Teks diskusi tentang pemblokiran media sosial karena maraknya ujaran kebencian

KBRN, Jakarta: Secara faktual, peristiwa tabrakan atau menabrak satu bus Transjakarta dengan bus trans Jakarta lainnya telah menyebabkan dua orang meninggal serta puluhan orang lainnya luka-luka dalam kecelakaan kemarin.

Dirlantas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo, mengungkapkan penyebab sementara adanya informasi bahwa sopir salah satu bus trans jakarta tersebut mengantuk.

Kita tentu prihatin dengan kejadian ini, apalagi sebenarnya bus Transjakarta sudah memiliki jalur tersendiri. Dua orang meninggal serta puluhan lainnya luka-luka adalah catatan buruk dalam pengelolaan trans Jakarta.

Apapun alasannya, ini pasti ada human error dan problem manajerial. Sopir mengantuk hanya salah satu rantai sebab, sedangkan sebab utamanya adalah ketidakmampuan pengelolaan secara baik. Polisi sendiri masih menduga dua hal, pertama karena sopir mengantuk dan kedua karena dugaan persoalan rem.

Bila terbukti kecelakaan itu akibat sopir memgantuk, pasti ada kelemahan dalam manajemen operasional pengemudi. Harusnya ada mekanisme pengechekan sebelum seorang crew bertugas.

Sedangkan bila hasil penyelidikan akibat rem tidak berfungsi, maka itu pun persoalan managerial karena berarti ada SOP pengcekan fungsi kendaraan yang tidak berjalan. Karnanya apapun hasil penyelidikan polisi, adalah persoalan managerial.

Berapapun jumlah korban, itu adalah keselamatan nyawa manusia, dan nyawa manusia tidak ada gantinya. Bus Trans Jakarta adalah kendaraa publik yang harusnya zero accident. Demikian komentar. Selamat pagi.

Bisnis.com, JAKARTA — Manuver pemerintah memblokir beberapa fitur sosial media atas dasar stabilitas politik dan keamanan pada 22-24 Mei 2019, dianggap sebuah kemunduran dalam mengawal demokrasi.

Hal ini disampaikan Pakar Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro Wijayanto dalam diskusi bertajuk 'Perbandingan dan Praktek Demokrasi Liberal 1955 dan 2019' di Jakarta Selatan, Selasa (28/5/2019).

Menurut Wijayanto, pemblokiran yang dilakukan pemerintah mirip dengan narasi pembredelan Media Mainstream 1955, akibat terlalu bebasnya interaksi masyarakat lewat media tersebut.

"Pemblokiran media sosial atau tempat di mana publik berekspersi bukan suatu hal yang lazim dalam negara demokrasi," ujar Wijayanto.

"Meskipun gejala-gejala ini belum cukup menyimpulkan bahwa ini akan membawa kita kembali ke Orde Baru atau Orde Lama, setidaknya ini bisa menjadi penghalang konsolidasi demokrasi yang berlangsung," tambah Wijayanto.

Wijayanto menyebut ada beberapa salah kaprah terkait berlangsungnya pemblokiran ini. Utamanya atas klaim terancamnya keamanan nasional.

Pertama, memang benar bahwa boleh ada pembatasan terhadap kebebasan media. Tetapi, salah satu syarat menyebutkan harus melalui proses hukum terlebih dahulu dengan presiden yang membuka, atau Jaksa Agung sebagai ketua tertinggi lembaga hukum.

"Nah kemarin kita tak mendengar itu, yang melakukan ialah wiranto. Tiba-tiba, tuh. Itu kan sama tiba-tibanya dengan Soeharto pada waktu itu yang tiba-tiba ambil alih kekuasaan tanpa ada anouncment dari Soekarno dan dia memblokir semua media yang ada," ujar Wijayanto.

Kedua, kebijakan pemblokiran media sosial membuat Indonesia sejajar dengan negara-negara yang notabene dianggap negara tak bebas atau memiliki skor degree of freedom kecil versi Freedom House, seperti Sri Lanka, China, Truki, Vietnam, Iran, dan Bangladesh yang juga memblokir media sosial.

"Nah, Freedom House mencatat bahwa level kebebasan di sana [yang memblokir sosial media] semua lebih rendah daripada Indonesia. Itulah negara-negara yang disebut sebagai agak bebas dan bahkan tidak bebas," ungkap Wijayanto.

Ketiga, Wijayanto mengutip analisis Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang menyebut pemblokiran media sosial berpotensi berdampak pada ekonomi.

Sebab, sekitar 66 persen transaksi jual beli online Indonesia berlangsung di platform media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Whatsapp, berdasarkan riset Ideas 2017 dibandingkan lewat aplikasi marketplace yang hanya 16 persen.

Artinya, setiap hari ada 66 persen dari rata-rata transaksi online Rp345 miliar, atau Rp227 miliar transaksi yang terkena dampak pemblokiran sosial media per harinya.

"Dari sisi ekonomi, pemblokiran yang terjadi selama 3 hari itu merugikan transaksi kita sebesar Rp681 miliar. Karena 66 persen transaksi jual beli di platform media sosial seperti Instagram, WA, dan Facebook," ujar Wijayanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :


AFTER MOVIE EKSPEDISI BAYAT 2022

Aftermovie KKL 2 di DAS Tinalah, Kulon Progo | Geografi Lingkungan 2020

EGSA Birthday: Abhinaya Batih Aksata

EGSA Birthday: Abhinaya Batih Aksata

Diskusi Eksternal : "Spatial Economics: Exploring The Role of GIS in Digital Economy"

Pandemic COVID-19 An Analysis of Impact on Demographic Bonus Through Population Characteristics

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA