Sebutkan rumusan Pancasila yang terdapat pada Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945

Pada masa Orde Baru, Pancasila ditanamkan dengan dogmatis dan juga difungsikan untuk membungkam pihak-pihak yang mengkritik pemerintah saat itu, meskipun para pengkritik tersebut tidak ada hubungannya dengan paham anti-Pancasila. Semenjak jatuhnya Orde Baru, penggunaan Pancasila sebagai tameng rejim sudah tidak terjadi lagi. Masyarakat Indonesia menikmati kebebasan dalam berpendapat termasuk kebebasan untuk mengkritik pemerintah yang pada masa Orde Baru mengkritik biasanya akan berakhir dengan kurungan penjara atau kekerasan.

 Seriring dengan era kebebasan, pengajaran dogma Pancasila melalui Penataran P4 juga dihentikan yang secara relatif menimbulkan “kekosongan ideologi” pada generasi muda oleh karena pengajaran Pancasila yang sebelumnya dogmatis tersebut tidak digantikan oleh metode lain yang lebih komunikatif dan substantif. Pada saat yang bersamaan Indonesia menghadapi derasnya arus informasi dari seluruh dunia melalui internet. Berbagai jenis paham (termasuk paham radikal keagamaan) berseliweran dan berinteraksi dengan kalangan muda yang mengalami kekosongan ideologi. Meminjam istilah Melluci, mereka adalah pengembara-pengembara identitas yang mencari jati dirinya dalam pilihan-pilihan identitas yang dibawa oleh internet terutama melalui media sosial. Pembentukan identitas kelomopok radikal itu akan semakin kuat jika mereka bertemu dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang serupa. Kelompok-kelompok radikal keagamaan tersebut menganut apa yang disebut oleh Melluci sebagai monisme totaliter yang memandang bahwa paham mereka adalah satu-satu paham yang akan membawa kebaikan. Orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dianggap sebagai manusia yang derajatlah lebih rendah.

Kelompok-kelompok radikal ini ikut menunggangi kontestasi Pilkada DKI Jakarta di tahun 2017 yang diwarnai oleh penggunaan isu SARA secara masif pada level akar rumput untuk menjatuhkan kandidat tertentu. Ujaran-ujaran kebencian diutarakan untuk merendahkan kandidat yang memiliki latar belakang agama dan etnis tertentu. Fenomena tersebut mengajak kita untuk mengingat kembali kesepakatan-kesepakatan dasar dari para pendiri bangsa ketika mereka sepakat untuk mendirikan NKRI.   

Memandang rendah derajat orang lain yang memiliki suku, agama, dan ras yang berbeda tentu saja pengingkaran yang serius terhadap dasar dari yang paling dasar kesepakatan pendirian republik yaitu kesetaraan dan kebersamaan. Menurut Bung Karno, lima sila dari Pancasila jika diperas menjadi satu maka ia menjadi Eka Sila yaitu Gotong-Royong.  Menurut Bung Karno, “Gotong Royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama. Itulah gotong-royong!”

Kekosongan ideologis akibat lemahnya pembumian Pancasila oleh apparatus sosial juga memunculkan kelompok-kelompok yang memunculkan kembali gagasan dasar negara dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang sila pertamanya berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan  syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan sila pertama itu kemudian diubah melalui sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi rumusan Pancasila yang seperti yang tercantum dalam UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, masih terdapat kelompok-kelompok yang dengan lantang dan terbuka ingin kembali pada gagasan Piagam Jakarta.

Kelompok-kelompok ini mengambil sebagian potongan dalam sejarah dan kemudian memaknai sendiri dengan bias kepentingan dan monisme totaliternya sehingga makna sejarah yang sesungguhnya tidak mereka indahkan, bahkan mungkin tak terlihat oleh mereka. Memang benar bahwa Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 telah ditandatangan oleh BPUPKI yang dipimpin oleh Soekarno. Pada saat itu sila “Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan  syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak dianggap sebagai diskriminasi oleh karena hanya mengikat bagi pemeluk agama Islam. Bahkan anggota BPUPKI yang beragama Kristen yaitu A.A. Maramis tidak berkeberatan dengan sila tersebut. Namun yang dipikirkan oleh anggota BPUPKI tersebut tidak sama dengan yang pikirkan oleh kalangan masyarakat yang bergama lain. Adalah seorang perwira utusan Angkatan Laut Jepang yang bertemu Bung Hatta pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945. Perwira itu menyampaikan bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katolik yang berada dalam wilayah kekuasaan Angkatan Laut Jepang sangat berkeberatan dengan bagian kalimat  dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mereka sadar bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, namun dengan mencantumkan ketetapan seperti itu dalam pembukaan dan dasar berdirinya suatu negara merupakan “diskriminasi” terhadap mereka golongan minoritas. Dalam buku autobiografi Bung Hatta disebutkan bahwa jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Bung Hatta adalah negarawan yang memiliki keterampilan memahami yang sangat baik. Horizonnya  terhadap sila dalam Piagam Jakarta tersebut berdialog dengan horizon yang dimiliki oleh wakil-wakil dari umat Protestan dan Katolik dan kemudian menghasilkan yang disebut oleh ahli hermeneutik Gadamer, sebagai fusi horizon. Horizon dari Bung Hatta bersifat terbuka sehingga ia membuka diri terhadap berbagai kemungkinan makna yang muncul dan berbagai kemungkinan akibat yang muncul di kemudian hari. Keterbukaan horizonnya itu membuatnya melihat makna yang sebelumnya tidak terlihat. Dalam autobiografinya, Hatta menyatakan bahwa kalau Indonesia tidak bisa bersatu, maka bisa dipastikan daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera (tempat domisili penduduk non-Muslim) akan kembali dikuasai oleh Belanda.

            Tak lama waktu yang diperlukan oleh Hatta untuk memahami kekhawatiran dari kelompok-kelompok minoritas tersebut. Ia memutuskan untuk membahas masalah tersebus pada sidang PPKI keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebelum sidang dimulai, Hatta mengadakan pertemuan pendahuluan dengan 5 anggota PPKI lainya yaitu Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan. Pertemuan itu menyepakati untuk mengganti kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rapat pendahuluan atas inisiatif Hatta itu menyetujui bahwa peraturan dalam kerangka syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat diajukan sebagai rancangan undang-undang ke DPR, yang jika diterima oleh DPR maka mengikat umat Islam Indonesia. Rapat itu juga menyepakati bahwa hukum nasional berlaku untuk semua warga negara. Perbedaan hukum antara penduduk yang beragama Islam atau beragama Kristen akan terdapat terutama dalam bidang hukum keluarga. Dalam bidang hukum perdata lainnya seperti hukum perniagaan dan hukum dagang, berlaku hukum yang setara untuk semua penduduk.  Ketika memasuki sidang pleno PPKI, usulah perubahan yang telah disetujui oleh 5 orang tadi dalam rapat pendahuluan sebelum sidang resmi, kemudian disetujui oleh sidang lengkap dengan suara bulat.

            Inisiatif dari Bung Hatta itu dapat dikatakan menjaga semangat inti sari dari Pancasila yaitu Gotong Royong seperti yang diutarakan oleh Sukarno. Dalam semangat kesetaraan dan kebersamaan, Hatta berjasa dalam memahami kehendak dari berbagai golongan masyarakat dan sehingga akhirnya dapat menghadirkan hukum publik yang bersifat nasional yang berlaku untuk seluruh penduduk. Kesetaraan hukum nasional itu tidak memandang mayoritas dan minoritas. Semangat dari pada pendiri bangsa dalam menyepakati nilai-nilai kesetaraan dan kebersamaan kini mendapat ancaman dari kelompok-kelompok yang memandang kelompok masyarakat lain sebagai warga yang statusnya lebih rendah sehingga harus dicaci maki jika warga dari kelompok ini ikut dalam pemilihan pejabat publik.  Agar semangat gotong royong dalam Pancasila itu tetap terjaga ia harus dipertahankan dengan aktif. Sudah saat mayoritas yang diam masuk ke ruang publik untuk menjadi Bung Hatta yang baru yang menjawab tantangan kekininian sama seperti halnya Bung Hatta yang juga telah menunaikan tanggung jawab sejarahnya. 

I Made Anom Wiranata, SIP, MA Dosen Prodi Hubungan Internasional

FISIP UNUD

Isi dan Sejarah Perumusan Piagam Jakarta – Pancasila yang hingga kini dijadikan ideologi serta dasar negara Indonesia dan seperti yang kita ketahui bahwa nilai Pancasila terdiri dari 5 sila yang dibuat oleh Ir. Soekarno tepatnya pada tanggal 1 Juni 1945 melalui pidato spontannya di depan anggota BPUPKI.

