta. Selain itu, sisi yang menarik dari lakon Smaratapa terletak dari penerapan menuangkan kreativitas dalam visual panggung dan pencahayaan yang membuat penonton kagum sementara dan memberi applause atau tepuk tangan dengan teriakan kagum. Bisa disimpulkan, pertunjukan lakon Smaratapa dalam Wayang Orang Kautaman berhasil memberikan kejutan kejutan kecil dalam pertunjukan seperti dalam suasana tegang dihadirkan tingkah laku Anoman yang lucu dalam menggoda Indrajid, tingkah laku kera-kera kecil yang lucu dalam menari, dan perpindahan 3 setting tangga yang dapat berpindah tempat. Hal tersebut membuktikan harapan dalam memangkas jarak antara penonton dengan pertunjukan supaya penonton tidak bosan bisa dikatakan berhasil. Sebuah lakon di dalamnya terdapat aspek struktur untuk memperhitungkan kegiatan analisis dalam penelitian, termasuk lakon Smaratapa. Struktur dramatik lakon Wayang Orang pada dasarnya mengikuti struktur dramatik dari lakon Wayang Kulit. Bambang Suwarno menjelaskan bahwa struktur pertunjukan Wayang Kulit Purwa secara lengkap sesuai dengan tahapan pathetnya yaitu pathet nem melambangkan keagungan, pathet sanga lebih cakrak, dan pathet manyura menyelesaikan masalah. Sedangkan struktur dramatik Wayang Orang sekarang lebih ringkas tidak semalam suntuk, apalagi jika sudah masuk Wayang Orang

24 garapan akan beda lagi strukturnya (Bambang Suwarno, Wawancara 11 Juli 2019). Pendapat tersebut berkaitan dengan pengaturan waktu pertunjukan, semakin ke belakang durasi pertunjukan semakin pendek rata-rata 2 sampai 3 jam. Kaitannya dengan durasi, lakon Smaratapa juga diperpendek atau lebih ringkas pertunjukannya karena adanya pemadatan lakon. Struktur merupakan komponen paling utama dan merupakan prinsip kesatuan lakuan (unity of action) dalam drama. Sistematika pembicaraannya dilakukan dalam hubungannya dengan alur (plot) dan penokohan (karakterisasi). Louise G. Stevens yang dikutip oleh Soediro Satoto mengemukakan, bahwa. Selain unsur alur (plot) dan penokohan (perwatakan, karakterisasi), unsur latar (setting) adalah penting dalam drama (baca: lakon). Karena latar berpengaruh terhadap kejadian kejadian apa; dalam hal lain berpengaruh terhadap mood atau suasana lakon itu secara keseluruhan. Jadi yang dimadsud unsur unsur lakon ialah (1) tema dan amanat, (2) alur (plot), penokohan (karakterisasi) atau perwatakan, (4) latar setting (Soediro Satoto, 1985: 15). Dengan demikian, unsur unsur lakon Smaratapa jika diuraikan sesuai dengan pendapat Louise G. Stevens yaitu. 1. Tema dan Amanat Tema (theme) adalah gagasan, ide, atau pikiran utama di dalam sebuah karya sastra yang terungkap maupun tidak. Suatu tema bukan berarti pokok permasalahannya, melainkan lebih bersifat sentral (pokok) baik terungkap langsung maupun tidak. Penulis naskah lakon biasanya

25 mengkaitkan tema dengan persoalan kehidupan baik secara lahiriah maupun batiniah yakni pikiran (cita), perasaan (rasa), dan kehendak (karsa) (Louis G. Stevens dalam Soediro Satoto, 1985: 15). Tema dari lakon Smaratapa sendiri mengacu pada keseluruhan adegan di mana berawal dari cinta kemudian timbul menjadi pengorbanan atas dasar cinta. Dengan demikian lakon Smaratapa bisa dikatakan bertemakan pengorbanan atas dasar cinta. Adegan pertemuan tokoh Wibisana dengan kakaknya adalah yang menjadi dasar tema pengorbanan atas dasar cinta. Amanat (message) dalam lakon adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada publiknya. Jika tema merupakan ide sentral yang menjadi pokok persoalannya, maka amanat merupakan pemecahannya (Louis G. Stevens dalam Soediro Satoto, 1985: 16). Pesan yang ingin disampaikan adalah dalam kehidupan tidak cukup hanya dengan mengandalkan satu cinta. Cinta yang utama ditujukan kepada Yang Maha Esa. Selain itu, cinta mempunyai banyak keragaman dan konflik batin. Cinta tidak bisa dihukum dengan pemikiran cinta lawan jenis pada umumnya. Semua yang diperbuat, apa yang diinginkan, berdasarkan pada cinta dalam diri. Jangan sampai kehilangan cinta dalam jati diri karena untuk mengembalikan kepercayaan diri dan dimata orang lain harus harus ada pengorbanan. Intinya cinta memerlukan pengorbanan, begitu juga sebaliknya.

26 2. Penokohan Penokohan yang dimaksud adalah proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran atau watak dalam suatu pementasan lakon. Pembahasan mengenai penokohan tidak jauh dari kata casting, Harymawan dalam bukunya Dramaturgi menjelaskan casting adalah proses penentuan pemain (aktor/aktris) berdasarkan analisis naskah untuk dipertunjukkan (Harymawan, 1993: 67). Nanang Henri Priyanto menegaskan pemilihan penari tokoh lakon Smaratapa tidak dilihat dari bentuk fisik penari karena, setiap penari mempunyai tulang atau ruang tubuh yang berbedabeda. Capaian keaktoran lebih penting dari pada mempersoalkan gandar penari (Nanang Henri Priyanto, Wawancara 11 April 2019). Pemeran harus mampu menciptakan citra tokoh, untuk itu tokoh tokoh tersebut harus dihidupkan oleh pemain Wayang Orang. Dalam dunia Wayang Orang, penokohan diperankan oleh penari yang membawakan tokoh tokoh tertentu. Kesesuaian penari dalam karakter tokoh dipilih oleh Sutradara serta pemilihan penari oleh Koreografer Achamd Dipoyono. Setiap penari memiliki perannya masing masing sesuai dengan tema yang diusung yakni pengorbanan. Berkaitan dengan penokohan khususnya tokoh Wibisana, dipilih langsung oleh Sutradara yang menganggap Wasi Bantolo sesuai dengan tokoh Wibisana dalam Wayang Kulit. Selain tokoh Wibisana juga terdapat

27 tokoh tokoh pendukung lain dalam lakon Smaratapa. Tabel di bawah menunjukkan penari dengan tokoh yang diperankan beserta karakter tarinya untuk memudahkan dalam mengetahui karakter tari pada tokoh tokoh pewayangan. NO. NAMA PERAN KARAKTER TARI 1. Ali Marsudi Rama Wijaya Putra alus luruh/impur 2. Fitria Trisna Murti Sinta Putri luruh 3. Achmad Dipoyono Rahwana Putra gagah lanyap/bapang 4. Matheus Wasi Wibisana Putra alus lanyap Bantolo 5. Wahyu Santoso P Eyang Baruna Putra alus luruh 6. Fajar Prastiyani Sarpakenaka Putri lanyap 7. Sanggita Setyaji W Anoman wanara/kambeng 8. Oky Charismasari Trijata Putri lanyap 9. Yudi Bharata Indrajid Putra gagah lanyap/bapang 10. Margantoro Sugriwa Wanara/kambeng 11. Djoko Narjoto Kumbakarna Yaksa/Bapang 12. Triageng G. Murti Lesmana Putra alus luruh/impur 13. Wijanarko Lasya Patih Prahastha Yaksa/Bapang 14. Acmad Sofyan Syauri Anila Wanara/kambeng 15. Nandhang Wisnu Anggada Wanara/kambeng 16. Wahyu Sapto P Raksasa Yaksa/Bapang 17. Thimuteus Dewa D Raksasa Yaksa/Bapang 18. Iwan Mustofa Raksasa Yaksa/Bapang 19. Danar Hendratmoko Raksasa Yaksa/Bapang 20. Galuh Puspita Sari Bedhayan Raseksi Raseksi 21. Praja Dihasta K.P Bedhayan Raseksi Raseksi

28 22. Siska Hariyati Bedhayan Raseksi Raseksi 23. Dewi Mayasari Bedhayan Raseksi Raseksi 24. Sri Devi Dyah P Bedhayan Raseksi Raseksi 25. Yulia Astuti Bedhayan Raseksi Raseksi 26. Ayun Anindita Bedhayan Raseksi Raseksi 27. Sanggar Sarwi Retno Budoyo Penari Kera Kecil Wanara Tabel 1. Penari dan karakter tari dalam lakon Smaratapa. 3. Latar (Setting) Istilah latar atau setting dalam arti yang lengkap meliputi aspek ruang dan waktu terjadinya peristiwa. Latar (setting) berbeda dengan panggung (stage), panggung merupakan visualisasi dari setting. Setting mencakup tiga aspek yaitu (1) aspek ruang, (2) aspek waktu, dan (3) aspek suasana (Louis G. Stevens dalam Soediro Satoto, 1985: 26-29). Lakon Smaratapa mempunyai ketiga aspek tersebut dalam pertunjukan Wayang Orang Kautaman. Aspek ruang menggambarkan tempat kejadian, aspek waktu berhubungan dengan waktu dalam cerita lakon, aspek suasana lebih pada kondisi keadaan cerita. Aspek ruang yang akan dijabarkan melihat dari visual layar putih yang ada di panggung sebagai acuan. Aspek ruang, waktu, dan suasana dapat menghidupkan suatu lakon selain dari adanya pemain atau penari, bisa dikatakan merupakan pendukung tambahan dalam menghidupkan suatu lakon. Aspek tersebut secara terperinci dituliskan dalam tabel untuk mempermudah pembaca dalam menganalisa adalah sebagai berikut.

29 NO. ASPEK RUANG ASPEK WAKTU ASPEK SUASANA 1. Pancawati, digambarkan di Hutan 2. Candhakan 1, digambarkan di padang rumput dan perbukitan 3. Taman Soka, digambarkan pohon pohon dengan bangungan gapura 4. Candhakan 2, bangunan gapura 5. Candhakan 3, pohon dan matahari di padang rumput 6. Mangliawan, lautan 7. Tambak Gora, Lautan 8. Ngalengka, bangunan Kerajaan 9. Palagan, gurun yang luas dan tungku api Siang hari, dilihat dari warna langit di antara pepohonan yang rimbun Pagi hari, dilihat dari warna awan dan langit Malam hari Malam hari Senja Malam hari, malam terang bulan yang ditandai langit di atas laut gelap Siang hari, dilihat dari cahaya pada video mapping Siang hari Siang menjelang sore Tegang dan agung Suka cita Tegang dan tenang Tegang dan lucu Haru Agung dan haru Agung,tegang,haru, dan suka cita Tegang dan agung Tegang Tabel 2. Latar atau setting pertunjukan lakon Smaratapa. Suasana di atas merupakan suasana yang mendominani di setiap adegan, tidak menutup kemungkinan di sela sela suasana yang dominan

30 diselingi sedikit gurauan atau candaan yang dilakukan penari untuk membangun suasana. Suasana biasanya berkaitan dengan suasana gendhing yang dapat juga membangun kualitas suasana. Penerapan gendhing disesuaikan dengan pergantian suasana pada setiap adegan. Aspek waktu dilihat dari ruang imajiner yang ada dalam vidio mapping, untuk lebih jelas gambarnya bisa dilihat pada pembahasan alur di bawah. 4. Alur (plot) Riris K. Sarumpaet yang dikutip oleh Soediro Satoto menegaskan bahwa alur ialah rangkaian peristiwa yang dijalin berdasarkan hukum sebab akibat dan merupakan pola perkaitan peristiwa yang menggerakkan jalannya cerita ke arah pertikaian dan penyelesaian (1985: 16). Harymawan menegaskan bahwa konstruksi cerita drama terdapat naskah (script) dan lakon (play), naskah adalah bentuk atau rencana tertulis dari cerita drama, sedangkan lakon merupakan hasil perwujudan dari naskah yang dimainkan (Harymawan, 1993: 23). Mengacu pada pendapat Harymawan, untuk menganalisa alur perlu melihat naskah atau script dan wujud pertunjukannya supaya terjalin keselarasan antara naskah dan lakon yang dimainkan. Pada dasarnya, struktur alur lakon Smaratapa dalam penggarapannya tidak mempersoalkan aturan dalam struktur dramatiknya, karena semua dikembalikan kepada penonton. Penilaian letak puncak masalah atau konflik dikembalikan kepada penonton.

31 Namun dasar dari ide penggarapan lakon Smaratapa berada pada adegan pertemuan kakak beradik Wibisana dan Kumbakarna. Sebelum masuk pada alur cerita, pertunjukan diawali sambutan dari Retno Irawati Surono selaku produser Wayang Kautaman. Pertunjukan dibuka oleh Ira Surono dan gending pembuka oleh Karawitan Nurroso. Alur cerita dibagi menjadi beberapa urutan kejadian atau peristiwa yang dimulai dari prolog. Prolog merupakan suatu istilah yang terdapat dalam karya sastra yaitu kalimat pembuka dan bagian dari naskah yang ditulis pada awal cerita. Prolog Lakon Smaratapa sebagai berikut. Spot lampu tengah panggung, Rama lan Sinta mbeksa, suraosipun kadidene limrahipun temanten enggal, maksih sinau atut. Boten dangu spot lampu pecah dados kalih. Rama kasuk nengen Sinta kasuk ngiwa. (Spot lampu tengah, Rama dan Sinta menari, rasanya bagai pengantin baru, masih saling belajar memantaskan. Tidak lama spot lampu terbagi menjadi dua. Rama ke kanan dan Sinta ke kiri). Sareng lan gumantosing gending. Dasamuka dumadakan sampun krodha wonten spot lampu tengah. (Beramaan bergantiya musik iringan, tiba tiba Dasamuka telah tampil marah di spot lampu tengah). Rama Ical saking panggungan. Kados sinurung dening lampu, Sinta kasuk nyaketi Dasamuka, Dasamuka waringuten, anggayuh gayuh tuna, angranggeh ranggeh luput. (Rama hilang dari panggung. Seperti didorong oleh lampu, Sinta bergerak mendekati Dasamuka). Anoman tandhing kaliyan Anggada. Anggada kaseser, sareng lan gumantosing set, dados adegan Pancawati.

32 Gambar 1. Bagian adegan prolog Sinta dan Rama (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). Prolog di atas merupakan bagian dari pertunjukan yang divisualkan oleh Rama, Sinta dan Rahwana. Bagian prolog yang lain, ditampilkan dalam bentuk rangkaian kata kata pada video mapping atau teknik yang menggunakan proyeksi sehingga dapat menciptakan ilusi optis pada objek objek di panggung bagian belakang. Video mapping digunakan sebagai penunjuk title atau judul pertunjukan. Rangkaian kata katanya sebagai berikut. SMARATAPA Mari melantunkan kisah perburuan dan kehilangan itu Menarikannya diterang cahaya Lalu berpasang pasang mata berlaut laut rasa bersaksi atasmu Cerita yang kurang lebih sama nama nama yang berbeda Bila percaya hidup sudah bergelimang cinta Kau sebut apa yang kau buru yang kau rampas Yang coba kau rebut lagi tapi kau ragukan setelahnya itu Demi Cinta

33 Seluruh suka dukamu adalah tapa Tanpa Tepi Gambar 2. Title atau judul pertunjukan lakon Smaratapa dalam video mapping (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). Prolog di atas menjadi pembuka jalannya pertunjukan yang selanjutnya mengikuti alur cerita. Alur cerita berkaitan dengan urutan kejadian atau peristiwa, umumnya adalah peristiwa yang berlangsung di luar istana, di jalanan, dan di arena. Bisa disimpulkan bahwa alur cerita dapat ditandai pada suatu setting tempat. Alur cerita lakon Smaratapa digolongkan ke dalam 9 adegan yang ditandai dengan perubahan setting tempat, berikut adegan beserta deskripsinya. a. Pancawati Tokoh: Rama, Lesmana, Anoman, Anggada, Anila, Sugriwa, Pasukan kera kecil.

34 Isi Adegan: Pancawati divisualkan ke dalam tempat istana yang berada di tengah hutan, merupakan imajinasi dari Sutradara karena pasukan Pancawati adalah pasukan kera dan masuk akal jika banyak pepohonan. Properti panggung menggunakan bangunan menyerupai tangga yang berjumlah 3, yang 2 berada di kanan penonton untuk Rama dan satu di sebelah kiri penonton. Penggunaan tangga dapat menggambarkan tinggi rendahnya suatu jabatan, dalam adegan Pancawati Rama berada di atas tangga. Adegan Pancawati dimulai dari pertarungan antara Anggada dan Anoman yang memperebutkan sebagai utusan Rama, kemudian dipisahkan oleh Sugriwa dan Anila. Akhirnya Anoman terpilih sebagai utusan Rama untuk mencari hilangnya Sinta. Rama memerintahkan Anoman pergi ke Kerajaan Alengka dan tidak boleh kembali sebelum berhasil menemukan Sinta serta menitipkan cincin untuk ratu sesembahannya (Sinta). Peristiwa Pancawati diakhiri dengan Anoman pergi dan para kera meninggalkan panggung pertunjukan.

35 Gambar 3. Pertemuan Rama dengan pasukan kera di Pancawati untuk menentukan utusan Rama (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). b. Candhakan 1 Tokoh: Anoman, Anggada, Anila, Sugriwa, dan Prajurit Kera. Isi Adegan: Candhakan menurut Nanang Henri Priyanto merupakan adegan yang terdapat di sela sela adegan baku atau pokok. Setting tempat yang digunakan adalah padang rumput dan perbukitan. Peristiwa ini menceritakan kesiapan Anoman untuk berangkat ke Alengka disaksikan prajurit kera lainnya. Para kera saling menari sembari mengantarkan keberangkatan Anoman diakhiri dengan bubarnya para kera keluar panggung pertunjukan dan Anoman terbang ke Alengka. Anoman berdiri di salah satu tangga yang berpindah posisi mundur seakan terbang dengan visual tempat awan putih.

36 Gambar 4. Pasukan kera menari bersama mengantar kepergian Anoman ke Alengka (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). c. Taman Soka Tokoh: Sinta, Sarpakenaka, Trijata, dan Bedhayan Raseksi. Isi Adegan: Taman Soka merupakan nama taman yang ada di kerajaan Alengka. Setting panggung divisualkan pohon pohon dan bangunan menyerupai gapura. Adegan Taman Soka menceritakan Trijata yang menjaga dan melindungi Sinta dari Rahwana dan Sarpakenaka. Adegan dimulai dari kedatangan Sarpakenaka dan 7 Bedhayan Raseksi yang menggangu Sinta, namun dilindungi oleh Trijata. Kemudian menimbulkan perdebatan menggunakan Antawecana atau dialog dalam bahasa Jawa oleh Sarpakenaka dan Trijata. Antawecana berisikan percakapan Sarpakenaka yang mengingatkan Trijata untuk tidak terpesona akan kelembutan Sinta

37 dan berakhir menghilangkan kewaspadaan Trijata. Sarpakenaka juga mengingatkan Trijata, bahwa ia masih keturunan darah Raksasa. Trijata mulai menyadari jati dirinya, dan kegundahannya digambarkan dengan di kelilingi oleh 4 Raksasa dan Bedhayan Raseksi beserta Sarpakenaka. Kegundahan Trijata tetap berpihak pada kebenaran, kemudian Rahwana datang dan mengusir semua yang ada di Taman Soka kecuali Sinta. Peristiwa selanjutnya adalah dialog antara Rahwana dan Sinta. Dialog berisi Rahwana yang menganggap Sinta adalah Widowati yang sejatinya Sinta adalah anaknya. Rahwana tidak peduli dan tetap memaksakan cintanya pada Sinta namun Sinta tetap pada pendiriannya tidak menuruti angkara murkanya Rahwana. Pendirian Sinta mengakibatkan kemarahan Rahwana hingga mengunus atau mencabut kerisnya. Sinta mendekati Rahwana, namun Rahwana tidak bisa menyakiti Sinta dan pergi meninggalkannya. Trijata datang mendekati Sinta yang tidak lama kemudian Anoman datang di Taman Soka. Anoman memperkenalkan diri dan memberi hormat kepada Sinta. Kedatangan Anoman adalah sebagai utusan Rama untuk mencari dan memastikan keselamatan Sinta, dan memberikan cincin Dlimarekta. Sinta menerima cincin tersebut dan memberikan Cundrik kancing gelung untuk diberikan kepada Rama. Anoman menerima dan kemudian pamit dan mohon restu Sinta. Trijata mengantarkan

38 Sinta pergi, di akhir peristiwa Taman Soka Trijata berinteraksi dengan Anoman sebelum pergi menyusul Sinta. Gambar 5. Sinta, Trijata, Sarpakenaka, Bedhayan Raseksi di Taman Soka (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). d. Candhakan 2 Tokoh: Anoman, Indrajid, dan 4 Raksasa. Isi Adegan: Menggambarkan Anoman merusak Taman Soka yang divisualkan dalam video mapping bangunan gapura runtuh. Bermula dari Anoman yang merusak Taman Soka dan diketahui oleh para raksasa yang menjadikan peperangan. Para raksasa kalah, kemudian Indrajit datang menandingi Anoman. Indrajit berhasil menangkap Anoman dan membakarnya disaksikan para raksasa. Anoman tidak mati, lalu mengamuk membuat kerusuhan hingga membakar setengah kerajaan Alengka.

39 Gambar 6. Anoman melawan Indrajid di Alengka (Foto hasil screnshoot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman,2018). e. Candhakan 3 Tokoh: Kumbakarna dan Wibisana. Isi Adegan: Visual tempat adegan yang digunakan adalah pohon dan matahari di padang rumput yang luas. Visual tersebut menggambarkan tempat medan perang yang luas dan terang sebagai tempat perjanjian keduanya. Perjanjian antara kakak dan adik diawali dari pertemuan keduanya setelah Wibisana diusir dari Alengka. Keduanya berdialog mengenai keputusan Wibisana untuk membela kebenaran dan meninggalkan negaranya. Tekad kesetiaan keduanya dibuktikan dengan jalan yang berbeda, dimana Kumbakarna tetap membela negaranya dan Wibisana pada jalan yang telah dipilih meninggalkan negaranya demi kemakmuran

40 Kerajaan Alengka kelak. Adegan diakhiri dengan perpisahan kedua adik dan kakak. Gambar 7. Wibisana bertemu dengan Kumbakarna (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). f. Mangliawan Tokoh: Wibisana, Rama, Lesmana, Anggada, Sugriwa, Anoman. Isi Adegan: Mangliawan menurut imajinasi dari sutradara Nanang Henri Priyanto merupakan tempat atau gunung yang kaki gunungnya berbatasan dengan pantai. Adegan berawal ketika Rama yang menerima kancing gelung Sinta dari Anoman disaksikan para kera. Anoman menceritakan keadaan Sinta di Alengka, tidak lama kemudian Wibisana datang untuk menemui Rama. Wibisana memperkenalkan diri dan menjelaskan madsud kedatangannya

41 untuk mengabdikan dirinya pada Rama dan diterima oleh Rama. Oleh karena terhalang oleh Samudra untuk pergi ke Alengka, Wibisana membantu Rama dan memuja Tambak Gora untuk memudahkan datang ke Alengka dan niat baik dari Wibisana diterima oleh Rama. Gambar 8. Kedatangan Wibisana di Mangliawan (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). g. Tambak Gora Tokoh: Wibisana, Anoman, Anila, Sugriwa, Anggada, Rama, Eyang Baruna. Isi Adegan: Visual tempat yang digunakan menggambarkan laut yang akan dibuat tambak oleh Wibisana. Berawal dari Wibisana membangun tambak, dan diawasi oleh para kera. Tambak yang dibuat, dicoba dan dihancurkan oleh Anoman yang masih curiga

42 dengan Wibisana. Kemudian Rama datang dan Wibisana beserta para kera membubarkan diri keluar panggung pertunjukan. Rama berniat menguras laut yang menjadi penghalang untuk sampai ke Alengka, namun dihentikan oleh Eyang Baruna. Penggambaran adegan Eyang Baruna dan Rama divisualkan di dalam laut. Visual tempat dapat ditafsirkan sebagai, ketenangan hati Rama setelah dinasihati Eyang Baruna yang sebelumnya ingin menguras lautan dengan kesaktiaanya. Kemudian Lesmana datang untuk mendampingi Rama dan meninggalkan lautan. Peristiwa selanjutnya, para kera bekerja sama membangun kembali tambak yang runtuh yang divisualkan para kera kecil yang menari dalam membangun tambak. Setelah tambak selesai dibuat, Rama beserta pasukannya menyeberangi lautan melewati tambak menuju Kerajaan Alengka.

43 Gambar 9. Eyang Baruna menasihati Rama yang akan menguras lautan (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). h. Ngalengka Tokoh: Rahwana, Prahasta, Sarpakenaka, para Raksasa. Isi Adegan: Adegan menggunakan visual tempat yang digambarkan bangunan di Alengka. Adegan bermula dari berkumpulnya para raksasa Alengka yang digambarkan menggunakan dialog atau antawecana. Rahwana memerintahkan Prahasta dan Indrajid untuk menghabisi Rama dan pasukannya. Adegan diakhiri dari bubarnya para raksasa keluar panggung pertunjukan kecuali Rahwana yang menari sendirian sembari meninggalkan panggung. Gambar 10. Pertemuan para raksasa di Alengka (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018).

44 i. Palagan Tokoh: Rama, Sinta, Lesmana, Rahwana, Kumbakarna, Anoman, Anggada, Indrajid, Anila, Sugriwa, Sarpakenaka, pasukan Kera kecil, Raksasa dan Raseksi. Isi Adegan: Palagan merupakan setting tempat yang menggambarkan gurun yang luas, dapat ditafsirkan sebagai tempat untuk berperang. Berawal dari peperangan para kera pasukan Rama dan Raksasa Raseksi Alengka. Berlanjut Anggada melawan 4 raksasa yang membawa senjata. Anoman dan Anila membantu Anggada, Anila melawan Prahasta dan Anoman melawan Indrajid. Lesmana dikepung dan berperang melawan para raseksi dan Sarpakenaka. Sarpakena bernafsu menaklukkan Lesmana, namun gagal. Kemudian disusul Sugriwa dan pasukan kera kecil yang mengepung Kumbakarna, Sugriwa melawan Kumbakarna. Puncak dalam peristiwa palagan adalah bertemunya Rama dan Rahwana. Keduanya saling bertarung diiringi musik dan tanpa musik. Peperangan keduanya juga diiringi tembang Palaran Sinom Setangkep. Akhir cerita, keduanya berhenti berperang dan menyaksikan Sinta mendekati bara api.

45 Gambar 11. Peperangan pasukan Rama dan Rahwana di Alengka (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). Sembilan urutan peristiwa di atas dapat ditarik kesimpulan konflik utama atau puncak dari cerita yaitu adegan Kumbakarna bertemu dengan Wibisana pada adegan Mangliawan. Keduanya menjadi dasar dari bentuk cinta terhadap pengorbanan kepada negerinya dan kebajikan serta awal pertempuran di Alengka. Penarikan kesimpulan konflik cerita didasarkan pada pendapat Nanang, bahwa adegan tersebut mewakili gagasan dasar garapan atau pertunjukan. Semua dikembalikan dari bagaimana penonton merasakan konflik yang terjadi dalam cerita (Nanang Henri Priyanto, Wawancara, 6 Mei 2019). Selain itu penguat konflik dan tema yang tak lain adalah pengorbanan, mengacu pada cerita Wayang Kulit Wibisana yang bertapa dan meminta agar menjadi satria yang tahu kebenaran.

46 Untuk mencapai itu Wibisana harus mengorbankan kesetiaannya pada Negerinya Alengka.

47 BAB III BENTUK TOKOH WIBISANA DALAM LAKON SMARATAPA WAYANG ORANG KAUTAMAN Pembahasan bentuk tokoh Wibisana berkaitan dengan wujud dan bentuk penampilan hasil penggarapan tokoh Wibisana. Bentuk bisa diibaratkan sebagai wujud hasil akhir dari suatu karya yang divisualkan dan tertangkap oleh sensa indra manusia. Bentuk berupa kesatuan aspek koreografi atau komposisi tari. Bentuk tokoh Wibisana terdapat pada 3 setting tempat dengan pendukung lainnya. Penggarapan sajian tokoh Wibisana yang pertama adalah sajian yang utuh, artinya hanya terfokuskan pada tokoh Wibisana dan lebih banyak menggunakan antawecana yang mendukung gerak dan karakternya. Adegan selanjutnya tokoh Wibisana berinteraksi dengan tokoh lain dan digarap menggunakan tembang dan antawecana. Tokoh Wibisana juga menyajikan sajian ijen atau tunggal untuk memfokuskan penampilannya dalam adegan membuat tambak. Pembahasan bentuk tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa Wayang Orang Kautaman diuraikan dengan konsep dari Maryono pada tahun 2015 yaitu komponen verbal dan nonverbal. Uraian bentuk disesuaikan dengan bentuk pertunjukan secara utuh yang merupakan

48 Wayang Orang dimana di dalamnya tidak sebatas gerak yang disajikan melainkan terdapat pula ujaran kata kata di dalamnya. A. Komponen Nonverbal Komponen Nonverbal merupakan jenis komponen atau unsur yang berbentuk nonkebahasaan. Bentuk nonverbal dalam tari bisa ditangkap oleh indra manusia, maka tidak heran unsur unsurnya merupakan sebuah wujud yang nyata. Unsur tersebut yaitu tema, alur cerita atau alur dramatik, gerak, penari, pola lantai, ekspresi wajah/polatan, rias, busana, musik, panggung, properti, pencahayaan, setting. Adapun bentuk tokoh Wibisana dalam konteks komponen noverbal sebagai berikut. 1. Penari Penari merupakan seseorang yang menyajikan sebuah keindahan gerak tubuhnya dengan melibatkan daya tafsir dari ide estetik pada sebuah koreografi maupun imajinya. Oleh sebab itu dalam membangun karakter tokoh Wibisana, gerak penari dan daya tafsir menjadi nilai utama untuk menghidupkan karakter tokoh melalui medium gerak. Daya Tafsir diperlukan untuk mengetahui batasan batasan dalam gerak dan kreativitas penari dalam menghidupkan dan membangun karakter tokoh. Seorang penari khususnya tokoh Wibisana juga harus memiliki kemampuan daya tafsir dalam menyampaikan karakter tokoh Wibisana.

49 Sehubungan dengan kemampuan penari, khususnya penari Wayang Orang, Wahyu Santoso Prabowo berpendapat, seorang penari Wayang Orang harus menguasai 3 unsur menjadi penari Wayang Orang yaitu (1) Tembang, (2) Tandang, (3) Tembung (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara, 7 Mei 2019). Selain itu Wasi Bantolo juga menambahkan hal yang sama mengenai konteks kemampuan seorang pemain Wayang Orang yaitu (1) Tembang atau menguasai vokalnya, (2) Tandang atau menguasai solah geraknya, (3) Tembung atau menguasai dialognya, (4) Gendhing dalam artian penari mampu menguasai gending yang nantinya berhubungan dengan gerak, dan (5) Cerita artinya bagaimana seorang penari memahami isi cerita (Matheus Wasi Bantolo, Wawancara, 2 April 2019). Berdasarkan pendapat keduanya dapat disimpulkan, seorang pemain Wayang Orang harus memiliki dan menguasai ke lima unsur tersebut yang berkaitan dengan Wayang Orang Tokoh Wibisana diperankan oleh Matheus Wasi Bantolo, lahir di Surakarta pada tanggal 21 September 1974 dan merupakan dosen di ISI Surakarta. Lahir dari pasangan Almarhum F.X Subanto dan Lusia Siti Aminah Subanto, Ayahnya merupakan seorang komposer, pengendhang tari dan dalang. Ibunya juga merupakan seorang dalang, penulis naskah dan sutradara sandiwara radio. Wasi belajar musik dari Almarhum Ayahnya dan pertama kali belajar menari dengan Joko Hariyanto, Sulistyo

50 Tirto Kusumo, Wahyu Santoso Prabowo, S.Maridi, dan beberapa empu tari lainnya. Wasi menempuh pendidikan formal TK (taman kanak-kanak) di Madrasah Ibtidaiyah Klaten pada 1979-1980, SD (sekolah dasar) di Madrasah Sanawiyah dan Pangudi Luhur pada 1981-1986, SMP (sekolah menengah pertama di Bintang Laut Surakarta pada 1987-1989, SMKI (sekolah menengah karawitan Indonesia) pada 1990-1993, kuliah di STSI Surakarta dan Pascasarjana STSI Surakarta. Sejak permulaan tahun 1990, telah banyak menyusun koreografi dan melakukan beberapa workshop seni serta melakukan pertunjukan di negara lain seperti Belanda, Belgia, Jepang, Philipina, Thailand, dan Jerman. Pada tahun 2003 sampai 2005 mengajar sebagai Visiting Profecor di University of Michigan dan University of Wisconsin di USA serta melakukan pertunjukan di beberapa perguruan tinggi di USA seperti di UC Berkeley, University of Wisconsin, Oberlin, Earlham, Brown University, Wesleyan University, Washington DC. Salah satu karya Wasi berkolaborasi dengan pakar batik Iwan Tirta dengan judul Tandhing Gendhing (a Batle of Wits). Beberapa karya Wasi yang sudah ditampilkan di luar maupun dalam negeri seperti Secred Sounds (2003), Gengs of Truth (2004), Lirical Tension (2005), Panji Kayungyun (2009), Bedhaya Sekar Kasetyan dan Boma (2010), Opera Panji (2009), sebagai pembicara seminar dan koreografer pada Inao

51 (PANJI) The Literatur of Southeast Asia at Surattani Rajabath University Thailand (2011), The Director of Indonesian Group for The Internasional Ramayana Festival in Bangkok Thailand (2011), Kayungyung The Topeng Opera (2012). Pada tahun 2014 ia sebagai sutradara dan penulis skenario pertunjukan Pulung Gelung Drupadi bersama Rahayu Supanggah sebagai Director dan komposer, dan membuat sebuah karya berjudul Amartya bersama Rahayu Supanggah di Institut Seni Indonesia Surakarta pada Oktober 2014, sebagai koreografer pada International Hokuthopia Festival in Tokyo Japan pada November 2014, koreografer dalam karya Abathi di Candi Boko (2015). Wasi Bantolo mampu menyampaikan sajian tokoh Wibisana, dan menguasai kelima unsur yang harus dimiliki penari Wayang Orang. Kualitas Wasi tidak diragukan lagi mengingat ia juga menerima beberapa penghargaan yang salah satunya adalah sebagai pemain pria terbaik pada Festival Wayang Tingkat Nasional tahun 1993 sebagai pemeran Karno yang mempunyai karakter alus lanyap. Selain itu dalam pertunjukan Wayang Orang, tentunya juga terdapat penari dengan tokoh yang berbeda beda yang saling berkaitan satu sama lain. Pertunjukan adegan tokoh Wibisana, juga didukung oleh penari tokoh seperti, Kumbakarna, Rama, Lesmana, Sugriwa, Subali, Anila, Anoman, Anggada dan pasukan kera kecil yang berinteraksi dengan tokoh Wibisana.

52 Gambar 12. Pemeran Tokoh Wibisana, Matheus Wasi Bantolo dalam lakon Smaratapa (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). 2. Tata Rias Tata rias menurut Maryono, diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu (1) rias formal, (2) rias informal, dan (3) rias peran. Dalam seni pertunjukan, rias tidak sekedar untuk mempercantik dan memperindah diri tetapi merupakan kebutuhan ekspresi peran sehingga bentuknya sangat beragam tergantung peran yang dikehendaki (2015: 61-62). Berkaitan dengan klasifikasi tata rias tersebut, penggunaan tata rias dalam Wayang Orang khususnya tokoh Wibisana, termasuk ke dalam tata rias peran sebagai tuntutan ekspresi peran. Pada intinya tata rias peran berfungsi untuk mengenali suatu tokoh dan dikonsentrasikan untuk penjiwaan figur atau tokoh supaya penampilannya ekspresif dan berkarakter. Apabila dibandingkan dengan tata rias pada Wayang Kulit,

53 riasan pada Wayang Orang tokoh Wibisana lebih sederhana. Ada tujuh tipe tata rias Wayang Orang yaitu (1) tipe wanita rendah hati, (2) tipe wanita yang dinamis atau agresif, (3) tipe putra halus yang rendah hati, (4) tipe putra halus dan dinamis atau agresif, (5) tipe putra gagah yang rendah hati, (6) tipe putra gagah yang dinamis atau agresif, (7) tipe punakawan atau abdi penasehat, raksasa dan kera menggunakan topeng (Soedarsono, 1997: 313) Tokoh Wibisana jika dilihat dari visual bentuk tata rias wajah termasuk dalam tipe putra halus dinamis atau agresif. Tata rias yang digunakan antara lain (1) Sogokan artinya tiruan atau penebalan dari anak rambut (sinom) yang tumbuh di bagian pelipis yang disambung dengan Godeg yang berbentuk menyerupai kuncup bunga turi, (2) penggunaan eyeshadow, lipstik atau pewarna bibir, dan blus on untuk perona pipi, (3) Laler Menclok diantara kedua alis, (4) alis berwarna hitam dan runcing di bagian ujungnya, (5) tidak menggunakan kumis. Ciri khas pada rias wajah karakter alus lanyap terletak pada ujung sogokan, godeg dan alis yang meruncing. Jika dibandingkan dengan bentuk rias wajah pada Wayang Kulit, riasan pada Wayang Orang lebih sederhana. Bentuk tata rias pada wayang kulit tokoh Wibisana yaitu (1) hidung wali miring besar, (2) mata liyepan atau gabahan (mata setengah tertutup), (3) suluhan atau ekor mata suluhan blarak ngirit, (4) mulut terkatup dengan keketan atau salitan, (5) bathukan lugas atau dahi, (6) pipi kepu atau pipi yang lebar.

54 Gambar 13. Visual tata rias Wayang Orang Tokoh Wibisana (Foto dokumentasi milik Matheus Wasi Bantolo, 2018). 3. Tata Busana Pada prinsipnya bentuk tata busana dalam pertunjukan Wayang Orang dapat mengarahkan penonton pada pemahaman beragam jenis peran atau figur tokoh. Soedarsono dalam bukunya Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta, menjelaskan bahwa para penonton biasanya dalam sebuah pertunjukan Wayang Orang pertama kali yang dilihat dan terkesan adalah pada tata busananya. Tata busana menjadi sarana identitas visual sendiri seperti yang ada pada Wayang Kulit. Jika dibandingkan tata busana yang dipakai dalam Wayang Kulit dan Wayang Orang maka, tidak semua komponen yang ada dalam Wayang kulit sama dengan Wayang Orang. Persamaan tata busana terlihat dari penutup kepala, bagian dari tata rias dan atribut atau simbol

55 karakter karakter dalam Wayang Kulit. Perbedaannya terletak pada tata busana bagian bawah, kesimpulannya secara garis besar adalah tata busana Wayang Orang lebih sederhana dari boneka Wayang Kulit (Soedarsono, 1997: 290). Wayang Orang merupakan personifikasi dari Wayang Kulit namun, juga terdapat persamaan dan perbedaan tata busana yang dipakai tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa. Tata busana Wayang Kulit menjadi dasar panutan tata busana pada Wayang Orang, ada sedikit perbedaan mengikuti perkembangan tata busana. Penulis mengkomperasikan tata busana tokoh Wibisana dalam Wayang Kulit dan Wayang Orang untuk mengetahui letak persamaan dan perbedaannya. Penulis mencantumkan gambar boneka Wayang Kulit yang digunakan disesuaikan dengan boneka Wayang Orang yang berparas tampan untuk memudahkan mengetahui detail tata busana sebagai berikut.

56 8 4 2 1 3 5 7 6 17 9 10 14 11 13 15 16 18 12 8 Gambar 14. Visual Wayang Kulit tokoh Wibisana (Foto: Dwi Ariyani, 2019) Busana tokoh Wibisana dalam Wayang Kulit di antaranya (1) Gelung Supit Urang, (2) Garudha Mungkur dengan utah utahan (nama bagian grudha/hiasan berbentuk seperti garuda berdiri sebagai lidahnya) Karawistha cekak, (3) Jamang Sungsun Tiga, (4) Dawala atau tali jamang, (5) Sumping Surengpati (perhiasan pada telinga bagaian atas untuk prajurit pemberani), (6) Sengkang atau Subang Sekar Sruni (anting anting), (7) Kalung Ulur (kalung panjang) Naga Karangrang, (8) Praba Anakan, (9) Sampur Sebe, (10) Kelat Bahu (gelang lengan) Nagamangsa (biasanya dipakai Raja, Pangeran dan para putri), (11) Kana Rangkep Calumpringan atau

57 gelang, (12) Sesupe Gunung Sepikul atau cincin, (13) Badhong (hiasan di bawah perut), (14) Uncal Wastra atau ujung dari bagian dodot sebagai pengikat dan Uncal Kencana kain kecil yang menjuntai ke bawah dari pinggang, (15) Kampuh (kain lebar) Kuncah, (16) Celana (panjang), (17) Duwung Kepuhan, (18) Kroncong Dapur atau gelang kaki. Gambar 15. Jarik parang atau kain diwiron (lipitan) yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019)

58 Gambar 16. Jarik parang atau kain parang (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019) Gambar 17. Celana bludru yang digunakan tokoh Wibisana (Foto:Koleksi Dwi Ariyani. 2018)

59 Gambar 18. Stagen polos dan sabuk cinde yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019) Gambar 19. Sampur gendologiri warna orange dan biru yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019)

60 Gambar 20. Boro yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019) Gambar 21. Samir yang digunaka tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019)

61 Gambar 22. Praba yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019) Gambar 23. Slempang panjang yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019)

62 Gambar 24. Sabuk atau Epek yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019) Gambar 25. Timang yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019)

63 Gambar 26. Keris yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019) Gambar 27. Irah irahan gelung supit urang (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019)

64 Gambar 28. Sepasang sumping yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019) Gambar 29. Kalung penanggalan yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019)

65 Gambar 30. Kalung ulur atau panjang yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019) Gambar 31. Klat bahu yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019)

66 Gambar 32. Gelang tangan yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019) Gambar 33. Binggel atau gelang kaki yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019)

67 Gambar 34. Uncal kencana yang digunakan tokoh Wibisana (Foto: Koleksi Dwi Ariyani. 2019) Seperti yang diungkapkan oleh Soedarsono menjelaskan bahwa perbedaan tata busana Wayang Kulit dan Wayang Orang terletak pada bagian bawah (1997: 290). Busana bagian bawah Wayang Kulit tokoh Wibisana dengan Wayang Orang berbeda. Perbedaan terletak pada jenis penggunaan kain atau jarik, Wayang Kulit menggunakan rapek dan Wayang Orang tokoh Wibisana menggunakan wiron atau lipitan. Celana yang digambarkan dalam Wayang Kulit berukuran panjang dan yang digunakan tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa hanya sebatas lutut. Selain itu tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa tidak menggunakan anting anting atau suweng. Bagian busana yang tidak ada dalam Wayang Kulit atau jarang, yang menjadi sangat penting bagi para penari Wayang Orang seperti penambahan sonder atau sampur (selendang panjang) serta

68 wangkingan atau keris dengan untaian bunga melati. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwasannya busana Wayang Orang khususnya Wibisana lebih sederhana dari tata busana boneka Wayang Kulit. 4. Properti Properti merupakan alat alat yang digunakan sebagai peraga penari yang sifatnya tentatif. Menurut Maryono masing masing tari memiliki gaya dan model berekpresi yang berbeda beda. Sifatnya yang tentatif atau tidak pasti, mengakibatkan keberadaan properti tari tidak selalu terdapat dalam pertunjukan tari. Jenis properti yang lazim digunakan yaitu cundrik, keris, condroso, pedang, watang, lawung, tombak dan lain sebagainya. Kehadiran properti tari memiliki peranan sebagai (1) senjata, (2) sarana berekspresi, (3) sarana simbolik (2015:67-69). Sajian tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa tidak menggunakan properti seperti tari pada umumnya. Penunjang gerak tokoh Wibisana menggunakan sampur gendolo giri, kain dodot dan keris. Tidak seperti tari Tandingan Alus yang menggunakan properti keris untuk berperang, penggunaan keris oleh sajian tokoh Wibisana lebih digunakan secara simbolik dalam gerak adegan membuat tambak dengan kesaktiannya. Selain itu sampur secara simbolik juga dijadikan sebagai sarana dalam membuat Tambak dengan kesaktiannya. Sampur dan keris dapat juga disebut sebagai kostum atau tata busana dan properti sebagai pendukung.

69 5. Panggung Maryono dalam bukunya Analisa Tari, membagi bentuk panggung menjadi 3 yaitu (1) prosenium (untuk dramatari, tarian kelompok, tarian pasangan, dan tarian tunggal); (2) pendapa (dramatari, tarian kelompok, tarian pasangan, tarian tunggal); (c) tabang atau panggung keliling (tarian kelompok, tarian pasangan, tarian tunggal) (Maryono, 2015: 67) Jika dilihat dari bentuk pangung pertunjukan lakon Smaratapa khususnya penampilan tokoh Wibisana, termasuk ke dalam bentuk panggung procenium. Jenis panggung yang digunakan pertunjukan tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa tepatnya di Teater Besar ISI Surakarta. Procenium merupakan ruang atau panggung yang dapat dijumpai pada bentuk bangunan tertutup. Penonton dapat melihat pertunjukan dari satu arah pandang, karena bangunan samping kanan dan samping kiri adalah beton atau tertutup. Penataan bentuk panggung prosenium ditambahkan 6 layar putih di samping kanan, kiri dua buah, belakang dan atas. Penggunaan layar putih berfungsi untuk vidio mapping sebagai ilustrasi gambar dan latar tempat. Dapat dilihat sebagai penonton, bagian samping kanan dan kiri merupakan tempat keluar dan masuknya penari Wayang Orang. Tokoh Wibisana menggunakan bagian samping kiri penonton untuk masuk dan samping kanan untuk keluar panggung. Berkaitan dengan masuknya

70 tokoh Wibisana pada bagian kiri, memungkinkan seperti posisi simpingan Boneka Wayang Kulitnya berada pada posisi kiri Dalang. Bagian tengah atau area di depan panggung digunakan sebagai tempat pemusik atau karawitan, penempatan ini memudahkan para Niyaga atau pengrawit untuk menyesuaikan jalannya pertunjukan dengan kesesuaian musiknya. Jika dilihat dari bentuk panggungnya, blocking atau penempatan pemain di panggung. Tokoh Wibisana pada adegan Candhakan 3 penempatan posisinya berada pada panggung bagian kiri depan dan kanan depan, sesekali tokoh Wibisana berada di tengah saat berinteraksi dengan Kumbakarna. Pada penampilan tokoh Wibisana di adegan Mangliawan, berada pada panggung tengah bagian kiri penonton dan untuk penampilah tunggal berada pada posisi tengah atau center yang berlanjut ke adegan Tambak Gora. Penempatan Tokoh Wibisana selanjutnya bergeser ke panggung kiri penonton disebakan kedatangan para kera dari arah panggung kanan penonton. Secara garis besar penempatan tokoh Wibisana berada pada panggung kiri penonton, kanan penonton dan center. Kelebihan dari bentuk panggung prosenium adalah jarak yang cukup antara penonton dengan pemain seni pertunjukan, sehingga keamanan, kenyamanan relatif mudah dapat diusahakan. Selain itu kelebihan lainnya adalah tersedianya tempat duduk untuk penonton dan panggung dapat didekorasi sesuai dengan kebutuhan panggung.

71 Gambar 35. Disain panggung tampak depan penonton (Oleh Dwi Ariyani, 2019) 6. Setting Setting merupakan bagian dari panggung atau bisa disebut bentuk artistik dalam panggung. Sugeng Yeah adalah orang yang berperan dalam penataan artistik panggung. Untuk menata panggung yang memiliki kualitas pertunjukan yang layak dan menarik perlu memperhitungkan dari segi artistik panggung. Bentuk artistik panggung yang baik adalah memenuhi syarat syarat diantaranya memberikan ilustrasi tema pertunjukan, ilustrasi setiap adegan pertunjukan, dan memberikan ekspresi pertunjukan. Bentuk panggung untuk pertunjukan tari terutama garapan dramatari lebih tepat menggunakan setting yang dapat memberikan ekspresi pertunjukan. Setting untuk dramatari biasanya ditata sederhana dan tidak banyak ornamen untuk mencerminkan latar kondisi tema. Berpijak dari uraian di atas, setting untuk pertunjukan tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa, terlihat sederhana dan tidak banyak

72 ornamen. Achmad Dipoyono selaku koreografer berpendapat bahwa artistik yang digunakan berupa bentuk 3 buah tangga yang dapat berpindah tempat sesuai posisi dan urutan pertunjukan. Bentuk tangga tersebut dapat memberi makna yang dapat diartikan sebagai bentuk tambak, jalan, kedudukan jabatan tokoh atau strata dan level (Wawancara, 9 April 2019). Berikut adalah foto bentuk artistik panggung dan penempatannya yang dihadirkan untuk sajian tokoh Wibisana. Gambar 36. Bentuk setting panggung adegan Candhakan 3, tokoh Wibisana bersama Kumbakarna (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018).

73 Gambar 37. Bentuk setting panggung adegan Mangleawan, tokoh Wibisana menemui Rama (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). Gambar 38. Bentuk setting panggung adegan Tambak Gora, tokoh Wibisana membangun Tambak (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018).

74 Gambar 39. Di belakang tokoh Wibisana merupakan setting bangunan Tambak Gora yang dibuatnya (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). Gambar 40. Bentuk setting tambak yang dihancurkan Anoman (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018).

75 Gambar 41. Bangunan tambak setelah diperbaik (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). Perubahan pada bentuk panggung difokuskan pada perubahan posisi tiga tangga yang dapat berpindah pindah. Keunikan dari tiga tangga yang dapat berpindah ternyata terdapat orang di dalamnya yang menggerakkannya. Artistik lainnya yang tak kalah menarik, hadirnya visual ilustrasi gambar pada layar layar putih yang mendukung kejelasan pertunjukan. 7. Pencahayaan Pencahayaan atau lighting dapat memperkuat suasana adegan dan menghidupkan karakter penari khususnya dalam adegan tokoh Wibisana. Sistem pencahayaan yang baik akan memberikan kontribusi terhadap penampilan penari dengan mempertimbangkan warna busana tari agar tidak kehilangan kekuatan ekspresi gerak penari. Sistem pencahayaan

76 adegan Candhakan 3 tokoh Wibisana dan Kumbakarna, tidak banyak menggunakan pencahayaan. Visual pencahayaan berwarna biru tua pada tiap sudut dan didukung pencahayaan dari ilustrasi gambar tempat adegan yaitu matahari pada waktu senja. Ilustrasi gambar tersebut dapat menambah kontribusi menghidupkan suasana pada adegan. Sistem pencahayaan selanjutnya terdapat pada adegan Mangleawan. Perpaduan antara warna biru dan putih membuat penglihatan pada pertunjukan terlihat bersih, sehingga penonton tidak kehilangan fokus pada pertunjukan. Perubahan pencahayaan terjadi pada adegan tokoh Wibisana membangun tambak, dengan pencahayaan putih dan biru. Posisi tokoh Wibisana berada pada central stage atau tengah panggung yang di kelilingi cahaya putih dan cahaya biru di belakang lingkaran putih. Penggunaan cahaya biru di layar belakang mendukung ilustrasi gambar ombak laut mengajak penonton untuk berimajinasi. Ilustrasi gambar laut berpindah ke layar bagian atas dengan perpaduan warna putih dan biru seakan akan berada di dalam lautan. 8. Musik Musik atau karawitan tari dalam lingkup seni pertunjukan tari merupakan sarana pelengkap adanya suatu pertunjukan. Sutarno Haryono dalam Pengetahuan Tari mengutip pendapat dari Rustopo yang berpendapat karawitan sebagai iringan tari Jawa merupakan medium bantu yang penting. Kekuatan ekspresi tari Jawa banyak dibantu,

77 bahkan diganti oleh kekuatan karawitan tari yang terpadu dari unsur unsur melodi dalam tempo, ritme/irama, dan volume yang khas (2017: 69). Di dalam dunia karawitan terdapat istilah gendhing menurut Martapengrawit menyebutkan bahwa gending sebagai susunan nada yang telah memiliki bentuk (Martapengrawit dalam Rahayu Supanggah, 2007: 70). Istilah gending digunakan untuk memberi nama lagu lagu yang disajikan oleh Gamelan baik secara instrumental maupun dengan vokal, dan di dalam gending inilah konsep pathet beroperasi. Gending juga berkaitan dengan macam macam karakter, Rahayu Supanggah dalam bukunya Bothekan Karawitan II: Garap, menjelaskan dalam tradisi karawitan Jawa karakter tersebut disebut dengan rasa. Ada gending regu (wibawa), tlutur (sedih), sigrak (gembira), gecul (lucu), prenes (asmara), gobyog (hidup ramai dan segar menghibur), sereng (marah), dan sebagainya. Gending Laler Mengeng, Ladrang Tlutur, Ayak ayakkan Tlutur adalah contoh gending yang di cap memiliki rasa sedih atau susah. Tidak menutup kemungkinan bahwa karakter karakter tersebut dapat berganti ketika sebuah gending digarap oleh seorang atau sekelompok tertentu (Rahayu Supanggah, 2007: 90). Instrumen musik yang digarap menggunakan Gamelan Jawa laras pelog dan slendro dengan penata gending Blacius Subono. Dari ulasan di atas, gending yang digunakan dalam pertunjukan tokoh Wibisana juga

78 berpengaruh dalam membangun pembawaan karakter tokoh wibisana. Gending yang digunakan adalah Obong obong, Isen isen tembang K/W (Kumbakarna/Wibisana) Pelog, Srepeg, Sampak Mlaku, Ladrang Tanggung, Pathetan, Lancaran Pelog, Palaran, Lancaran Budal Mangleawan, Srepeg Ngetap, Boyongan, Lancaran Anoman, Gantungan Lumintu dan lain sebagainya. Selain gending tersebut juga terdapat gending lain, namun ditujukan untuk tokoh lain mengingat dalam sajiannya juga terdapat tokoh lain. Adapun notasi gending yang digunakan untuk mendukung sajian tokoh Wibisana yaitu: Obong-obong (2/ 6) SL np.pnpypn.pn2 pnp.pnypn.pn2 pnynpynp1np1 pn2pn2pn3pn3 np5np6pn3 pn2pn1pny pnypnypn3 pn6pn1n g2 PL np3pn.pn3pn6 pn2pn3pn5pn6 np3pn3pn5pn5 pn6pn6pn7pn7 (Wibisana memasuki panggung) np5np6np7 pn6pn5pn3 pn3np3np7 pn3pn5ng6 Isen-isen Tembang K W Pelog g5 (Wibisana bertemu Kumbakarna) jz4x3x4x5xj.c4 zj.x4x5xjx3x2c1 zj1x7xjx.x1x7c1 zj7x1xjx.x1x7c1 zj.x1x1xjx.x2c2 zj.x2xjx3x3xjx2x3c4 zj.x4x4x4xjx.c4 zj.x5x6x4c5 zj.x1x3xjx.x3c1 zj.x1x6xj5x6c4 zj4x5xjx.x5x4c5 zj4x5xjx.x5x4c5

79 Suwuk (Bagian Antawecana).15n. p5n1p5n. p5n1p2n3 p.n2p.ng1 md j21j.121 j21j.121 j.111j.1 j.123g5 Srepeg g1 (Antawecana) n2np1n2j1pn3 nj.1np2n1pn6 n5np6n5j6pn6 nj.1npj65j.n4sgn4 j.n4j3nkj32nj34n4 j3n2n1n7n6 n5n4n3j4n5.nj1kj.n1j.n1ng1 Sampak Mlaku g1 np3pnp1pn3pn1 pn3pn1pn7gn6 pnp7np6pn7pn6 pn7pn6pn5pn4 (Meninggalkan Kumbakarna) np5np4np5np4 pn5pn4pn3ng4 np5np.np.pn1 j.pn1pn.pn1ng1 MANGLÉAWAN Lancaran Pélog (Wibisana Memasuki panggung).3.n1.p3.n1 1p.1n3.p1.ng6.2.n6.p2.n6 6p.5n4.p2.ng4.1.n2.p4.n5.p6.n4.p2.ng1 Palaran 256g1 Sinom < Lanc. 36 (Tembangan Rama dan Wibisana) Lanc. Budal Mangléawan g5..5n6 j56p76n5.p.6n5 2p35ng6.7.n2 3p27n6 5p.j56n7 6p56ng3 (Wibisana diizinkan membangun 21.n1 j16p32n1 1p.1n6 1p31ng2 tambak)

80 356n3 6p53n2 2p.2n2 3p76ng5 Srepeg Ngetap g5 np7pnp5pn7pn5 pn2pnp4pn3gn2 pn4np2np4np2 pn4pn3pn2ng7 np6pn5pnp3pn2 pn5pn3 pn2np7np5pn6 pn5pn2pn3ng5 (Semua pendukung meninggalkan Wibisana) (Vokal Sindhenan dan Gerongan) Boyongan g3.7.n6.p7.n5.p7.n6.p5.ng3 (Wibisana membuat tambak) (Vokal Sindhenan dan Gerongan) Lancaran Anoman g3 (Para kera menemui Wibisana).33n. 2p2.n4 4p.3n4.p6.ng7.77n. 5p5.n2 2p.3n4.p2.ng3 Nibani 232n4 3p46ng7 675n2 3p42ng3 Gantungan Lumintu g7 3567 3567 3333 7777 (Tambak dihancurkan Anoman) 5671 5671 4444 111g1 765 654 543 222 222 j22j.3j56g7 TAMBAK Lancaran gy Sléndro 5/4an

81 y12n63 5p321ny 3p636n! 6p523nG5 656n32 1p12yn3 2p352n6 5p321ngy Pélog 3/4an 35n6 43p7 17n6 p54ng3 33n1 22p6 55n2 p31ngy 2x Srepeg Sléndro n.np1n3np. n2np5n.pn3 n6pn.n5pn2 n.pn1n.ngy n.np3n!pn. n6pn3n.np5 n6pn.n5pn3 n.np6n.ng2 n.np.n1pn3 j.n3pn1n3pn. j1n1np1n1pn1 n2pn2nyng3 n.np.n3pn1 j.n1pn3n1pn. j2n2np2n2pn2 nypn1n2ng3 <j3n3np3n3pn3 n3pn2n5pn3 j.n2pjn3n5pn6 j.n2j35j pn62j3n5pn6 j.n6jnp!n6pn! j.n!pjn6n!pn6 j.n6j5np6j5n5j36g n2 j.n2np.n2pn2 n2pn1n3ng2 j.n1j2pn3j5n6pn! j.n1j2np3j5n6pn! j.n6j!np6j5n2pn3 j.n6j!pn6j5n2ng3 j3n3np3n3pn3 n3pn2n5pn3 j.n2j3np5n6 j.n2j3pn5j6n2j35pn6 j.n6j!pn6n! j.n!jpn6!n6 j.n6j5np6j5n5j3n6ng2 j.n2pn.n2pn2 n2np1n3ng2 n.np.n1npy n1pnyn1pny < n.np.n.pn3 j.n5pn.n6ng! 6!6p! 6p52ng3 1n31p3 5p12ng3 Dhangdutan

82 123p5 6p25ng3 2n35p6 5p12gn3 Sampak Mlaku np1np3np1pn3 pnp1np3np1np3 np2pnp2pnp1pn1 npypnpypn3pn3 np.np.j3pn5np6 pnp5np3np6pn2 n1n2pn3 n2n3pn5 n3n2pn3 n5n6pn6 (Menyeberang tambak) np.pn.pn.pn! pnp.np.pn.pn3 np6np.pn5pn5 pnp3pn3pn6ngj2y np.np.pn.pn! pn3pn.pn.pn6 pn.pn5pn.pn1 pn.pn2pn.ng3 9. Ekspresi Wajah / Polatan Ekspresi wajah atau polatan merupakan perubahan kondisi visual raut wajah seseorang. Ekspresi wajah merupakan sarana untuk mendapatkan pemahaman dan gambaran kondisi psikologis seseorang (Maryono, 2015: 60). Kondisi raut wajah terdiri dari marah, sedih, gembira, galau, kasmaran dan sebagainya. Berdasarkan ekspresi wajah penari akan tampak dan tercermin suasana yang sedang dialami peran atau tokoh. Tidak mudah dalam menangkap ekspresi wajah penari khususnya tokoh Wibisana, maka dari itu sebagai pengamat perlu mengaitkan pola gerak untuk memahami ekspresi wajah atau polatan tokoh Wibisana. Ekspresi wajah tokoh Wibisana ketika memasuki panggung terlihat memandang jauh, jika dilihat dari gerak kakinya yang terdapat jeda dalam melangkah menggambarkan kesedihan hatinya setelah meninggalkan Alengka. Perubahan ekspresi wajah terjadi pada saat

83 Kumbakarna memasuki panggung, ekspresi wajah sendu memandang dan menghampiri kakaknya. Pandangan tokoh Wibisana terhadap kakaknya pada saat antawecana terlihat wingit atau raut muka yang terlihat wibawa. Selain itu, adanya perpindahan gerak yang dilakukan dalam berdialog memberi kesan wibawa yang tegas, artinya memberi penegasan pada isi dialog yang disampaikan. Ekspresi wajah netral terlihat pada saat tokoh Wibisana menenangkan kakaknya, namun tetap terlihat wibawa. Polatan sedih tampak pada saat Wibisana berpamitan dengan kakaknya dan berjalan mundur memandang kakaknya seakan berat meninggalkannya. Kemudian dalam adegan Mangleawan ekspresi wajah tenang dihadirkan saat menghadap Rama, pandangannya sedikit ke bawah sebagai bentuk menghormati Rama. Perubahan ekspresi wajah tegas nampak pada saat tokoh Wibisana memberitahukan asal negaranya dengan menembang, selain itu juga nampak pada saat tokoh Wibisana mengutarakan keinginannya membantu Rama. Ekspresi wajah gembira tergambar setelah keinginan tokoh Wibisana direstui Rama, meskipun pada raut wajah secara visual tidak nampak senyum namun terlihat pada bentuk gerak gerak yang diberi penekanan. Penekanan gerak dapat melambangkan semangatnya dalam menjalankan tugas yang harus diselesaikan. Perubahan ekspresi wajah tenang atau netral nampak ketika

84 tokoh Wibisana mulai membangun tambak. Perubahan ekspresi wajah resah dan kecewa terjadi setelah Anoman merusak tambak yang dibuat. 10. Pola Lantai Pola lantai merupakan garis yang dibentuk dari gerak tubuh penari yang terlintas pada lantai. Beragam jenis garis yang dibentuk dari gerak tubuh penari yang terlintas pada panggung pertunjukan merupakan garis imajiner yang dapat ditangkap dengan kepekaan rasa (Maryono, 2010: 57). Bentuk pola lantai pada prinsipnya terdiri dari dua jenis yaitu semetris atau seimbang dan asimetris. Keduanya didasarkan pada jumlah penari dan garis yang di bentuk penari. Semetris berdasarkan jumlah penari seimbang, semisal kanan 4 dan kiri 4 penari, sedangkan menurut bentuk garis, misal bagian kanan berbentuk segitiga maka kanan juga sama meskipun berbeda jumlah penari. Asemetris berkebalikan dengan semetris yang seimbang misal jumlah penari kanan 1 dan kiri 3, sedangkan bentuk garis misal dibagian kanan berbentuk segitiga bagian kiri garis lurus. Garis garis yang membentuk pola lantai sajian tokoh Wibisana menggunakan pola pola yang sederhana. Bentuk garis membentuk garis lurus yang memiliki kesan kuat dan tegas dan jarang menggunakan pola perpindahan melingkar atau melengkung. Ciri khas dari pola lantai yang dapat ditangkap adalah pergantian posisi selalu dilakukan dengan tokoh Kumbakarna. Perpindahan tidak menggunakan variasi variasi banyak

85 gerak untuk berpindah posisi, gerak yang digunakan lebih santai dengan berjalan (njangkah) dan srisig namun tetap memiliki kesan yang kuat. Keterangan : Kolom bagian kiri merupakan proses menuju terbentuknya pola lantai, dan kolom kanan sebagai hasil perpindahan. Pola lantai yang dibuat disesuaikan dengan pandangan pembaca yang disesuaikan dengan panggung prosenium. Tampak depan penonton berada pada garis paling bawah. Wibisana : Rama : Kumbakarna : Para Kera : Gambar 42. Tokoh Wibisana memasuki panggung. Pola lantai sederhana untuk menuju panggung bagian sudut kanan penonton dengan pola gerak kaki njangkah. Termasuk dalam pola lantai semetris karena jumlah penari dan posisi yang seimbang (Oleh: Dwi Ariyani).

86 Gambar 43. Pola lantai tokoh Wibisana memberi hormat Kumbakarna. Perpindahan dilakukan hanya dengan satu kali berpindah dan membentuk garis diagonal menuju center stage atau tengah panggung. Bentuk pola lantai Semetris karena jumlah penari dan posisi yang seimbang. Pada posisi ini, level Wibisana lebih rendah dari pada Kumbakarna sebagai bentuk penghormatan pada kakaknya Kumbakarna (Oleh: Dwi Ariyani). Gambar 44. Pola lantai awal mulai antawecana. Pola perpindahan yang dilakukan membentuk garis diagonal mengarah ke sudut depan kiri penonton. Termasuk dalam pola lantai semetris karena posisi keduanya seimbang. Arah hadap keduanya sama sama mengahadap sudut depan yang memberi kesan tegas dalam berdialog (Oleh: Dwi Ariyani).

87 Gambar 45. Pola lantai perpindahan di sela sela antawecana. Perpindahan yang dilakukan membentuk garis horisontal menuju bagian panggung kanan penonton dan membentuk pola lantai semetris. Perpindahan di sela sela antawecana memberi kesan yang tegas sebagai penekanan dalam berdialog (Oleh: Dwi Ariyani). Gambar 46. Pola lantai tokoh Wibisana pamit dengan Kumbakarna. Garis yang dibentuk adalah horisontal menuju ke arah tokoh Kumbakarna dan termasuk pola semetris. Level tokoh Wibisana lebih rendah dari sebelumnya dan memberi kesan yang berat meninggalkan kakaknya (Oleh: Dwi Ariyani).

88 Gambar 47. Pola lantai tokoh Wibisana meninggalkan kakaknya disusul Kumbakarna. Dalam pola lantai ini garis yang dibentuk adalah horisontal, disertai dengan gerak berjalan mundur memandang Kumbakarna seakan berat meninggalkannya namun harus tetap pergi membela kebenaran (Oleh: Dwi Ariyani). Gambar 48. Pola lantai Wibisana menemui Rama disaksikan para kera. Termasuk dalam pola lantai asemetris karena bentuk dan jumlah penari yang berbeda. Gambar diatas menunjukkan tokoh Wibisana yang diawasi oleh para Kera. Perbedaan level terdapat pada tokoh Rama yang berada di atas tangga (Oleh: Dwi Ariyani).

89 Gambar 49. Pola lantai Wibisana setelah mendapat izin Rama membuat tambak dan mulai membuat tambak. Garis yang dibentuk menggunakan garis lurus horisontal dengan kondisi tokoh Wibisana sendirian di atas panggung pertunjukan. Pola garis yang dibuat terkesan tegas dan kuat untuk menguatkan gerak tokoh Wibisana dalam membangun Tambak (Oleh: Dwi Ariyani). Gambar 50. Posisi Wibisana ketika Tambak dihancurkan Anoman. Termasuk pola lantai Asemetris, Terlihat tokoh Wibisana menjauhi para kera setelah selesai membangun tambak dan diawasi oleh para kera (Oleh: Dwi Ariyani).

90 Gambar 51. Pola lantai Wibisana berjalan mundur meninggalkan panggung setelah kedatangan Rama. Menggunakan gerak berjalan mundur dengan menundukkan kepala memberi kesan menghormati Rama sebelum meninggalkan panggung (Oleh: Dwi Ariyani). 11. Alur Cerita Pembahasan alur sebelumnya sudah dibahas di bab selanjutnya, namun pada pembahasan kali ini penulis lebih memfokuskan pada sajian tokoh Wibisana. Secara keseluruhan rangkaian alur lakon Smaratapa, tokoh Wibisana terdapat pada adegan Candhakan 3, Mangliawan, dan Tambak Gora. Adegan Candhakan 3 adalah bagian klimaks atau puncak dari suatu cerita atau lakon. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menguraikan adegan tokoh Wibisana yang menjadi klimaks dari jalannya suatu lakon. 1. Candhakan 3 Candhakan 3 adalah peristiwa penting yang menjadi dasar dari gagasan penggarapan pertunjukan. Dalam peristiwa ini menceritakan pertemuan Kumbakarna dengan tokoh Wibisana setelah diusir dari

91 Negaranya Alengka. Penggarapan sajian tokoh Wibisana dengan Kumbakarna didukung dengan visual gambar padang rumput yang luas dengan pohon dan matahari senja. Menurut Achmad Dipoyono selaku koreografer berpendapat bahwa latar tempat yang divisualkan demikian, dapat diartikan sebagai tempat medan perang sehingga memunculkan visual gambar tempat padang rumput yang luas (Achmad Dipoyono, Wawancara 9 April 2019). Visual gambar tersebut mendukung dialog dari keduanya, berdasarkan terjemahan dari isi dialog keduanya berisi perbedaan pendapat dari tokoh Wibisana dan kakaknya. Kumbakarna beranggapan jika adiknya telah lupa pada dharmanya sebagai seorang ksatria karena meninggalkan Negaranya Alengka. Mendengar kakaknya berbicara demikian, tokoh Wibisana mengutarakan alasannya meninggalkan Negaranya, yang tak lain karena keangkaramurkaan kakaknya Rahwana yang ingin menjadikan Sinta istrinya. Kumbakarna beranggapan bahwa ia dan adiknya akan menjadi musuh dalam perang nantinya. Namun, hati Kumbakarna tergugah karena mendengar penjelasan adiknya, jika Wibisana rela lahir batin seumpama kelak Wibisana tidak bisa menyaksikan kelanjutan kewibawaan Alengka. Mendengar penjelasan adiknya, Kumbakarna merasa bersalah dan memohon maaf pada adiknya, namun ditepis Wibisana bahwa Kumbakarna tidak bersalah. Akhirnya muncul perjanjian keduanya yang diutarakan Wibisana yakni

92 Kumbakarna tetap pada tekadnya membela Negara Alengka dan Wibisana mengimbangi dengan jalan kebenaran yang dipilih. Dialog atau antawecana keduanya pada awal pertemuan didukung karawitan gending Isen-isen Tembang K W Pelog dan Srepeg didukung dengan ilustrasi Sindhenan dan Gerongan yang menggambarkan suasana sajian tokoh Wibisana. Suasana juga didukung dengan keheningan yang artinya tanpa menggunakan gendhing maupun salah satu instrumen Gamelan sehingga rasa dari dialog keduanya lebih hidup. Pertemuan keduanya diakhiri dengan pamitnya Wibisana diilustrasikan dengan gending sampak mlaku. Pada intinya klimaks dari pertunjukan lakon Smaratapa terdapat pada adegan ini, karena berhubungan dengan tema yang diusung yaitu pengorbanan atas dasar cinta. Esensi makna pengorbanan tersebut berasal dari kakak beradik yang rela menjadi musuh untuk jalan kebenaran dan melindungi negaranya. Adegan ini yang melatar belakangi cinta yang dimiliki dari masing masing tokoh yang berujung pada pengorbanan. Banyak pengorbanan yang dilakukan, terutama saat peperangan pasukan Rama dan Rahwana di palagan atau medan pertempuran. 2. Mangliawan Sajian tokoh Wibisana selanjutnya, berada di Mangliawan yang merupakan tempat atau gunung yang kaki gunungnya berbatasan dengan pantai. Pada sajian ini visual video mapping yang ditampilkan adalah

93 lautan dengan ombak yang tenang. Sebelum kedatangan tokoh Wibisana, terdapat adegan Anoman memberikan kancing gelung Dewi Sinta pada Rama setelah Anoman kembali dari Alengka. Kemudian kedatangan tokoh Wibisana ke Mangliawan setelah meninggalkan Alengka untuk menemui Rama. Kedatangannya dicurigai oleh para kera yang saat itu berada di dekat Rama. Tokoh Wibisana memperkenalkan diri pada Rama dengan menembang diilustrasikan dengan gending Palaran 2 5 6 1 Sinom kembali ke lancaran pelog. Awalnya Rama tidak percaya dengan tokoh Wibisana, namun karena melihat ketulusan hatinya, Rama menerimanya. Kemudian dilanjutkan dengan antawecana tokoh Wibisana mengutarakan madsud kedatangannya tak lain adalah untuk membantu Rama dan meminta izin untuk membuat tambak yang nantinya akan digunakan untuk menyebrang ke Alengka. Rama menyetujui keinginan dan niat baik tokoh Wibisana, dilanjutkan dengan para pemain menari bersama diilustrasikan dengan gending lancaran budhal Mangliawan. Sajian selanjutnya semua pemain meninggalkan tokoh Wibisana sendirian, kemudian tokoh Wibisana menari sendiri diiringi gending srepeg ngetap. Esensi makna yang berhubungan dengan tema pengorbanan adalah, jika seseorang melihat pengorbanan dari ketulusan hatinya maka tidak akan timbul kecurigaan dalam hatinya.

94 3. Tambak Gora Selanjutnya tokoh Wibisana mulai membuat atau membangun Tambak dengan visual video mapping ombak lautan dan didukung gending boyongan dengan vokal Sindhenan dan Gerongan. Pencahayaan tokoh Wibisana dalam membuat panggung dengan menembakkan cahaya melingkar pada tokoh Wibisana sehingga fokus lebih pada tokoh Wibisana. Tambak yang dibangun divisualkan dengan 3 tangga yang disusun horisontal di panggung bagian belakang. Setelah tambak selesai dibangun, para kera datang menghampiri tokoh Wibisana didukung gending lancaran Anoman. Anoman berusaha mencoba tambak yang dibuat karena merasa curiga dan kemudian dihancurkan didukung gending gantungan lumintu saat menghancurkan tambak. Tokoh Wibisana hanya memandangi tambak yang dibuatnya hancur kemudian meninggalkan panggung setelah kedatangan Rama. Esensi makna dari adegan di atas yang berkaitan dengan tema dan kehidupan sekarang dapat disimpulkan, bahwa pengorbanan setulus apapun akan tetap dipandang negatif jika melihat dari asal usul dan masa lalunya. Setelah tambak dihancurkan oleh Anoman, Rama datang dan semua pemain meninggalkan Rama. Rama hendak menguras habis lautan karena menjadi penghalang untuk pergi ke Alengka namun dicegah oleh Eyang Baruna. Setelah Eyang Baruna menasihati Rama dan Rama pun luluh atau mau menerima nasehat Eyang Baruna. Kemudian Lesmana datang

95 menjemput Rama dan semua pemain meninggalkan panggung. Adegan selanjutnya divisualkan video mapping yang ditampilkan merupakan ombak lautan dengan batuan, juga terdapat 3 tangga yang nantinya akan menjadi bentuk tambak yang dibangun setelah tambak dihancurkan Anoman. Adegan dimulai dari pasukan kera kecil yang menari bersama sama dengan gembira seolah menggambarkan adanya gotong royong dalam membuat tambak. Setelah tambak berhasil dibangun, semua pasukan Rama termasuk tokoh Wibisana mulai menyeberangi lautan melewati tambak yang dibuat. 12. Gerak Gerak adalah substansi sebagai medium untuk mengungkapkan ide dan rasa keindahan. Gerak yang digunakan oleh tokoh Wibisana merupakan gerak alusan pada tari Jawa. Tari putra Alusan dibagi menjadi dua tipe karakter tari yaitu luruh dan lanyap, dimana karakter Wibisana menggunakan gerak gerak putra alus lanyap dengan Gaya Surakarta. Penelitian ini membahas gerak dan karakter tari, oleh karena itu dalam bab ini penulis memberi batasan pembahasan gerak dalam bab ini. Janed Ashead berpendapat bahwa analisa gerak merupakan dasar untuk melihat tari secara utuh sesuai pada pengkarakteran dasar tari. Deskripsi gerak hanya pada batas menguraikan gerak secara mendasar dihubungkan dengan interpretasi tari sampai pemahaman kualitas dan dalam hubungannya antar berbagai proses pencapaian (Ashead dalam

96 Wasi Bantolo, 2002: 148). Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis hanya membahas deskripsi gerak tokoh Wibisana sebagai berikut. NO DESKRIPSI GERAK KETERANGAN GENDHING ADEGAN CANDHAKAN 3 1. Berjalan pelan mendekat panggung kedua tangan memegang sampur Pelog 3.36 2356 3355 6677 567 653 337 35g6 2. Berjalan mundur kesamping tangan kanan ridhong sampur, tangan kiri di trap cethik 3. Maju kaki kiri, cul kedua sampur 4. Maju kaki kanan kiri- kanan kiri sambil tangan kiri mlurut sampur, tangan kanan nyempurit trap cethik 5. Maju kaki kanan, cul sampur kiri Isen-isen Tembang K W Pelog g5 jz4x3x4x5xj.c4 zj.x4x5xjx3x2c1 zj1x7xjx.x1x7c1 zj7x1xjx.x1x7c1 zj.x1x1xjx.x2c2 zj.x2xjx3x3xjx2x3c4 zj.x4x4x4xjx.c4 zj.x5x6x4c5 zj.x1x3xjx.x3c1 zj.x1x6xj5x6c4 zj4x5xjx.x5x4c5

97 zj4x5xjx.x5x4c5 6. Njangkah kiri, menghadap kiri pojok penonton 7. Seretan jempol kiri maju kaki kiri, tangan kanan menthang, tangan kiri trap cethik 8. Maju kaki kiri kanan, kedua tangan seperti posisi memeluk, level agak rendah 9. Seret kaki kanan, maju kaki kanan, maju kaki kiri, kaki kanan dirotasi, mundur kaki kanan tanjak kiri 10. Seret kaki kiri, tangan kanan menthang ngrayung, tangan kiri trap cethik ngrayung 11. Hoyog kiri, tangan kanan ukel mlumah, tangan kiri ambil sampur 12. Seret kaki kiri, seblak sampur kiri, tanjak kiri kedua tangan trap cethik, tolehan ke Kumbakarna 13. Tangan kanan mlumah di depan dada, kembali ke trap cethik 14. Tangan kanan menthang posisi nyempurit tolehan ke kiri 15. Tangan kanan nyempurit di depan dada pandangan ke depan Kula wonten dawuh Kakangmas Kumbakarna Dununging darma Kasatria Kakangmas anggen kula kesah menika dede krana boten tresna 16. Tangan kanan menthang Dhumateng praja Ngalengka 17. Tangan kanan di depan dada Pangraos kula 18. Tangan kanan menthang, kembali ke depan dada, dipertegas dengan tolehan kepala volume kecil Salamipun praja Ngalengka badhe ketaman pepeteng menawi Kaka Prabu Dasamuka cukeng, puguh angumbar mungkaring driya Kakakngmas 19. Tangan kanan menthang posisi Menawi Ngalengka kedhah risak

98 nyempurit 20. Seret kaki kanan maju kaki kanan, tangan kanan menthang 21. Seret kaki kiri, tangan kanan didepan dada nyempurit 22. Maju kaki kiri, maju kaki kanan, tangan kiri sejajar tangan kanan di depan dada 23. Kedua tangan dihentakkan sedikit ke atas 24. Tangan kanan di depan dada, tangan kiri memegang sampur trap cethik 25. Kedua tangan di depan dada nyempurit, diberi tekanan sesuai tinggi nada dialog 26. Tangan kanan di depan dada, tangan kiri memegang sampur trap cethik 27. Tanjak kanan, tangan kanan menthang Uger menika dados srana badhe kuncaraning praja ing tembe Kula mboten badhe owel Upami ta kula boten saged anekseni badhe panjanging pocapan Punjunging Kawibawan praja Ngalengka ing mbenjangipun Uger para putra wayah Trah tumerah Lestari anggenipun anjagi asma rum kautamaning nagari 28. Tangan kanan di depan dada Ing salami lami, lahir batos 29. Tanjak kanan, tangan kanan menthang nyempurit posisi kedua tangan trap cethik 30. Tangan kanan maju ke depan sejajar dengan dada, tanjak kanan, menthang kanan 31. Tangan kanan ke depan sejajar dengan dada, tangan kiri dibelakang tangan kanan 32. Tangan kanan di depan dada sambil diberi tekanan tekanan kecil 33. Gerakan tangan ke depan dada dan samping dilakukan berulang Kula lila legawa Kakangmas Paduka mboten lepat kakangmas Sampun sampun Kakangmas Paduka setya dhumateng idhep tekad bebela praja Ngalengka Kula nggih mekaten, kasetyan paduka badhe kula timbangi, nadyan ta benten

99 dan diberi tekanan sesuai nada dialog 34. Kedua tangan maju ke depan dada dan diberi tekanan, tangan kanan menthang, tangan kiri memegang sampur trap cethik cara miwah siwah margi, boten dados menapa Lakar kedah mekaten lelampahipun Kakangmas Srepeg g1 212j13 j.1216 565j66 j.1j65j.44 j.4j3kj32j344 j32176 543j45.j1kj.1j.1g1 35. Tangan kanan menthang Tata gelar mbok menawi mekaten 36. Kedua tangan bergerak pelan ke depan pusar posisi sejajar 37. Kedua tangan diangkat sejajar dengan dada, dan digerakkan ke samping kanan dan kiri 38. Tangan kanan di depan dada, tangan kiri di belakang tangan kanan 39. Tangan kanan di depan dada, tangan kiri memegang sampur trap cethik, kedua tangan sejajar di depan dada, tangan kiri kembali ke cethik 40. Tangan kanan menthang, maju kaki kiri, tangan kanan di depan pusar, melangkah menuju Kumbakarna 41. Jengkeng kiri, kedua tangan memegang paha Kumbakarna, Nanging campuhing kasetyan lumawan kasetyan menika Pindhahipun kadidene tempuking toya Pineranga kaping sewu, nadyan kinebur sumamburat ngambara laya Mboten badhe pasah mboten badhe pisah, wontenipun namung badhe manunggal, makardi leladi jantraning ngagesang Mugi mugi kula lan kakangmas tansah pikantuk wewenganing bethara Kepareng kula nyuwun pamit Kakangmas

100 posisi kepala tunduk, berjalan mundur meninggalkan Kumbakarna Sampak Mlaku g1 3131 3176 7676 7654 5454 5434 5..1 j.1.1g1 j ADEGAN MANGLEAWAN 42. Srisik mancat kanan, tangan kanan kebyok sampur, tangan kiri memegng sampur Lancaran Pélog.3.1.3.1 1.13.1.g6.2.6.2.6 6.54.2.g4.1.2.4.5.6.4.2.g1 43. Njangkah kanan, kebyak sampur kanan, seblak sampur kiri 44. Njangkah kiri, tangan kanan nyempurit di depan dada, maju kaki kiri kanan mendekati Rama, tangan kiri ngrayung 45. Kedua tangan ngrayung, gerakan tangan bergantian ke atas dan bawah, seperti panggel besut 46. Hoyog kiri, seret kaki kanan, seblak sampur kiri tanjak kanan, kedua tangan di depan pusar 47. Posisi tanjak kanan, tangan kiri nyempurit di depan dada, pandangan ke depan 48. Inset tanjak kiri, tangan kanan ukel mlumah, njumbul mancat kiri, Masuk vokal tembang Palaran 25 61 Sinom Lancaran Nami kula Wibisana Sowan ngarsaning sang Aji

101 kembali posisi tanjak 49. Srimpet njangkah kiri, tangan kanan menthang kanan, tangan kiri memegang sampur di cethik, tanjak kanan, pandangan ke kanan, tangan kanan nekuk di depan dada 50. Kedua tangan songgo nompo, tangan kanan di atas, inset kiri njumbul mancat kiri, kembali posisi tanjak 51. Inset tanjak kanan, tangan kiri miwir sampur, tangan kanan menthang, inset kiri hoyog kanan tangan kanan diayun 52. Njumbul mancat kiri, mendhak seret kiri kembali, tangan kiri miwir sampur, tangan kanan mlumah memegang sampur, inset kanan junjung kanan 53. Tanjak kanan, mundur kanan ngenet kaki kanan, mancat kiri, seblak sampur kiri, tangan kanan memegang sampur trap cethik 54. Tanjak kiri, tangan kiri ngrayung diatas tangan kanan, cul sampur kanan, inset kanan junjung kanan, tangan kiri mlurut sampur, tangan kanan di samping telinga 55. Seleh kaki kanan, inset kiri, seblak sampur kiri, seret kiri, njangkah kiri menuju Rama, tanjak kiri, kedua tangan di depan cethik 56. Tangan kiri menthang, kembali nekuk, gerakan di repetisi sampai dialog habis Atilar praja Ngalengka Nedya sumungkem ngabekti Andupara sayekti Tumungkul ing ngarsaningsun Anglari woding darma Tekad ulah pangastuti Wibisana, sedyanira ingsun tampa Sinuwun kula nyuwun palilah. ngemuti pilih badhe tedhak paduka dhateng praja Ngalengka samangka kepalang wiyaring samodra, kula badhe amuja tambak Gora, segede kinarya srana gangsaring lampah

102 57. Tanjak kanan, kedua tangan di depan pusar Lancaran. Budal Mangléawan g5..56 j56765..65 235g6.7.2 3276 5.j567 656g3 21.1 j16321 1.16 131g2 3563 6532 2.22 376g5 58. Inset tanjak kiri, kedua tangan diangkat usap di depan mata, pacak gulu 59. Inset kanan ambil kedua sampur,seret kaki kanan, seblak sampur kiri, junjung kanan kebyok sampur kanan, seleh kiri 60. Inset tanjak kiri, junjung kiri kebyak sampur kiri, inset tanjak kanan kebyak kedua sampur 61. Srimpet njangkah kanan, njangkah kiri seret kiri, seblak kedua sampur 62. Njangkah kiri, seret kanan, njangkah kanan, njangkah kiri hadap depan, seret kanan 63. Tanjak kanan, tangan kanan ndudut keris, tangan kiri mendorong keris, seret kanan tanjak kanan 64. Inset tanjak kiri, toleh kiri, tangan kiri seperti usap dada kiri kemudian menthang kiri Srepeg Ngetap 7575 243g2 4242 432g7 g5 6532 5653 2756 523g5 Vokal

103 65. Inset tanjak kanan toleh kanan kiri, lumaksana naga rangrang 2x 66. Maju kanan, tanjak kanan, tangan kiri ambil sampur tangan kanan ngrayung sejajar telinga, pacak jangga 67. Seleh kanan, hoyog kanan kembali, toleh kanan, junjung kanan, tangan kiri mblarak sempal 68. Seleh kanan, tangan kanan memasukkan keris, inset tanjak kiri 69. Tangan kanan nyempurit sejajar dengan telinga, seblak kiri, seret kiri Boyongan.7.6.7.5.7.6.5.g3 g3 70. Seleh kiri, inset tanjak kanan, nyabet seblak sampur kiri toleh kiri 71. Seleh kaki kanan, ambil sampur kiri, seret kaki kiri ambil sampur kanan, tanjak kiri, kedua tangan di depan wajah, sampir sampur kiri seblak sampur kanan 72. Pandangan ke depan, kedua tangan ukel mlumah di bawa ke samping telinga, kedua kaki maju kesetan 73. Tangan kanan menthang ngrayung, tangan kiri nyempurit proses ngrayung 74. Tangan kiri ukel ke dalam di susul tangan kiri, adu manis 75. Inset tanjak kiri, srimpet mundur kiri, tangan kanan cul sampir Lancaran Anoman g3

104 sampur.33. 22.4 4.34.6.g7.77. 55.2 2.34.2.g3 Nibani 2324 346g7 6752 342g3 Gantungan Lumintu g7 3567 3567 3333 7777 5671 5671 4444 111g1 765 654 543 222 222 j22j.3j56g7 76. Njangkah kanan ke samping, srimpet mundur kiri, njangkah kanan, seret kiri seblak sampur kiri tanjak kiri 77. Inset tanjak kanan, tangan kanan menthang nyempurit, tangan kiri memegang sampur trap cetik 78. Inset tanjak kiri, kedua tangan diangkat di depan dada, tangan kiri kembali trap cethik, tangan kanan menthang pelan, inset tanjak kanan 79. Toleh kanan, seret kanan, tangan kiri di depan dada, tangan kiri ambil sampur 80. Srimpet kanan, njangkah kiri, mundur kanan, njangkah kiri tanjak kanan, seblak sampur kiri 81. Berjalan mundur, posisi kepala menunduk, tangan trap cethik,

105 tangan kiri ngolong sampur Menyebrang Tambak 82. Berjalan menaiki tambak, kedua tangan memegang sampur Lancaran gy Sléndro 5/4an y1263 5321y 3636! 65235 6563 112y3 23526 5321gy Pélog 3/4an 356 437 176 54g3 331 226 552 31gy 2x Srepeg Sléndro.13. 25.3 6.52.1.gy.3!. 63.5 6.53.6.g2..13 j.313. j11111 22yg3..31 j.131. j22222 y12g3 <j33333 3253 j.2j356 j.2j35j62j356 j.6j!6! j.!j6!6 j.6j56j55j36g2 j.2.22 213g2 j.1j23j56! j.1j23j56! j.6j!6j523 j.6j!6j52g3 j33333 3253 j.2j356

106 j.2j35j62j356 j.6j!6! j.!j6!6 j.6j56j55j36g2 j.2.22 213g2..1y 1y1y <...3 j.5.6g! Dhangdutan 6!6! 652g3 1313 512g3 1235 625g3 2356 512g3 83. Lumaksana seblak sampur kanan kiri Tabel 3. Deskripsi Gerak tokoh Wibisana Adegan Candhakan 3, Mangleawan dan Tambak Gora. B. Komponen Verbal Komponen verbal adalah jenis jenis atau elemen yang berbentuk kebahasaan. Fungsinya dalam pertunjukan tari untuk penunjuk isi atau pesan makna dan penyampai isi atau pesan makna, dari koreografer maupun penyusun tari terhadap penonton. Penyampaian isi atau pesan makna, komponen bahasa verbal dalam seni pertunjukan tersebut menggunakan lagu, ritme, dan bahasa yang arkhais atau indah. Jenis bahasa verbal pada prinsipnya digarap melalui interpretasi dan stilisasi

107 dari seniman, sehingga bentuknya memiliki kandungan estetis. Komponen verbal yang dimadsud di antaranya (1) sastra tembang (dalam bentuk ada ada, macapat, pathetan, sindhenan, gerongan, sendhon, jineman, dan palaran); (2) janturan (monolog), (3) antawecana (dialog); (4) geguritan (puisi); dan (5) syair. Kemunculan komponen verbal bersifat tentatif, artinya keberadaan teks kebahasaan di atas pada masing masing jenis tari jumlahnya tidak selalu sama namun setidaknya salah satu di antaranya akan hadir. a. Candhakan 3 Antawecana merupakan bentuk pembicaraan yang disajikan dua atau lebih tokoh dalam sebuah peristiwa adegan. Wibisana dengan kakaknya Kumbakarna setelah Wibisana diusir dari Alengka dengan suasana hening tanpa musik. KUMBAKARNA: Adhiku Dhi Wibisana (Wahai adikku Wibisana) WIBISANA: Kula wonten dhawuh Kakangmas (Perintah untuk Hamba Paduka) KUMBAKARNA: Upama Siadhi tega klawan pun kakang, aku isih iso bisa nampa. Nanging menawa Wibisana lunga saka Ngalengka, banjur ing ngendi dununging darma kasatriyanmu. (Seumpama kau adikku tega terhadapku, aku masih bisa menerima. Akan tetapi, jikalau Wibisana pergi dari Alengka. Lalu dimanakah darmamu sebagai seorang Ksatria). WIBISANA: Kakangmas, anggen kula kesah menika dede krana mboten tresna dhumateng Praja Ngalengka. Pangraos kula, salamipun Praja Ngalengka badhe ketaman pepeteng menawi Kakaprabu Dasamuka cukeng, puguh angumbar mungkaring driya.

108 (Kakanda, kepergianku ini bukan karena tidak cinta terhadap kerajaan Alengka. Menurut hamba, selamanya kerajaan Alengka akan tertimpa masalah apabila Kakanda Dasamuka bersikukuh mempertahankan keangkaramurkaannya). KUMBAKARNA: Yen ngono, kowe lilo menawa negaramu bakal bubrah sebab linurug prang dening mungsuh. (Kalau demikian, kamu merelakan negaramu rusak, dikarenakan musuh akan datang menyerang). WIBISANA: Menawi pancen Ngalengka kedah risak, uger menika dados srana badhe kuncaraning praja ing tembe, kula mboten badhe owel. (Jika Negara Alengka harus rusak, hal itu akan menjadi sarana termasyurnya Kerajaan Alengka kelak. Hamba tidak akan keberatan) Upami ta kula mboten saged anekseni badhe panjanging pocapan punjunging kawibawan Praja Ngalengka ing mbenjangipun, uger para putra wayah trah tumerah lestari anggenipun anjagi asma rum kautamaning nagari ing salami lami, lair batos kula lila legawa Kakangmas. (Seumpama Hamba tidak bisa menyaksikan kelanjutan kewibawaan Kerajaan Alengka kelak. Pasti anak cucu trah, tetap lestari dalam menjaga dan mengharumkan nama negara selama lamanya. Lahir dan batin Hamba rela Kakanda). KUMBAKARNA: hmmm... Wibisana Wibisana... Apuranen aku. Aku wong bodho. Ngertiku, kasetyan iku peranganing laku utama. Mbok menawa nalarku kang kanti, ora bisa nggayuh marang tebaning pamikirmu. (Wibisana Wibisana maafkanlah aku. Memang aku bodoh, sepahamku, kesetiaan itu bagian dari perilaku utama. mungkin habis nalarku, tidak bisa memahami arah pemikiranmu). WIBISANA: Paduka boten lepat, Kakangmas. (Paduka tidak bersalah Kakanda) KUMBAKARNA: Lilanana aku ngandhemi sumpah prasetyaku, Wibisana.

109 (Relakan aku untuk menebus sumpah janjiku, Wibisana). WIBISANA: Sampun sampun, Kakangmas. Paduka setya dumatheng idhep tekad bebela Praja Ngalengka. Kula inggih mekaten. Kasatyan paduka badhe kula timbangi. Nadyan ta benten cara miwah siwah margi, boten dados menapa, lakar kedah mekaten lelampahanipun. (Sudahlah sudah Kakanda. Paduka setia terhadap tekad untuk membela kerajaan Alengka. Hambapun demikian. Kesetiaan paduka akan hamba imbangi. Walaupun berbeda cara dan beda jalan, tidaklah menjadi masalah, memang harus demikian perjalanannya). KUMBAKARNA: Yen ngono bakale dhewe bakal dadi mungsuh. (Jikalau begitu, kita akan menjadi musuh). WIBISANA: Tata gelar mbok menawi mekaten. Nanging campuhing kasetyan lumawan kasetyan menika, pindhahipun kadidene tempuking toya. (Seperti yang terlihat, mungkin demikian. Akan tetapi, perpaduan kesetiaan itu ibaratnya seperti pertemuan air). Pineranga kaping sewu, nadyan kinebur sumamburat ngambara laya, boten badhe pasah boten badhe pisah, wontenipun namung badhe manunggal, makarti leladi jantraning ngagesang. (Terbagilah menjadi seribu, walau sampai terpecah belah, tidak akan pisah, yang ada hanyalah menjadi kesatuan, berbuat dan melayani tuntutan kehidupan). Mugi mugi kula lan Kakangmas tansah pikantuk weweganing Bathara. (Semoga hamba dan Kakanda selalu mendapat pertolongan Dewata atau Tuhan). Keparenga Kula nyuwun pamit, Kakangmas. (Perkenakan Hamba mohon pamit, Kakanda).

110 Sindhenan dan Gerongan yang dilantunkan untuk mendukung suasana adegan tokoh Wibisana digunakan untuk adegan Kumbakarna bertemu dengan Wibisana. Isen-isen Tembang K W Pelog Tatap netra adu rasa g5 Ciptane sedyane katataping kodrat Wirandhungan gung mangarang Satemah wang wang Nggresah lir grasah kang sawiyah wiyah Dhuh Hyang Agung paring pepayung Terjemahan : Saling memandang dan beradu perasaan Harapannya terbentur dengan kodrat Berhenti dan menjauh Pada akhirnya dipandang Resah bagai seorang yang disia siakan Oh Sang Maha Agung memberi perlingdungan (Sindhenan dan Gerongan adegan Candhakan 3, menggambarkan suasana hati tokoh Wibisana yang sedih dan resah ketika meninggalkan Alengka dan bertemu kakaknya Kumbakarna sebelum berperang). b. Mangliawan Tembang merupakan vokal berbahasa Jawa yang didukung dengan gending. Tokoh Wibisana melantunkan tembang dengan tokoh Rama yang didukung dengan gending Palaran 2 5 6 1 Sinom~Lancaran sebagai berikut.

111 WIBISANA Nami Kula Wibisana Sowan Ngarsaning Sang Aji Atilar Praja Ngalengka Nedya Sumungkem Ngabekti Terjemahan: Nama Hamba Wibisana Datang menghadap sang Aji Meninggalkan Kerajaan Alengka Berniat untuk mengabdikan diri RAMAWIJAYA Andupara Sayekti Tumungkul ing ngarsanipun Terjemahan: Benar benar aneh Menunduk dihadapanku WIBISANA Anglari Woding Darma Tekad ulah pangastuti Terjemahan: Mencari keutamaan Dengan melakukan pengabdian RAMAWIJAYA Wibisana, Sedyanira ingsun tampa Terjemahan: Wibisana niatmu aku terima Antawecana Wibisana dengan Ramawijaya adegan Mangliawan sebagai berikut. WIBISANA: Sinuwun. Kula nyuwun palilah. ngemuti bilih badhe tedhak Paduka dhateng Praja Ngalengka samangka kepalang wiyaring samodra, kula badhe amuja Tambak Gora, sageda kinarya srana gangsaring lampah. (Sinuwun. Hamba mohon izin. mengingat paduka akan menuju kerajaan Alengka, saat ini terhalang oleh luasnya samudra. Hamba akan memuja Tambak Gora dupaya dimudahkan dalam perjalanan). RAMAWIJAYA: Sun lilani, mara age tindakno, Wibisana

112 Sindhenan dan Gerongan untuk mendukung suasana pertunjukan tokoh Wibisana dalam menjalankan tugas dari Rama. Lancaran. Budal Mangléawan g5 Dhepah gagah gumregah jumangkah Sahiyeg saeka praya tunggal tekad tunggal sedaya Jumangkah girang girang Gumregut tumandang Setya ing darma bebela nagara Terjemahan: Melangkah dengan gagah perkasa Satu tekad dan satu keinginannya Berjalan dengan bahagia Bersemangat dalam menjalankan tugas Setia pada darma membela negara (Terjemahan Sindhenan dan Gerongan tersebut menggambarkan suasana yang gembira dan bersemangat tokoh Wibisana dalam menjalankan tugas). c. Tambak Gora Sindhenan dan Gerongan adegan tokoh Wibisana membuat Tambak untuk menyeberangi lautan. Boyongan Amateg mantra anglepas japa Ciptane amuja Tambak Setubanda Rahsa ginulung gegulungan, gulung gulung Kilat thatit sesamberan Umahya babaring sedya Terjemahan:

113 Membaca mantra melepaskan doa Keiinginannya memuja Tambak Setubanda Perasaan bergejolak bak tergulung gulung Kilat petir saling menyambar Terjadilah yang diharapkannya (Memberikan gambaran suasana yang tegang ketika tokoh Wibisana akan membuat Tambak) Sindhenan dan Gerongan tokoh Wibisana, Rama beserta pasukannya menyeberangi lautan dengan tambak yang dibuat. Surak kempyang bareng tumandhang Samya girang girang rumagang Cukat trengginas asigrak rampak Sengkut cancut serta gumregut Maju terus apantang mundur Rawe arantas, rantas rantas malang putung Cukat arikat jumangkah trus gumregah Seblak dhada tumandang karya Anambak samodra para Wanara Holobis kontul baris bebarengan lumaris Kerig lampit terus kesit Syaga syaga gumregah makarya Anambak mbak, samodra dra Mbedol kayu angusung watu Kayu wana nguncal mbal mbalan Sawega amrih yuwana Terjemahan: Sorak sorai bekerjasama Semua bahagia dalam bekerja Semua terlihat cekatan dan kompak Siap siaga menyelesaikan tugas Maju terus pantang mundur Menghadapi halangan yang akan datang Melangkah dengan cekatan dan penuh semangat Semangat di dada menyelesaikan tugas Membendung samudera para Wanara Bersatu bahu membahu Bergegas dan bekerja

Siaga dan semangat berjuang Membendung-dung, samudera-dera Mencabut pohon mengangkut batu Kayu hutan dilemparkan berulang kali Bersiap siaga agar mendapat keselamatan 114

115

116

115 BAB IV GERAK DAN KARAKTER TARI PADA TOKOH WIBISANA A. Latar Belakang Tokoh Wibisana Pada Wayang Kulit Wibisana, atau lengkapnya Gunawan Wibisana, dikenal sebagai tokoh pembelot yang meninggalkan negerinya Alengka, dan berpihak pada Ramawijaya. Pembelotan dilakukan karena ia tidak setuju dengan perbuatan kakak sulungnya, Prabu Rahwana, yang telah menculik Dewi Sinta, istri Rama. Wibisana adalah anak bungsu Begawan Wisrawa, pertapa sakti yang pernah menjadi raja di Lokapala, Ibunya bernama Dewi Sukesi. Rahwana adalah kakak sulungnya, kakak keduanya adalah Kumbakarna dan terakhir Sarpakenaka. Ketiga kakaknya berwujud raksasa, dan hanya Wibisana yang terlahir dalam wujud manusia (Sena Wangi, 1999: 1425). Wujud raksasa ketiga kakaknya dan Wibisana sebagai manusia tak lain karena kesalahan Wisrawa dan Sukesi dalam mengartikan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Devinisi Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah Sastra berarti tulis, ilmu atau kitab. Jendra berarti milik Raja (Gusti) dan Hayuningrat berarti keselamatan umat dan dunia semesta. Pendeknya sastra jendra hayuningrat itu adalah suatu kitab ajaran suci atau ilmu luhung (sastradi)

116 berasal dari Gusti yang merupakan rahasia (esotoris) dari agama yang dapat menyelamatkan umat dan dunia semesta. Pendapat orang barat, suatu usaha melalui wayang untuk menolak ajaran dan ilmu dari dewa, sehingga oleh pendapat modern barat mengartikan bahwa yang dimadsudkan dengan sastra jendra adalah Qur an dan atau Injil (Sri Mulyono, 1978: 58). Kelahiran nafsu angkara dalam pewayangan dilambangkan dengan raksasa, sedang nafsu guling (kelamin) dilambangkan dengan wanita. Wisrawa pada saat itu berhasil menyingkirkan nafsu perut (aluamah) dan nafsu amarah, yang dalam pewayangan digambarkan Wisrawa telah berhasil membunuh secara sadis dan memotong-motong badan raksasa Jambumangli. Karena itu hukum karma menimpa anaknya Wisrawa yang bernama Kumbakarna. Inilah hukum karma, tetapi juga sekaligus melambangkan bahwa Begawan Wisrawa berhasil menang dalam menumpas dan membunuh nafsu-nafsu angkaranya. Namun setelah berhadapan dengan nafsu kelamin (syahwat), ternyata ia tergelincir ke dalam lembah nista. Wisrawa mengira nyalanya Sukesi adalah perpaduan antara kawula dan Gusti (hakekat), sehingga terjadi persatuan antara nafsu Wisrawa dan Dewi Sukesi yang tak lain adalah calon menantunya. Oleh karenanya ia mempunyai anak Rahwana yang melambangkan 5 nafsu Wisrawa ditambah lima nafsu Dewi Sukesi (amarah, mut ma inah, mulhimah, supiah dan aluamah) berpadu menjadi satu dan berupa 10

117 nafsu manusia. Di sinilah mengapa Rahwana tidak bernama dua puluh muka atau tiga puluh muka atau sasramuka, tetapi sepuluh (Dasamuka) (Sri Mulyono, 178: 121-126). Bambang Suwarno menambahkan jika nafsu amarah melambangkan Rahwana, Aluamah Kumbakarna yang hanya makan dan tidur, Supiah adalah Sarpakenaka, dan Mutmainah adalah Wibisana. Kelahiran Wibisana terjadi setelah Wisrawa dan Dewi Sukesi menyadari kesalahannya. Bambang Suwarno menjelaskan bahwa Wisrawa meminta anak yang sempurna bentuk maupun kepribadiannya. Sehingga lahirlah Wibisana yang melambangkan kebaikan, sabar, dan suci atau mutmainah (Wawancara 11 Juli 2019). Pada masa remajanya, tokoh Wibisana bersama ketiga kakaknya pernah bertapa di Gunung Gohkarna selama bertahun tahun. Ketika Batara Narada datang menjumpainya, Wibisana menyatakan keinginannya untuk dapat menjadi ksatria yang tahu kebenaran. Permintaannyapun terkabul, namun Batara Narada mengingatkan untuk mencapai kebaikan dan menemukan kebenaran, harus selalu ada yang perlu dikorbankan. Berkaitan dengan itu, ternyata Wibisana harus mengorbankan kesetiaannya pada negara dan saudara saudaranya. Pengorbanannya berawal ketika kakaknya Rahwana yang menculik Sinta, istri Rama. Wibisana berusaha menyadarkan kakaknya dari perbuatan salah namun tidak berhasil, ia juga mengingatkan bagaimanapun yang

118 dihadapi kakaknya adalah seorang titisan Wisnu yang tidak mungkin dikalahkan. Kedua kakak beradik terlibat pertengkaran yang membuat Wibisana diusir Rahwana dari Alengka. Dengan hati yang hancur Gunawan Wibisana meninggalkan istana pergi dari negerinya, menjumpai Ramawijaya (Sena Wangi, 1999: 1425-1426). Wibisana dihadapan musuh kakaknya menyatakan niatnya untuk mengabdi pada Rama dan berjanji akan selalu setia. Karena pembelotannya itu, dalam pewayangan Gunawan Wibisana juga dijuluki Arya Balik. Pembelotannya itu, diterima baik oleh Ramawijaya. Ia juga diterima baik oleh sekalian pengikut Rama. Wibisana kemudian berbagai rahasia kekuatan Kerajaan Alengka dapat diketahui, sehingga lebih mudah bagi Ramawijaya dan tentaranya untuk mengalahkan bala tentara Kerajaan Alengka. Wibisana juga memiliki Aji Dipasajata, yang membuat ia dapat menangkal segala macam guna guna, termasuk guna guna Aji Panyirep (Sena Wangi, 1999: 1427). Setelah pasukan Alengka berhasil dikalahkan pasukan Rama, Wibisana diangkat menjadi Raja di Alengka. Wibisana membangun Ibu kota kerajaan di Singgelapura karena Alengka rusak akibat peperangan. Ramawijaya memberikan hadiah kenangan berupa sebuah kereta kencana bernama Jatisura, Wibisana juga mendapat wejangan dari Rama bagaimana menjadi Raja yang baik dan bijaksana. Wejangan Rama pada Wibisana ini dalam pewayangan lazim disebut sebagai dengan Hastabrata.

119 Gunawan Wibisana beristri bidadari bernama Dewi Triwati yang dulunya dihadiahkan Rahwana saat menyerang kahyangan. Dari pernikahannya keduanya mendapat dua anak yakni Trijata dan Dentawilukrama. Wibisana di hari tuanya, sesudah menobatkan Dentawilukrama sebagai Raja Alengka, ia meninggalkan kerajaan dan mendirikan pertapaan di Gunung Gohkarna. Ia kemudian dikenal dengan sebutan Begawan Wibisana. Penampilan dan ujud Gunawan Wibisana di pewayangan dan di kitab Ramayana, dilukiskan berujud raksasa, tidak jauh berbeda ujudnya dengan saudara saudranya. Tokoh Wibisana dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa, dilukiskan sebagai manusia tampan dan dirupakan dalam tiga wanda. Bambang Suwarno menjelaskan bahwa wanda merupakan perpaduan garis dan warna di Wayang Kulit, wanda dilihat dari fisiotomi atau perwujudannya, dari adeg, postur tubuh, busana, sunggingan atau warna. Bentuk adegnya membungkuk menggambarkan ora tau seneng atine yang artinya tidak pernah senang hatinya. Lakon yang banyak bungahatau bahagia susah menimbulkan wanda dan lakon seneng tok paling sak wanda yang artinya lakon yang hanya senang hanya satu wanda (Bambang Suwarno, Wawancara 11 Juli 2019). Ketiga wanda Wibisana yang dimadsud adalah wanda Buntit untuk adegan jejeran, wanda Rungsit untuk adegan pembicaraan atau perundingan, dan wanda Rawe untuk

120 adegan perang. Visual Wibisana dalam lakon Smaratapa digambarkan seperti Wayang Kulit yang berparas tampan. Berdasarkan keterangan latar belakang kehidupan Wibisana, dapat ditemukan karakternya dalam Wayang Kulit yaitu membela kebenaran, rela berkorban yang dibuktikan dengan kisahnya dalam pewayangan. Selain itu Bambang Suwarno juga menegaskan karakternya jika dilihat dari sifat adalah baik. Karakter yang lain dapat dilihat pada ajaran Hastrabata yang diajarkan Rama menjadi raja yang baik dan bijaksana. Sri Mulyono juga menambahkan bahwa karakter Wibisana itu, berbudi luhur perilakunya sangat jujur dan adil kepada orang (1978: 56). Oleh karena itu, disimpulkan bahwa karakter Wibisana di antaranya baik, bijaksana, membela kebenaran dan berbudi luhur, rela berkorban, jujur serta adil. B. Gerak dan Karakter Tari pada Tokoh Wibisana Gerak dan karakter tari, keduanya mempunyai keterkaitan atau kesinambungan dalam suatu sajian pertunjukan khususnya dalam Wayang Orang. Gerak dapat menghadirkan suatu karakter tari, begitu juga dengan karakter tari. 1. Gerak Tokoh Wibisana Pengkajian gerak melihat dari tipe karakter tari Jawa berdasarkan penggunaan ruang dari anggota badan yaitu tipe tari putri, tari putra

121 gagahan, dan putra alusan. Spesifikasi gerak tari putri lebih cenderung memberikan kesan lembut, gemulai, mengalir, dan halus. Tari gagahan lebih banyak tekanan, kesan bergelora, dan dinamis. Tipe gerak tari putra alusan lebih memberi kesan halus, lembut, dan mengalir. Tokoh Wibisana dilihat dari geraknya termasuk dalam tari alusan. Alusan adalah kualitas tari yang menghadirkan peran putra dengan karakter halus (alusan) luruh dan alusan lanyap, serta disajikan oleh penari putra. Menurut Tohirin Sastokusumo kualitas alusan dalam pergelaran Wayang Orang lebih sering diragakan oleh penari putri. Hingga saat sekarang kualitas alusan sering disajikan oleh penari putra maupun penari putri, pada prinsipnya kualitas yang disajikan dapat memenuhi kebutuhan ungkap garapan kualitas alusan terbagi dalam dua karakter, yakni alus luruh dan alusan lanyap (Ilmu Tradisi Joget Tradisi Gaya Kasunanan Surakarta, 2007: 21). Wahyu Santoso Prabowo selaku Empu tari, mengutarakan jika gerak alusan yang disajikan tokoh Wibisana dalam lakon Smaratapa termasuk ke dalam alus cakrak. Cakrak adalah istilah yang sedikit umum, tidak hanya untuk kepentingan kepenarian, wanita juga bisa diistilahkan cakrak. Istilah cakrak jika dihubungkan dengan kehidupan, orangnya tidak pendiam tapi ada kecekatan dan kelincahan wanita juga seperti demikian. Jika di Wayang Kulit ditandai bentuk wanda Wayang, yaitu perbedaan wajahnya. Seperti Rama dan Lesmana atau Janaka yang wajahnya

122 menunduk, menunjukkan orangnya kalem dan tenang. Sedangkan di Wayang, cakrak ditandai wajahnya agak mendongak, seperti Wibisana, Kresna dan Karna. Cara berbicaranya ditandai dengan polatannya agak dongak, tidak hanya polatan tapi juga geraknya ada tekanan tekanan. Konsepsi dasar geraknya tetap banyumili karena cakrak, ada tekanannya dalam gerak (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara 7 Mei 2019). Alusan gaya Surakarta memiliki sikap dasar berbeda dengan gaya Yogyakarta. Perbedaan terlihat pada adeg seorang penari. Adeg atau sikap dasar bagi penari Jawa. Alusan gaya Surakarta menggunakan adeg dengan pola dasar tungkai selebar dua telapak kaki, seperti dipaparkan oleh S. Maridi dan dinyatakan dalam bahasa Jawa. Adeg alusan kuwi tanjak mendhek mayungi, ambane sikil diwiwiti saka jejer, dibukak delamakane ping telu papat dadi. Ambane tansah maton yan obah tetep ajeg Terjemahan : Adeg alus itu sikap tanjak merendah sekali, lebar kedua kaki dibentuk dengan diawali kaki berjajar melekat dibuka telapak kakinya tiga kali. Lebarnya selalu tetap sehingga meskipun bergerak tidak merubah bentuk (Bantolo, 2002: 68). Pada dasarnya pola gerak yang disajikan tokoh Wibisana yang diperankan oleh Wasi Bantolo, menggunakan gerak dasar alusan yang membentuk gerak gerak yang sederhana. Motif gerak tersebut diantaranya pola kaki tanjak, njangkah, seretan polok dan jempol, junjungan, srisig, mancat, njujut, lumaksana. Sedangkan motif gerak tangan dan lengan

123 diantaranya jari nyempurit, panggel, menthang, selain itu juga terdapat gerak variasi seperti adu manis dan pola tangan membuat lengkungan. Gerak yang di sajikan tidak terlalu banyak variasi, Wahyu Santoso Prabowo menambahkan bahwa gerak yang digunakan Wasi tidak terlalu banyak variasi dan hanya gerak gerak yang sederhana. Tidak ada masalah dalam hal tersebut karena tergantung dari interpretasi penyaji dan bagaimana menjiwai karakter Wibisana dan polatannya. Pada intinya menari detailnya tidak perlu diruwetkan atau dipersulit tergantung dari kepentingannya (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara 7 Mei 2019). 2. Karakter Tari Pada Tokoh Wibisana Karakter menurut Agus Tasman dalam bukunya Analisa Gerak dan Karakter yang dikutip dari Agus Sujanto dalam buku Psikologi Umum menyebutkan bahwa kharacter adalah istilah bahasa Belanda dan kata characterologie atau characteriologie berasal dari kata character berarti watak dan logie berarti ilmu, jadi characterologie adalah ilmu yang mengkaji watak. Kata character (bahasa Belanda) berasal dari kata Yunani yang artinya charas sein semula berarti coretan atau goresan. Goresan tersebut adalah bekas yang dibuat atau ditinggalkan oleh tindakan. Goresan tersebut menjadi stempel mewakili jiwa seseorang lewat perilakunya. Dengan demikian perilaku seseorang akan meninggalkan bekas goresan yang mencerminkan jiwa pribadinya (Agus Tasman, 2008:19).

124 Wasi Bantolo dalam tesisnya menyatakan arti watak secara besarnya adalah ciri seseorang, istilah tersebut juga digunakan untuk menyebut rasa sebagai karakter keadaan jiwa. Rasa dikaitkan dengan watak dari beberapa istilah yang digunakan tidak saja berhubungan dengan emosi tipe seseorang tetapi juga tingkah laku termasuk berbicara, busana, dan berjalan. Perwatakan dalam pengertian rasa merupakan karakterisasi yang terdapat pada 3 jenis seni alus (Karawitan, Pedalangan, dan Tari) yang saling berhubungan, seperti contoh berikut : Bregas (gagas), Sigrak (energik), Tregel (lincah), Alus (halus dalam tindakan dan berbicara), Gagah (tampan dan maco), Prenes ( genit), Luruh (Sederhana penuh kelembutan), Branyak (halus tetapi lincah), Lanyapan (halus dan tegap), Wingit (anggun menakutkan), Manis (manis dan atraktif), Rongeh (tidak tenang), Sareh (tenang sabar) (Wasi Bantoto, 2002). Dewasa ini pengertian karakter menjadi berkembang sehingga ada banyak pengertian karakter dengan menjelaskan perbedaan yang prinsip diantara satu dengan lainnnya, meskipun kurang diperhatikan perbedaannya. Hal tersebut menjadikan adanya jenis karakter yang dibagi menjadi 3 berdasarkan konstruksi yaitu jasmaniah (tipologi), (temperanment) dan Watak (Agus Tasman, 2008.19: 19). Pemaparan jenis karakter tipologi, temperamen, dan watak, dijadikan acuan untuk mengetahui karakter Wibisana melihat dari kehidupannya yang mengacu pada cerita Wayang Kulit. Karakter inilah

125 yang nantinya akan membentuk suatu gerak begitu juga sebaliknya karena gerak dan karakter saling berkesinambungan. a. Tipologi Karakter ini mempunyai ciri berdasarkan konstitusi jasmaniah ialah keadaan individu secara fisiologis dikarenakan ada sifat sifat yang dibawa sejak lahir. Pada intinya karakter ini merujuk pada keadaan seseorang sejak lahir, berdasarkan konstruksi tubuh (Agus Tasman, 2008: 19). b. Temperamen Karakter dalam arti temperanment adalah sifat sifat dan kejiwaan seseorang disebabkan oleh adanya campuran zat di dalam tubuhnya sehingga mempengaruhi tingkah laku. Menurut pendapat Allport yang dikutip Agus Tasman menjelaskan bahwa temperanmen adalah bagian khusus dari kepribadian yaitu gejala karakteristik dari pada sifat individu kena rangsangan emosi, kekuatan serta kecepatannya bereaksi, kwalitas kekuatan suasana hatinya, segala cara dari pada fluktuasi dan intensitas suasana hati, gejala ini tergantung kepada faktor konstitusional terutama berasal dari keturunan (Agus Tasman, 2008: 20). c. Watak Karakter dalam arti watak menurut H.C Rumke menjelaskan ialah pribadi jiwa yang menyatakan dirinya dalam segala tindakan dan pernyataan. Istilah watak dan kepribadian sering dipergunakan secara

126 tukar bertukar, Allport menunjukkan arti normatif yang ia nyatakan bahwa watak adalah penilaian kepribadian yang mencerminkan karakter. Karakter merupakan wujud pernyataan jiwa sebagai kepribadian seseorang dalam bentuk tingkah laku atau tindakan (Agus Tasman, 2008: 20). Bertolak dari paparan di atas, Silvester Pamardi dalam jurnalnya mengemukakan. Karakter tari keraton memiliki konstruksi yang terdiri dari tipologi, temperamen dan perwatakan yang diturunkan atau merupakan transformasi dari bentuk-bentuk Wayang Kulit. Bentuk Wayang Kulit memiliki ukuran fisik (tipologi), permainan gerak Wayang (temperamen), dan wanda (karakter) dalam bentuk rupa perwajahan Wayang Kulit yang berbeda-beda pada setiap tokoh atau peran. Dengan kata lain tari keraton merupakan transformasi dari bentuk karakter Wayang Kulit menjadi bentuk karakter yang dimainkan orang (Silvester Pamardi, 2014: 226). Implementasi tersebut dalam memaparkan karakter tokoh Wibisana dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Tipologi: Ukuran dedeg (ketinggian badan) cukup/sedang: ukuran kegemukan badan cukup/sedang: ukuran bentuk tubuh cukup/sedang. b. Temperamen: Alus lanyap dengan alur gerakan yang mengalir (mbanyu mili), terdapat tekanan pada pergelangan tangan. c. Watak: Watak seorang ksatria yang berbudi luhur, membela kebenaran, dan rela berkorban.

127 Karakter tari menurut Wahyu Santoso Prabowo menjelaskan jika karakter tari hubungannya dengan pembagian di dalam gerak tari terutama di Kraton, dikisahkan ada tari putra gagah yang masih dirinci lagi yaitu putra gagah antep, dan dijelaskan juga dalam Kridhawayangga. Putra gagah sudira, putra gagah tandang, putra gagah dugang, kera termasuk dalam Kridhwayangga kemudian dipilahkan ke tokoh misalnya Wibisana karakter tarinya alus lanyap. Karakter tari juga terdapat dalam alusan seperti alus luruh, alus sepuh, alus nem, alus sepuh biasanya digunakan tokoh alus dengan pengkarakteran tokoh Rama, dan Janaka. Alus nem mendekati ke lanyap untuk tokoh muda seperti anaknya Janaka yaitu Abimanyu, selain itu Lesmana dan Irawan juga termasuk dalam alus nem. Alus lanyap seperti tokoh Kresna dan Wibisana, geraknya ada penekanan, dan polatan meskipun dasarnya mbanyu mili ada tekanan dalam proses geraknya. Karakter hubungannya dengan geraknya, tiap orang mempunyai interpretasi sendiri, hubungannya dengan suasana dan pengungkapannya tergantung kepentingan (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara 7 Mei 2019). Karakter tari dalam Serat Kridhwayangga dikelompokkan menjadi 3 dengan pembagian-pembagian karakter di dalamnya yaitu. a. Alus : Untuk karakter Panji Sepuh, Panji Enem dan Wukirsari termasuk Wanodya. b. Madya: Untuk karakter Tandang, Dugang, dan Sudira.

128 c. Kasar: Untuk karakter Buta, Bugis, Wanara. (Sastra Kartika, 1925: 15). Kaitannya dengan tokoh Wibisana kedudukan karakterya adalah alus, gerak dasar atau dasar tari alus dalam Serat Kridhwayangga yaitu kesepuluh jari-jari tangan tidak boleh lebih tinggi dari dada, kecuali saat dibutuhkan untuk tarian. Berdasarkan Serat Kridhwayangga dalam tesis Wasi Bantolo yang berjudul Alusan pada Tari Jawa, menjelaskan bahwa karakter alusan dibagi ke dalam tiga jenis. Masing masing jenis memiliki ragam gerak yang menunjukkan tipe karakternya sehingga masuk dalam kategori tari alusan menurut Serat Kridhwayangga adalah: Panji Sepuh, Panji Enem, dan Wukirsari. Definisi tari alus sendiri adalah suatu karakter atau watak dari bentuk dan gerak tari yang mengungkapkan ketenangan, kesengguhan, dan ketajaman. Karakterisasi pada perkembangannya menjadi lebih sederhana dibagi menjadi dua jenis karakter alusan secara garis besar yaitu luruh dan lanyap (Bantolo, 2002: 66-68). Tokoh Wibisana termasuk dalam alus wukirsari, dalam 10 patrap beksa Serat Kridhwayangga termasuk patrap beksa kukila tumiling atau burung menggelengkan kepala untuk tari alus lanyap/branyak (lincah). Detail gerak dalam Serat Kridhwayangga disebut hendrayamerdu. Secara teknik dan bentuk geraknya mempunyai batasan-batasan yaitu (1) gerak muka dan pandangan mata: anglirik jenthikan, (2) sikap berdiri tanjak tawing simpir, (3) gerakan kepala pacak gulu: panggih, (4) jarak kaki tanjak: benggang kalih

129 kaki, (5) bentuk jari: naga ngelak, (6) gerakan badan: leyot kartika mabangun, (7) sikap dada: munggal semuladak. Melihat dari bentuk geraknya, Wibisana termasuk dalam karakter alus lanyap. Alusan lanyap dalam tesis Katarina Indah Sulastuti yang berjudul Konsepsi dan Indikasi Rasa dalam Tari Jawa Gaya Surakarta menjelaskan putra alus lanyap adalah karakter putra halus yang aktif dan agresif, adapun cirinya yaitu (a) mengarahkan pandangannya kedepan, (b) dalam pembicaraannya umumnya menggunakan nada suara tinggi (5/6) dan agak melodis, (c) menggambarkan gerak tari yang bertenaga, diberi penekanan penekanan atau jeda, dan mengunakan rias alis agak mengarah diagonal atas tegas dengan kumis tipis (brengos atau lemetan) perlengkapan tata busananya menggunakan jamang atau irah irahan dengan tatahan garis lurus dengan sudut tajam mengarah ke luar atau ke atas. Kesimpulanya adalah karakternya sigrak, bergas, gesit, tangkas, kemaki, dan sombong. Kaitannya dengan karakter tari Wibisana yang alus lanyap, karakter Wibisana dalam Wayang Kulit menurut Bambang Suwarno menambahkan bahwa karakter Wibisana termasuk tokoh luruh. Melihat dari boneka Wayang Kulitnya yang menunduk, namun suara Wibisana yang dibunyikan lantang. Ia juga menegaskan jika di dalam Wayang Orang digarap lanyap, kemungkinan untuk membangun karakternya dan mendukung suaranya yang lantang. Secara keseluruhan tidak masalah

130 karena tergantung kebutuhan, keadaan dan interpretasi penyaji dan penggarapannya (Wawancara 11 Juli 2019). 3. Analisis Gerak dan Karakter Tari Gerak dalam tari merupakan medium utama untuk pengungkapan ekspresi dalam mencapai keindahan. Sehingga setiap pembahasan mengenai tari tidak akan terlepas dari gerak. Gerak terbentuk karena adanya unsur unsur yang menyatu dan berhubungan. Unsur unsur tersebut menyatu dalam pengamatan bentuk sebagai bagian pokok tari yang berarti membahas cara berhubungan dan kenyataannya. Gerak ini dilihat dengan pengujian secara keseluruhan untuk memisahkan bagian komponennya, yang dalam pembahasan tari disebut sebagai analisa gerak (Brennan, 1998 : 28). Analisis gerak secara umum dan sederhana tidak bisa terlepas dari melihat kepada lahirnya inti dasar tarian, yakni gerakan-gerakan yang ditata sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah karya seni. Dorris berpendapat lahirnya suatu gerak pada karya seni yaitu setiap gerakan yang dibuat oleh manusia maupun dari dunia binatang, memiliki disain keruangan dan berhubungan dengan benda benda lain dalam dimensi ruang dan waktu: aliran kekuatan yang disebut dinamika dan irama atau ritme. Gerak dilahirkan karena adanya sejumlah alasan atau sebab tertentu ada yang disengaja, ada pula yang tidak, karena alasan jasmaniah, batiniah, emosional atau karena insting yang kesemuanya

131 biasa dikenal dan disebut motivasi gerak. Tanpa adanya motivasi ini maka tak akan ada gerak yang dihasilkan (Sal Murgiyanto, 1983: 51). Analisa gerak dan karakter diuraikan menggunakan konsep dari Dorris Humprey yaitu 4 macam bahan penyusunan atau unsur gerak tari: disain, dinamika, irama, motivasi dan gestur. Inilah bahan mentah yang digunakan untuk meramu tari. Keempat bahan tersebut akan selalu hadir, dan apabila salah satunya absen maka tidak akan berbobot. a. Disain Disain adalah bagian yang meliputi masalah paling luas dari seluk beluk teknis penyusunan tari disain meliputi dua aspek, yaitu aspek waktu dan aspek ruang. Pada dasarnya, secara umum disain dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu simetri dan asimetri yang masing masing dapat berlawanan atau berturutan (oppositional dan successional). Disain simetri memberi watak atau kesan halus dan lembut, sedangkan asimetri membentuk garis tegak lurus memberi kesan perasaan yang gembira, harapan yang besar serta kekuatan. b. Dinamika Dinamika merupakan tenaga yang berhubungan dengan kesadaran dalam kata kata tajam, lembut, cepat, pelan, tegang, rileks. Tidak dipungkiri bahwa dinamika tajam ditambah kecepatan tinggi memberi kesan merangsang, sedangkan dinamika yang lembut dengan kecepatan sedang atau perlahan memberi kesan ketegangan. Pada intinya dinamika

132 berhubungan dengan waktu, dinamika halus memerlukan waktu panjang, dan tajam memerlukan waktu yang cepat. c. Motivasi dan Gestur Motivasi adalah inti dari sebuah komposisi tari, sedangkan gestur merupakan dahan atau cabangnya. Motivasi merupakan keinginan seseorang untuk berpindah tempat atau gerak karena adanya suatu dorongan. Gestur adalah pola-pola gerak yang dibuat dan dilakukan sejak lama oleh manusia, untuk mengekspresikan perasaan mereka, sejenis bahasa komunikasi atau bahasa fungsional, yang telah dilakukan sejak awal hadirnya manusia di dunia. Lebih singkatnya gestur adalah bentuk komunikasi non verbal yang mengkomunikasikan pesan pesan tertentu sebagai pengganti kata kata dengan mengikuti gerak tangan, wajah, atau bagian tubuh lainnya. Konsep di atas digunakan sesuai dengan kebutuhan yang ada dalam sajian tokoh Wibisana. Analisis yang dilakukan menggunakan langkah mengamati disain, dinamika, motivasi dan gestur, kemudian diuraikan bagaimana karakter tari yang dibentuk dari gerak. Analisis karakter juga melihat latar belakang kehidupan Wibisana dalam cerita Wayang Kulit. Motivasi Motivasi motivasi yang berhubungan dengan penyusunan gerak adalah motivasi gerak, gending, vokal, cerita. Penyusunan gerak dengan

133 memotivasi diri untuk memahami dan menguasai lakon atau cerita. Penguasaan lakon tidak terlalu soal untuk Wasi karena dari kecil sudah beberapa kali memerankan tokoh Wibisana. Motivasi Wasi dalam memerankan tokoh Wibisana, diberi kebebasan dalam menafsirkan konteks tubuh dan geraknya. Selain itu adanya keinginan untuk menerjemahkan keinginan sutradara bagaimana menjadi tokoh Wibisana yang diharapkan. Latihan vokal dan dialog atau antawecana juga penting dilakukan karena konteks pertunjukannya adalah Wayang Orang yang terdapat tembang, antawecana dan lainnya. Pemahaman isi dialog diartikan atau diterjemahkan untuk mengetahui maksud dari isinya untuk membentuk gerak yang akan disusun. Tembang juga mempengaruhi gerak yang disajikan, hubungannya dengan pernafasan yang diambil sehingga gerak akan mengikuti karena secara eksplisit tubuh sudah bermusik. Pada intinya harus menguasai tembang sehingga gerak akan muncul dan mengalir dengan sendirinya (Bantolo, Wawancara 2 April 2019). Gestur Gestur yang digunakan seperti gestur dalam kehidupan nyata sehari-hari seperti menggambarkan perasaan, memeluk, berpamitan dan menunjukkan suatu tempat. Visual gestur tersebut sudah distilisasi atau kegiatan merubah gestur dari bentuk alamiahnya. Gestur gestur yang ada dalam sajian tokoh Wibisana sebagai berikut.

134 1. Gestur yang pertama menggambarkan setelah meninggalkan Alengka. Gerak menunjukkan kesedihan hatinya yang terlihat pada saat Wibisana membalikkan badan ke belakang dengan pandangan sendu atau datar. Gambar 52. Gestur Wibisana yang menggambarkan perasaan sedih (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). 2. Gestur memeluk Kumbakarna dengan gerak yang sudah distilisasi. Level lebih rendah dan membungkuk, kedua tangan membuka ke samping. Gestur tersebut juga bisa disebut sebagai bentuk hormat pada Kumbakarna.

135 Gambar 53. Gestur memeluk atau menghormati (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). 3. Gestur yang selanjutnya adalah memohon pamit dan restu. Gerak yang digunakan jika di dalam kehidupan nyata berjabat tangan dan mencium tangan, gerak yang disajikan adalah level lebih rendah atau posisi jengkeng kiri, kedua tangan memegang paha Kumbakarna dan posisi kepala menunduk.

136 Gambar 54. Gestur berpamitan (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). 4. Gestur menunjukkan tempat tinggal. Jika biasanya kita menunjukkan tempat diikuti tangan dan berbicara, berbeda dengan gerak yang dilakukan Wibisana. Gerak yang disajikan dengan pandangan mata melihat ke arah yang jauh dengan suara lantang dan tegas.

137 Gambar 55. Gestur menunjuk tempat (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). Candhakan 3 1. Wibisana Memasuki Panggung Disain: Asimetri (Ridhong sampur dan mlurut sampur) Dinamika: Dari lamban menuju sedang Karakter Wibisana yang rela berkorban digambarkan dengan gerak njangkah atau berjalan maju kemudian berbalik ke belakang dan kembali ke depan diikuti gerak kaki pelan menuju sedang. Pada kondisi suasana yang sedih, karakter Wibisana tetap memunculkan alus lanyapnya dengan tekanan gerak pada pergelangan tangan dan gerak kaki njangkah.

138 Gambar 56. Salah satu pola gerak asimetri (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). 2. Wibisana Bertemu Kumbakarna Disain: Simetri (kedua tangan sejajar di depan dada), Asimetri (Seperti panggel besut). Dinamika: Pelan, tersusun oleh lintasan gerak tangan yang melengkung, memberi kesan tenang dan lembut, tekanan terletak pada pergelangan tangan. Karakter Wibisana yang baik, terlihat pada gerak seperti memeluk Kumbakarna dengan level sedikit merendah. Pada kondisi adegan yang haru memunculkan karakter tari Wibisana yang tadinya lanyap, menjadi luruh karena memberi salam atau hormat pada Kumbakarna dengan posisi badan atau level lebih merendah dan menunduk. Namun kembali lanyap ketika akan berdialog atau antawecana dengan Kumbakarna.

139 Gambar 57. Salah satu disain asimetri rangkaian panggel besut (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). 3. Antawecana a. Bagian awal Disain: Simetri (kedua tangan trap cethik tanjak kiri), Asimetri (Tanjak kanan menthang kanan). Dinamika: Pelan, memberi kesan lembut namun tetap berwibawa. Kondisi suasana yang tegang, karakter Wibisana yang bijaksana dapat dilihat dari pandangan yang mengarah ke Kumbakarna, serta posisi tanjak kiri dengan kedua tangan trap cethik. Karakter alus dimunculkan dalam gerakan tangan kanan menthang secara perlahan dan dibawa ke depan dada selaras dengan dialog yang diucapkan. Gerak pergelangan tangan yang diberi tekanan memperlihatkan karakter Wibisana yang alus lanyap dalam kategori gerak cakrak.

140 Gambar 58. Salah satu disain asimetri (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). b. Bagian tengah 1 Disain: Simetri (kedua tangan sejajar di depan dada, Asimetri (tangan kanan di depan dada, tangan kiri trap cethik. Dinamika: Pelan, dengan tekanan tekanan pada tangan. Pada suasana yang tegang, karakter Wibisana yang bijaksana dan berwibawa terletak pada caranya berbicara atau berdialog dengan Kumbakarna yang diberi penegasan dengan pola gerak tangan dan tolehan yang sesekali diberi tekanan tekanan. Karakter Wibisana tetap lanyap dilihat dari gerak seretan polok kaki dan pandangannya yang mendongak.

141 Gambar 59. Salah satu disain simetri kedua tangan sejajar (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). c. Bagian tengah 2 Disain: Asimetri (posisi tanjak kanan, tangan kanan menthang, tangan kiri trap cethik). Dinamika: Sedang dengan tekanan tekanan. Karakter Wibisana yang bijaksana terletak pada gerak kedua tangan sejejar dan diberi tekanan pada saat menenangkan Kumbakarna. Karakter Wibisana yang rela berkorban digambarkan dalam dialog dengan penegasan gerak pada tangan. Karakter tari Wibisana dalam kondisi suasana yang tegang, tetap pada pola pola gerak alus lanyap yang dipertegas dengan pandangan atau polatannya.

142 Gambar 60. Salah satu disain asimetri pola tanjak kanan (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). d. Bagian akhir (Pamit) Disain: Asimetri (tangan kanan di depan pusar, kiri trap cethik), simetri (kedua tangan sejajar, kaki tanjak). Dinamika: Sedang, menuju pelan dengan tekanan gerak pada tangan, kaki, dan tolehan. Karakter Wibisana yang dikenal rela berkorban, baik, dan membela kebenaran ditunjukkan pada gerak tangan di depan dada yang diberi tekanan dan digambarkan dalam bentuk dialog. Selain itu juga menghadirkan gerak srigig mundur kemudian berbalik ke arah depan selaras dengan pola Kendang. Pada kondisi suasana yang haru, karakter tari Wibisana tetap lanyap, saat berpamitan dengan Kumbakarno menjadi menunduk atau luruh sebagai wujud menghormati Kumbakarno.

143 Mangliawan 1. Wibisana Menemui Rama Disain: Asimetri (Pola gerak tangan bergantian membentuk lintasan ke atas dan bawah dengan pola kaki mancat dan seretan polok serta jempol). Dinamika: Cepat dengan gerak srisig, menuju sedang. Karakter Wibisana yang berani divisualkan dalam gerak kaki srisig dan pola tangan yang diberi tekanan dalam kebyok sampur dan polatan yang tajam atau tegas. Ketika menghadap ke arah Rama, gerak menjadi pelan dengan polatan sedikit menunduk, kemudian kembali geraknya diberi tekanan dan polatan mendongak. Pada dasarnya, dalam suasana tegang Wibisana berada di antara pasukan kera, gerak karakter lanyap tetap, namun pada saat melihat Rama menjadi luruh.

144 Gambar 61. Salah satu pola disain asimetri kedua tangan membuka kesamping (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). 2. Tembangan Wibisana dan Rama Disain: Asimetri (Posisi tanjak, tangan di depan dada, tangan kiri trap cethik). Dinamika: Sedang, mengikuti irama tembang. Karakter Wibisana yang berani dan tegas, disajikan dalam bentuk pandangan atau polatannya ketika memberi tahu asal negerinya dengan suara yang lantang. Karakter tari Wibisana secara alus lanyap, terlihat pada gerak gerak yang diberi tekanan dan suara yang lantang sebagai karakter alus lanyap. Karakter lanyap Wibisana berubah ketika dalam kondisi memandang Rama, dengan pola gerak mbanyu mili dan tekanan pada tubuhnya lebih dihaluskan. Pada intinya suara lantang dalam karakter lanyap tokoh Wibisana tetap terlihat, perbedaannya pada gerak dan

145 pandangan ketika berhadapan dengan tokoh Rama. Pola gerak melengkung yang disajikan seperti hoyog, ukel mlumah, miwir sampur, dan junjungan kaki kanan menambah kesan lembut Wibisana. Secara keseluruhan gerak yang disajikan mengikuti irama tembang. Gambar 62. Salah satu disain asimetri pola junjungan kanan (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). 3. Antawecana Disain: Simetri (Posisi tanjak, kedua tangan di depan cethik), Asimetri (Pola tangan kanan menthang, dan di depan dada, tangan kiri trap cethik). Dinamika: Sedang. Karakter baik dari Wibisana dibuktikan dari dialog yang ingin membantu Rama pergi ke Alengka. Karakter tari yang dimunculkan ketika melihat ke arah Rama, pandangan Wibisana memandang ke

146 bawah, namun suara masih tetap lantang. Pandangan mendongak Wibisana sebagai karakter lanyap ketika tidak memandang Rama dan kembali memandang kejauhan. 4. Wibisana Diizinkan Membangun Tambak Disain: Simetri (usap kedua tangan di depan mata, gerak kedua tangan menthang dan kebyak kebyok sampur), Asimetri (tangan kanan ndudut keris, tangan kiri menthang lumaksana Naga Rangrang). Dinamika: Sedang, tekanan pada pergelangan tangan. Pada kondisi suasana gembira karena diizinkan Rama membangun tambak, karakter lanyap Wibisana tetap muncul dengan adanya gerakan yang diberi tekanan, serta volume tangan yang diperbesar dan membentuk garis lurus. Gerak yang disajikan lebih variatif dengan tekanan gerak pada pergelangan tangan.

147 Gambar 63. Salah satu disain asimetri gerak ndudut keris (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). Tambak Gora 1. Wibisana Membangun Tambak Disain: Simetri (Kedua tangan ukel mlumah sejajar, kedua kaki kenser kedepan), Asimetri (Njujut kaki kanan mancat, tangan kanan memegang keris tangan kiri ngrayung dengan sampur di atas kepala, sampir sampur). Dinamika: Sedang menuju pelan dari persiapan membuat tambak sampai menuju pelan membuat tambak. Karakter tari Wibisana dalam adegan ini memusatkan pada gerak lanyap yang cakrak dengan tekanan tekanan pada pergelangan tangan, junjungan kaki, dan adanya gerak patah patah seperti pacak jangga. Kesan gagah sebagai ksatria muncul pada saat Wibisana menggunakan kesaktiannya membangun tambak didukung volume gerak yang sedikit

148 diperbesar namun tidak melebihi batas. Terdapat gerak gerak variasi seperti adu manis dan gerakan tangan seperti menirukan ombak. Gambar 64. Salah satu disain asimetri tangan kiri ngrayung sejajar kepala, tangan kiri trap cethik (Foto hasil screenshots dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018). Gambar 65. Salah satu disain simetri pola tangan dan kaki sejajar (Foto hasil screenshots dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018).

149 2. Tambak Hancur Disain: Asimetris (Kaki njangkah kesamping, tangan kanan trap cethik, tangan kiri ukel mlumah cul sampur, tanjak kanan tangan kanan menthang). Dinamika: Pelan, diberi tekanan pada pergelangan tangan. Karakter rela berkorban atau nompo dalam bahasa Jawa tokoh Wibisana, disajikan dengan gerak pelan dan ekspresi yang tenang. Pada kondisi suasana yang tegang, karakter tari berubah ketika tambak dihancurkan, pandangan Wibisana merendah setelah Rama menghampirinya. Gerak Wibisana menjadi sangat pelan dan membungkuk hampir mendekati luruh dan berjalan melangkah ke belakang karena dihadapkan dengan tokoh Rama. Gambar 66. Salah satu disain asimetri ambil sampir sampur kaki srimpet ke belakang (Foto hasil screenshot dokumentasi audio visual milik Wayang Orang Kautaman, 2018).

150 3. Menyeberangi Tambak Disain: Asimetris (lumaksana seblak sampur). Dinamika: Pelan, menuju sedang. Pada kondisi suasana yang bahagia tetap memunculkan karakter Wibisana yang alus lanyap didukung dengan gerak lumaksana seblak sampur. Menggambarkan kegembiraan yang didukung dengan musik dan tembang. C. Konsep Sengguh Lungguh Mungguh Melacak konsep sengguh, lungguh, mungguh memang agak sulit, karena informasi konsep ditularkan lewat lisan. Para tokoh tari dahulu, memahami konsep tersebut, mungguh bersamaan dengan hastasawanda juga tahun 50-an. Awalnya yang diketahui sengguh dan mungguh kemudian muncul lungguh (Wahyu Santoso Prabowo, wawancara 7 Mei 2019). Konsep sengguh, lungguh, mungguh, apabila dicermati merupakan bangunan segitiga dengan sengguh sebagai puncaknya. Proses penjiwaan tentunya dilakukan ketika penari atau koreografer telah melampaui konsep mungguh dan lungguh (Katarina Indah Sulastuti, 2017: 221). 1. Konsep Sengguh Pemahaman dan kemampuan penari atau koreografer dalam menjiwai tari serta mengungkapkan rasa tari yang ditarikan atau digarap. Sengguh menurut Agus Tasman yang dikutip dalam Skripsi Maharani

151 Lutvinda, menjelaskan bahwa sengguh dapat diartikan pula sebagai bentuk yang urip mampu menyapa rasa estetik penghayat. Wahyu Santoso Prabowo juga menambahkan, membahas tentang sengguh berarti membahas tentang laku spiritual urip mawa urup, urip hanguripi. Berdasarkan konsep laku spiritual tersebut dapat diartikan bahwasannya penari bergerak bukan hanya karena fisik namun mampu mengungkapkan sesuatu dan apa yang diungkapkan tersebut mampu menyapa dan menyentuh jiwa yang dalam. Dengan demikian dalam konsep sengguh ini dapat diartikan sebagai sarana komunikasi antara bentuk sajian dengan penghayat karya (2014:89). Konsep sengguh dalam sajian tokoh Wibisana secara eksplisit terbangun dari bentuk bentuk adeg tari putra alus dari tanjak, penthangan tangan, dan polatan. Kaitannya untuk mencapai sengguh dalam Wayang Orang, untuk mengungkapkan Bagaimana tokoh Wibisana Wasi berpendapat bahwa proses yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan tokoh yang lain, yakni proses latihan selama kurang lebih 2 bulan. Wasi juga menjelaskan bahwa dalam memerankan tokoh Wibisana, ia diberi kebebasan dalam mengekspresikan dirinya untuk bergerak. Meskipun demikian ia tetap mempresentasikan hasil eksplorasi geraknya pada sutradara. Proses memahami cerita dan menguasai lakon yang diusung, puluhan tahun bahkan dari kecil sudah paham cerita Ramayana sehingga tidak terlalu sulit dan pernah membawakan tokoh Wibisana sebelumnya.

152 Tidak terlalu soal untuk memerankannya, yang sulit adalah menerjemahkan keinginan sutradara, jadi perlu adanya dialog atau komunikasi dengan sutradara. Oleh karena itu, setiap sutradara memiliki keinginan yang berbeda beda maka tokoh Wibisana memerlukan proses, termasuk dalam memahami dialog. Bentuk tokoh Wibisana dialognya merupakan dialog yang paling panjang, dan melibatkan emosional apalagi berinteraksi dengan tokoh lain. Perlu memahami kalimat perkalimat yang dibuat oleh sutradara, karena kalimat yang dibuat sangat puitis. Meskipun diucapkan enak tapi tidak mengerti bahasanya, itu perlu diproses. Kadang mengerti artinya tapi juga harus mengerti keinginan sutradara, kata katanya perlu dimengerti, pemenggalan katanya, kata katanya tepat, pengaturan nada harus ambil nafas atau tidak. Akan tetapi tidak terlalu sulit dalam menembang karena diberi syair dan tembangnya sesukanya dan diprotes ketika mengubah cengkok oleh sutradara (Wasi Bantolo, Wawancara 2 April 2019). 2. Konsep Mungguh Pemahaman dan kemampuan penari atau koreografer dalam menyesuaikan tari yang disajikan atau digarap dengan elemen elemen lainnya seperti gendhing, gandar, rias busana dan lainnya. Persoalan karakter ini dikaitkan dengan karakter Wayang Kulit Purwa untuk mencapai kemungguhan adalah melihat tiga hal sebagai berikut.

153 a. Cara berbicara atau disebut antawecana merupakan penentuan karakter berdasarkan suara. b. Bentuk, yaitu semacam garis besar bentuk Wayang Kulit. c. Wanda, artinya raut muka yang terkait dengan ekspresi Wayang Kulit. Hubungannya dengan kemungguhan Wasi Bantolo sebagai tokoh Wibisana, tidak terlepas dari melihat gandar atau postur tubuh dari boneka Wayang Kulit. Kesesuaian dalam konteks gandar Wasi Bantolo dengan boneka Wayang Kulit dianggap sesuai dengan perawakan yang sedang dan tidak terlalu besar tubuhnya serta berparas tampan. Hubungannya dengan kesesuaiannya dalam rias busana, sesuai dengan yang terpahat dalam boneka Wayang Kulit hanya saja busana dalam Wayang Orang lebih sederhana dan perbedaannya terdapat pada bagian bawah. Penguasaan musikal Wasi Bantolo tidak terlalu soal karena sudah menguasai gendhing yang digarap dalam Lakon Smaratapa. Hubungannya dengan berbicara dengan antawecana, suara yang diucapkan sesuai dengan suara Boneka Wayang Kulit yaitu lantang. Pada intinya Wasi Bantolo sudah mencapai kemungguhan yang dikaitkan dengan kemungguhannya dalam karakter Wayang Kulit. 3. Konsep Lungguh Pemahaman dan kemampuan penari dalam menentukan posisi atau kedudukan ketika menyajikan tari, seperti lungguhing Bedhaya akan berbeda dengan lungguhing tari Gambyong. Begitu juga dengan sajian

154 tokoh Wibisana, lungguhing tari alus lanyap berbeda dengan alus luruh. Gerak dasar yang disajikan merupakan alusan dengan pola gerak banyumili dengan penambahan tekanan atau jeda dalam geraknya. Alusan lanyap dalam 10 patrap beksa dalam Serat Kridhawyangga termasuk kedalam patrap beksa kukila tumiling (burung menggelengkan kepala) yang digunakan untuk tari alus lanyap atau branyak (lincah). Kaitannya dengan lungguh dimana sudah dipaparkan di atas bahwa Wasi sebagai tokoh Wibisana, sudah mengenal tokoh Wibisana sejak kecil dan memahami ceritanya sehingga dapat memposisikan atau nglungguhi bagaimana menjadi tokoh Wibisana yang alus lanyap dengan penekanan penekanan gerak atau cakrak. Kaitannya dengan konsep di atas, Nanang, memilih Wasi sebagai tokoh Wibisana karena dianggap mampu dan sesuai dengan tokoh Wibisana. Koreografer Achmad Dipoyono juga mengakui dan mamantaskan Wasi sebagai tokoh Wibisana yang sesuai dengan tokoh Wibisana yang ada dalam Wayang Kulit. Tidak jauh berbeda dengan pendapat keduanya, Empu tari Wahyu Santoso Prabowo juga megakui ketubuhan atau gandar Wasi sesuai dengan tokoh Wibisana. Wasi dianggap sudah mencapai kemungguhan dan cocok atau pantas memerankan karakter alus yang lanyap. Berdasarkan pendapat ketiganya penulis yakin bahwasannya Wasi memang pantas dalam memerankan tokoh Wibisana dalam karakter tari alus lanyap.

155

155 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan analisis yang diterapkan dalam aspek gerak dan karakter tari tokoh Wibisana pada lakon Smaratapa dalam pertunjukan Wayang Kautaman yang dipentaskan pada 19 Oktober 2018 di Gedung Teater Besar ISI Surakarta. Dapat ditarik kesimpulan sebagai sasaran penelitian yang telah dilakukan. Wayang Orang Kautaman merupakan kelompok Wayang Orang yang mengedepankan tontonan atau pertunjukan yang menjaring minat kalangan muda terhadap pertunjukan Wayang Orang. Selain itu, Wayang Kautaman juga mengedepankan disiplin berproses dalam pertunjukan. Esensinya adalah Wayang Kautaman sebagai wadah terbentuknya pertunjukan Wayang Orang yang menentukan kualitas pertunjukanya. Hubungannya dengan terbentuknya satu gerak dan karakter yang benar benar diolah dengan disiplin proses yang panjang. Dari disiplin proses yang serius, kemudian muncul tokoh Wibisana sebagai wujud terciptanya gerak dan karakter. Tokoh Wibisana dalam sajiannya terdapat unsur unsur atau elemen koreografinya di antaranya musik, gerak, rias busana dan lainnya sebaga penunjang sajiannya. Sajian

156 tokoh Wibisana tidak bsa terlepas dari boneka Wayang Kulitnya karena merupakan personifikasinya. Gerak tokoh Wibisana mengacu pada alusan lanyap yang termasuk dalam gerak alus cakrak atau ada tekanan dalam geraknya. Gerak dasar yang digunakan tetap mbanyu mili dan diberi penekanan. Kaitannya dengan karakter tarinya atau pembagian jenis gerak dalam tari, termasuk dalam karakter alus lanyap dimana gerak dasarnya tetap alus mbanyu mili. Gerak dan karakter tari keduanya mempunyai ikatan dimana gerak dapat memunculkan suatu karakter tari, begitu juga sebaliknya. Pada intinya untuk mengetahui karakter dari tokoh Wibisana harus mengetahui cerita dari Wayang Kulitnya. Dapat disimpulkan bahwa karakter yang dibawa sejak lahir dari tokoh Wibisana yaitu baik, berbudi luhur, membela kebenaran, adil, rela berkorban, bijaksana dan berwibawa. Analisis gerak dan karakter tari Wibisana menyimpulkan bahwa gerak dapat membentuk karakter tertentu. Kaitannya dengan karakter tari, tokoh Wibisana tetap alus lanyap, namun ketika berhadapan dengan tokoh Rama dan Kumbakarna menjadi luruh sebagai wujud menghormati tergantung dari konteks kebutuhannya.

157 B. Saran Setelah melakukan penelitian perihal gerak dan karakter tari dalam Wayang Orang, khususnya dalam tokoh yang ada dalam Wayang Kulit, dan mengetahui lebih dalam gerak dan karakter tari. Penulis mempunyai saran supaya penelitian selanjutnya yang sejenis, dapat dilakukan penelitian kembali seperti pengetahuan gerak dan karakter tari secara spesifik bentuk sajian suatu tokoh dan pembentukan karakter dalam Wayang Orang. Hal hal tersebut dapat membantu menambah wawasan dengan melakukan kegiatan penelitian.

158 A. Daftar Acuan Anonim. 1981. Kawruh Joged-Mataram. Dewan Ahli Yayasan Siswa Amon Beksa Ngayogyakarta Hadiningrat. Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Yogyakarta: Kanisius. Bantolo, Matheus Wasi. 2002. Alusan pada Tari Jawa. Tesis S-2 ISI Surakarta. Clara Brekel-Papenhuyzen. Seni Tari Jawa Tradisi Surakarta dan Peristilahannya. Bekerjasama dengan Ngaliman S. Dewan Ahli Yayasan Siswa Among Beksa Ngayogyakarta Hadiningrat. 1981. Kawruh Joged-Mataram. Yogyakarta. Harymawan, RMA. 1993. Dramaturgi. Bandung. Remaja Rosdakarya. Hersapandi. 1999. Wayang Wong Sriwedari dari Seni Istana Menjadi Seni Komersial. Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia. Humprey, Dorris. 1983. Seni Menata Tari. Diindonesiakan oleh Sal Murgiyanto. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. Fiyani, Fifit Ika Ari Fiyani. 2011. Karakter Tokoh Arjuna dalam Lakon Arjuna Wiwaha Wayang Wong Sekar Budaya Nusantara. Sripsi S-1 ISI Surakarta. Kartika, Sastra. 1925. Serat Kridhwayangga (Pakem Beksa). Sala: Trimurti. Kuntari, Vivi. 2018. Gerak dan Karakter Bedhaya Sangga Buana Karya Hadawiyah Endah Utami Tahun 2017. Skripsi S-1 ISI Surakarta. Lexy, J Moleong. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Lutvinda, Maharani. 2014. Estetika Bedhaya Si Kaduk Manis Karya Agus Tasman Ranaatmadja. Skripsi S-1 ISI Surakarta. Maryono. 2015. Analisa Tari. Surakarta. ISI Press. Narawati Tati, Soedarsono R.M. 2011. Dramatari di Indonesia, Kontinuitas dan Perubahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mulyono, Sri. 1978. Tripama, Watak Satria dan Sastra Jendra. Jakarta: PT Gunung Agung Jakarta.

159 Padmoesoekotjo, S. 1981. Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita Jilid II. Surabaya: CV Citrajaya. Prabowo, Santoso Wahyu. 2002. Tari Wireng Gaya Surakarta: Pengkajian Berdasarkan Konsep-konsep Kridhwayangga dan Wedhataya, Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni. Vol. 1, No.1. April 2002, Surakarta: PPS STSI Surakarta. Satoto, Soediro. 1985. Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sena Wangi. 1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 4. Pamardi, Silvester. 2014. Karakter dalam Tari Gaya Surakarta, Gelar, Jurnal Seni Budaya Vol. 12 No. 2 (Desember 2014): 220: 235. Soedarsono R.M. 1997. Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sulanjari, Anestri. 2018. Analisis Gerak dan Karakter Mustakaweni Dalam Karya Bramantya Luluh Ing Tresna Karya Wahyu Santoso Prabowo. Skripsi S-1 ISI Surakarta. Sulastuti, Katarina Indah. 2006. Konsepsi dan Indikasi Rasa dalam Tari Jawa Gaya Surakarta. STSI Surakarta.. 2017. Tari Bedhaya Ela-Ela Karya Agus Tasman: Representasi Rasa Budaya Jawa. Disertasi S-3 Universitas Gadjah Mada. Sunardi. 1992. Ramayana. Jakarta: Balai Pustaka. Supanggah, Rahayu. 2007. Bothekan Karawitan II: Garap. Surakarta. ISI Press Surakarta. Sutarno Haryono. 2017. Pengetahuan Tari. ISI Press. Tasman, Agus. 2008. Surakarta. Analisa Gerak dan Karakter. Surakarta: ISI Press Wahyudiarto, Dwi, dkk. 2007. Ilmu Tari Joget Tradisi Gaya Kasunanan Surakarta. ISI Press Solo.

160 B. Narasumber 1. Achmad Dipoyono, (37 tahun) Koreografer pada lakon Smaratapa, Surakarta. 2. Bambang Suwarno, Dosen Prodi Pedalangan, Surakarta. 3. Juworo Bayu Aji, (27 tahun) Niyaga dalam Lakon Smaratapa, Batang Jawa Tengah. 4. Matheus Wasi Bantolo, (45 tahun) pemeran tokoh Wibisana, Palur. 5. Nanang Henri Priyanto, (44 tahun) Sutradara Wayang Orang Kautaman. Jakarta. 6. Wahyu Santoso Prabowo, (67 tahun) Empu tari dan pemain tokoh Baruna, Surakarta. C. Diskografi Video dokumentasi lakon Smaratapa di Teater Besar ISI Surakarta 2018. Wayang Orang Kautaman. Ira Surono. Surakarta.

161

161 C. GLOSARIUM Adeg Alus Alusan :Sikap dasar penari Jawa. :Sifat halus, lembut, tenang. :Salah satu tipe karakter tari putra yang memiliki sifat kehalusan dan kelembutan. Antawecana :Dialog dalam bahasa Jawa dan perbedaan warna suara serta lagu kalimat dalam percakapan antar tokoh wayang. Bathukan Blocking Blush on Candhakan cakrak Cul Casting Dongak Esotoris Gandar Gerongan Glebag Godeg Hastabrata Hoyog Ijen indraya :Bentuk dahi pada Wayang Kulit. :Penempatan penari di panggung. :Perona atau pewarna pipi dalam tata rias. :Adegan disela-sela adegan baku atau pokok. :Gerak alusan yang diberi penekanan. :Melepas. :Pemilihan tokoh atau suatu peran. :Dagu terangkat sedikit ke atas atau menengok ke atas. :Suatu hal yang diajarkan. :Postur tubuh penari. :Vokal suara laki-laki dalam karawitan. :Membalik. Membalikkan tubuh dari satu sisi (misalnya dari menghadap ke timur) ke sisi lainnya (menghadap ke barat), ganti berganti. :Tata rias wajah yang menyerupai bunga turi di antara pipi dan telinga. :Ajaran untuk menjadi Raja yang berwibawa dan bijaksana. :Goncang, berdiri dalam tanjak kiri, berat tubuh diayun ke samping kiri dan kembali lagi ke tengah, sementara itu lutut dilipat dalam-dalam. :Tunggal. :Posisi tangan, kedua tangan berada di depan perut, pergelangan kedua tangan beradu, telapak tangan

162 menghadap ke arah yang berlawanan, tangan yang kanan biasanya berada di atas yang kiri, dan menghadap ke kiri, jari-jari dalam posisi ngithing. Inset Janturan Jejer Jengkeng Jineman Junjungan Jujut K/W :Pola kaki dengan memindahkan berat badan ke kaki kanan atau kiri. :Monolog atau berbicara tunggal. :Sebaris. :Berlutut, posisi satu kaki menyentuh lantai, kaki satunya diangkat. :Sebagian dari bawa yang sudah dibarengi atau sudah diiringi gamelan dan disuarakan bersama. :Pola gerak mengangkat tungkai. :Tarik, perpanjang. Berdiri dalam tanjak (kanan) kaki (kanan) lurus, tumit diangkat, sehingga jendul telapak kaki bertumpu di lantai. Kaki dipindah mendekat ke kaki yang satu. :Singkatan nama Kumbakarna dan Wibisana. kebyak :Mengebas atau membalik (sampur). Ujung sampur dikebaskan terlepas dari tangan dengan putaran cepat pergelangan tangan, dalam gerakan menjauh dari tubuh, sehingga telapak tangan mengahadap ke atas. Kebyok Kepu Lakon Lanyap Lighting Lumaksana Lungguh Luruh :Mencuci, mngebas (sampur). Ujung sampur yang dipegang dengan ujung-ujung jari, dikebaskan menutup punggung tangan dengan memutar pergelangan tangan cepat-cepat, memutar ke arah tubuh, sehingga telapak tangan menghadap ke bawah. :Bentuk model pipi lebar pada boneka Wayang Kulit. :Kisah yang didramatisasi dan ditulis untuk dipertunjukkan. :Salah satu sifat karakter alusan yang bersifat energik. :Pencahayaan dalam panggung pertunjukan. :Gerak stilisasi dari berjalan. :Kemampuan penari dalam menentukan posisi dalam menyajikan tari. :Salah satu bagian karakter alusan yang bersifat lembut.

163 Macapat Mancat Mapping Mayug Mayungi Mendhak Menthang Mingkis :Puisi tradisional Jawa. :Posisi tumit diangkat dan tungkai menyentuh lantai. :Ilusi optis menggunakan proyeksi. :Condong ke depan. :Memayungi. Berdiri dengan kaki melipat: lurus sedalamdalamnya, sehingga dekat di atas jari-jari kaki. Ini ciri sikap tanjak pada penari alusan. :Posisi tubuh turun ke bawah, kedua lutut dibuka ke samping. :Merentangkang tangan ke samping. :Menyingsingkan, tangan di taruh di sisi tubuh, di atas pinggul, hanya ujung-ujung jari yang menyentuh tubuh, jarijari melurus dengan pergelangan tangan menghadap ke atas. Tangan ini boleh memegang sampur. Miwir sampur:membentang sampur. Jari-jari memegang sampur pada bagian unjung yang dekat dengan tubuh, kemudian tangan meluncur sepanjang tepian sampur sampai lengan merentang ke samping. Mlumah :Telentang, membalik telapak tangan sehingga menghadap atas. Naga Rangsang:Naga menyerang. posisi tangan, agak mirip dengan ngrayung: tangan menekuk ke belakang, membentuk sudut tajam pada pergelangan. Empat jari melurus, ibu jari melipat ke depan telapak, denan ujungnya bisa juga melekat padanya. Sebagai varian, tangan juga bisa bertekuk ke depan. Ndudut Nekuk Ngithing Ngrayung :Menarik benda atau dalam properti tari bisa diartikan seperti menarik keris. :Menekuk. Menekuk lengan atau kaki, dengan melipatkan siku, lutut atau pergelangan kaki. :Membengkokkan jari-jari. :Ragam bentuk jari dalam tari, pergelangan tangan atau ugel ugel ditekuk ke atas (berdiri tegak). Keempat jari tangan rapat dan di dalam posisi berdiri tegak ibu jari masuk ke dalam hingga hampir menyentuh telapak tangan.

164 Nyempurit :Ragam bentuk jari tangan dalam tari, pergelangan dipatahkan ke atas dalam berdiri posisi tegak. Ibu jari dalam posisi berdiri tegak disentuhkan bagian tengah jari tengah. Jari yang lain ngithing. Pacak gulu Sampir Sampur Sanggit :Melenggokkan leher atau menggerakkan kepala miring ke samping kiri dan sebaliknya (mirip dengan angka 8 rebah). :Menyampirkan sampur, menaruh salah satu ujung sampur pada lengan sebelah atau melintang bahu sebelah. :Selendang atau kain panjang yang digunakan untuk menari. :Kreativitas atau daya olah pikir. Seblak :Menampar/mengibas sampur menggunakan telapak tangan. Seretan Simpingan Sinom Sindhenan :Pola menggeser kaki dengan meggerakkan telapak kaki selalu menyentuh lantai. :Wayang yang ditancapkan pada debog atau batang pisang. :Anak rambut yang tumbuh di sekitaran tepi wajah. :Vokal wanita dalam karawitan. Srimpet :Posisi salah satu kaki disilangkan membentuk huruf S. Srisig Srisig :Gerak kaki berlari ataupun berjalan kecil kecil dengan mengangkat tumit atau berjinjit dan sedikit mendhak. :Menggerakkan kaki untuk berjalan sambil berjinjit dengan cepat. Sunggingan : Pewarnaan pada Wayang Kulit. Suweng Tanjak :Anting-anting. :Sikap berdiri dasar pada tari Jawa, terdapat pada tipe karakter lain seperti putri dan gagah. Posisi sikap tegak dengan lutut melipat, dan kaki menghadap ke samping. tanjak kanan :Berdiri tanjak dengan kaki kanan di depan. Karena sikap ini selalu dilakukan pada awal tarian klasik, maka juga dinamakan tanjak purwantaya (pembukaan tari). Tanjak kiri :Berdiri tanjak dengan kaki kiri di depan. sikap ini sering diikuti dengan hoyog.

165 Tawing Trap cethik Ukel Tembang Wanara Wanda Yaksa :Posisi lengan bawah menyilang di depan dada, tangan di depan bahu, atau sedikit lebih tinggi, siku dan pergelangan benar-benar ditekuk. :Menempatkan tangan di depan cethik (pinggul), biasanya dengan telapak tangan menghadap ke lantai. Siku dan pergelangan dilipat, jari-jari dapat dalam berbagai posisi, seperti ngithing atau ngrayung, dengan atau tanpa sampur. :Gerak memutar pergelangan tangan keluar maupun ke dalam. :Sajak atau lirik yang mempunyai nada. :Kera. :Sifat atau karakter dari tokoh Wayang. :Raksasa.

166 C. BIODATA PENULIS Nama : Dwi Ariyani Tempat Tanggal Lahir : Sragen, 4 April 1997 Alamat Rumah : Kategan, Gemolong, Gemolong, Sragen Riwayat Pendidikan TK : TK Pertiwi Gemolong (2002-2003) SD : SD Negeri IV Gemolong (2003-2009) SMP : SMP Negeri 1 Miri (2009-2013) SMA : SMA Negeri 1 Sumberlawang(2013-2015) Perguruan Tinggi : ISI Surakarta (2015 2019)