Sikap terhadap remaja dengan berkebutuhan khusus di gereja

Ilustrasi anak-anak (Foto: Thinkstock)

Bagi orang tua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus atau abk pasti diharuskan untuk bisa memberikan perhatian lebih bagi anak mereka. Seringkali orang tua merasa kebingungan untuk menghadapi abk yang terkadang sulit untuk dikendalikan.

Sabar memang menjadi kunci utama tiap orang tua untuk mendidik anak-anaknya, terutama mereka yang memang dilahirkan dengan kebutuhan khusus. Abk tidak boleh dijadikan sebagai momok yang harus ditutupi oleh orang tua, karena mereka dinilai mempunyai kelebihan yang mungkin tidak dimiliki oleh anak normal lainnya.

Untuk menangani anak berkebutuhan khusus, Dessy Arnas, yang berprofesi sebagai Coach, Trainer, dan Motivator di salah satu lembaga konsultasi di Jakarta memaparkan cara terbaik untuk menghadirkan abk di tengah-tengah masyarakat normal agar mereka bisa bergaul dan berinteraksi dengan anak normal lainnya.

Ilustrasi anak berkebutuhan khusus berteman (Foto: Thinkstock)

"Orang tua harus bisa adjust anak berkebutuhan khusus untuk hadir di tengah-tengah masyarakat normal. Namun, sebelumnya orang tua harus memahami kondisi sang anak, oleh karena itu pemahaman mengenai sifat dan karakter anak harus diberitahu terlebih dahulu kepada orang sekitar agar mereka pun bisa lebih aware pada anak berkebutuhan khusus," papar Dessy, saat saat ditemui kumparan (kumparan.com) di SkyWorld Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Rabu (5/7).

"Tingkat kemampuan abk beradaptasi dengan orang sekitar tentu berbeda-beda. Sebaiknya orang tua memahami kebutuhan anak mereka terlebih dahulu agar anak pun bisa belajar untuk memahami kita," sambung Dessy.

Untuk mempersiapkan abk hadir di tengah-tengah masyarakat, Dessy mengimbau orang tua untuk tidak perlu takut dan malu menyekolahkan anak mereka di sekolah umum. Saat ini, sekolah umum juga sudah bisa menerima anak berkebutuhan khusus.

"Saya menyarankan untuk memasukkan abk ke sekolah umum agar mereka sedari kecil sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bisa bergaul dengan anak normal lainnya. Karena anak-anak ini pun kelak akan terjun ke masyarakat sehingga penyesuaian sedari dini perlu dilakukan oleh orang tuanya," jelas Dessy.

"Semakin cepat orang tua melatih anak berkebutuhan khusus untuk berbaur dan berinteraksi dengan orang-orang normal maka lebih baik untuk mereka," lanjutnya.

Ilustrasi anak berkebutuhan khusus (Foto: Thinkstock)

Selain itu, orang tua juga bisa mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus ke dalam kegiatan yang bisa mengurangi gejala ASD. Kegiatan seperti terapi yoga dan terapi melukis dianggap Dessy sebagai kegiatan yang baik untuk melatih kemampuan mereka.

Terapi yoga dapat menurunkan sedikit tensi atau rasa tegang pada abk, sedangkan terapi melukis dipercaya mampu membuat abk menjadi lebih fokus dalam mengerjakan suatu hal.

Dessy juga mengungkapkan harapannya pada orang tua yang memiliki abk untuk bisa terus menggali potensi yang dimiiki anak mereka. "Orang tua tak boleh lelah untuk terus menggali potensi yang dimiliki oleh abk agar bakat mereka bisa tereksplor mengingat tingkat kreatifitas anak berkebutuhan khusus sangat tinggi," tutupnya mengakhiri wawancara.

sama yang harus dipenuhi sama seperti warga Indonesia lainnya, namun faktanya UU ini belum sepenuhnya menuntun cara masyarakat Indonesia bersikap terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka masih mengalami diskriminasi dan perlakuan tidak adil dari masyarakat. Masyarakat Indonesia masih membutuhkan sejumlah role model dan di sinilah Gereja bisa mengampanyekan yang tepat melalui tutur dan laku, maka akan menjadi contoh yang baik bagi masyarakat luas.

Alasan kelima, semua manusia pada waktu tertentu memiliki keterbatasan dan kerapuhan. Hal ini disebabkan karena tubuh manusia tidak selamanya berfungsi dengan baik di sepanjang waktu hidupnya; pada waktu-waktu tertentu siapa saja bisa mengalami keadaan khusus (lih. Creamer 2019, 31).

Bentuk-bentuk Keramahan Gereja terhadap

ABK

Dengan berdasar pada prinsip-prinsip di atas, maka Gereja bisa melakukan berbagai hal sehingga ABK merasakan Gereja sebagai rumah mereka. Bentuk-bentuk pelayanan Gereja ini

6 7 terhadap warga jemaat (terlebih kelompok anak)

berkebutuhan khusus. Alasan pertama, Gereja adalah rumah yang terbuka bagi semua orang yang di dalamnya berhimpun seluruh umat dari berbagai latar belakang dan kondisi isik/psikis. Oleh karena Gereja adalah rumah, maka siapa saja boleh datang, dan yang datang harus disambut dengan sebaik mungkin oleh anggota keluarga yang lain. Keterbukaan di sini tidak hanya bersifat basa-basi. Sebab dalam praktiknya banyak yang mengatakan terbuka terhadap berbagai perbedaan namun dalam kenyataannya sikap terhadap ABK masih dipandang sebelah mata oleh komunitas. ABK tidak boleh dipandang dan diperlakukan sebagai kelompok kesekian atau pelengkap dalam kehidupan bergereja. Mereka adalah orang-orang yang berharga di hadapan Allah.

Alasan kedua, anak membutuhkan komunitas iman untuk bertumbuh dan berkembang. Kehadiran anak di Gereja membuka ruang baginya untuk bisa berinteraksi dengan teman-teman sebayanya maupun dengan warga jemaat lain yang datang dari generasi yang berbeda-beda. Dari semua orang yang berbeda ini, anak belajar tentang menjadi seorang Kristen. Itu sebabnya, pola relasi dan komunikasi yang dikembangkan di dalam Gereja haruslah mencerminkan kasih yang merangkul sesama tanpa batas (Mercer 2005, 11- 12). Pola relasi dan komunikasi yang ramah terhadap anak-a n 12). Pola relasi dan komunikasi yang ramah terhadap anak-a k b e r ke b u t u h 12). Pola relasi dan komunikasi yang ramah terhadap anak-a n k h u s u s 12). Pola relasi dan komunikasi yang ramah terhadap anak-a k 12). Pola relasi dan komunikasi yang ramah terhadap anak-a n m e m p e n g 12). Pola relasi dan komunikasi yang ramah terhadap anak-a r u h i pertumbuhan iman (spiritualitas) sang anak, termasuk orang tuanya. Sebab, anak belajar pertama-tama melalui pengamatannya terhadap lingkungan sekitar. Jika lingkungan, tempat dimana dia bertumbuh, ramah terhadapnya, maka anak akan merasa diterima dan dihargai dengan segala keberadaan dirinya. Namun, jika lingkungan, tempat dimana dia bertumbuh dan berkembang, menolak dan mendiskriminasikannya, maka anak akan menganggap dirinya tidak diterima di dalam komunitas. Pembentukan dan pertumbuhan iman seorang anak terjadi ketika ia berelasi dan berinteraksi dalam komunitas iman (Westerhoff, 2012, 48).

Alasan ketiga, dengan menerima anak berkebutuhan khusus, Gereja mempraktikkan dalam tindakan ajarannya tentang kasih, keadilan dan penerimaan terhadap yang lain. Ajaran tentang kasih, keadilan dan penerimaan terhadap yang lain bukanlah slogan yang hanya untuk diucapkan saja dari waktu ke waktu, melainkan harus mewujud dalam sikap dan perilaku hidup setiap warga Gereja. Dengan menjadikan hal ini sebagai gaya hidup, maka secara tidak langsung warga Gereja sementara meneladankan sesuatu yang baik bagi ABK dan bagi generasi-generasi berikutnya.