Namun, tepatnya pada pertengahan 1945 para tokoh nasional seperti Moh Yamin, Soepomo, serta Soekarno merumuskan versi dasar negara masing-masing yang pada akhirnya juga disepakati rumusan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Akan tetapi, dalam perkembangannya Piagam Jakarta tidak lagi digunakan. Hal ini dikarenakan Piagam Jakarta menimbulkan kontroversi sejarah hingga saat ini.

Apa itu Piagam Jakarta? Dan bagaimana sejarah dibentuknya, rumusan, latar belakang, serta isi dari Piagam Jakarta tersebut? Simak informasi berikut

Pengertian Piagam Jakarta

Piagam Jakarta merupakan sebuah bentuk dari dokumen historis yang menjadi hasil dari adanya kompromi silang antara pihak Islam dengan pihak kebangsaan atau nasionalis yang terbentuk di dalam BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta digunakan untuk menjadi sebuah jembatan pen perbedaan dalam agama serta negara yang ada.

Piagam Jakarta juga sering disebut dengan Jakarta Charter, hal tersebut dikarenakan Piagam Jakarta merupakan piagam atau sebuah naskah yang disusun pada rapat Panitia Sembilan atau 9 tokoh Indonesia tepatnya pada tanggal 22 Juni 1945.

Panitia Sembilan yang dibentuk pada 1 Jun 1045. Terbentuk dari sembilan tokoh yang terdiri dari sebagai berikut.

  • Ir. Soekarno sebagai ketua dari Panitia Sembilan
  • Drs. Moh. Hatta sebagai wakil ketua dari Panitia Sembilan
  • Mr. Achmad Soebardjo sebagai anggota dari Panitia Sembilan
  • Mr. Muhammad Yamin sebagai anggota dari Panitia Sembilan
  • KH. Wachid Hasyim sebagai anggota dari Panitia Sembilan
  • Abdul Kahar Muzakir sebagai anggota dari Panitia Sembilan
  • Abikoesno Tjokrosoejoso sebagai anggota dari Panitia Sembilan
  • H. Agus Salim sebagai anggota dari Panitia Sembilan
  • Mr. A.A. Maramis sebagai anggota dari Panitia Sembilan

Piagam Jakarta ini sendiri disusun karena wilayah Jakarta yang luhur, dan meliputi lima kota serta satu kabupaten yang terdiri dari Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, serta Kepulauan Seribu. Oleh sebab itu, provinsi DKI Jakarta diwujudkan melalui bentuk dari Piagam Jakarta tersebut serta menetapkan  Suwiryo sebagai gubernur dari provinsi DKI Jakarta yang pertama hingga 1947.

Pada awal sejarah Piagam Jakarta dicetuskan bermula dari dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau yang dapat disingkat dengan BPUPKI. Pada saat dibentuknya badan BPUPKI tersebut, memiliki tugas untuk mempersiapkan bangsa Indonesia terhadap proses kemerdekaannya menjadi Republik Indonesia.

Baca juga : Tujuan dan Latar Belakang dibentuknya BPUPKI

Setelah dibentuk, para anggota BPUPKI mulai mengemukakan pendapat mereka mengenai berbagai nilai yang dapat dijadikan dasar negara Indonesia yang kemudian dibentuk dan disebut sebagai Pancasila. Dalam perumusan Pancasila tersebut, terdapat beberapa rumusan teks yang dikemukakan oleh tiga tokoh, yaitu Muhammad Yamin, Soepomo, serta Soekarno.

