Peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober menjadi momentum penting yang mengukuhkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa atau bahasa nasional. Maka berangkat dari momentum tersebut, sejak tahun 1980 secara rutin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Bulan Bahasa dan Sastra.
Bicara tentang bahasa dan sastra, tentunya tidak lengkap bila Sobat SMP tidak mengenal para sastrawan yang cukup memberikan pengaruh dalam dunia sastra Indonesia. Kali ini Direktorat SMP akan membahas secara singkat 5 profil sastrawan Indonesia yang perlu Sobat SMP ketahui. Siapa sajakah mereka?
1. Marah Rusli
Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Karyanya yang berjudul Siti Nurbaya (sebuah roman) diterbitkan pada tahun 1920 sangat banyak dibicarakan orang, bahkan sampai kini. Alam Siti Nurbaya telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya. Roman Siti Nurbaya mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menelurkan karya lain di antaranya “La Hami” (1924), “Anak dan Kemenakan” (1956), “Memang Jodoh” (naskah roman), dan “Tesna Zahera” (naskah Roman).
2. J. E. Tatengkeng
Jan Engelbert Tatengkeng adalah penyair Pujangga Baru. Lahir di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, pada tanggal 19 Oktober 1907, J.E. Tatengkeng adalah satu-satunya penyair zaman Pujangga Baru yang membawa warna kekristenan dalam karya-karyanya. Ia pernah menempuh pendidikan di Christelijk Middag Kweekschool atau Sekolah Pendidikan Guru Kristen di Bandung, Jawa Barat dan Christelijk Hogere Kweekschool atau Sekolah Menengah Tinggi Pendidikan Guru Kristen di Solo, Jawa Tengah. Di sekolah-sekolah itulah J.E. Tatengkeng mulai berkenalan dengan kesusastraan Belanda dan gerakan Tachtigers “Angkatan 80-an”, yang kemudian banyak mempengaruhi karya-karyanya. Beberapa puisi karyanya antara lain berjudul “Hasrat Hati”, “Laut”, “Petang”, “O, Bintang” serta “Sinar dan Bayang”.
3. N.H Dini
Nama Nh. Dini merupakan singkatan dari Nurhayati Srihardini. Nh. Dini dilahirkan pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah anak kelima (bungsu) dari empat bersaudara. Bakat menulisnya tampak sejak berusia sembilan tahun. Pada usia itu ia telah menulis karangan yang berjudul “Merdeka dan Merah Putih”. Tulisan itu dianggap membahayakan Belanda sehingga ayahnya harus berurusan dengan Belanda. N.H Dini telah melahirkan banyak karya puisi, novel, dan buku terjemahan. Penghargaan yang telah diperolehnya adalah hadiah kedua untuk cerpennya “Di Pondok Salju” yang dimuat dalam majalah Sastra (1963), hadiah lomba cerpen majalah Femina (1980), dan hadiah kesatu dalam lomba mengarang cerita pendek dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan oleh Le Monde dan Radio France Internasionale (1987).
Baca Juga Semangat Satap Untuk Bertatap
4. Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, tanggal 6 Februari 1925. Tanggal 22 Juli 1947 ia ditangkap marinir Belanda karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah menentang Belanda. Kemudian, ia ditahan di penjara pemerintah Belanda di Pulau Edam dan di Bukit Duri, Jakarta, sampai tahun 1949. Ia juga pernah bekerja sebagai redaktur di Balai Pustaka pada tahun 1950—1951. Pada tahun 1952 Pramoedya mendirikan dan memimpin Literary dan Features Agency Duta sampai tahun 1954. Selama hidup, Pram telah menulis puluhan karya sastra baik berupa novel maupun kumpulan cerita pendek. Beberapa karyanya yang cukup populer antara lain “Di Tepi Kali Bekasi”, “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, dan “Gadis Pantai”. Penghargaan yang pernah diraihnya antara lain adalah Hadiah Sastra dari Balai Pustaka atas novelnya Perburuan (1950), hadiah Sastra dari BMKN atas kumpulan cerpennya Cerita dari Blora (1952), dan penghargaan Unesco Madanjeet Singh Prize oleh Dewan Eksekutif Unesco (1996).
5. Ayu Utami
Ayu Utami yang nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana serta ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu. Novel pertama yang ditulisnya adalah Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaharu dalam dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel “Bilangan Fu” yang ditulisnya juga mendapatkan Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008.
Nah, itulah 5 (lima) sosok sastrawan yang turut memberikan warna dalam dunia kesusastraan Indonesia. Sebagai generasi muda, Sobat SMP dapat turut memajukan bahasa Indonesia dengan terus mengembangkan kosakata, terus mengasah kemampuan berbahasa Indonesia, serta bangga berbahasa Indonesia.
Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP
Referensi:
//badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/indeks_tokoh?page=1
//www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/10/bulan-oktober-bulan-bahasa-dan-sastra
5 menit
Ada banyak cara untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia, salah satunya dengan membaca puisi kemerdekaan untuk mengobarkan semangat berbangsa dan bernegara.
Tak hanya itu saja, dari karya-karya puisi kemerdekaan penyair terkenal, kita juga bisa memaknai apa arti kemerdekaan dan bagaimana para pahlawan memperjuangkannya.
Pun tak dapat dipungkiri bahwa ada peran sastra dalam kemerdekaan Indonesia.
Berbicara soal sastrawan, satu nama yang pasti selalu terkenang adalah Chairil Anwar.
Dalam kiprahnya di dunia sastra, Chairil dikenal sebagai pelopor Angkatan ‘45 atau Angkatan Kemerdekaan.
Mereka adalah para sastrawan kesusastraan Indonesia yang berkarya di sekitar masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan, dan beberapa tahun sesudahnya.
Selain Angkatan ‘45, para penyair Indonesia setelahnya pun juga banyak yang mengangkat tema puisi kemerdekaan.
Berikut ini adalah kumpulan puisi kemerdekaan Indonesia karya penyair terkenal…
Kumpulan Puisi Kemerdekaan Indonesia
1. “Diponegoro” – Chairil Anwar
sumber: idntimes.com
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju.
Serbu.
Serang.
terjang
2. “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” – Taufik Ismail
sumber: fin.co.id
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
3. “Hari Kemerdekaan” – Sapardi Djoko Damono
sumber: pikiran-rakyat.com
Akhirnya tak terlawan olehku
tumpah di mataku, dimata sahabat-sahabatku
ke hati kita semua
bendera-bendera dan bendera-bendera
bendera kebangsaanku
aku menyerah kepada kebanggan lembut
tergenggam satu hal dan kukenal
tanah dimana ku berpijak berderak
awan bertebaran saling memburu
angin meniupkan kehangatan bertanah air
semat getir yang menikam berkali
makin samar
mencapai puncak ke pecahnya bunga api
pecahnya kehidupan kegirangan
menjelang subuh aku sendiri
jauh dari tumpahan keriangan di lembah
memandangi tepian laut
tetapi aku menggenggam yang lebih berharga
dalam kelam kulihat wajah kebangsaanku
makin bercahaya makin bercahaya
dan fajar mulai kemerahan
4. “Jakarta 17 Agustus Dini Hari” – Sitor Situmorang
sumber: gramedia.com
Sederhana dan murni
Impian remaja
Hikmah kehidupan
berNusa
berBangsa
berBahasa
Kewajaran napas
dan degub jantung
Keserasian beralam
dan bertujuan
Lama didambakan
menjadi kenyataan
wajar, bebas
seperti embun
seperti sinar matahari
menerangi bumi
di hari pagi
Kemanusiaan
Indonesia Merdeka
17 Agustus 1945
5. “Museum Perjuangan” – Kuntowijoyo
sumber: suarr.id
Susunan batu yang bulat bentuknya
berdiri kukuh menjaga senapan tua
peluru menggeletak di atas meja
menanti putusan pengunjungnya
Aku tahu sudah, di dalamnya
tersimpan darah dan air mata kekasih
Aku tahu sudah, di bawahnya
terkubur kenangan dan impian
Aku tahu sudah, suatu kali
ibu-ibu direnggut cintanya
dan tak pernah kembali
Bukalah tutupnya
senapan akan kembali berbunyi
meneriakkan semboyan
Merdeka atau Mati
Ingatlah, sesudah sebuah perang
selalu pertempuran yang baru
melawan dirimu.
6. “Atas Kemerdekaan” – Sapardi Djoko Damono
kita berkata: jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya: langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu:
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
7. “Gerilya” – W.S. Rendra
sumber: tribunnews.com
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
8. “Doa Serdadu Sebelum Berperang” – W.S. Rendra
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku.
9. “Karawang-Bekasi” – Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
10. “Bunga dan Tembok” – Widji Thukul
sumber: liputan6.com
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
***
Demikian kumpulan puisi kemerdekaan karya penyair terkenal Indonesia.
Semoga bermanfaat, Sahabat 99.
Simak informasi menarik lainnya di Berita 99.co Indonesia.
Kunjungi www.99.co/id dan rumah123.com untuk menemukan hunian impianmu dari sekarang.
Dapatkan kemudahan untuk memenuhi kebutuhan properti, karena kami selalu #AdaBuatKamu.
Kunjungi dari sekarang dan temukan hunian favoritmu, salah satunya Griya Reja Residence!