Sebutkan 2 contoh amar maruf nahi munkar dalam kehidupan sehari-hari

(Yosi Chandra Kurniawan)

Contoh-Contoh Perbuatan Amar Ma`ruf dan Nahi Mungkar

Amar Ma’ruf adalah perbuatan-perbuatan baik yang harus kita lakukan semasa hidup di dunia dan menjauhi perbuatan perbuatan mungkar (perbuatan dosa). Salah satu contoh dari Amar Ma’ruf adalah menjalankan sholat lima waktu. Sholat lima waktu adalah kewajiban umat manusia yang harus selalu dijalankan setiap hari. Dengan menjalankan sholat lima waktu kita dapat menunjukkan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan disetiap waktu. Diharapkan dengan rajin sholat lima waktu dapat lebih mengingatkan kita agar tidak berbuat dosa. Mungkin manusia tidak akan pernah terhindar dari dosa tapi dengan rajin sholat dapat mengingatkan dan dapat menghindarkan kita dari segala dosa yang menjerumuskan kita dalam dosa.

Nahi Mungkar adalah perbuatan-perbuatan dosa yang harus selalu kita hindari. Contoh dari Nahi Mungkar adalah minum –minuman keras. hukuman dari orang yang minum-minuman keras adalah apabila orang itu sholat tidak akan diterima selama 40 hari. Karena minum-minuman keras dapat menghilangkan kesadaran dan membawa orang yang telah minum-minuman keras kedalam alam bawah sadar yang dapat memicu orang itu berbuat dosa yang lebih besar. Misalnya orang yang mabuk bisa mencuri, memperkosa, membunuh, dll.

Akhir-akhir ini, terutama di era informasi, era digital, dan era media sosial (medsos), banyak acara atau program yang memuat konten keagamaan, dibuat dan dikemas secara personal ataupun kelembagaan dalam berbagai media dan platform yang diatasnamakan dan dimaksudkan sebagai dakwah atau amar ma’ruf nahi munkar, bahkan jihad.

Memang, dakwah dan amar ma’ruf-nahi munkar, termasuk jihad, adalah ajaran dan perintah Islam. Sungguhpun begitu, dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk di dalamnya jihad, tidak mesti dan tidak layak dilakukan oleh setiap Muslim, karena sangat berkaitan dengan persyaratan dan kriteria yang ketat dan konteks yang tepat pula.

Tidak sedikit orang yang berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, tetapi justru berseberangan dengan ajaran Islam itu sendiri, bahkan mencederai citra Islam sebagai agama yang mulia. Bagaimana sejatinya berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam perspektif Islam? Mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci Al-Qur’an Al-Karim:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Artinya: ”Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Âli ‘Imrân [3]: 104)

Imam Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî (849-911 H/1445-1505 M), dalam kitab yang sangat populer, Tafsîr al-Jalâlain, dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan:

ومن للتبعيض لأن ما ذكر فرض كفاية لا يلزم كل أمة ولا يليق بكل أحد كالجاهل

Artinya: ”Huruf min untuk arti sebagian, karena apa yang telah disebutkan (dalam ayat 104 itu, yakni dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar) merupakan fardhu kifâyah, tidak layak dilakukan oleh setiap orang, seperti orang yang bodoh (tidak berpengetahuan)” (al-‘Allâmah Ahmad as-Shâwî al-Mâlikî, Hâsyiyat al-‘Allâmah as-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993, Juz I, h. 229).

Syekh Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr (1296-1393 H/1879-1973 M), tokoh Islam dan pakar fikih berkebangsaan Tunisia, dalam kitab tafsirnya, at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, menjelaskan tingkatan dakwah: “Sungguh dakwah kepada kebaikan itu bertingkat-tingkat: di antaranya ada tingkatan yang bisa dilakukan oleh setiap Muslim; dan ada tingkatan dakwah yang memerlukan pengetahuan yang (hanya) dilakukan oleh ahlinya, dan inilah yang dinamakan fardhu kifâyah, yakni bila sudah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban atas yang lainnya. (Dalam hal ini) Menjadi jelas sekelompok orang yang menjalankan dakwah ini (harus) dengan memenuhi persyaratan-persyaratannya, seperti punya energi kekuatan dalam mengangkat pedang (senjata) –dalam situasi perang [pen.], bisa berenang dalam menyelamatkan orang yang tenggelam, dan mempunyai ilmu tentang ajaran-ajaran agama mengenai beramar ma’ruf nahi munkar, juga (syarat mengenai) jumlah orang yang diperlukan melakukan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tersebut….” (Syekh Muhammad Thâhir ibn ‘Âsyûr, at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, ad-Dâr at-Tûnîsiyyah li-an-Nasyr, Tunisia, 1984, Jilid IV: 39).

Selanjutnya, berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar, terdapat persyaratan atau kriteria khusus. Ada lima persyaratan atau kriteria amar ma’ruf nahi munkar itu, sebagaimana dikemukakan oleh Sulthân al-Auliyâ’ Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî al-Hasanî (470-561 H), dalam kitabnya al-Gunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq. Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî membuat suatu fasal berikut:

Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar harus memenuhi lima persyaratan: Pertama, ia mengetahui sesuatu yang diperintahkan dan sesuatu yang dilarang. Kedua, tujuan atau motivasi dari amar ma’rufnya adalah mencari ridha Allah dan meluhurkan agama-Nya, serta meninggikan Kalimat-Nya, bukan karena riyâ’, sum‘ah, dan kebanggaan bagi diri sendiri. Ia akan membantu dan membimbing orang yang berbuat kemungkaran ke arah kebaikan, jika memang ia (orang yang beramar ma’ruf nahi munkar) berlaku benar dan ikhlas.

Ketiga, perintah dan larangannya dilakukan dengan lemah lembut, ramah dan kasih sayang. Nasihat disampaikan dengan cara yang baik, bukan dengan keras dan marah-marah, agar ia tidak mempersamakan musuhnya itu dengan setan yang terkutuk. Nabi dalam hadits Usâmah bersabda: ”Tidaklah patut bagi seseorang yang menyeru kepada kebaikan dan melarang kepada kemungkaran, sehingga di dalam dirinya terpenuhi tiga macam: memahami apa yang dia perintahkan; memahami apa yang dia larang; dan lemah lembut terhadap sesuatu yang dia perintah dan lemah lembut terhadap sesuatu yang dia larang.”

Keempat, ia menjadi seorang yang penyabar, murah hati, toleran, rendah hati, mampu mengontrol hawa nafsu, kuat hatinya, penurut (tidak beringas atau sangar), laksana dokter yang mengobati pasiennya, bijak bestari yang mengobati orang gila, dan pemimpin yang memberikan petunjuk.

Kelima, ia melaksanakan sesuatu yang dia perintahkan, menjauhi sesuatu yang dia larang, dan tidak berlumuran dengan sesuatu yang dilarang tersebut, agar ia tidak dikuasi oleh mereka, yang justru menjadikannya hina dan tercela di hadapan Allah Taala.” (Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî, al-Gunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq fî al-Akhlâq wa-al-Tashawwuf wa-al-Âdâb al-Islâmiyyah, Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, t.t., juz I, h. 51-53).

Lebih lanjut, dalam beramar ma’ruf nahi munkar juga penting memperhatikan etikanya, sebagaimana dijelaskan Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî:

(فَصْلٌ) وَالْأَوْلَى لَهُ إِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَأْمُرَهُ وَيَنْهَاهُ فِيْ خَلْوَةٍ لِيَكُوْنَ ذَلِكَ أَبْلَغَ وَأَمْكَنَ فِي الْمَوْعِظَةِ وَالزَّجْرِ وَالنَّصِيْحَةِ لَهُ وَأَقْرَبَ إِلَى الْقَبُوْلِ وَالْإِقْلَاع

(Fasal) Yang utama baginya (orang yang beramar ma’ruf nahi munkar) adalah jika ia mampu memerintah seseorang atau melarang seseorang di tempat atau keadaan yang sepi, agar itu lebih mengena dan lebih efektif dalam memberikan mau‘izhah, larangan, dan nasihat kepadanya, serta lebih diterima dan produktif (berhasil).

Menjadi clear (jelas dan nyata) bahwa dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tidaklah mudah dan tidaklah serta-merta dapat dilakukan oleh setiap orang atau media publik, tetapi harus memenuhi persyaratan dan kriteria yang ketat. Bagi siapa pun yang tidak mempunyai kompetensi atau ilmu keagamaan yang cukup memadai tentang suatu bidang atau tema keagamaan, maka dilarang berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang tersebut, terlebih ditujukan kepada publik (masyarakat umum), dan dengan berbagai media dan platform apa pun: televisi dan radio, media cetak, digital (online) ataupun medsos, karena hal itu justru bisa mengakibatkan mafsadat atau kerusakan terhadap umat, dan citra Islam sebagai agama mulia, agama rahmatan lil ‘alamin. Padahal sungguh jelas mafsadat wajib dihindarkan (lâ dharar wa-lâ dhirâr, dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih)!

Ahmad Ali MD, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI-MUI).

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…..”(QS. Ali’Imran [03]: 110 )

Muhammad Abdul Qadir dalam bukunya Amar Ma’ruf Nahi Munkar mengatakan bahwa makna ma’ruf menurut timbangan syari’at Islam adalah setiap i’tikad (keyakinan), perbuatan (‘amal), perkataan (qawl), atau isyarat yang telah diakui oleh al-Syâri’ Yang Maha Bijaksana dan diperintahkan sebagai bentuk kewajiban (wujȗb) maupun dorongan (nadb). Jadi, ma’ruf disini berarti al-khayr (kebaikan). Oleh karena itu, amar ma’ruf berarti perintah atau dorongan untuk menjalankan perkara-perkara yangma’rȗf (kebaikan), yang dituntut atau didorong oleh aqidah dan syariat Islam. Sebaliknya, yang dinamakan dengan munkar menurut timbangan syariat Islam adalah setiap i’tikad (keyakinan/keimanan), perbuatan (‘amal), ucapan (qawl) yang diingkari oleh al-Syâri’ Yang Mahabijaksana dan harus dijauhi.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang di lahirkan untuk manusia,” Al-Kalabi telah mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung keterangan yang menyebutkan tentang keadaan umat dalam hal keutamaannya, diatas umat-umat yang lain. Di dalamnya terkandung dalil yang menunjukan bahwa Islam secara mutlak adalah umat yang paling baik. Kebaikan ini dimiliki secara merata diantara generasi pertama dari umat ini hingga generasi terakhirnya, bila dibandingkan dengan umat-umat yang lain, meskipun diantara sesamanya terdapat perbedaan, dalam hal keutamaan, sebagaimana dalam dalil yang menunjukan keutamaan para sahabat di atas golongan yang lain. Pengertianukhrijat yang berarti dilahirkan untuk manusia guna memberi manfaat dan maslahat kepada mereka dan semua generasinya, sehingga umat ini berbeda dan dikenal oleh umat lainnya.

Firman Allah SWT yang selanjutnya yang menyebutkan “Menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Merupakan kalimat baru yang mengandung penjelasan tentang ciri khas yang membuat mereka menjadi umat yang terbaik, selama mereka berpegang teguh dan memelihara ciri khasnya tersebut. Namun, apabila mereka meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar-nya, maka akan lenyaplah predikat itu dari mereka. Dan Allah menjadikan mereka sebaik-baik umat bagi manusia karena mereka selalu memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran, dan mereka memerangi orang-orang kafir agar masuk Islam, sehingga keberadaan mereka dirasakan manfaatnya oleh selain mereka. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw: “ Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.”Adapun menurut riwayat Ibnu Abbas r.a. dan sejumlah Tabi’in adalah umat yang paling baik dan paling berguna bagi umat lainnya. Oleh karena itu, Allah berfirman “ kamu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.”

Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan dari Durrah binti Abu Lahab, Dia berkata “seseorang bangkit dan menuju Nabi ketika di mimbar, lalu bertanya ‘ ya Rasulullah siapakah manusia yang paling baik? beliau bersabda: ‘manusia yang paling baik adalah yang paling tenang, paling bertaqwa, paling giat menyuruh kepada yang ma’ruf, paling gencar melarang kemunkaran dan paling rajin bersilaturahmi. Taghyîr al-munkar (mengubah kemungkaran) adalah kewajiban atas setiap Muslim. Hanya saja, caranya telah ditentukan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda: “Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya: jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya; jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Akan tetapi, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” [HR. Muslim].

Hadis itu terkait dengan sifat-sifat seseorang tatkala mengubah kemungkaran. Orang yang hendak mengubah kemungkaran berhak mengubahnya dengan berbagai cara yang dapat melenyapkan kemungkaran tersebut, baik melalui perkataan maupun perbuatan (tangan). Jika seseorang memiliki dugaan kuat (yakni jika diubah dengan tangan akan muncul kemungkaran yang lebih besar lagi, seperti menyebabkan resiko akan dibunuh atau orang lain bakal terbunuh karena perbuatannya), cukuplah mengubah kemungkaran itu dilakukan dengan lisan, diberi nasihat dan peringatan. Jika ia merasa khawatir bahwa ucapannya itu bisa berakibat pada resiko yang sama. Cukuplah diingkari dengan hati. Itulah yang dimaksud hadits tersebut (Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim).

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa mengubah kemungkaran dengan tangan atau kekuatan adalah tugas mereka yang memiliki kekuasaan, Sedangkan mengubah kemunkaran dengan lisan adalah tugasnya para ulama, adapun dengan hati adalah reaksi dari kalangan awam atau orang yang hanya bisa mendoakan agar kemunkaran itu enyah dari hadapannya. Ulama yang lain ada yang mengatakan setiap yang mampu melakukannya atau memiliki kekuasaan untuk mencegahnya maka sudah menjadi keharusan baginya untuk mengubah kemunkaran itu sesuai dengan kemampuan dirinya.

Hudzaifah r.a. telah mengatakan bahwa kelak di akhir zaman akan datang kepada manusia suatu zaman yang di dalamnya mereka lebih suka bila bersama dengan bangkai keledai daripada seorang mukmin yang memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran. Musa a.s. berkata “Wahai Rabbku, apakah balasan yang mengajak saudaranya untuk mengerjakan kebajikan dan mencegahnya melakukan kemunkaran?” Allah berfirman, “Aku akan mencatatkan baginya untuk setiap kalimat yang diucapkannya sama dengan pahala ibadah satu tahun dan aku malu bila mengazabnya dengan neraka-Ku.”

Dalam sebuah hadits Qudsi di sebutkan bahwa Allah SWT telah berfirman “Hai anak Adam, janganlah kamu termasuk orang yang menangguh-nangguhkan taubatnya dan berangan-angan panjang, sehingga pulang ke akhirat tanpa membawa suatu amal apapun.” Ucapan yang dikeluarkannya bagaikan ahli ibadah namun sepakterjangnya sama dengan orang munafik, jika diberi merasa kurang puas, jika tidak diberi tidak sabar untuk segera menerima. Berpura-pura menyukai orang-orang saleh, padahal ia bukan termasuk golongan mereka dan berpura-pura membenci orang-orang munafik, padahal ia termasuk salah seorang dari mereka. Suka memerintahkan kepada kebaikan namun ia sendiri tidak pernah melakukannya, dan melarang perbuatan yang buruk padahal ia sendiri tidak pernah berhenti melakukannya. Naudzubillahi min dzalik!

Diriwayatkan melalui sahabat Rasul ‘Ali karramallahu wajhah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda, “ kelak di akhir zaman akan datang suatu kaum yang usia mereka masih muda-muda, wawasan pengetahuan mereka tentang agama dangkal, mereka suka mengeluarkan kalam sebaik-baik makhluk, namun hanya di mulut saja tidak sampai masuk kedalam hatinya, mereka keluar dari agama secepat anak panah menembus sasarannya. Rasulullah sewaktu di isra’kan oleh Allah SWT ke langit, beliau melihat sejumlah kaum laki-laki yang lidah mereka dipotong dengan gunting api, lalu beliau bertanya kepada Jibril. “Hai Jibril, siapakah mereka?” ‘Jibril menjawab, “Mereka adalah tukang ceramah dari kaummu yang suka memerintahkan kebaikan kepada orang lain, sedangkan mereka sendiri melalaikannya.”

Allah menegur keras sikap mereka yang demikian itu, sebagaimana firmannya:Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan (kewajiban) dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat) maka tidakkah kamu berpikir? (QS. al-Baqarah [2]: 44), di ayat yang lain Allah juga telah menegaskan “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS al- Shaff [61]: 2-4). Ayat ini menjukkan konsistensi antara ucapan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang paham tentang agama tapi sifat dan tingkah lakunya tidak berbeda jauh dengan binatang, tidakkah kita berpikir?

Sahabat Rasulullah yang bernama Anas r.a. telah bertanya kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerintahkan kepada kebaikan agar kami dapat mengerjakan semuanya, dan bolehkah kami mencegah kemungkaran agar kami agar menghindari semuanya?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan perintahkanlah kepada kebaikan, meskipun kamu masih belum mengamalkan keseluruhannya dan cegahlah kemungkaran meskipun kamu masih belum dapat menghindari seluruhnya.” Hal ini lain halnya dengan para penceramah yang memotong lidah mereka sendiri lantaran mereka menyuruh tapi mereka sendiri tidak pernah mengerjakannya (ta’mur wala ta’mal).

Jadi, sudah seharusnya tugas amar ma’ruf nahi mungkar ini adalah tugas bagi kita semua selaku muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, Rasulullah saw telah bersabda: “Tidaklah suatu kaum itu melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan di kalangan mereka terdapat orang yang mampu mencegahnya dari mereka namun ia tidak melaksanakannya, melainkan Allah meratakan siksa dari-Nya kepada mereka. (HR. Tirmidzi)

Oleh karena itu pantaslah bila kita sering mendapatkan teguran-teguran dari Allah, mulai dari tsunami, lumpur Lapindo, gunung meletus dan sebagainya, mungkin entah musibah apalagi yang akan menimpa negeri kita. Ini tak lain adalah sebuah peringatan bahwa sesungguhnya kemunkaran itu telah tejadi di mana-mana, tetapi tak pernah ada yang menyuruh kepada yang ma’ruf. Allah telah mengingatkan bagi kita melalui bencana alam oleh karena itu sudah semestinya kit bersama-sama bertafakkur dan bertaubat atas kelalaian yang pernah kita lakukan agar semua siksa yang Allah ratakan tidak terjadi lagi. Marilah kita sama-sama kembali ke jalan Allah SWT dengan mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dengan menanamkan kesabaran dalam diri serta percaya dengan adanya pahala dari Allah SWT, karena sesungguhnya barang siapa yang percaya dengan adanya pahala dari Allah niscaya tidak akan merasakan gangguan menyakitkan yang menimpa diri kita. Semoga kita termasuk orang-orang yang bertaqwa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Wallahu’alam bi al-shawwab.

Amir Hamzah, Prodi Pendidkan Agama Islam FIAI UII Angkatan 2009/2010

Artikel ini dimuat dalam Al-Rasikh, Lembar Jumat Masjid Ulil Albab terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 12 Maret 2010. Artikel dapat diakses di link ini.

Unduh Artikel