1. Pancasila menurut Muhammad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945

Pancasila menurut Muhammad Yamin terdiri dari lima nilai, yang terdiri dari:

  • Peri kebangsaan
  • Peri kemanusiaan
  • Peri ketuhanan
  • Peri kerakyatan
  • Kesejahteraan rakyat

2. Pancasila menurut Soepomo pada tanggal 30 Mei 1945

Pancasila menurut Soepomo terdiri dari lima nilai, yang terdiri dari:

  • Persatuan
  • Kekeluargaan
  • Mufakat atau demokrasi
  • Musyawarah
  • Keadilan sosial

3. Pancasila menurut Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945

Pancasila menurut Ir. Soekarno terdiri dari lima nilai, yang terdiri dari:

  • Kebangsaan Indonesia
  • Internasionalisme atau peri kemanusiaan
  • Mufakat atau demokrasi
  • Kesejahteraan rakyat
  • Ketuhanan Yang Maha Esa

Dengan adanya tiga pendapat yang berbeda, maka dibentuklah sebuah panitia kecil yang memiliki tugas untuk menyusun rumusan Pancasila yang akan digunakan sebagai dasar negara dan tercantum ke dalam Undang-Undang Dasar atau UUD 1945. Panitia kecil tersebut disebut sebagai Panitia Sembilan yang berisikan sembilan tokoh nasional.

Dalam menyempurnakan berbagai usulan yang dikeluarkan oleh ketiga tokoh tersebut yang akan digunakan dalam membuat dasar negara Pancasila, maka dibentuklah Panitia Sembilan yang memiliki tugas di luar sidang resmi dalam merumuskan suatu rancangan pembukaan hukum dasar.

Anggota Panitia Sembilan terdiri dari sembilan tokoh yang terdiri dari sembilan tokoh yang sudah dijelaskan diatas.

Tugas Panitia Sembilan tersebut adalah menyusun sebuah naskah rancangan yang akan digunakan untuk pembukaan hukum dasar yang kemudian disebut oleh Mr. Muhammad Yamin sebagai Piagam Jakarta yang dikenal hingga saat ini.

Piagam Jakarta tersebut memiliki isi rumusan dasar negara yang merupakan hasil yang pertama kali disepakati di dalam sidang. Rumusan dari dasar negara tersebut yang terdapat di dalam naskah Piagam Jakarta terdiri dari sebagai berikut.

  • Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
  • Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  • Persatuan Indonesia.
  • Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan.
  • Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Naskah tersebut yang merupakan hasil kerja dari Panitia Sembilan yang dibentuk tersebut kemudian diterima oleh BPUPKI untuk dijadikan Rancangan Mukadimah Hukum Dasar Negara Indonesia Merdeka tepatnya pada tanggal 14 Juli 1945.

Setelah kemerdekaan negara Indonesia, rumusan dari dasar negara Pancasila tersebut kemudian disahkan oleh PPKI dalam sidang yang terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar dari filsafat negara Indonesia.

Namun, terdapat perubahan yang dilakukan dengan menghapus bagian kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Penghapusan kalimat tersebut yang terdapat pada sila pertama Pancasila dilakukan dengan alasan adanya keberatan dari berbagai pemeluk agama lain selain agama Islam serta demi menjaga persatuan dan kesatuan yang dimiliki bangsa Indonesia yang majemuk.

Naskah Piagam Jakarta tersebut yang berisikan rumusan dasar negara yang telah diubah oleh PPKI dan kemudian disahkan untuk menjadi bagian dari pendahuluan UUD 1945 dan hingga saat ini dikenal sebagai pembukaan. Setelah disahkannya Piagam Jakarta untuk menjadi bagian dari Pembukaan Undang-Undang Dasar atau UUD 1945 tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila telah menjadi ideologi dari negara republik Indonesia.

Piagam Jakarta sendiri juga memuat berbagai garis pemberontakan dalam melawan imperialisme kapitalisme serta fasisme, serta menjadi awal mulanya landasan pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta sendiri yang terus bertambah tua dari Piagam Perdamaian San Fransisco yang dibentuk pada tanggal 26 Juni 1945 serta Kapitulasi Tokyo yang terjadi pada tanggal 15 Agustus 1945 merupakan sumber dari kedaulatan yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan serta Konstitusi Republik Indonesia.

Latar belakang Perubahan Isi Piagam Jakarta

Piagam Jakarta merupakan sebuah hasil yang dikeluarkan dari rapat yang dilakukan oleh Panitia Sembilan, dalam rangka penyambutan kemerdekaan Republik Indonesia. Isi Piagam Jakarta secara garis besar sendiri mengenai arah serta tujuan bernegara serta draft awal dari rumusan dasar negara Indonesia, yang hingga kini dikenal dengan sebutan Pancasila.

Pada proses perumusannya, pengesahan yang harus segera dilakukan tersebut dihadapi dengan beberapa perdebatan yang terjadi antara golongan nasionalis serta golongan Islam yang ada di negara Indonesia. Dimana, berdasarkan pendapat golongan nasional mengenai isi dari Piagam Jakarta tersebut kurang dapat menjadi cerminan dari keragaman yang ada pada masyarakat Indonesia.

Perubahan pada tepatnya terjadi pada rumusan dasar negara sila yang pertama pada naskah Piagam Jakarta. Rumusan awal yang berisikan berbagai sila yang tercantum dalam Pancasila itu sendiri pada awalnya terdapat dalam isi naskah Piagam Jakarta, namun pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, dirumuskan bahwa sila pertama yang ada pada Pancasila akan diubah.

Berdasarkan Muhammad Nurudin (2019:153) dalam bukunya yang berjudul Menggores Tinta di Lembah Hijau, ia menyatakan bahwa latar belakang terjadinya perubahan rumusan dasar negara pada sila pertama Piagam Jakarta menurut Mohammad Hatta disebabkan karena beberapa wakil pemeluk agama lain merasa adanya keberatan dengan rumusan tersebut. Rumusan sila pertama yang ada tersebut memiliki bunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.

Dengan adanya beberapa pihak yang merasa keberatan akan rumusan sila pertama tersebut, oleh sebab itu terjadi perubahan pada sila pertama menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan dengan tujuan untuk menjaga bangsa Indonesia serta menjaga hubungan yang ada antara tokoh pendiri bangsa Indonesia agar tidak terjadinya perpecahan.

Berikut berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan rumusan dasar negara pada sila pertama di naskah Piagam Jakarta berdasarkan pendapat Mohammad Hatta, sebagai berikut.

  • Faktor yang pertama, rakyat negara Indonesia memiliki latar belakang keagamaan serta kepercayaan yang beragam dan berbeda antara satu sama lain. Oleh sebab itu, rumusan yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” tidak dapat menjadi wakil dari keseluruhan masyarakat yang ada di negara Indonesia.
  • Faktor yang kedua, sebagai tokoh pendiri bangsa Indonesia, beliau menunjukkan usaha untuk menampung berbagai aspirasi serta pendapat terutama dari perwakilan Indonesia Timur dimana tempat keberadaan para pemeluk agama lain yang ada di negara Indonesia.
  • Faktor yang ketiga, perubahan yang dilakukan pada rumusan sila pertama Piagam Jakarta dilakukan dalam rangka mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia serta mengeratkan persatuan serta kesatuan yang dimiliki sebagai bangsa Indonesia.

Isi Piagam Jakarta

Isi dari Piagam Jakarta terdiri dari empat alinea yang kemudian menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, selain itu Piagam Jakarta juga termasuk ke dalam lima poin yang kemudian salah satu poinnya yang kemudian diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” di dalam Pancasila.

Berikut ini adalah isi dari Piagam Jakarta:

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. 

Dan perdjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan Rakjat Indonesia kedepan pintu-gerbang Negara Indonesia, jang merdeka, bersatu, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan-luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas. Maka Rakjat Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaannja.

Kemudian dari pada itu membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia jang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesejahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia jang berkedaulatan Rakjat, dengan berdasar kepada: keTuhanan, dengan mewajibkan mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja; menurut dan kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat-kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakjat Indonesia.

Djakarta, 22-6-1945

Ir. Soekarno

Drs. Mohammad Hatta

Mr. A.A. Maramis

Abikusno Tjokrosujoso

Abdulkahar Muzakir

A. Salim 

Mr. Achmad Subardjo

Wachid Hasjim

Mr. Muhammad Yamin

Selanjutnya, pada masa penyusunan Undang-Undang Dasar yang terjadi di Sidang Kedua BPUPKI. Rumusan Piagam Jakarta yang ada tersebut dijadikan sebagai Mukadimah atau preambule. Kemudian, pada pengesahan Undang-Undang Dasar atau UUD 1945 pada tanggal 18 AGustus 1945 yang dilakukan oleh PPKI, istilah Mukadimah berubah menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar atau UUD.

Butir awal yang tadinya memuat kewajiban seseorang untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Mohammad Hatta yang mengambil usul dari A. A. Maramis setelah melakukan konsultasi bersama Teuku Muhammad Hasan, Kasman Singodimedjo serta Ki Bagus Hadikusumo.

Naskah dari Piagam Jakarta sendiri ditulis menggunakan ejaan Republik yang kemudian ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir. Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, Muhammad Yamin, serta H.A. Salim.

Perkembangan Piagam Jakarta tersebut kemudian dilanjutkan pada Dekrit Presiden yang terjadi pada tanggal 5 Juli 1959. Di dalam Dekrit Presiden tersebut, Piagam Jakarta dinyatakan bahwa memiliki jiwa Undang-Undang Dasar 1945 serta menjadi suatu rangkaian kesatuan bersama Konstitusi. Dewan Perwakilan Rakyat yang ada pada saat itu menerima hal tersebut dengan melakukan Aklamasi yang terjadi pada tanggal 22 Juli 1959.

Memorandum DPR GR 1966 yang membahas mengenai sumber tata tertib Hukum RI ditingkatkan dan dijadikan sebagai keputusan MPRS Nomor XX/MPRS/1966, yang di dalam keputusan tersebut ditegaskan kembali bahwa Piagam Jakarta yang merupakan hasil dari perumusan yang dikeluarkan pada tanggal 22 Juni 1945 tersebut menjiwai nilai UU atau Undang-Undang Landasan 1945 serta menjadi sebuah rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

Perubahan Isi Piagam Jakarta

Setelah dibacakan pada proklamasi kemerdekaan negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadi perubahan pada isi Piagam Jakarta.

Hal ini terjadi di sore hari tepat setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan, dimana Wakil Presiden Indonesia saat itu Mohammad Hatta didatangi oleh perwakilan atau utusan dari angkatan laut Jepang yang bernama Maeda.

Pada pertemuan tersebut, Maeda menyampaikan bahwa beberapa wakil Protestan serta Katolik yang berasal dari wilayah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang merasa keberatan terhadap bagian kalimat rumusan dasar negara yang ada di dalam naskah Piagam Jakarta tersebut.

Kalimat rumusan yang dimaksud pada Piagam Jakarta tersebut memiliki bunyi “... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Dalam menanggapi keberatan dari pihak wakil Protestan serta Katolik tersebut, Mohammad Hatta mengajak beberapa tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, serta Mr. Teuku Mohammad Hasan untuk membuat sebuah rapat terlebih dahulu sebelum sidang PPKI dimulai.

Pada rapat pendahuluan tersebut, dikeluarkanlah sebuah keputusan untuk menghilangkan bagian kalimat Piagam Jakarta tersebut serta menggantikannya dengan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hal tersebut dilakukan dalam rangka agar tidak terjadinya perpecahan di antara masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam keyakinan di dalamnya. Setelah terjadinya perubahan tersebut, nama Piagam Jakarta diubah menjadi Pembukaan UUD 1945, yang kemudian diresmikan kembali oleh PPKI tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945.

Perbandingan Isi Pancasila

Isi Pancasila yang disampaikan pada Piagam Jakarta, sebagai berikut.

  • Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya
  • Kemanusiaan yang adil dan beradab
  • Persatuan Indonesia
  • Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  • Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Isi Pancasila yang kemudian disempurnakan dan ditetapkan kembali pada 18 Agustus 1945, sebagai berikut.

  • Ketuhanan Yang Maha Esa
  • Kemanusiaan yang adil dan beradab
  • Persatuan Indonesia
  • Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  • Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Baca lebih lanjut artikel tentang “Isi dan Sejarah Perumusan Piagam Jakarta” :

Kategori Ilmu Ekonomi

Buku Ekonomi Buku Soekarno Buku Sosiologi Buku Geografi Buku Ideologi Pancasila

Buku Sejarah Indonesia

Materi Terkait

Pengertian Sejarah Daftar Pahlawan Revolusi Daftar Pahlawan Nasional Indonesia Organisasi Pergerakan Nasional Sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI Sejarah Teks Proklamasi Sejarah Pertempuran Surabaya Sejarah Sumpah Pemuda Tujuan PPKI dibentuk

Hasil Sidang PPKI Pertama

Layanan Perpustakaan Digital B2B Dari Gramedia

ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah.

  • Custom log
  • Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas
  • Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda
  • Tersedia dalam platform Android dan IOS
  • Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis
  • Laporan statistik lengkap
  • Aplikasi aman, praktis, dan efisien

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA