Sumber energi yang dapat memicu terjadinya krisis energi listrik

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis energi tengah menjadi ancaman dunia, terutama ketika kondisi ini telah melanda beberapa negara, seperti Inggris dan China. Indonesia pun dinilai perlu waspada atas kejadian krisis energi ini. Pasalnya, Indonesia merupakan negara pengimpor energi, sehingga kondisi di dunia internasional saat ini bisa berdampak ke Indonesia juga.

Hal tersebut disampaikan oleh Pengamat Migas Widhyawan Prawiraatmadja.

Dia menjelaskan bahwa krisis energi yang terjadi di beberapa negara dipicu oleh melonjaknya harga energi primer, seperti minyak, gas, dan batu bara, terutama karena meningkatnya permintaan energi saat pemulihan ekonomi terjadi.

"Pertama, 'pent-up' demand itu benar adanya, yang sebenarnya positif karena ini artinya ekonomi beranjak pulih kembali ke trayektori sebelum Covid-19," ungkap Gubernur Indonesia untuk OPEC 2015-2017 ini kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (07/10/2021).

Dia menjelaskan, kenaikan kebutuhan energi menjadi salah satu indikasi pemulihan perekonomian. Kebutuhan energi yang meningkat akibat pemulihan ekonomi diperbesar dengan faktor lain seperti cuaca.

"Kebetulan di Eropa, summer-nya lebih panas dari biasanya dan nanti dikhawatirkan juga winter akan lebih dingin dari biasanya," ujarnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, kondisi krisis di Eropa terjadi karena suplai gas dari Rusia juga terkendala, dan inventory gas yang rendah.

"Khususnya di UK yang diakibatkan oleh underinvestment in its infrastructure. Kondisi ini diibaratkan sebagai 'perfect storm' yang memicu krisis energi di Eropa, khususnya UK yang diperparah juga oleh kondisi Brexit," lanjutnya.

Dia menjelaskan, kebutuhan gas yang melimpah menyebabkan impor Liquefied Natural Gas (LNG) juga meningkat yang sebagian berasal dari pasar Asia-Pasifik, sehingga harga LNG di pasar (JKM) menjadi sangat tinggi.

"Kondisi ini berdampak ke China, yang juga mengalami 'pent-up' demand. Di China, hal ini diperparah oleh embargo supply batu bara dari Australia, mengakibatkan harga batu bara juga meroket," jelasnya.

Dia mengatakan, dengan berbagai kondisi yang terjadi tersebut, ini bisa berdampak pada semua negara, termasuk juga Indonesia. Menurutnya ini dikarenakan Indonesia saat ini masih bergantung pada impor dalam pemenuhan energi, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG).

"Semua kejadian di atas akan berpengaruh pada semua negara, termasuk Indonesia karena adanya ketergantungan pada impor," paparnya.

Khusus di Indonesia, krisis energi tersebut akan berdampak pada dua komoditas sektor energi yakni BBM dan LPG. Seperti diketahui, pemenuhan dua komoditas ini masih didominasi dari impor.

"Untuk kasus Indonesia, hal ini akan berpengaruh pada harga BBM dan LPG, yang biaya perolehannya menjadi sangat tinggi," ungkapnya.

Berdasarkan data Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2020 yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia mengimpor minyak mentah sebesar 79,68 juta barel pada 2020, sementara impor produk BBM pada 2020 mencapai 20,87 juta kilo liter (kl).

Adapun impor BBM terbanyak yaitu untuk jenis bensin dengan nilai oktan (RON) 88 atau Premium dan RON 90 atau Pertalite sebesar 9,70 juta kl.

Sedangkan impor LPG pada 2020 tercatat mencapai 6,39 juta ton, naik 12% dari 2019 yang sebesar 5,71 juta ton.

Dari sisi harga, harga minyak dunia turun pada perdagangan pagi ini. Investor memanfaatkan kenaikan harga yang sudah lumayan tajam untuk mengeruk keuntungan.

Pada Kamis (7/10/2021) pukul 07:02 WIB, harga minyak jenis Brent berada di US$ 80,975/barel, turun 0,36% dibandingkan hari sebelumnya. Sementara yang jenis light sweet harganya US$ 77,11/barel. Berkurang 0,44%.

Kemarin, harga si emas hitam ditutup melemah lumayan dalam. Harga Brent dan light sweet masing-masing anjlok 1,79% dan 1,9%.

Sepertinya aksi ambil untung (profit taking) jadi penyebab koreksi tersebut. Dalam sepekan terakhir, harga Brent dan light sweet melesat masing-masing 3,8% dan 3,17%. Selama sebulan ke belakang, kenaikannya adalah 13,07% dan 12,95%.


(wia)

PLTMH Suwan

Konsumsi energi berbahan fosil yang terus meningkat di Indonesia perlu diwaspadai memicu terjadinya krisis energi.

Padahal, Indonesia mempunyai sumber energi terbarukan yang melimpah namun belum termanfaatkan dengan baik.

Faktanya, banyak daerah di pelosok Indonesia masih mengalami gelap-gulita karena belum teraliri listrik. Sungguh miris karena di pelosok tersebut tersedia air, matahari, angin yang bisa menjadi sumber bagi pembangkit listrik.

Masyarakat, pemerintah dan sektor swasta perlu bahu-membahu membangun inisiatif lokal dengan menyediakan listrik melalui pemanfaatan energi terbarukan skala kecil.

MENJELANG konferensi perubahan iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, dunia dikagetkan dengan harga batu bara di bursa batu bara ICE Newcastle yang menembus angka US$270 per ton pada awal Oktober 2021.

Harga batu bara telah naik 450% dalam satu tahun. Sama halnya dengan gas alam, harganya mencapai US$6 per MMBtu. Kenaikan harga kedua sumber energi primer itu, yang menyumbang 50% dari struktur energi dunia, merupakan kenaikan tertinggi dalam sejarah dan terjadi dalam waktu singkat.

Hal ini yang memicu krisis energi dunia pada 2021 yang pada akhirnya krisis ini banyak mengubah posisi negara-negara maju untuk tidak terburu-buru menghentikan batu bara sebagaimana yang disampaikan secara tertulis pada COP26 dan terungkap dalam berita yang dirilis BBC tentang dokumen yang bocor.

Mulai terasa di Eropa, Asia, Amerika

Krisis energi ini dampaknya sudah mulai terasa di Eropa, Asia, bahkan Amerika--yang saat ini sedang ramai diperbincangkan. Hampir semua analis sepakat bahwa penyebab utama krisis energi global ini secara umum memiliki dua alasan.

Pertama, pemulihan ekonomi global pascapandemi covid-19 yang cepat dan tidak terduga. Pandemi covid-19 yang melanda dunia telah menghambat aktivitas ekonomi. Ketika aktivitas ekonomi menurun, permintaan energi juga menurun. Karena itu, produsen energi utama dunia memangkas produksi minyak dan batu bara.

Para pakar di dunia memperkirakan pemulihan ekonomi pascapandemi akan berlangsung cukup lama, yakni sekitar 3–5 tahun. Namun, kurang dari setahun sejak vaksin pertama diluncurkan di Amerika, pada Desember 2020, banyak negara yang sudah keluar dari kondisi lockdown dan ekonomi berangsur pulih.

Sekarang kita tahu bahwa analisis para pakar ini terbukti salah. Permintaan energi melonjak sekaligus, tetapi pasokannya tidak meningkat dan tetap di level pada 2020. Ini merupakan prinsip dasar ekonomi. Lebih banyak permintaan, lebih sedikit pasokan, yang berarti kekurangan. Jadi, prinsip ekonomi ini mendikte harga akan naik.

Kedua, sulitnya transisi ke energi hijau. Negara berlomba-lomba mengurangi emisi, terutama dari sektor energi. Tiongkok menutup ratusan tambang, mengurangi produksi pembangkit listrik tenaga batu bara, dan menggantinya dengan energi terbarukan.

Saat ini Tiongkok menghadapi krisis energi yang disebabkan naiknya permintaan barang akibat pemulihan ekonomi yang tentunya juga meningkatkan kebutuhan energi. Akan tetapi, produksi batu bara untuk industry, termasuk pembangkit, tidak dapat dipenuhi dengan baik.

Sementara itu, energi terbarukan tidak mampu menutup kekurangan kebutuhan energi. Hal ini membuat Tiongkok harus kembali mengandalkan batu bara. Namun, terjadi kelangkaan pasokan batu bara yang membuat harganya meroket.

India juga merasakan hal serupa. India mengandalkan batu bara sebesar 70% dari bauran energinya. Walaupun Tiongkok dan India memiliki cadangan batu bara yang cukup banyak, hujan berkepanjangan membuat tambang batu bara kebanjiran sehingga mengakibatkan tidak dapat berproduksi. Pabrik-pabrik mereka tidak mendapat suplai listrik dan terancam mengalami pemadaman listrik secara massal.

Bukan solusi

Negara-negara Eropa, termasuk Inggris, mengalami krisis energi. Langkah pengurangan emisi yang diadopsi negara-negara Eropa dan Inggris ialah mulai menonaktifkan pembangkit listrik batu bara dan menjadikan gas alam sebagai penggerak utama energi. Namun, penghentian fasilitas produksi di AS dan pembatasan pasokan di Rusia (eksportir gas alam terbesar di Eropa, termasuk Inggris) menyebabkan pasokan gas alam tidak dapat mengimbangi permintaan.

Akan tetapi, jika ditelaah lebih lanjut, langkah penggantian batu bara dengan gas alam bukanlah solusi mengatasi perubahan iklim. Komponen utama pada gas alam ialah CH4 (metana) yang diketahui kapasitas penyerapan panasnya sekitar 80 kali lipat dari CO2. Hal ini nyatanya tidak sejalan dengan upaya mencapai target memerangi perubahan iklim.

Selain kekurangan pasokan gas alam, negara Eropa dan Inggris juga mengalami krisis energi akibat output tenaga angin yang jauh lebih rendah dari yang diharapkan. Pengembangan energi terbarukan secara masif di Eropa telah menjadi bumerang bagi Eropa sendiri.

Eropa menghasilkan energi terbarukan dari dua sumber utama. Tenaga angin di laut utara yang menjadi andalan di Inggris, Jerman, dan Denmark serta tenaga hidro yang menjadi andalan di Norwegia.

Sekarang, kedua sumber tersebut mengering, angin tidak bertiup, dan ketinggian air di Norwegia merosot. Bahkan, Amerika Selatan juga menghadapi masalah yang sama dengan Norwegia.

Penurunan tajam kontribusi tenaga angin dari 25% drop ke hanya 7% dari bauran energi Eropa selama 2021 ini. Grid storage battery dan super-smart grid yang mengoneksikan seluruh negara di Uni Eropa dengan jaringan listrik pintar yang digadang-gadang sebagai solusi intermittency ternyata tidak dapat menolong ketika angin tidak bertiup selama berbulan-bulan.

Bahkan, perusahaan penyediaan grid storage di Australia, Hornsdale Power Reserve, yang menggunakan baterai Tesla dengan output 150 MW--yang terbesar serta tercanggih di dunia, dituntut Regulator Energi Australia (AER) karena gagal menyediakan daya sesuai kontrak.

Sarah McNamara, CEO Australia Energy Council, dalam wawancara dengan SkyNews mengatakan bahwa teknologi baterai saat ini belum dapat menjadi solusi intermittency renewable—“not a silver bullet solution to renewable storage.”

Semua hal di atas menjadi sebuah resep untuk ‘the perfect storm’, sebuah krisis energi global yang belum pernah terjadi dalam sejarah yang akhirnya menyebabkan terjadinya lonjakan tarif listrik tertinggi dalam sejarah Eropa. Energi terbarukan tidak terbukti dapat menggantikan energi fosil sebagai energi primer.

Jerman, yang melakukan pengembangan energi terbarukan secara masif, dapat dijadikan contoh. Harga listrik di Jerman naik dua kali lipat dan tidak terjadi penurunan emisi CO2 secara signifikan seperti yang diharapkan. Justru Prancis dengan 75% nuklir memiliki emisi empat kali lebih rendah daripada Jerman dengan tarif listrik lebih murah.

Salah satu korban yang mengalami kerugian atas tingginya harga energi di Jerman ialah Otima Energie, sebuah perusahaan ritel listrik dan gas kecil Jerman. Energie beberapa waktu lalu menyatakan dirinya bangkrut, korban terakhir dari melonjaknya harga energi. Sementara itu, E.ON, Entega, dan EnBW untuk sementara menarik kesepakatan gas mereka dari portal perbandingan harga Verivox. Tingginya harga energi ini akan menjadi musibah bagi masyarakat serta industri energi mengingat musim dingin yang akan tiba dan kebutuhan akan meningkat, sedangkan harga melambung tinggi.

Lesson learned bagi Indonesia

Walaupun Indonesia saat ini tidak terlalu terdampak dengan adanya krisis energi global, Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara Eropa, dengan terjadinya krisis energi ini tidak dapat disangkal, merupakan kegagalan perencanaan energi Eropa. Mengingat, perencanaan energi Indonesia 40 tahun ke depan sangat mirip dengan kebanyakan negara Eropa, khususnya Jerman. Hal yang demikian berpotensi terjadinya kesalahan yang sama dan terjadinya krisis energi di masa yang akan datang.

Pelajaran dari krisis energi dunia ini ialah; ekonomi tidak dapat mengandalkan energi yang bergantung kepada cuaca; ekonomi tidak dapat terlalu bergantung kepada energi yang memiliki volatilitas harga yang tinggi atau dengan kata lain komponen harga bahan bakar tidak boleh menjadi faktor dominan dalam biaya pokok produksi listrik; smart grid dan battery storage tidak dapat menjadi solusi intermittency; dan yang terpenting ialah dalam phasing-out energi fosil harus digantikan dengan energi bersih yang memiliki kemampuan, keandalan, dan keekonomian yang setara dengan energi fosil.

Bahwa faktanya hanya ada satu negara di Eropa yang tidak terlalu terpengaruh dengan krisis energi bahkan dalam keadaaan krisis masih menjadi net exporter energi kedua terbesar setelah Norwegia, yaitu Prancis. Prancis mengandalkan lebih dari 75% bauran energi yang berasal dari nuklir. Hal ini membuktikan keandalan, nuklir, serta tidak berpengaruh terhadap efek volatilitas bahan bakar.

Mengapa ini dapat terjadi? mungkin hal tersebut disebabkan perencanaan energi yang dilakukan banyak negara di dunia tidak berdasarkan fakta dan data. Karena itu, menafikan fakta bahwa nuklir merupakan teknologi yang terbukti aman dengan kematian per TWh terkecil.

Nuklir memberikan kontribusi nomor dua terbesar setelah hidro dari total bauran energi bersih dunia. Tak hanya itu, nuklir selama lebih dari setengah abad telah berkontribusi menghilangkan lebih 70 giga ton gas rumah kaca--nuklir terbukti saat ini dan di masa depan merupakan solusi climate change, dan ini merupakan fakta yang tidak dapat dinafikan lagi. Seperti yang di sampaikan Rafeal Mariano Grossi, Direktur Jenderal IAEA dalam pesannya kepada COP26.

Perubahan iklim merupakan sebuah ancaman nyata terhadap peradaban umat manusia. Oleh sebab itu, perencanaan transisi energi ini harus dipersiapkan dengan berdasarkan fakta, data secara komprehensif dengan membuka semua opsi. Termasuk, nuklir yang sudah terbukti andal dan memiliki tingkat keselamatan tertinggi agar dapat lepas dari ketergantungan energi fosil serta dapat mencapai target perubahan iklim sebagaimana Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA