Sebutkan 3 kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908

Kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908. Foto: wikipedia

Kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908 sangat jauh dari kata merdeka. Rakyat dijajah dan diperdaya oleh bangsa Belanda yang berupaya memeras kekayaan Tanah Air dan memecah belah bangsa.

Pada tahun 1602, Belanda mendirikan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Indonesia. Di berbagai daerah, VOC melaksanakan taktik politiknya, yakni devide et impera atau politik adu domba.

Belanda mengadu domba antara satu kerajan dengan kerajaan lain. Sehingga, kekuatan kerajaan-kerajaan di Indonesia pun melemah dan turut merusak persatuan. Tidak hanya itu, penindasan dan penyelewengan pun kerap kali dilakukan.

Lalu, seperti apa kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908?

Kondisi Bangsa Indonesia Sebelum Tahun 1908

Penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia terjadi di bawah kepemimpinan Daendels pada tahun 1808-1811. Daendels memerintahkan rakyat Indonesia untuk melakukan kerja rodi guna membangun jalan sepanjang pulau Jawa, Anyer-Panarukan.

Kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908. Foto: wikipedia

Tentu, kerja paksa ini membuat rakyat semakin menderita. Tidak hanya itu, penderitaan juga berlanjut ketika Belanda menerapkan kebijakan Cultuurstelsel atau Tanam Paksa.

Kebijakan ini diterapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Den Bosch tahun 1828. Sistem Tanam Paksa mewajibkan rakyat menanami sebagian dari sawah atau ladangnya dengan tanaman yang ditentukan oleh pemerintah. Kemudian, hasil tanaman tersebut nantinya diserahkan kepada Belanda.

Tanam Paksa memeras tenaga rakyat Indonesia. Tidak hanya itu, kekayaan pun terkuras habis, sehingga banyak ditemukan rakyat yang jatuh miskin. Namun, Belanda justru mendapatkan kekayaan yang berlimpah dari hasil penderitaan tersebut.

Dikutip dari buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMP Kelas VIII, penderitaan bangsa Indonesia akhirnya menumbuhkan benih perlawanan di berbagai daerah. Perjuangan melawan penjajah mulai dipimpin para ulama dan kaum bangsawan.

Ada Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Tuanku Imam Bonjol dari Sumatera Barat, Pangeran Diponegoro dari Jawa Tengah, mereka turut serta dalam aksi perjuangan rakyat melawan penjajah.

Kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908. Foto: wikipedia

Mereka bersatu dalam semangat nasionalisme yang kuat. Namun sayang, menurut Dr. H. Ishaq dalam buku Pendidikan Pancasila, peperangan ini gagal karena perlawanan kala itu masih bersifat kedaerahan.

Kondisi bangsa Indonesia yang kacau turut menyentuh hati beberapa orang Belanda yang tinggal di Tanah Air seperti Baron Van Houvell, Edward Douwes Dekker, dan Mr. Van Deventer. Douwes Dekker atau Multatuli menuangkan penderitaan masyarakat Lebak di Banten melalui buku yang bertajuk Max Havelaar pada 1860.

Sementara itu, Van Deventer menyarankan Politik Etische atau politik balas budi yang dapat menguntungkan pihak Indonesia-Belanda. Politik tersebut terdiri dari tiga program, yakni pendidikan, emigrasi, dan rigasi.

Belanda akhirnya menerapkan politik balas budi untuk Indonesia. Namun, politik itu hanya menguntungkan Belanda. Irigasi diterapkan untuk perkebunan milik Belanda. Sedangkan, pembangunan sekolah dilakukan untuk menyediakan tenaga kerja terampil dan murah.

Kendati demikian, pembangunan sekolah memberikan dampak positif untuk Indonesia. Melalui sekolah tersebut, masyarakat Nusantara menjadi terpelajar. Rakyat akhirnya berusaha bergerak untuk bangkit dan membebaskan Tanah Air dari penjajah.

Ilustrasi tanam paksa pada jaman kolonial Belanda. Sumber: sejarah-negara.com

Sebelum merdeka seperti sekarang ini, bangsa Indonesia telah mengalami kesengsaraan dalam jangka waktu yang panjang. Penderitaan ini disebabkan oleh penjajah yang berupaya memeras kekayaan Tanah Air dan memecah belah bangsa.

Namun, keadaan mulai berubah sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 1908. Organisasi tersebut berhasil membakar semangat rakyat Nusantara untuk bangkit dari praktik penjajahan.

Lantas, bagaimana kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908?

Penderitaan Bangsa Indonesia

Praktik penjajahan di Indonesia bermula dari ekspedisi negara-negara Eropa pada abad ke-15. Kala itu, sumber perekonomian Eropa runyam akibat perang dan perkembangan teknologi perkapalan. Akhirnya, orang-orang Eropa berekspedisi untuk mencari sumber ekonomi baru di seluruh dunia.

Setelah melakukan ekspedisi, orang Eropa menemukan bangsa Indonesia yang kaya akan rempah-rempah. Mereka pun melakukan perdagangan di Tanah Air.

Namun tidak hanya berdagang, mereka juga berusaha menjajah wilayah Nusantara untuk menguasai kekayaan Tanah Air yang melimpah.

Selama zaman penjajahan, orang Eropa membuat sejumlah peraturan yang membuat bangsa Indonesia menderita, di antaranya:

Ketika Daendels berkuasa pada 1808-1811, ia menerapkan aturan kerja paksa atau kerja rodi. Aturan tersebut mengharuskan rakyat untuk membangun jalan di sepanjang Pulau Jawa, dari Anyer hingga Panarukan.

Peraturan ini membuat rakyat Indonesia menderita. Sebab, rakyat harus bekerja keras untuk menggali batuan dan membuat jalan tanpa upah. Tidak hanya itu, kerja rodi juga memakan banyak korban jiwa.

Belanda menerapkan cultuurstelsel atau tanam paksa yang merugikan rakyat Nusantara. Peraturan ini mewajibkan masyarakat untuk bercocok tanam di ladangnya.

Kemudian, hasil tanaman diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Peraturan ini menyebabkan masyarakat menderita dan jatuh miskin.

Tidak hanya memeras kekayaan Tanah Air, Belanda melalui VOC juga mengadu domba Nusantara. Mereka melakukan devide et impera atau politik adu domba. Politik tersebut saling mengadu domba kerajaan, sehingga persatuan Indonesia terpecah belah.

Ilustrasi Tanam Paksa, sumber: Pelajaran Sekolah Online

Perlawanan Rakyat Indonesia

Kesengsaraan yang dialami bangsa Indonesia telah memicu perlawanan di berbagai daerah Nusantara. Perlawanan itu dipimpin oleh beberapa sarjana dan bangsawan, yaitu:

  • Sultan Ageng Tirta Yasa di Banten.

  • Sultan Hasanuddin di Sulawesi Selatan.

  • Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat

  • Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah.

Sayangnya, peperangan ini gagal. Sebab, perlawanan kala itu masih bersifat kedaerahan. Di sisi lain, penderitaan yang dialami Indonesia juga menggerakkan hati beberapa orang Belanda, seperti Baron van Huber, Edward Douwes Decker, dan Tuan Vendee Venter.

Douwes Dekker atau Multatuli menuangkan penderitaan masyarakat Lebak di Banten melalui buku yang bertajuk Max Havelaar pada 1860.

Sementara itu Van Deventer menyarankan Politik Etische atau politik balas budi yang dapat menguntungkan pihak Indonesia-Belanda. Politik tersebut terdiri dari tiga program, yakni:

Belanda akhirnya menerapkan politik balas budi untuk Indonesia. Namun, politik itu hanya menguntungkan Belanda. Irigasi diterapkan untuk perkebunan milik Belanda. Sedangkan, pembangunan sekolah dilakukan untuk menyediakan tenaga kerja terampil dan murah.

Kendati demikian, pembangunan sekolah memberikan dampak positif untuk Indonesia. Melalui sekolah tersebut, masyarakat Nusantara menjadi terpelajar. Rakyat yang terpelajar akhirnya berusaha bergerak untuk bangkit dan membebaskan Tanah Air dari penjajah.