Alasan keempat, dengan menerima ABK dalam komunitas bergereja, Gereja menjadi model bagi masyarakat tentang bagaimana bersikap terhadap ABK. Meskipun pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan menegaskan bahwa ABK memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama yang harus dipenuhi sama seperti warga Indonesia lainnya, namun faktanya UU ini belum sepenuhnya menuntun cara masyarakat Indonesia bersikap terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka masih mengalami diskriminasi dan perlakuan tidak adil dari masyarakat. Masyarakat Indonesia masih membutuhkan sejumlah role model dan di sinilah Gereja bisa mengampanyekan yang tepat melalui tutur dan laku, maka akan menjadi contoh yang baik bagi masyarakat luas.

Alasan kelima, semua manusia pada waktu tertentu memiliki keterbatasan dan kerapuhan. Hal ini disebabkan karena tubuh manusia tidak selamanya berfungsi dengan baik di sepanjang waktu hidupnya; pada waktu-waktu tertentu siapa saja bisa mengalami keadaan khusus (lih. Creamer 2019, 31).

Bentuk-bentuk Keramahan Gereja terhadap

ABK

Dengan berdasar pada prinsip-prinsip di atas, maka Gereja bisa melakukan berbagai hal sehingga ABK merasakan Gereja sebagai rumah mereka. Bentuk-bentuk pelayanan Gereja ini

8 9 harus holistik, tidak bisa terpisah-pisah. Beberapa di

antaranya adalah: Pertama, semua warga Gereja memiliki cara pandang yang benar terhadap para ABK. Cara pandang yang benar akan terlihat secara jelas dalam sikap dan perilaku terhadap ABK. Contoh tindakan sederhana yang bisa memberikan dampak luar biasa jika serius dilakukan adalah stop pelabelan. Pelabelan adalah proses mengaitkan sebuah kondisi atau keadaan tertentu dengan penilaian negatif yang bernilai sama. Misalnya: ABK suka merepotkan, ABK adalah pengganggu, dan ABK tidak bisa berbuat apa-apa. Kedua, menggunakan sapaan/istilah yang benar dan ramah dalam menyapa ABK. Kata “cacat” dan “tuna” sudah seyogyanya tidak digunakan lagi untuk menyapa ABK. Kata “cacat” memberi kesan tegas bahwa ada yang terlahir sempurna, dan ada yang tidak, dan ABK dimasukkan dalam kategori yang tidak sempurna ini. Sedangkan, kata “tuna” berasal dari bahasa Jawa kuno, yang berarti rusak atau rugi. Ketiga, mendesain model-model peribadatan dan pembelajaran yang memperhatikan dengan seksama kebutuhan ABK sehingga mereka bisa terlibat dalam ibadah dan belajar bersama dengan anak-anak yang lain. Keempat, melibatkan ABK dalam berbagai aktivitas gerejawi, baik itu di lingkup Sekolah Minggu, ibadah umum maupun berbagai kegiatan Gereja lainnya. Kelima, sarana-prasarana termasuk arsitektur Gereja harus ramah terhadap ABK.

B. Landasan Psikologis tentang Pelayanan

G e r e j a b a g i A n a k S e k o l a h M i n g g u

Berkebutuhan Khusus

"Biarkan lah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Surga" (Mat. 19:14).

Merujuk pada ayat di atas, panggilan Yesus tidak hanya ditujukan bagi anak-anak yang akan duduk dengan tenang untuk mendengarkan Firman Tuhan serta tertib mengikuti

arahan selama ibadah berlangsung, tetapi juga bagi anak-anak yang menunjukkan beberapa karakteristik seperti: tampak asyik dengan dunianya sendiri, bernyanyi sendiri dengan suara keras, mau melakukan aktivitas sendiri dan tidak mau dibantu oleh guru maupun teman, menunjukkan sikap tidak suka bahkan menampilkan perilaku agresi (memukul teman). Sejumlah karakteristik tersebut umumnya di te m u i p a da m e re ka ya n g di se b u t se b a ga i a n a k berkebutuhan khusus. ABK adalah anak-anak yang menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal: ciri-ciri mental, kemampuan-kemampuan sensorik, isik, dan neuromuskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi, maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal di atas; sejauh ia membutuhkan penyesuaian terkait aspek akademik maupun pelayanan lainnya, yang ditujukan untuk mengembangkan potensi atau kapasitasnya secara maksimal (Mangunsong 2014).

Sebagaimana anak yang bertumbuh dan berkembang tanpa adanya hambatan tertentu, ABK juga memiliki hak memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Dari perspektif psikologis, tujuan dari pemberian layanan pendidikan adalah membantu anak berkembang sebagai pribadi yang utuh, sesuai dengan kemampuan terbaiknya. Tujuan ini tidak hanya berlaku pada layanan pendidikan formal, tetapi juga pendidikan informal seperti Sekolah Minggu. Jika di sekolah, ABK dibantu agar mereka berhasil dalam proses belajar, maka pelayanan Sekolah Minggu bagi ABK berupaya membantu mereka mengenal Kristus melalui berbagai cara yang terbaik, demi terpenuhinya kebutuhan akan pertumbuhan secara rohani atau spiritual.

Dalam keterbatasannya, ABK memiliki tantangan belajar yang unik. Namun demikian, jangan sampai tantangan belajar tersebut menjadi hambatan untuk mengenali kekuatan atau potensi mereka. Seringkali, kekuatan mereka tidak berhasil dikenali sejak dini karena kekhususan atau keterbatasannya yang menjadi fokus perhatian. Padahal, mereka lebih membutuhkan lingkungan yang mendukung untuk bisa bertumbuh dan berkembang secara optimal, khususnya di dalam mengembangkan hubungan mereka bersama Tuhan.

8 9 harus holistik, tidak bisa terpisah-pisah. Beberapa di

antaranya adalah: Pertama, semua warga Gereja memiliki cara pandang yang benar terhadap para ABK. Cara pandang yang benar akan terlihat secara jelas dalam sikap dan perilaku terhadap ABK. Contoh tindakan sederhana yang bisa memberikan dampak luar biasa jika serius dilakukan adalah stop pelabelan. Pelabelan adalah proses mengaitkan sebuah kondisi atau keadaan tertentu dengan penilaian negatif yang bernilai sama. Misalnya: ABK suka merepotkan, ABK adalah pengganggu, dan ABK tidak bisa berbuat apa-apa. Kedua, menggunakan sapaan/istilah yang benar dan ramah dalam menyapa ABK. Kata “cacat” dan “tuna” sudah seyogyanya tidak digunakan lagi untuk menyapa ABK. Kata “cacat” memberi kesan tegas bahwa ada yang terlahir sempurna, dan ada yang tidak, dan ABK dimasukkan dalam kategori yang tidak sempurna ini. Sedangkan, kata “tuna” berasal dari bahasa Jawa kuno, yang berarti rusak atau rugi. Ketiga, mendesain model-model peribadatan dan pembelajaran yang memperhatikan dengan seksama kebutuhan ABK sehingga mereka bisa terlibat dalam ibadah dan belajar bersama dengan anak-anak yang lain. Keempat, melibatkan ABK dalam berbagai aktivitas gerejawi, baik itu di lingkup Sekolah Minggu, ibadah umum maupun berbagai kegiatan Gereja lainnya. Kelima, sarana-prasarana termasuk arsitektur Gereja harus ramah terhadap ABK.

B. Landasan Psikologis tentang Pelayanan

G e r e j a b a g i A n a k S e k o l a h M i n g g u

Berkebutuhan Khusus

"Biarkan lah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Surga" (Mat. 19:14).

Merujuk pada ayat di atas, panggilan Yesus tidak hanya ditujukan bagi anak-anak yang akan duduk dengan tenang untuk mendengarkan Firman Tuhan serta tertib mengikuti

arahan selama ibadah berlangsung, tetapi juga bagi anak-anak yang menunjukkan beberapa karakteristik seperti: tampak asyik dengan dunianya sendiri, bernyanyi sendiri dengan suara keras, mau melakukan aktivitas sendiri dan tidak mau dibantu oleh guru maupun teman, menunjukkan sikap tidak suka bahkan menampilkan perilaku agresi (memukul teman). Sejumlah karakteristik tersebut umumnya di te m u i p a da m e re ka ya n g di se b u t se b a ga i a n a k berkebutuhan khusus. ABK adalah anak-anak yang menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal: ciri-ciri mental, kemampuan-kemampuan sensorik, isik, dan neuromuskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi, maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal di atas; sejauh ia membutuhkan penyesuaian terkait aspek akademik maupun pelayanan lainnya, yang ditujukan untuk mengembangkan potensi atau kapasitasnya secara maksimal (Mangunsong 2014).

Sebagaimana anak yang bertumbuh dan berkembang tanpa adanya hambatan tertentu, ABK juga memiliki hak memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Dari perspektif psikologis, tujuan dari pemberian layanan pendidikan adalah membantu anak berkembang sebagai pribadi yang utuh, sesuai dengan kemampuan terbaiknya. Tujuan ini tidak hanya berlaku pada layanan pendidikan formal, tetapi juga pendidikan informal seperti Sekolah Minggu. Jika di sekolah, ABK dibantu agar mereka berhasil dalam proses belajar, maka pelayanan Sekolah Minggu bagi ABK berupaya membantu mereka mengenal Kristus melalui berbagai cara yang terbaik, demi terpenuhinya kebutuhan akan pertumbuhan secara rohani atau spiritual.

Dalam keterbatasannya, ABK memiliki tantangan belajar yang unik. Namun demikian, jangan sampai tantangan belajar tersebut menjadi hambatan untuk mengenali kekuatan atau potensi mereka. Seringkali, kekuatan mereka tidak berhasil dikenali sejak dini karena kekhususan atau keterbatasannya yang menjadi fokus perhatian. Padahal, mereka lebih membutuhkan lingkungan yang mendukung untuk bisa bertumbuh dan berkembang secara optimal, khususnya di dalam mengembangkan hubungan mereka bersama Tuhan.

10 11 Oleh karena itu, pelayanan Sekolah Minggu idealnya bisa

menjadi tempat di mana anak-anak berkebutuhan khusus menerima lebih banyak cinta, perawatan, perhatian dan penerimaan dibandingkan di tempat lain (1Kor. 12:22-25). Melayani ABK tentu bukan perkara mudah, terutama dalam penerapan setting inklusif. Bukan lagi ABK yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya, melainkan guru-guru Sekolah Minggu yang melakukan adaptasi atau modi ikasi dalam pengajaran sesuai dengan kebutuhan anak-anak tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan leksibilitas, kreativitas dan sensitivitas GSM sehingga pelayanan Sekolah Minggu yang optimal bagi ABK dapat diberikan. Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, GSM sebaiknya memiliki pengetahuan tentang karakteristik anak berkebutuhan khusus serta berbagai strategi yang dapat diterapkan dalam mengajar dan mendampingi mereka. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pemahaman terhadap esensi dan prinsip-prinsip pembelajaran/pendidikan bagi ABK.

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, esensi dari l a y a n a n p e n d i d i k a n b a g i A B K a d a l a h m e n c a p a i perkembangan anak secara utuh (mencakup aspek isik-motorik, kognitif, sosio-emosional, dan spiritual) dan optimal (sesuai kemampuan terbaik/potensi dirinya) untuk meningkatkan kualitas hidup (bahagia dan produktif ). Sehubungan dengan itu, prinsip-prinsip pembelajaran yang perlu diperhatikan GSM dalam pelayanan Sekolah Minggu antara lain kesetaraan (pemberian kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk berkembang), penerimaan (tidak hanya oleh guru tetapi juga oleh teman-teman sebaya), keterpaduan dan keserasian antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dalam membuat rencana belajar (termasuk menentukan metode/aktivitas belajar), serta konsistensi (pembiasaan/pengulangan).

C. Landasan Hukum Pelayanan Gereja bagi

Anak Sekolah Minggu Berkebutuhan Khusus

Pemerintah Indonesia adalah salah satu negara yang ikut

mengesahkan Konvensi Hak Anak (KHA) yang dilakukan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 20 November 1989. Hari Pengesahan tersebut dijadikan menjadi Hari Anak Sedunia. Selanjutnya pada tanggal 26 Januari 1990, Indonesia ikut menandatangani KHA tersebut dan kemudian Presiden Soeharto mengesahkan KHA sebagai aturan hukuman positif dan merati ikasinya pada tanggal 5 September 1990 melalui Keputusan Presiden No. 36/1990. Dua belas tahun kemudian lahirlah Undang–Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 sebagai bukti negara Indonesia mengambil bagian dalam upaya perlindungan anak.

Pemerintah Indonesia juga mengakomodir pasal-pasal yang ada di KHA dan juga di UU Perlindungan Anak yang dimasukkan ke dalam agenda kerja nasional. Pada pasal 59 UU Perlindungan Anak, Negara Indonesia juga menjamin perlindungan khusus bagi semua anak termasuk anak dalam kategori disabilitas. Sebagai respon untuk anak berkebutuhan khusus pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Undang-undang No. 8/2016 tentang Pe-nyandang Disabilitas.

Untuk mewujudkan dunia yang layak bagi anak maka setiap penyelenggara perlindungan anak dimulai dari orang tua/keluarga, negara dan masyarakat wajib memberikan prinsip dasar yang terbaik bagi anak. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Prinsip Umum Konvensi Hak Anak (KHA)

Prinsip umum Konvensi Hak Anak (KHA) menjadi pertimbangan dalam pada setiap penyusunan program termasuk juga dalam melakukan pendampingan atau pelayanan terhadap Anak. Empat prinsip dasar Hak Anak tersebut adalah sebagai berikut :

a. Non diskriminasi artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa perbedaan apapun. Prinsip ini merupakan cerminan dan prinsip universal Hak Asasi Manusia (HAM).

10 11 Oleh karena itu, pelayanan Sekolah Minggu idealnya bisa

menjadi tempat di mana anak-anak berkebutuhan khusus menerima lebih banyak cinta, perawatan, perhatian dan penerimaan dibandingkan di tempat lain (1Kor. 12:22-25). Melayani ABK tentu bukan perkara mudah, terutama dalam penerapan setting inklusif. Bukan lagi ABK yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya, melainkan guru-guru Sekolah Minggu yang melakukan adaptasi atau modi ikasi dalam pengajaran sesuai dengan kebutuhan anak-anak tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan leksibilitas, kreativitas dan sensitivitas GSM sehingga pelayanan Sekolah Minggu yang optimal bagi ABK dapat diberikan. Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, GSM sebaiknya memiliki pengetahuan tentang karakteristik anak berkebutuhan khusus serta berbagai strategi yang dapat diterapkan dalam mengajar dan mendampingi mereka. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pemahaman terhadap esensi dan prinsip-prinsip pembelajaran/pendidikan bagi ABK.

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, esensi dari l a y a n a n p e n d i d i k a n b a g i A B K a d a l a h m e n c a p a i perkembangan anak secara utuh (mencakup aspek isik-motorik, kognitif, sosio-emosional, dan spiritual) dan optimal (sesuai kemampuan terbaik/potensi dirinya) untuk meningkatkan kualitas hidup (bahagia dan produktif ). Sehubungan dengan itu, prinsip-prinsip pembelajaran yang perlu diperhatikan GSM dalam pelayanan Sekolah Minggu antara lain kesetaraan (pemberian kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk berkembang), penerimaan (tidak hanya oleh guru tetapi juga oleh teman-teman sebaya), keterpaduan dan keserasian antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dalam membuat rencana belajar (termasuk menentukan metode/aktivitas belajar), serta konsistensi (pembiasaan/pengulangan).

C. Landasan Hukum Pelayanan Gereja bagi

Anak Sekolah Minggu Berkebutuhan Khusus

Pemerintah Indonesia adalah salah satu negara yang ikut

mengesahkan Konvensi Hak Anak (KHA) yang dilakukan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 20 November 1989. Hari Pengesahan tersebut dijadikan menjadi Hari Anak Sedunia. Selanjutnya pada tanggal 26 Januari 1990, Indonesia ikut menandatangani KHA tersebut dan kemudian Presiden Soeharto mengesahkan KHA sebagai aturan hukuman positif dan merati ikasinya pada tanggal 5 September 1990 melalui Keputusan Presiden No. 36/1990. Dua belas tahun kemudian lahirlah Undang–Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 sebagai bukti negara Indonesia mengambil bagian dalam upaya perlindungan anak.

Pemerintah Indonesia juga mengakomodir pasal-pasal yang ada di KHA dan juga di UU Perlindungan Anak yang dimasukkan ke dalam agenda kerja nasional. Pada pasal 59 UU Perlindungan Anak, Negara Indonesia juga menjamin perlindungan khusus bagi semua anak termasuk anak dalam kategori disabilitas. Sebagai respon untuk anak berkebutuhan khusus pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Undang-undang No. 8/2016 tentang Pe-nyandang Disabilitas.

Untuk mewujudkan dunia yang layak bagi anak maka setiap penyelenggara perlindungan anak dimulai dari orang tua/keluarga, negara dan masyarakat wajib memberikan prinsip dasar yang terbaik bagi anak. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Prinsip Umum Konvensi Hak Anak (KHA)

Prinsip umum Konvensi Hak Anak (KHA) menjadi pertimbangan dalam pada setiap penyusunan program termasuk juga dalam melakukan pendampingan atau pelayanan terhadap Anak. Empat prinsip dasar Hak Anak tersebut adalah sebagai berikut :

a. Non diskriminasi artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa perbedaan apapun. Prinsip ini merupakan cerminan dan prinsip universal Hak Asasi Manusia (HAM).

12 13 b. Yang terbaik bagi anak, artinya bahwa dalam semua

tindakan yang menyangkut anak, maka yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan. c. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang,

artinya bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui dan bahwa anak atau kelangsungan dan perkembangan harus dijamin. Prinsip ini mencerminkan prinsip ketidak-terpisahan Hak Asasi Manusia.

d. Penghargaan terhadap pendapat anak, maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang memengaruhi kehidupannya perlu d i p e r h a t i k a n d a l a m s e t i a p p e n g a m b i l a n keputusan.

2. Prinsip Dasar Perlindungan Anak

Sebagai mana yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2002, mengenai perlindungan anak adalah:

Negara kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negara nya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.

Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana yang diamanatkan Undang –undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan memiliki peran strategis, ciri dan sifat khususnya sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang menimbulkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

3. Prinsip Dasar sesuai dengan Undang-Undang Disabilitas

• Prinsip Motivasi

GSM senantiasa memberikan motivasi kepada Anak Sekolah Minggu Berkebutuhan Khusus (ASMBK) agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.

• Prinsip latar/konteks

GSM perlu mengenali ASMBK secara mendalam, menggunakan contoh dengan memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak perlu bagi ASMBK.

• Prinsip Keterarahan

Dalam melakukan kegiatan pembelajaran, GSM merumuskan tujuan secara jelas, menyediakan bahan dan alat bantu sesuai dengan konteks materi pelajaran. • Prinsip hubungan sosial

Kegiatan belajar mengajar perlu dikembangkan interaksi GSM terhadap ASMBK jangan dengan menggunakan metode partisipatif.

• Prinsip belajar sambil bekerja

Proses belajar-mengajar dengan ASMBK, perlu lebih banyak memberikan kesempatan pada mereka untuk mengelaborasi kemampuan mereka dengan praktek. • Prinsip Pemecahan Masalah

GSM hendaknya bersama –sama mencari solusi atas persoalan yang ada di lingkungan sekitar ASMBK dan dilatih untuk dapat merumuskan, menganalisis dan memecahkan masalah sesuai kemampuannya.

12 13 b. Yang terbaik bagi anak, artinya bahwa dalam semua

tindakan yang menyangkut anak, maka yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan. c. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang,

artinya bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui dan bahwa anak atau kelangsungan dan perkembangan harus dijamin. Prinsip ini mencerminkan prinsip ketidak-terpisahan Hak Asasi Manusia.

d. Penghargaan terhadap pendapat anak, maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang memengaruhi kehidupannya perlu d i p e r h a t i k a n d a l a m s e t i a p p e n g a m b i l a n keputusan.

2. Prinsip Dasar Perlindungan Anak

Sebagai mana yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA