Rumah type 70 luas tanahnya berapa?

2 Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Winarno, GD., Hatma dan S.A Soedjoko. Hidrologi Hutan Bandar Lampung, Penerbit Universitas Lampung, ISBN Copy right@pada penulis Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang memperbanyak isi buku ini dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penulis. Penerbit Universitas Lampung Bandar Lampung

3 KATA PENGANTAR Buku ajar hidrologi hutan ini disusun untuk mempermudah mahasiswa mempelajari dan memahami teori dalam mata kuliah hidrologi hutan. Jam tatap muka yang sedikit dan komunikasi yang terbatas dengan staf pengajar selama di perkuliahan, akan membatasi mahasiswa dalam pemahaman teori. Diharapkan buku ini dapat membantu mahasiswa mengingat kembali di luar perkuliahan dan memberi wawasan ilmu dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan hidrologi hutan. Kelebihan buku ini dibanding dengan berbagai buku lainnya tentang hidrologi hutan adalah dengan adanya artikel studi kasus dari beberapa peneliti. Biasanya mahasiswa kurang tertarik jika hanya memahami teori dan istilah tanpa disertai dengan contoh kasus di suatu lokasi. Adanya studi kasus ini akan mendorong mahasiswa untuk peduli terhadap lingkungan dan masyarakat. Sehingga manfaat ilmu hidrologi dapat diterapkan dalam pendekatan solusi kasus, pengembangan pembangunan atau mitigasi bencana alam. Buku ini hasil kerjasama antara Staf pengajar Unila dengan Staf pengajar UGM. Diharapkan staf pengajar Unila akan dapat saling berinteraksi dengan pengajar dan mahasiswa dari UGM dalam rangka pengembangan ilmu hidrologi hutan. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua rekan kerja di Jurusan Kehutanan Unila dan Fakulktas Kehutanan UGM atas kerjasamanya. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada mahasiswa kehutanan Unila dan UGM atas berbagai masukkannya. Penyusun 2

4 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...i DAFTAR TABEL...ii DAFTAR GAMBAR...iii I. KONSEP DASAR HIDROLOGI HUTAN Deskripsi Singkat Relevansi Tujuan Instruksional Khusus Pengertian Ruang Lingkup Hidrologi Daur Hidrologi Istilah-Istilah Hidrologi Artikel Evaluasi...38 II. PERAN HUTAN DALAM PENGENDALIAN DAUR AIR DAN LONGSOR LAHAN Deskripsi Singkat Relevansi Tujuan Instruksional Khusus Peranan Hutan dalam Pengendalian Daur Air Faktor Penyebab Longsor Lahan Pengendalian Longsor Lahan Artikel Evaluasi...56 III. PRESIPITASI Deskripsi Singkat Relevansi

5 3.3. Tujuan Instruksional Khusus Pengertian Mekanisme Presipitasi Jaringan Pengukur Hujan Pengukuran Presipitasi Cara Rata-Rata Aljabar Cara Poligon Thiessen Cara Isohiet Intensitas dan Lama Waktu Hujan Analisis Data Presipitasi Artikel Evaluasi IV. INFILTRASI Deskripsi Singkat Relevansi Tujuan Instruksional Khusus Pengertian Proses Terjadinya Infiltrasi Faktor yang Berpengaruh Terhadap Laju Infiltrasi Pengukuran Infiltrasi Artikel Evaluasi V. INTERSEPSI Deskripsi Singkat Relevansi Tujuan Instruksional Khusus Pengertian Faktor-Faktor Penentu Intersepsi Pengukuran intersepsi Perhitungan besarnya intersepsi

6 Perhitungan besarnya intersepsi dengan persamaan matematik Artikel Evaluasi VI. EVAPOTRANSPIRASI Deskripsi Singkat Relevansi Tujuan Instruksional Khusus Pengertian dan Faktor Evapotranspirasi Model-Model Analisis Evapotranspirasi Analisis Evapotranspirasi Metode Meyer Analisis Evapotranspirasi Potensial Metode Thornwaite Analisis Neraca Air Metode Thornwaite Mather Analisis Evapotranspirasi Metode Turc Langbein Evaluasi VII. KONSEP NERACA AIR Deskripsi Singkat Relevansi Tujuan Instruksional Khusus Daur Hidrologi Neraca Air (Water balance) Neraca Air di Danau atau Waduk Neraca Air pada Tanah Neraca Air pada Aquifer Neraca Air dalam Daerah Aliran Sungai Artikel Evaluasi VIII. DEBIT

7 8.1. Deskripsi Singkat Relevansi Tujuan Instruksional Khusus Pengertian Pengukuran Debit Metode Pengukuran Debit Air Sungai Pengukuran Kecepatan Arus Sungai Pengukuran Debit dengan Cara Apung (Float Area Methode) Pengukuran Debit dengan Current-meter Pengukuran Debit dengan Metode Kontinyu Menghitung Luas Seksi Bangunan Pengukur Debit aliran Artikel Evaluasi IX. ESTIMASI DEBIT BANJIR Deskripsi Singkat Relevansi Tujuan Instruksional Khusus Estimasi Debit Banjir Data Hujan dan Data Debit Tidak Ada Bila Hanya Tersedia Data Hujan Artikel Evaluasi X. LENGKUNG ALIRAN DEBIT Deskripsi Singkat Relevansi Tujuan Instruksional Khusus Pengertian

8 Membuat Lengkung Aliran Debit Metode Pembuatan Lengkung Aliran Metode Logaritmik Metode Analitik Artikel Evaluasi XI. DEBIT SUSPENSI DAN SUSPENDED RATING CURVE Deskripsi Singkat Relevansi Tujuan Instruksional Khusus Debit Suspensi dan Suspended Rating Curve Artikel Evaluasi XII. PEMISAHAN ALIRAN Deskripsi Singkat Relevansi Tujuan Instruksional Khusus Pengantar Pemisahan Aliran Artikel Evaluasi // XIII. HIDROMETRI Deskripsi Singkat Relevansi Tujuan Instruksional Khusus Pengertian Stasiun Pengamatan Air Sungai (SPAS)

9 Peilskal (Papan Duga) AWLR (Automatic Water Level Recorder) Evaluasi DAFTAR PUSTAKA GLOSARIUM DAN INDEKS

10 DAFTAR TABEL Tabel 4.1. Contoh Penghitungan Infiltrasi Tabel 8.1. Cara Pengukuran Kecepatan Aliran Tabel 9.1. Metode Perkiraan Debit Banjir Tabel 9.2. Nilai n untuk berbagai h di sungai Nishnabotna IQWA untuk musim semi Tabel 9.3. Perhitungan Koefisien Kekasaran Manning Menurut Cowan Tabel Perhitungan Hubungan Antara Tinggi Muka Air dengan Debit Air Sungai Urip 188 Tabel Perhitungan Lengkung Aliran dengan Metode Analitik Tabel Koefisien Runoff (C)

11 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Model Sederhana Siklus Hidrologi...17 Gambar 1.2. Gambar Siklus Hidrologi...19 Gambar 1.3. Penampang Alur Sungai dan Komponen Runoff...22 Gambar 1.4. Proses Runoff pada Periode Tidak Hujan...23 Gambar 1.5. Proses Runoff pada Periode Hujan Awal Gambar 1.6. Proses Runoff pada Periode Hujan...25 Gambar 1.7. Proses Runoff pada Saat Hujan Berhenti...25 Gambar 1.8. Proses Runoff pada Saat Tidak Ada Hujan...26 Gambar 1.9. Tipe Sungai dan Hubungan antara Runoff Air Tanah...27 Gambar Pengaruh Distribusi Hujan dan Arah Hujan Terhadap Bentuk Hidrograf...28 Gambar Proyeksi horizontal dan vertikal daerah aliran sungai...30 Gambar Konsep DAS dan Sistem DAS Gambar 2.1. Causal Loop Pengendalian Daur Air Secara Tehnik Biologik...41 Gambar 2.2. Proses Hidrologi dalam Hutan...42 Gambar 2.3. Proses dan Siklus Hidrologi...42 Gambar 2.4. Penjarangan untuk Mengurangi Beban Tanah...48 Gambar 2.5. Model Pembuatan Saluran Pembuatangan Air...48 Gambar 3.1. Metode Rata-rata Aljabar...70 Gambar 3.2. Metode Poligon Thiessen...72 Gambar 3.3. Metode Isohiet...73 Gambar 3.4. Pengukur hujan manual.(kiri) Pengukur hujan otomatik (kanan)...76 Gambar 4.1. Grafik Infiltrasi...99 Gambar 7.1. Siklus Hidrologi dan Ilmu-ilmu Pendukungnya Gambar 7.2. Neraca Air Waduk atau Danau Gambar 7.3. Neraca Air pada Kolom Tanah

12 Gambar 7.4. Neraca Air Tanah Pada Unconfined Aquifer Gambar 7.5. Neraca Air Pada Daerah Aliran Sungai Gambar 8.1. Distribusi kecepatan aliran dalam alur sungai Gambar 8.2. Distribusi Kecepatan Aliran Gambar 8.3. Jenis-jenis Pelampung Gambar 8.4. Titik Jalannya Pelampung Gambar 8.5. Menghitung Luas Seksi dengan Mean Section Gambar 8.5. Menghitung Luas Seksi dengan Mid Section Gambar 9.1. Penampang Sungai dan Profil Gambar 9.2. Diagram Alir Menghitung Qp dengan Rumus Rasional. Gambar Pencarian Ho Lengkung Aliran Debit Gambar Jenis-jenis Alat Pengambil Contoh Suspensi Gambar Jenis-jenis Alat Pengambil Contoh Muatan Dasar Gambar Perbedaan Konsentrasi Suspensi pada Aliran Naik dan Aliran Turun Gambar Penampang Alur Sungai dan Komponen Runoff Gambar Tahapan Pembuatan Discharge Hydrograph Gambar Metode Pemisahan Aliran Gambar Discharge Rating Curve Gambar Model Pemasangan Papan Duga Gambar Perbedaan Hasil Pencatatan antara SPAS Manual dan Otomatis

13 POKOK BAHASAN I. KONSEP DASAR HIDROLOGI HUTAN 1.1. Deskripsi Singkat Kajian hidrologi hutan dalam pengelolaan daerah tangkapan air, lebih ditekankan pada tinjauan secara menyeluruh terhadap komponen-komponen daur hidrologi, pengaruh antar komponen serta kaitannya dengan komponen penyusun ekosistemnya. Harapannya diperoleh hasil kajian yang mendalam dan menyangkut berbagai aspek dalam ekosistem. Mengingat pentingnya kajian secara menyeluruh tentang konsep hidrologi maka diperlukan pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar tentang konsep hidrologi hutan itu sendiri. Dalam bab ini dikemukakan tentang definisi hidrologi, sejarah perkembangan ilmu hidrologi hingga sekarang, tujuan obyek hidrologi, berbagai macam aplikasi hidrologi terutama dalam kaitannya dengan konservasi sumberdaya hutan Relevansi Bab ini merupakan dasar dan landasan bagi proses perkuliahan selanjutnya. Dengan menguasai bab ini mahasiswa dapat mengetahui ruang lingkup hidrologi hutan, sehingga mahasiswa dapat melihat permasalahan dan fenomena yang terjadi di lapangan. Selain itu mahasiswa juga akan menyadari bahwa ilmu hidrologi hutan penting untuk mendukung ilmu-ilmu yang lain dalam kaitannya dengan konsep pembangunan kehutanan berwawasan konservasi sumberdaya hutan Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa akan dapat menjelaskan konsep tentang hidrologi hutan termasuk berbagai parameter dan pengaruhnya terhadap komponen ekosistem yang 12

14 lain, sehingga dapat menjadi dasar bagi proses perkuliahan selanjutnya dan menjadi bekal untuk melakukan analisis hidrologi Pengertian Secara meteorologis, air merupakan unsur pokok paling penting dalam atmofer bumi. Air terdapat sampai pada ketinggian hingga meter, dalam jumlah yang kisarannya mulai dari nol di atas beberapa gunung serta gurun sampai empat persen di atas samudera dan laut. Bila seluruh uap air berkondensasi (atau mengembun) menjadi cairan, maka seluruh permukaan bumi akan tertutup dengan curah hujan kira-kira sebanyak 2,5 cm. Air terdapat di atmosfer dalam tiga bentuk: dalam bentuk uap yang tak kasat mata, dalam bentuk butir cairan dan hablur es. Kedua bentuk yang terakhir merupakan curahan yang kelihatan, yakni hujan, hujan es, dan salju. Air adalah salah satu sumber daya alam yang sangat berharga. Tanpa air tidaklah mungkin ada kehidupan di muka bumi ini. Disamping mempunyai manfaat biologis, air juga mempunyai daya energi yang berupa daya angkut dan pikul. Energi air dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk menunjang kebutuhannya, tetapi kadang-kadang air menjadi tenaga perusak. Tetes hujan dan aliran air dapat menyebabkan kerusakan tanah (erosi) dan sedimentasi. Hujan dan aliran air yang berlebihan dapat mendatangkan bencana banjir yang sering merugikan baik harta maupun jiwa manusia. Ilmu hidrologi secara praktis baru dikenal pada tahun 1608 Masehi, yaitu sejak Pierre Perrault melakukan pengukuran hujan limpasan permukaan (run off) selama tiga tahun di daerah aliran sungai Seine. Kemudian disusul oleh Edme Marlotte tahun 1620, serta Edmund Halley pada tahun 1656.(Yandi Hermawan, 1986) Ven Te Chow dalam Yandi Hermawan 1986, mencatat sejarah hidrologi sebagai berikut: Periode spekulasi sampai tahun 1400; periode observasi antara tahun 1400 tahun 1600; periode pengukuran antara tahun 1600 sampai dengan tahun 1700; periode eksperimentasi dari tahun 1700 sampai dengan tahun 1800; periode 13

15 modernisasi antara tahun 1800 sampai dengan tahun 1900; periode empiris antara tahun 1900 sampai dengan tahun 1930; periode rasionalisasi antara tahun 1930 sampai dengan tahun 1950; dan periode teoritis antara tahun 1950 sampai dengan sekarang. Lebih jauh dia menyatakan bahwa sejak 1000 SM masalah air selalu dipertanyakan dari mana asalnya dan kesemuanya pernah dijawab oleh Homer, Thales, Plato, Aristoteles akan tetapi tidak pernah memuaskan para penanya pada saat itu Hidrologi adalah cabang Geografi Fisis yang berurusan dengan air di bumi, sorotan khusus pada propertis, fenomena, dan distribusi air di daratan. Khususnya mempelajari kejadian air di daratan, deskripsi pengaruh bumi terhadap air, pengaruh fisik air terhadap daratan, dan mempelajari hubungan air dengan kehidupan di bumi. (Linsley et al, 1949) Ruang lingkup hidrologi mencakup : 1. pengukuran, mencatat, dan publikasi data dasar. 2. deskripsi propertis, fenomena, dan distribusi air di daratan. 3. analisa data untuk mengembangkan teori-teori pokok yang ada pada hidrologi. 4. aplikasi teori-teori hidrologi untuk memecahkan masalah praktis. Hidrologi bukanlah ilmu yang berdiri sendiri, tetapi ada hubungan dengan ilmu lain, seperti meteorologi, klimatologi, geologi, agronomi kehutanan, ilmu tanah, dan hidrolika. Menurut The International Association of Scientific Hydrology, hidrologi dapat dibagi menjadi : 1. Potamologi (Potamology), khusus mempelajari aliran permukaan (surface streams) 2. Limnologi (Limnology), khusus mempelajari air danau 3. Geohidrologi (Geohydrology), khusus mempelajari air yang ada di bawah permukaan tanah (mempelajari air tanah = groundwater) 4. Kriologi (Cryology), khusus mempelajari es dan salju 14

16 5. Hidrometeorologi (Hydrometeorology), khusus mempelajari problema-problema yang ada diantara hidrologi dan meteorologi. Secara umum hidrologi dimaksudkan sebagai ilmu yang menyangkut masalah air. Akan tetapi dengan alasan-alasan praktis hanya dibatasi pada beberapa aspek saja. Konsep pokok untuk ilmu hidrologi adalah siklus hidrologi yang didefinisikan sebagai berikut: Hidrologi adalah ilmu tentang seluk beluk air di bumi, kejadiannya, peredarannya dan distribusinya, sifat alam dan kimianya, serta reaksinya terhadap lingkungan dan hubungan dengan kehidupan (Federal Council for Science and Technology, USA, 1959 dalam Varshney, 1977) Wisler and Brater, (1959) dalam Varshney 1977, menyatakan bahwa; Hydrology is the science that deals with the processes governing the depletion and replenishment of the water resources of the land areas of the earth, Lebih jauh Ray K. Linsley dalam Yandi Hermawan (1986), menyatakan pula bahwa: Hidrologi ialah ilmu yang membicarakan tentang air yang ada di bumi, yaitu mengenai kejadian, perputaran dan pembagiannya, sifat-sifat fisik dan kimia, serta reaksinya terhadap lingkungan termasuk hubungannya dengan kehidupan Singh, 1992 menyatakan bahwa hidrologi adalah ilmu yang membahas karakteristik menurut waktu dan ruang tentang kuantitas dan kualitas air bumi, termasuk didalamnya kejadian, pergerakan, penyebaran, sirkulasi tampungan, eksplorasi, pengembangan dan manajemen. Dari beberapa pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang air, baik di atmosfer, di bumi, dan di dalam bumi, tentang perputarannya, kejadiannya, distribusinya serta pengaruhnya terhadap kehidupan yang ada di alam ini. 15

17 Ruang Lingkup Hidrologi Hutan Secara umum hidrologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang bersangkut paut dengan kuantitas dan kualitas air di bumi dalam segala bentuknya (cair, gas, padat) pada, dalam, dan diatas permukaan tanah. Termasuk di dalamnya adalah penyebaran, daur dan perilakunya, sifat-sifat fisika dan kimianya, serta hubungannya dengan unsur-unsur hidup dalam air itu sendiri. Namun, secara lebih rinci hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang terjadinya pergerakan dan distribusi air di bumi, baik di atas, pada maupun di bawah permukaan bumi, tentang sifat fisik air, kimia air serta reaksinya terhadap lingkungan dan hubungannya dengan kehidupan. Dengan pengertian tersebut di atas ruang lingkup hidrologi menjadi sangat luas baik yang mencakup ilmu murni maupun sebagai ilmu terapan. Sebagai ilmu terapan ruang lingkupnya antara lain meliputi hidrologi hutan, hidrologi pertanian, sumberdaya air, beberapa cabang hidrologi ketehnikan dan hidrologi daerah aliran sungai. Hidrologi hutan merupakan suatu ilmu fenomena yang berkaitan dengan air yang dipengaruhi oleh penutupan hutan. Sesuai dengan batasan subyek yang ada yaitu hidrologi hutan maka bahasan selanjutnya merupakan hidrologi terapan dengan lingkup operasionalnya adalah daerah aliran sungai terutama yang bervegetasi hutan atau yang dapat berfungsi sebagai vegetasi hutan serta daerah yang dipengaruhi oleh kawasan tersebut. Air menutupi 70% permukaan bumi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut. Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya 16

18 Gambar 1.1. Model Sederhana Siklus Hidrologi Daur (Siklus) Hidrologi Daur Hidrologi yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfir kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tidak pernah berhenti. Air tesebut tertahan sementara di sungai, danau dan dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau mahluk hidup lainnya. Proses daur hidrologi (Gambar 1.2.), energi panas matahari dan faktor-faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya evaporasi pada permukaan vegetasi dan tanah, di laut, danau, sungai atau badan air lainnya. Hasil eveporasi (uap) dibawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung ataupun datar dan bila memungkinkan sebagain uap ini akan terkondensasi dan turun sebagai hujan (ada pengaruh gravitasi bumi). 17

19 Air hujan sebelum ke tanah akan tertahan oleh tajuk vegetasi dan batangnya dan akan terevaporasi kembali ke atmosfir selama dan setelah hujan yang disebut sebagai interception loss. Air hujan yang tertahan oleh vegetasi didistribusikan dengan berbagai cara yaitu air lolos yang jatuh langsung dari tajuk ke permukaan tanah (throughfall). Sebagian mengalir melalui batang (stemflow) menuju permukaan tanah. Sebagian air hujan yang jatuh kepermukaan tanah masuk terserap ke dalam tanah (infiltrasi). Proses berlangsungnya air masuk ke permukaan tanah kita kenal dengan infiltrasi, sedang perkolasi adalah proses bergeraknya air melalui profil tanah karena tenaga gravitasi. Air yang tidak terserap akan mengalir diatas permukaan tanah (surface runoff) selanjutnya menuju ke sungai dan sebagain tertampung di cekungan permukaan tanah (surface detention). Air inflitrasi akan tertahan di dalam tanah (pengaruh gaya kapiler) yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Pada saat tingkat air tanah jenuh maka air hujan yang baru masuk tanah akan bergerak horizontal selanjutnya keluar lagi ke permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Air tanah ini juga dapat mengalir vertical ke tanah lebih dalam dan menjadi bagian dari air tanah (groundwater). Air tanah tersebut akan mengalir perlahan menuju sungai, danau atau penampungan lainnya. Air infiltrasi dalam top soil sebagain diuapkan kembali ke atmosfir melalui permukaan tanah (soil evaporation). Sebagain lagi diserap oleh vegetasi melalui proses fisiologis lalu diuapkan kembali melalui daun/tajuk vegetasi (transpirasi). Proses transpirasi berlangsung selama tidak ada hujan. Gabungan keduanya disebut sebagai evapotranspirasi yang besarnya angkanya ditentukan selama 1 tahun. 18

20 Gambar 1.2. Gambar Siklus Hidrologi Konsep daur hidrologi ini diperluas dengan memasukkan gerakan perjalanan sedimen, unsur hara, biota yang terlarut dalam air. Konsep daur hidrologi yang luas ini digunakan sebagai konsep kerja untuk analisis dari berbagai masalah misalnya dalam perencanaan dan evaluasi pengelolaan hutan dan DAS. Air tawar yang diproses dari daur hidrologi dan dimanfaatkan manusia ini tidak lebih dari 1 % saja. Sisanya tersimpan sebagai air laut (asin) sebesar 97,3 % atau air es (glacier) 2,14 % yang tersimpan di kutub Istilah-istilah Hidrologi a. Presipitasi Hujan (presipitasi) merupakan masukan utama dari daur hidrologi dalam DAS. Dampak kegiatan pembangunan terhadap proses hidrologi sangat dipengaruhi intensitas, lama berlangsungnya, dan lokasi hujan. Karena itu perencana dan pengelola DAS harus memperhitungkan pola presipitasi dan sebaran geografinya. 19

21 b. Intersepsi Hujan yang jatuh di atas tegakan pohon sebagian akan melekat pada tajuk daun maupun batang, bagian ini disebut tampungan/simpanan intersepsi yang akhirnya segera menguap. Besar kecilnya intersepsi dipengaruhi oleh sifat hujan (terutama intensitas hujan dan lama hujan), kecepatan angin, jenis pohon (kerapatan tajuk dan bentuk tajuk). Simpanan intersepsi pada hutan pinus di Italia utara sekitar 30% dari hujan (Allewijn, 1990). Intersepsi tidak hanya terjadi pada tajuk daun bagian atas saja, intersepsi juga terjadi pada seresah di bawah pohon. Intersepsi akan mengurangi hujan yang menjadi run off. Hasil penelitian intersepsi di hutan pinus berumur 18 tahun dengan jarak pohon 3mX4m dan kerapatan tegakan 670 batang/ha, tinggi rata-rata tegakan 17,5m dan penutupan tajuk 45%, hasil intersepsi terukur dengan rata-ratanya berkisar 27% - 38% dari total hujan. (Fakultas Kehutanan UGM, 1993) c. Throughfall, Crown drip, Steamflow Hujan yang jatuh di atas hutan ada sebagian yang dapat jatuh langsung di lantai hutan melalui sela-sela tajuk, bagian hujan ini disebut throughfall. Simpanan intersepsi ada batasnya, kelebihannya akan segera menetes sebagai crown drip. Steamflow adalah aliran air hujan yang lewat batang, besar kecilnya stemflow dipengaruhi oleh struktur batang dan kekasaran kulit batang pohon. Pengukuran throughfall, crown drip dan steamflow sangat menarik bagi pakar kehutanan. Dalam praktek sangat sukar membedakan antara throughfall dan crown drip, pada umumnya yang terhitung adalah throughfall + crown drip dan steamflow. Steamflow akan segera menjadi overlandflow. Bilamana tumbuhan tidak baik, elemen ini akan menjadi tenaga erosi yang potensial, sering nampak akar di sekitar batang pohon muncul di permukaan tanah. 20

22 d. Infiltrasi dan Perkolasi Proses berlangsungnya air masuk ke permukaan tanah kita kenal dengan infiltrasi, sedang perkolasi adalah proses bergeraknya air melalui profil tanah karena tenaga gravitasi. Laju infiltrasi dipengaruhi tekstur dan struktur, kelengasan tanah, kadar materi tersuspensi dalam air juga waktu. Pada umumnya tanah yang tertutup hutan tak terganggu mempunyai laju infiltrasi dan perkolasi tinggi dan hal ini ada kaitannya dengan aktifitas biologi dalam tanah, sistem perakaran, sampah organik hutan dalam DAS mengakibatkan struktur tanah granular dan sarang (porous) yang mengakibatkan infiltrasi cepat. e. Kelengasan Tanah Kelengasan tanah menyatakan jumlah air yang tersimpan di antara pori-pori tanah. Kelengasan tanah sangat dinamis, hal ini disebabkan oleh penguapan melalui permukaan tanah, transpirasi, dan perkolasi. Pada saat kelengasan tanah dalam keadaan kondisi tinggi, infiltrasi air hujan lebih kecil daripada saat kelengasan tanah rendah. Kemampuan tanah menyimpan air tergantung dari porositas tanah. Masing-masing batuan mempunyai porositas yang berbeda. f. Simpanan Permukaan (Surface Storage) Simpanan permukaan ini terjadi pada depresi-depresi pada permukaan tanah, pada perakaran pepohonan atau di belakang pohon-pohon yang tumbang. Simpanan permukaan menghambat atau menunda bagian hujan ini mencapai limpasan permukaan dan memberi kesempatan bagi air untuk melakukan infiltrasi dan evaporasi. g. Runoff Runoff adalah bagian curahan hujan (curah hujan dikurangi evapotranspirasi dan kehilangan air lainnya) yang mengalir ke dalam 21

23 air sungai karena gaya gravitasi; airnya berasal dari permukaan maupun dari subpermukaan (sub surface). Runoff terdiri dari beberapa komponen : interflow baseflow overlandflow Gambar 1.3. Penampang Alur Sungai dan Komponen Runoff Runoff dapat terdiri dari tebal runoff, debit aliran (river discharge) dan volume runoff. Gambar 3 menunjukkan konsep debit aliran; debit aliran adalah volume aliran yang lewat penampang bawah per satuan waktu. Tebal runoff adalah volume runoff dibagi luas DAS. Volume runoff = 0 ƒ t Q dt dimana; Q = debit aliran; t = waktu. h. Limpasan Permukaan Limpasan permukaan (Surface Runoff) adalah bagian curah hujan setelah dikurangi dengan infiltrasi dan kehilangan air lainnya. Limpasan permukaan ini berasal dari overlandflow yang segera masuk ke dalam alur sungai. Aliran ini merupakan komponen aliran banjir yang utama. 22

24 i. Aliran Bawah Permukaan (Subsurface Runoff) Aliran bawah permukaan merupakan bagian dari presipitasi yang mengalami infiltrasi dalam tanah yang kemudian mengalir di bawah permukaan tanah dan menuju alur sungai sebagai rembesan maupun mata air. j. Proses Runoff 1. Periode Tidak Hujan (Kemarau) a. Input dari hujan = nol b. Air tanah mengalir masuk alur sebagai aliran dasar, maka freatik turun terus c. Evapotranspirasi menambah defisiensi lengas tanah d. Hidrograf aliran berupa kurva deplesi Gambar 1.4. Proses Runoff pada Periode Tidak Hujan 2. Periode Hujan Awal a. Awal musim hujan, mulai ada hujan b. Sebagian hujan menjadi intersepsi c. Sebagian menjadi simpanan depresi d. Surface Runoff hampir tidak ada, air hujan digunakan untuk membasahi tanah (Lengas tanah meningkat). 23

25 e. Hidrograf aliran agak bergeser ke atas karena ada sebagian hujan yang jatuh langsung di alur sungai f. Muka freatik masih turun terus karena aliran dasar masih berlangsung dan air infiltrasi belum mencapai muka freatik (air tanah belum naik). Keterangan : P = Presipitasi, I = Intersepsi, Gw = Ground water Gambar 1.5. Proses Runoff pada Periode Hujan Awal 3. Periode Hujan a. Intersepsi mencapai kapasitas maksimum, stemflow dan througfall terjadi b. Simpanan depresi maksimum c. Surface runoff mulai terjadi, sehingga aliran sungai naik. d. Soil Moisture Deficiency berkurang e. Air Infiltrasi dan perkolasi belum mencapai muka freatik (air tanah belum naik). 24

26 Gambar 1.6. Proses Runoff pada Periode Hujan 4. Saat Hujan Berhenti a. Di permukaan tanah masih ada air dan mengalir b. Infiltrasi terus berlangsung c. Stream runoff berasal dari channel storage d. Channel storage berkurang dan habis e. Stream runoff dari groundwater Gambar 1.7. Proses Runoff pada Saat Hujan Berhenti 5. Saat tak ada Hujan a. Lengas tanah pada kapasitas lapang 25

27 b. Input air tak ada, lengas tanah berkurang c. Air perlokasi mencapai muka freatik air tanah mendapat recharge. d. Kurva deplesi terus berlangsung, stream runoff menyusut. e. Air tanah naik Gambar 1.8. Proses Runoff pada Saat Tidak Ada Hujan k. Hubungan aliran sungai dan air tanah Pada lembah sungai yang cukup dalam sehingga muka freatik terpotong maka banyak mata air dan rembesan disepanjang alur sungai, untuk daerah yang air tanahnya dalam, keadaan ini tidak terjadi. Memperhatikan kontinyuitas aliran dan kedudukan muka freatik ada 3 macam tipe aliran (Gambar 9) yaitu : a) Efemeral, b) Intermitten dan c) Perenial. l. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Runoff 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi volume runoff a. Faktor iklim - Presipitasi - Evapotranspirasi b. Faktor DAS - Ukuran DAS - Elevasi DAS 26

28 Gambar 1.9. Tipe Sungai dan Hubungan antara Runoff-Air Tanah 2. Faktor yang mempengaruhi distribusi runoff a. Faktor meteorologi 1. Presipitasi (tipe, intensitas, durasi, distribusi menurut waktu dan ruang) 2. Faktor cuaca (suhu, kelembaban, angin, radiasi, keasaman) b. Faktor DAS 1. Topografi (bentuk, lereng, aspek DAS) 2. Geologi (struktur dari batuan) 3. Jenis tanaman (struktur dan tekstur) 4. Vegetasi (= liputan lahan) 5. Jaringan sungai 27

29 Gambar Pengaruh Distribusi Hujan dan Arah Hujan terhadap Bentuk Hidrograf c. Faktor manusia 1. Bangunan air 2. Teknik pertanian 3. Urbanisasi m. Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai adalah kawasan (Gambar 1.11) yang dibatasi oleh pemisah topografi (igir pegunungan), kawasan tersebut menampung, menyimpan dan mengalirkan air malalui sistem sungai dan mengeluarkannya melalui titik tunggal (single outlet). Gambar 13 menunjukkan konsep DAS dan sistem DAS. Respon DAS 28

30 terhadap hujan terdiri dari respon DAS pada limpasan langsung (direct runoff) dan respon DAS pada aliran dasar (baseflow). Gambar 1.1 menunjukkan model siklus hidrologi yang disederhanakan. Kelihatan bahwa runoff yang ada dalam alur sungai terdiri dari 3 komponen aliran yaitu overlandflow (Qs), aliran antara (interflow = Qi) dan aliran dasar (Qd). Sistem DAS dapat dibagi lagi menjadi sistem yang lebih khusus yaitu sistem air pada permukaan lahan, sistem air pada zona tidak jenuh, sistem air pada zona jenuh air dan sistem air pada jaringan alur sungai. DAS sebagai suatu sistem selalu ada masukan (input), proses dan keluaran (output). Masukan : - Curah hujan (alami) - Teknologi (buatan) Keluaran : - Aliran - Sedimen - Evapotranspirasi Proses, terdiri dari beberapa variabel. Proses yang berpengaruh terhadap pengubahan hujan menjadi runoff. - Infiltrasi & Perlokasi - Evapotranspirasi - Penampungan air/aliran - Perjalanan aliran atau pemindahan aliran 29

31 Gambar Proyeksi horizontal dan vertikal daerah aliran sungai. Gambar Konsep DAS dan Sistem DAS 30

32 n. Aliran Air Tanah Air bawah tanah yang sepenuhnya ada di zona jenuh dikenal sebagai air tanah. Air tanah terdapat pada formasi geologi yang permeabel yang mampu menyimpan dan memindah air dalam jumlah yang cukup sampai besar dikenal dengan akuifer. Akuifer ini dapat dikatakan sebagai reservoir air tanah (waduk = reservoir). Air tanah dapat mempertahankan diri karena imbuh air (recharge) dari air yang mengalami perkolasi dari lapisan tanah bagian atas selama dan sesudah hujan atau imbuh dari aliran lateral mengikuti gradien hidolik dari daerah sumber yang lain. Bila muka air tanah cukup tinggi relative di permukaan air sungai, air tanah muncul sebagai rembesan atau mata air yang disebut sebagai aliran dasar (base flow). Aliran dasar inilah yang biasanya memelihara aliran sungai dalam DAS sewaktu periode musim kemarau. Bila muka air tanah tetap rendah terhadap permukaan pengatusan tanah (dasar alur tanah) maka tak ada aliran dasar, dan sungai menjadi sungai intermittent. Air tanah merupakan sumber utama air bersih bagi kepentingan umat manusia, penerapannya dengan membuat sumur, baik sumur gali ataupun sumur bor Artikel. Air tanah? Apa dan Bagaimana Mencarinya? Pertanyaan di atas seringkali muncul ketika sumber air yang kita gunakan selama ini seperti air sungai, danau atau air hujan tidak bisa kita dapatkan. Satu hal yang pasti ini adalah salahsatu jenis air juga. Hanya dikarenakan jenis air ini tidak terlihat secara langsung, banyak kesalahfahaman dalam masalah ini. Banyak orang secara umum menganggap air tanah itu sebagai suatu danau atau sungai yang mengalir di bawah tanah. Padahal, hanya dalam kasus dimana suatu daerah yang memiliki gua dibawah tanahlah kondisi ini adalah benar. Secara umum air tanah akan mengalir sangat perlahan melalui suatu celah yang sangat kecil dan atau melalui butiran antar batuan 31

33 Batuan yang mampu menyimpan dan mengalirkan air tanah ini kita sebut dengan akifer. Bagaimana interaksi kita dalam penggunaan air tanah? Yang alami adalah dengan mengambil air tanah yang muncul di permukaan sebagai mataair atau secara buatan. Untuk pengambilan air tanah secara buatan, mungkin analogi yang baik adalah apabila kita memegang suatu gelas yang berisi air dan es. Apabila kita masukkan sedotan, maka akan terlihat bahwa air yang berada di dalam sedotan akan sama dengan tinggi air di gelas. Ketika kita menghisap air dalam gelas tersebut terus menerus pada akhirnya kita akan menghisap udara, apabila kita masih ingin menghisap air yang tersimpan diantara es maka kita harus menghisapnya lebih keras atau mengubah posisi sedotan. Konsep ini hampir sama dengan teknis pengambilan air tanah dalam lapisan akifer (dalam hal ini diwakili oleh es batu) dengan menggunakan pompa (diwakili oleh sedotan) Hal yang menarik, jika kita tutup permukaan sedotan maka akan terlihat bahwa muka air di dalam sedotan akan berbeda dengan muka air didalam gelas. Perbedaan ini akan mengakibatkan pergerakan air. Sama dengan analog ini, air tanahpun akan bergerak dari tekanan tinggi menuju ke tekanan rendah. Perbedaan tekanan ini secara umum diakibatkan oleh gaya gravitasi (perbedaan ketinggian antara daerah pegunungan dengan permukaan laut), adanya lapisan penutup yang impermeabel diatas lapisan akifer, gaya lainnya yang diakibatkan oleh pola struktur batuan atau fenomena lainnya yang ada di bawah permukaan tanah. Pergerakan ini secara umum disebut gradien aliran air tanah (potentiometrik). Secara alamiah pola gradien ini dapat ditentukan dengan menarik kesamaan muka air tanah yang berada dalam satu sistem aliran air tanah yang sama. Mengapa pergerakan atau aliran air tanah ini menjadi penting? Karena disinilah kunci dari penentuan suatu daerah kaya dengan air tanah atau tidak. Perlu dicatat : tidak seluruh daerah memiliki potensi air tanah alami yang baik. Model aliran air tanah itu sendiri akan dimulai pada daerah resapan air tanah atau sering juga disebut sebagai daerah imbuhan air tanah (recharge zone). Daerah ini adalah wilayah dimana air yang berada di permukaan tanah baik air hujan ataupun air permukaan mengalami proses penyusupan (infiltrasi) secara gravitasi melalui lubang pori tanah/batuan atau celah/rekahan pada tanah/batuan. 32

34 Gambar 1. Model siklus hidrologi, dimodifikasi dari konsep Gunung Merapi- GunungKidul. Proses penyusupan ini akan berakumulasi pada satu titik dimana air tersebu t menemui suatu lapisan atau struktur batuan yang bersifat kedap air (impermeabel). Titik akumulasi ini akan membentuk suatu zona jenuh air (saturated zone) yang seringkali disebut sebagai daerah luapan air tanah (discharge zone). Perbedaan kondisi fisik secara alami akan mengakibatkan air dalam zonasi ini akan bergerak/mengalir baik secara gravitasi, perbedaan tekanan, kontrol struktur batuan dan parameter lainnya. Kondisi inilah yang disebut sebagai aliran air tanah. Daerah aliran air tanah ini selanjutnya disebut sebagai daerah aliran (flow zone). Dalam perjalananya aliran air tanah ini seringkali melewati suatu lapisan akifer yang diatasnya memiliki lapisan penutup yang bersifat kedap air (impermeabel) hal ini mengakibatkan perubahan tekanan antara air tanah yang berada di bawah lapisan penutup dan air tanah yang berada diatasnya. Perubahan tekanan inilah yang didefinisikan sebagai air tanah tertekan (confined aquifer) dan air tanah bebas (unconfined aquifer). Dalam kehidupan sehari-hari pola pemanfaatan air tanah bebas sering kita lihat dalam penggunaan sumur gali oleh penduduk, sedangkan air tanah tertekan dalam sumur bor yang sebelumnya telah menembus lapisan penutupnya. Air tanah bebas (water table) memiliki karakter berfluktuasi 33

35 terhadap iklim sekitar, mudah tercemar dan cenderung memiliki kesamaan karakter kimia dengan air hujan. Kemudahannya untuk didapatkan membuat kecenderungan disebut sebagai air tanah dangkal (Padahal dangkal atau dalam itu sangat relatif lho). Air tanah tertekan/ air tanah terhalang inilah yang seringkali disebut sebagai air sumur artesis (artesian well). Pola pergerakannya yang menghasilkan gradient potensial, mengakibatkan adanya istilah artesis positif ; kejadian dimana potensial air tanah ini berada diatas permukaan tanah sehingga air tanah akan mengalir vertikal secara alami menuju kestimbangan garis potensial khayal ini. Artesis nol ; kejadian dimana garis potensial khayal ini sama dengan permukaan tanah sehingga muka air tanah akan sama dengan muka tanah. Terakhir artesis negatif ; kejadian dimana garis potensial khayal ini dibawah permukaan tanah sehingga muka air tanah akan berada di bawah permukaan tanah.. Jadi, kalau tukang sumur bilang bahwa dia akan membuat sumur artesis, itu artinya dia akan mencari air tanah tertekan/air tanah terhalang ini.. belum tentu airnya akan muncrat dari tanah Lalu air tanah mana yang akan dicari? Itulah yang pertama kali harus kita tentukan. Tiap jenis air tanah memerlukan metode pencarian yang spesifik. Tapi secara umum bisa kita bagi menjadi : Metode berdasarkan aspek fisika (Hidrogeofisika) : Penekanannya pada aspek fisik yaitu merekonstruksi pola sebaran lapisan akuifer. Beberapa metode yang sudah umum kita dengar dalam metode ini adalah pengukuran geolistrik yang meliputi pengukuran tahanan jenis, induce polarisation (IP) dan lain-lain. Pengukuran lainnya adalah dengan menggunakan sesimik, gaya berat dan banyak 34

36 lagi. Metode berdasarkan aspek kimia (Hidrogeokimia) : Penekanannya pada aspek kimia yaitu mencoba merunut pola pergerakan air tanah. Secara teori ketika air melewati suatu media, maka air ini akan melarutkan komponen yang dilewatinya. Sebagai contoh air yang telah lama mengalir di bawah permukaan tanah akan memiliki kandungan mineral yang berasal dari batuan yang dilewatinya secara melimpah. Metode manakah yang terbaik? Kombinasi dari kedua metode ini akan saling melengkapi dan akan memudahkan kita untuk mengetahui lebih lengkap mengenai informasi keberadaan air tanah di daerah kita. Selamat mencari airt anah untuk kehidupan yang lebih baik Asal Usul Air Tanah Adalah hal yang mutlak bagi para birokrat pengelola sumber daya air (tanah), untuk memahami asal-usul (origin) dan sifat-sifat (nature) air tanah, agar tidak terjadi kesalah-pengertian tentang sumberdaya yang dikelola. Kesalah-pengertian tersebut akan menjadikan tujuan mewujudkan kemanfaatan air tanah terutama bagi kaum miskin pengelolaan tidak mencapai sasarannya, bahkan justru akan menimbulkan dampak yang merugikan bagi keterdapatan air tanah itu sendiri serta kaum miskin tersebut. Hal-hal pokok yang perlu dipahami tentang asal-usul dan sifat-sifat air tanah adalah : (1) Pembentukan Air Tanah Air tanah adalah semua air yang terdapat di bawah permukaan tanah pada lajur/zona jenuh air (zone of saturation). Air tanah terbentuk berasal dari air hujan dan air permukan, yang meresap (infiltrate) mula-mula ke zona tak jenuh (zone of aeration) dan kemudian meresap makin dalam (percolate) hingga mencapai zona jenuh air dan menjadi air tanah. Air tanah adalah salah satu faset dalam daur hidrologi, yakni suatu peristiwa yang selalu berulang dari urutan tahap yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer; penguapan dari darat atau laut atau air pedalaman, pengembunan membentuk awan, pencurahan, pelonggokan dalam tanih atau badan air dan penguapan kembali (Kamus Hidrologi, 1987). Dari daur hidrologi tersebut dapat dipahami bahwa air tanah berinteraksi dengan air permukaan serta komponen-komponen lain yang terlibat dalam daur hidrologi termasuk bentuk topografi, jenis batuan penutup, 35

37 penggunaan lahan, tetumbuhan penutup, serta manusia yang berada di permiukaan. Air tanah dan air permukaan saling berkaitan dan berinteraksi. Setiap aksi (pemompaan, pencemaran dll) terhadap air tanah akan memberikan reaksi terhadap air permukaan, demikian sebaliknya. (2) Wadah Air Tanah Suatu formasi geologi yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan melalukan air tanah dalam jumlah berarti ke sumur-sumur atau mata air mata air disebut akuifer. Lapisan pasir atau kerikil adalah salah satu formasi geologi yang dapat bertindak sebagai akuifer. Wadah air tanah yang disebut akuifer tersebut dialasi oleh lapisan lapisan batuan dengan daya meluluskan air yang rendah, misalnya lempung, dikenal sebagai akuitard. Lapisan yang sama dapat juga menutupi akuifer, yang menjadikan air tanah dalam akuifer tersebut di bawah tekanan (confined aquifer). Di beberapa daerah yang sesuai, pengeboran yang menyadap air tanah tertekan tersebut menjadikan air tanah muncul ke permukaan tanpa membutuhkan pemompaan. Sementara akuifer tanpa lapisan penutup di atasnya, air tanah di dalamnya tanpa tekanan (unconfined aquifer), sama dengan tekanan udara luar. Semua akuifer mempunyai dua sifat yang mendasar: (i) kapasitas menyimpan air tanah dan (ii) kapasitas mengalirkan air tanah. Namun demikaian sebagai hasil dari keragaman geologinya, akuifer sangat beragam dalam sifat-sifat hidroliknya (kelulusan dan simpanan) dan volume tandoannya (ketebalan dan sebaran geografinya). Berdasarkan sifat-sifat tersebut akuifer dapat mengandung air tanah dalam jumlah yang sangat besar dengan sebaran yang luas hingga ribuan km2 atau sebaliknya. Ditinjau dari kedudukannya terhadap permukaan, air tanah dapat disebut (i) air tanah dangkal (phreatic), umumnya berasosiasi dengan akuifer tak tertekan, yakni yang tersimpan dalam akuifer dekat permukaan hingga kedalaman tergantung kesepakatan 15 sampai 40 m. (ii) air tanah dalam, umumnya berasosiasi dengan akuifer tertekan, yakni tersimpan dalam akuifer pada kedalaman lebih dari 40 m (apabila kesepakatan air tanah dangkal hingga kedalaman 40 m). Air tanah dangkal umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat (miskin) dengan membuat sumur gali, sementara air tanah dalam dimanfaatkan oleh kalangan industri dan masyarakat berpunya. Sebaran akuifer serta pengaliran air tanah tidak mengenal batas -batas kewenangan administratif pemerintahan. Suatu wilayah yang dibatasi oleh batasan-batasan geologis yang mengandung satu akuifer atau lebih dengan penyebaran luas, disebut cekungan air tanah. 36

38 (3) Pengaliran dan Imbuhan Air Tanah Air tanah dapat terbentuk atau mengalir (terutama secara horisontal), dari titik /daerah imbuh (recharge), seketika itu juga pada saat hujan turun, hingga membutuhkan waktu harian, mingguan, bulanan, tahunan, puluhan tahun, ratusan tahun, bahkan ribuan tahun,, tinggal di dalam akuifer sebelum muncul kembali secara alami di titik/daerah luah (discahrge), tergantung dari kedudukan zona jenuh air, topografi, kondisi iklim dan sifat-sifat hidrolika akuifer. Oleh sebab itu, kalau dibandingkan dalam kerangka waktu umur rata-rata manusia, air tanah sesungguhnya adalah salah satu sumber daya alam yang tak terbarukan. Saat ini di daerah-daerah perkotaan yang pemanfaatan air tanah dalamnya sudah sangat intensif, seperti di Jakarta, Bandung, Semarang, Denpasar, dan Medan, muka air tanah dalam (piezometic head) umumnya sudah berada di bawah muka air tanah dangkal (phreatic head). Akibatnya terjadi perubahan pola imbuhan, yang sebelumnya air tanah dalam memasok air tanah dangkal (karena piezometic head lebih tinggi dari phreatic head), saat ini justru sebaliknya air tanah dangkal memasok air tanah dalam. Jika jumlah total pengambilan air tanah dari suatu sistem akuifer melampaui jumlah rata-rata imbuhan, maka akan terjadi penurunan muka air tanah secara menerus serta pengurangan cadangan air tanah dalam akuifer. (Seperti halnya aliran uang tunai ke dalam tabungan, kalau pengeluaran melebihi pemasukan, maka saldo tabungan akan terus berkurang). Jika ini hal ini terjadi, maka kondisi demikian disebut pengambilan berlebih (over exploitation), dan penambangan air tanah terjadi. (4) Mutu Air Tanah Sifat fisika dan komposisi kimia air tanah yang menentukan mutu air tanah secara alami sangat dipengaruhi oleh jenis litologi penyusun akuifer, jenis tanah/batuan yang dilalui air tanah, serta jenis air asal air tanah. Mutu tersebut akan berubah manakala terjadi intervensi manusia terhadap air tanah, seperti pengambilan air tanah yang berlebihan, pembuangan libah, dll Air tanah dangkal rawan (vulnerable) terhadap pencemaran dari zat-zat pencemar dari permukaan. Namun karena tanah/batuan bersifat melemahkan zat-zat pencemar, maka tingkat pencemaran terhadap air tanah dangkal sangat tergantung dari kedudukan akuifer, besaran dan jenis zat pencemar, serta jenis tanah/batuan di zona takjenuh, serta batuan penyusun akuifer itu sendiri. Mengingat perubahan pola imbuhan, maka air tanah dalam di daerah-daerah perkotaan yang telah intensif pemanfaatan air tanahnya, menjadi sangat rawan pencemaran, apabila air tanah dangkalnya di 37

39 daerah-daerah tersebut sudah tercemar. Air tanah yang tercemar adalah pembawa bibit-bibit penyakit yang berasal dari air (water born diseases). Diperoleh dari " Sumber : Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, hal Evaluasi 1. Apa yang dimaksud dengan hidrologi? 2. Jelaskan daur hidrologi dan gambarkan 3. Sebutkan dan jelaskan berbagai macam aplikasi hidrologi terutama dalam kaitannya dengan konservasi sumberdaya hutan. 38

40 POKOK BAHASAN II. PERAN HUTAN DALAM PENGENDALIAN DAUR AIR DAN LONGSOR LAHAN 2.1. Deskripsi Singkat Kajian tentang peran hutan dalam pengendalian daur air dan longsor lahan sangat diperlukan sebagai suatu proses dalam pengenalan dan pemahaman fungsi hutan yang sangat beragam. Diharapkan mahasiswa semakin memahami bahwa peran dan fungsi hutan tidak hanya sebagai penghasil hasil hutan yaitu kayu saja akan tetapi ada fungsi-fungsi lain dari hutan yang dapat memberikan manfaat lebih besar bagi lingkungan dan manusia itu sendiri. Peran hutan yang penting dan menjadi materi utama dalam bab ini adalah sebagai penyedia jasa lingkungan melalui perannya dalam mengendalikan daur air kawasan dan perannya dalam mengendalikan longsor lahan Relevansi Bab ini merupakan dasar dan landasan bagi pemahaman peran hutan dalam penyedia jasa lingkungannya. Dengan menguasai bab ini mahasiswa dapat mengetahui ruang lingkup peran dan fungsi hutan, sehingga meningkatkan kejelian mahasiswa dalam melihat permasalahan dan fenomena yang terjadi di lapangan. Selain itu mahasiswa juga akan menyadari bahwa peran dan fungsi hutan sangat penting untuk mendukung keseimbangan ekosistem dan lingkungan serta memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia melalui berbagai jasa lingkungannya Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah pada bab ini mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami peran dan fungsi hutan dalam pengendalian daur air kawasan dan pengendalian longsor lahan. Harapannya mahasiswa lebih cermat dan tanggap dalam melihat fenomena yang 39

41 terjadi sehingga mampu memberikan kontribusi nyata sesuai kapasitasnya sebagai mahasiswa Peran Hutan Dalam Pengendalian Daur Air Sangat banyak harapan yang ditopangkan kepada hutan di dalam rangka pengendalian daur air suatu kawasan. Hal ini disebabkan karena secara keseluruhan peran hutan dengan vegetasinya banyak yang bisa diharapkan, walaupun peran tersebut sangat dibatasi oleh beberapa faktor antara lain : 1. Sifat pertumbuhannya yang dinamik yang tergantung kepada waktu dan musim. 2. Nilai perannya juga ditentukan oleh struktur hutannya, luasnya, komposisi jenisnya, keadaan pertumbuhannya serta letaknya. 3. Nilai perannya untuk suatu keadaan ekosistem hutan tertentu juga dibatasi oleh iklim, keadaan geologi, geomorfologi dan watak tanahnya. Secara lebih rinci peran hutan dapat diterangkan sebagai berikut (Pusposutardjo, 1984) : 1. Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air di bumi melalui proses : a. Evapotranspirasi b. Pemakaian air konsumtif untuk pembentukan jaringan tubuh vegetasi. 2. Sebagai penghalang untuk sampainya air di bumi melalui proses intersepsi. 3. Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik aliran air lewat : a. Tahanan permukaan dari bagian batang di permukaan b. Tahanan aliran air permukaan karena adanya seresah di permukaan. 4. Sebagai pendorong ke arah perbaikan kemampuan watak fisik tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan dinamika bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologik di dalam tanah. 40

42 Untuk lebih jelasnya tentang pengendalian daur air ini, causal loop pengendalian daur air secara teknik biologik disajikan dalam Gambar 2.1. Gambar 2.1. Causal Loop Pengendalian Daur Air Secara Tehnik Biologik.(Pusposutardjo, 1984). 41

43 Gambar 2.2. Proses Hidrologi dalam Hutan I = Infiltrasi PL = perkolasi Eo = evaporasi SF = steamflow TF = throughflow Pg = gross precipitation T = transpiration drip = crowndrip Gambar 2.3. Proses dan Siklus Hidrologi 42

44 Dimulai dari pengertian tentang jumlah persediaan air di bumi secara keseluruhan adalah tetap, maka sistem hidrologi secara global dapat dianggap merupakan suatu sistem yang tertutup. Seperti halnya sistem tertutup bumi, di dalam sistem hidrologi bumi yang tertutup terdapat banyak sub sistem yang terbuka, sebagai contoh sub sistem presipitasi, limpasan, evaporasi, air tanah dan lainnya. Seringkali terjadi bahwa komponen-komponen salam sub sistem itu sangat kompleks dan terdapat beberapa bagian yang sulit dipisahpisahkan secara tegas. Akibatnya perhitungan masing-masing komponen sering mengalami beberapa kesulitan. Dengan demikian penyederhanaan proses dalam analisis harus dilakukan dengan hatihati. Perlunya kehati-hatian dalam proses analisis dapat digambarkan dalam contoh bahwa akhir-akhir ini terdapat isyu yang dilontarkan oleh masyarakat bahwa setelah suatu wilayah direboisasi dan berhasil, air justru kemudian menghilang, sebaliknya sering juga dijumpai dan masih banyak melekat di hati masyarakat yang melihat kenyataan bahwa dengan adanya hutan dapat menyebabkan munculnya kembali sumber-sumber air. Di dalam rangka pendayagunaan hutan sebagai pengendali daur air sudah barang tentu akan dijumpai kawasan hutan yang harus dipertahankan keberadaan dan fungsinya, tetapi ada juga suatu kawasan yang perlu ditingkatkan baik keberadaan maupun fungsinya, baik melalui proses reboisasi maupun proses lainnya secara terpadu yang merupakan pengetrapan konsep teknik biologik. Peranan kawasan hutan sebagai pengendali daur air dapat dilihat dari dua sudut pandangan yaitu menyediakan air dengan konsep panen air (water harvesting) dan dengan konsep menjamin penghasilan air (water yield). Jumlah air yang dapat dipanen tergantung pada jumlah aliran permukaan (run off) yang dapat digunakan, sedang jumlah air yang dapat dihasilkan bergantung pada debit air tanah. Kedua tujuan tersebut memerlukan perlakuan yang berbeda. 43

45 Untuk meningkatkan panenan air, infiltrasi dan perkolasi harus dikendalikan, sedang untuk meningkatkan penghasilan air, infiltrasi dan perkolasi justru yang harus ditingkatkan. Konsep penghasil air menjadi azas pengembangan sumber air di kawasan beriklim basah, karena konsep panen air akan membawa resiko besar, berupa peningkatan erosi dan juga akan banyak memboroskan lahan untuk menampungnya. Di Indonesia upaya pengendalian erosi dan peningkatan penghasilan air akan saling mendukung sebab keduanya menghendaki pembatasan besarnya aliran permukaan. Gambar 2.1 dan 2.2 menujukkan bahwa peran hutan terhadap pengendalian daur air dimulai dari peran tajuk menyimpan air intersepsi. Peran menonjol yang ke dua yang juga sering menjadi sumber penyebab kekawatiran masyarakat adalah evapotranspirasi. Evapotranspirasi punya pengaruh yang penting terhadap besarnya cadangan air tanah terutama untuk kawasan yang berhujan rendah lapisan tanah dangkal dan sifat batuan yang tidak dapat menyimpan air. Sehubungan dengan hal tersebut maka evapotranspirasi yang terjadi dari suatu kawasan, sudah mulai banyak mendapat perhatian dari para peneliti terutama untuk kawasan dengan vegetasi tertentu. Akan tetapi untuk kawasan yang memiliki intensitas hujan yang tinggi, proses evapotranspirasi justru berperan mengurangi kejenuhan tanah agar tidak terjadi akumulasi air di lapisan impermeabel yang justru akan menjadi bahan gelincir dalam kejadian longsor lahan. Dalam musim hujan untuk cuaca terutama yang ekstrem yaitu hujan terjadi beberapa hari, hujan yang terjadi terus menerus selama 4 jam dengan intensitas 100 mm sangat potensial menyebabkan banjir dan longsor lahan. Beberapa kawasan tertentu secara geologis memang rawan longsor lahan dan pada jenis tanah tertentu sangat potensial untuk terjadi erosi dan longsor lahan. Banyak kejadian longsor lahan akhir-akhir ini menunjukkan kenyataan bahwa longsor lahan tidak hanya terjadi pada kawasan yang gundul akan tetapi juga melanda pada kawasan-kawasan yang justru tertutup oleh vegetasi dengan sangat baik. Kenyataan ini 44

46 menyadarkan kita semua bahwa kita perlu mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor lahan yang sangat erat kaitannya dengan masalah hujan dan aliran air. Apabila memperhatikan Gambar 2.1 nampak bahwa sering kita lupa dalam melakukan usaha reboisasi atau penghijauan perlu memperhatikan watak iklim, faktor watak mekanik tanah dan kondisi geologi, geomorfologi untuk mengenali tingkat kerawanan longsor lahan, stabilitas lahan, watak run off potensial, dan tidak kalah pentingnya adalah pengenalan atas watak tanaman diantaranya yang berupa pertumbuhan dan beban mekanik tanaman Faktor Penyebab Longsor Lahan Bagi kawasan yang rawan longsor lahan dan miring beban mekanik tanaman yang diakibatkan oleh besarnya dan rapatnya pohon perlu dibatasi. Rangkuman dari beberapa pustaka (Febri Himawan, 1994; Justika Baharsjah, dkk, 2000, Karnawati D, 2001) dan pengenalan di lapangan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan suatu kawasan menjadi rawan longsor antara lain : 1. Faktor internal a. Genesis morfologi lereng (perubahan kemiringan dari landai ke curam). b. Geologi (jenis batuan, sifat batuan, stratigrafi dan tingkat pelapukan). c. Jenis batuan/tanah: tanah tebal dengan tingkat pelapukan sudah lanjut d. Kembang kerut tanah tinggi : seperti jenis lempung e. Sedimen berlapis (tanah permeabel menumpang pada tanah impermeabel) f. Perlapisan tanah/batuan searah dengan kemiringan lereng. g. Tektonik dan Kegempaan : Sering mengalami gangguan gempa Mekanisme tektonik penurunan lahan h Morfologi atau Bentuk Geometri Lereng 45

47 i. Erosi lateral dan erosi mundur (backward erosion) yang intensif menyebabkan terjadinya penggerusan di bagian kaki lereng. Akibatnya lereng makin curam. Makin curam suatu kemiringan lereng, makin kecil nilai kestabilannya. j. Patahan yang mengarah keluar lereng 2. Faktor luar (eksternal) a. Hujan Akibat hujan terjadi peningkatan kadar air tanah, akibatnya menurunkan ketahanan batuan. Kadar air tanah yang tinggi juga menambah beban mekanik tanah. Sesuai dengan letak dan bentuk bidang gelincir, hujan yang tinggi menyebabkan terbentuknya bahan gelincir. e. Kegiatan Manusia Mengganggu kestabilan lereng misal dengan memotong lereng. Melakukan pembangunan tidak mengindahkan tata ruang wilayah/tata ruang desa. Mengganggu vegetasi penutup lahan sehingga aliran permukaan melimpah misal dengan over cutting, penjarahan atau penebangan tak terkendali, hal ini akan menyebabkan erosi mundur maupun erosi lateral. Menambah beban mekanik dari luar misal penghijauan atau hasil reboisasi yang sudah terlalu rapat dan pohonnya sudah besar-besar di kawasan rawan longsor lahan dan tidak dipanen karena merasa sayang. Untuk ini maka sangat diperlukan pengaturan hasil yang baik bagi hutan rakyat, program penghijauan yang lain maupun program reboisasi baik yang berupa pemanenan maupun penjarangan yang teratur. Untuk dapat memberikan perhatian atau perlakuan khusus pada kawasan rawan longsor lahan tersebut perlu dilakukan zonasi 46

48 kawasan dengan memperhatikan karakteristik kawasan rawan longsor lahan. Karakteristik kawasan rawan longsor antara lain : a. Kawasan yang mempunyai kelerengan 20 % b. Tanah pelapukan tebal c. Sedimen berlapis : Lapisan permeabel menumpang pada lapisan impermeabel d. Tingkat kebasahan tinggi (curah hujan tinggi) e. Erosi lateral intensif sehingga menyebabkan terjadinya penggerusan di bagian kaki lereng, akibatnya lereng makin curam. f. Mekanisme tektonik penurunan lahan g. Patahan yang mengarah keluar lereng h. Dip Perlapisan sama dengan Dip Lereng i. Makin curam lereng, makin ringan nilai kestabilannya Pengendalian Longsor Lahan Aneka rekayasa dapat dilakukan untuk usaha pengendalian longsor lahan salah satunya adalah rekayasa vegetatif dan tindakan konservasi tanah. Dengan informasi tersebut dapat dilakukan usaha pencegahan atau mengurangi longsor lahan dengan usaha-usaha antara lain : a. Menghindari atau mengurangi penebangan pohon yang tidak terkendali dan tidak terencana (over cutting, penebangan cuci mangkuk, dan penjarahan). b. Penanaman vegetasi tanaman keras yang ringan dengan perakaran intensif dan dalam bagi kawasan yang curam dan menumpang di atas lapisan impermeabel. c. Mengembangkan usaha tani ramah longsor lahan seperti penanaman hijauan makanan ternak (HMT) melalui sistem panen pangkas. 47

49 d. Mengurangi beban mekanik pohon-pohon yang besar-besar yang berakar dangkal dari kawasan yang curam dan menumpang di atas lapisan impermeabel. Gambar 2.4. Penjarangan untuk Mengurangi Beban Tanah e. Membuat Saluran Pembuangan Air (SPA) pada daerah yang berhujan tinggi dan merubahnya menjadi Saluran Penampungan Air dan Tanah (SPAT) pada hujan yang rendah. Gambar 2.5. Model Pembuatan Saluran Pembuangan Air 48

50 f. Mengurangi atau menghindari pembangunan teras bangku di kawasan yang rawan longsor lahan yang tanpa dilengkapi dengan SPA dan saluran drainase di bawah permukaan tanah untuk mengurangi kandungan air dalam tanah. g. Mengurangi intensifikasi pengolahan tanah daerah yang rawan longsor. h. Membuat saluran drainase di bawah permukaan (mengurangi kandungan air dalam tanah). i. Bila perlu, bisa dilengkapi bangunan teknik sipil/bangunan mekanik. Contoh jenis tanaman yang mempunyai akar tunggang dalam dan akar cabang banyak yang berakar tunggang dalam dengan sedikit akar cabang sebagai berikut : a. Pohon-pohon yang mempunyai akar tunggang dalam dan akar cabang banyak. 1. Aleurites moluccana (kemiri) 2. Vitex pubescens (laban) 3. Homalium tomentosum (dlingsem) 4. Lagerstroemia speciosa (bungur) 5. Melia azedarach (mindi) 6. Cassia siamea (johar) 7. Acacia villosa 8. Eucalyptus alba 9. Leucaena glauca b. Pohon-pohon yang mempunyai akar tunggang dalam dengan sedikit akar cabang 1. Swietenia macrophylla (mahoni daun besar) 2. Gluta renghas (renghas) 3. Tectona grandis (jati) 4. Schleichera oleosa (kesambi) 5. Pterocarpus indicus (sono kembang) 6. Dalbergia sissoides (sono keling) 49

51 7. Dalbergia latifolia 8. Cassia fistula (trengguli) 9. Bauhinia hirsula (tayuman) 10. Tamarindus indicus (asam jawa) 11. Acacia leucophloea (pilang) 2.5 Artikel Peran hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada 1. Pendahuluan Beberapa tahun terakhir ini penjarahan hutan atau penebangan liar di kawasan hutan makin marak terjadi dimana-mana seakan-akan tidak terkendali. Ancaman kerusakan hutan ini jelas akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa besarnya karena adanya efek domino dari hilangnya hutan, terutama pada kawasan-kawasan yang mempunyai nilai fungsi ekologis dan biodiversitas besar. Badan Planologi Departemen Kehutanan melalui citra satelit menunjukkan luas lahan yang masih berhutan atau yang masih ditutupi pepohonan di Pulau Jawa tahun 1999/2000 hanya tinggal empat persen saja. Kawasan ini sebagian besar merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS). Akibat dari kejadian ini tidak saja hilangnya suatu kawasan hutan yang tadinya dapat mendukung kehidupan manusia dalam berbagai aspek misal kebutuhan akan air, oksigen, kenyamanan (iklim mikro), keindahan (wisata), penghasilan (hasil hutan non kayu dan kayu), penyerapan carbon (carbon sink), pangan dan obat-obatan akan tetapi juga hilanglah biodiversity titipan generasi mendatang. Saat ini di dunia internasional telah berkembang trend baru melalui perdagangan karbon (CO2). Perdagangan karbon diawali dengan disepakatinya Kyoto Protocol bahwa Negara-negara penghasil emisi karbon harus menurunkan tingkat emisinya dengan menerapkan teknologi tinggi dan juga menyalurkan dana kepada negara-negara yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk mampu menyerap emisi karbon secara alami misalnya melalui vegetasi (hutan). Indonesia dengan luas hutan tersebar ketiga di dunia, bisa berperan penting untuk mengurangi emisi dunia melalui carbon sink. Hal ini bisa terjadi jika hutan yang ada dijaga kelestariannya dan melakukan penanaman (afforestasi) pada kawasan bukan hutan (degraded land). Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak (degraded forest) dengan cara penghutanan kembali (reforestasi). 50

52 Hutan Pinus di Indonesia sebagai salah satu hutan tanaman yang memiliki nilai ekonomi strategis dan persebarannya yang cukup luas saat ini diandalkan sebagai penghasil produk hasil hutan non kayu melalui produksi getahnya. Nilai ekonomi hutan Pinus dianggap masih rendah apabila hanya dihitung dari nilai getah dan kayunya saja, sudah saatnya dilakukan upaya penghitungan manfaat hutan sebagai penyedia jasa lingkungan yang diharapkan mampu memberikan nilai ekonomi lebih tinggi dengan mengetahui berbagai kemampuannya dalam menyediakan sumberdaya air, penyerap karbon, penghasil oksigen, jasa wisata alam, satwa, biodiversitas dan sebagainya. 2. Peran Hutan Dalam Pengendalian Daur Air Hutan dengan penyebarannya yang luas, dengan struktur dan komposisinya yang beragam diharapkan mampu menyediakan manfaat lingkungan yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa peredaman terhadap banjir, erosi dan sedimentasi serta jasa pengendalian daur air. Peran hutan dalam pengendalian daur air dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air di bumi melalui proses : a. Evapotranspirasi b. Pemakaian air konsumtif untuk pembentukan jaringan tubuh vegetasi. 2. Menambah titik-titik air di atmosfer. 3. Sebagai penghalang untuk sampainya air di bumi melalui proses intersepsi. 4. Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik aliran air lewat : a. Tahanan permukaan dari bagian batang di permukaan b. Tahanan aliran air permukaan karena adanya seresah di permukaan. 5. Sebagai pendorong ke arah perbaikan kemampuan watak fisik tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologik di dalam tanah. Semua peran vegetasi tersebut bersifat dinamik yang akan berubah dari musim ke musim maupun dari tahun ke tahun. Dalam keadaan hutan yang telah mantap, perubahan peran hutan mungkin hanya nampak secara musiman, sesuai dengan pola sebaran hujannya. Peran hutan terhadap pengendalian daur air dimulai dari peran tajuk menyimpan air sebagai air intersepsi. Sampai saat ini intersepsi belum dianggap sebagai faktor penting dalam daur hidrologi. Bagi daerah yang hujannya rendah dan kebutuhan air dipenuhi dengan konsep water harvest maka para pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) harus tetap memperhitungkan besarnya intersepsi karena jumlah air yang hilang sebagai 51

53 air intersepsi dapat mengurangi jumlah air yang masuk ke suatu kawasan dan akhirnya mempengaruhi neraca air regional. Dengan demikian pemeliharaan hutan yang berupa penjarangan sangat penting dilaksanakan sesuai frekuensi yang telah ditetapkan. Peran menonjol yang ke dua yang juga sering menjadi sumber penyebab kekawatiran masyarakat adalah evapotranspirasi. Beberapa faktor yang berperanan terhadap besarnya evapotranspirasi antara lain adalah radiasi matahari, suhu, kelembaban udara, kecepatan angin dan ketersediaan air di dalam tanah atau sering disebut kelengasan tanah. Lengas tanah berperanan terhadap terjadinya evapotranspirasievapotranspirasi punya pengaruh yang penting terhadap besarnya cadangan air tanah terutama untuk kawasan yang berhujan rendah, lapisan/tebal tanah dangkal dan sifat batuan yang tidak dapat menyimpan air. Peran ketiga adalah kemampuan mengendalikan tingginya lengas tanah hutan. Tanah mempunyai kemampuan untuk menyimpan air (lengas tanah), karena memiliki rongga-rongga yang dapat diisi dengan udara/cairan atau bersifat porous. Bagian lengas tanah yang tidak dapat dipindahkan dari tanah oleh cara-cara alami yaitu dengan osmosis, gravitasi atau kapasitas simpanan permanen suatu tanah diukur dengan kandungan air tanahnya pada titik layu permanen yaitu pada kandungan air tanah terendah dimana tanaman dapat mengekstrak air dari ruang pori tanah terhadap gaya gravitasinya. Titik layu ini sama bagi semua tanaman pada tanah tertentu (Seyhan, 1977). Pada tingkat kelembaban titik layu ini tanaman tidak mampu lagi menyerap air dari dalam tanah. Jumlah air yang tertampung di daerah perakaran merupakan faktor penting untuk menentukan nilai penting tanah pertanian maupun kehutanan. Peran ke empat adalah dalam pengendalian aliran (hasil air). Kebanyakan persoalan distribusi sumberdaya air selalu berhubungan dengan dimensi ruan g dan waktu. Akhir-akhir ini kita lebih sering dihadapkan pada suatu keadaan berlebihan air pada musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Sampai saat ini masih dipercayai bahwa hutan yang baik mampu mengendalikan daur air artinya hutan yang baik dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya di musim kemarau. Kepercayaan ini didasarkan atas masih melekatnya dihati masyarakat bukti-bukti bahwa banyak sumber-sumber air dari dalam kawasan hutan yang baik tetap mengalir pada musim kemarau. Pada kawasan hutan Pinus di Daerah Tangkapan Air Gunung Rahtawu, Kabupaten Wonogiri dengan luasan catchment area dengan luas 101,79 ha dengan curah hujan rata-rata berkisar antara mm/tahun mampu 52

54 menghasilkan potensi sumberdaya air permukaan sebesar m3/tahun. Kawasan ini juga mampu menghasilkan debit yang selalu tersedia untuk dimanfaatkan (debit andalan) sebesar 2 67 liter/detik. Dari potensi ini saja sebenarnya sudah dapat diprediksi bahwa kawasan hutan Pinus ini mampu mendukung jiwa masyarakat disekitar hutan Pinus yang rata-rata membutuhkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebesar 122 liter/orang/hari (Suryatmojo, H., 2004). Gambaran diatas, nampak jelas bahwa peran hutan sebagai penyedia jasa lingkungan melalui kemampuannya sebagai regulator air memiliki nilai arti yang sangat penting dalam mendukung hajat hidup masyarakat disekitar hutan. 3. Peran Hutan Sebagai Penyerap Karbon Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Siklus karbon global melibatkan transfer karbon dari berbagai reservoir (Tabel 1). Jika dibandingkan dengan sumber karbon yang tidak reaktif, biosfer mengandung karbon yang lebih sedikit, namun demikian siklus yang terjadi sangat dinamik di alam (Vlek, 1997). Tabel 1. Karbon di dalam berbagai reservoir dari siklus global Lokasi Satuan C (ton x ) Udara CO 2 -atmosfer 70 Darat Biomass 59 Bahan organik tanah 85 Produksi bersih/tahun 6.3 Pelepasan dari fosil 0.5 Laut Biomass 0.3 C-organik terlarut 100 C-anorganik (HCO 3 ) Produksi bersih/tahun 45 Sedimen C-anorganik (HCO 3 ) Batu bara dan minyak Sejumlah besar kalsium karbonat dalam lebih dari 10 juta tahun yang lalu telah terlarut dan tercuci dari permukaan daratan. Sebaliknya, dalam jumlah yang sama telah terpresipitasi dari air laut ke dalam lantai dasar laut. Waktu tinggal (residence time) karbon di dalam atmosfer dalam pertukarannya 53

55 dengan hidrosfer berkisar antara 5 10 tahun, sedangkan dalam pertukarannya dengan sel tanaman dan binatang sekitar 300 tahun. Hal ini berbeda dalam skala waktu dibandingkan dengan residence time untuk karbon terlarut (ribuan tahun) dan karbon dalam sedimen dan bahan bakar fosil (jutaan tahun) (Vlek, 1997 dalam Herman Widjaja, 2002). Dari hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun Hasil perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia sudah memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas -gas rumah kaca secara global di atmosfer (Widjaja, 2002). Banyak pihak yang beranggapan bahwa melakukan mitigasi secara permanen melalui penghematan pemanfaatan bahan bakar fosil, teknologi bersih, dan penggunaan energi terbarukan, lebih penting daripada melalui carbon sink. Hal ini dikarenakan hutan hanya menyimpan karbon untuk waktu yang terbatas (stock). Ketika terjadi penebangan hutan, kebakaran atau perubahan tata guna lahan, karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer (Rusmantoro, 2003). Carbon sink adalah istilah yang kerap digunakan di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon. Emisi karbon ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga. Pada kawasan hutan Pinus di DTA Rahtawu dengan umur tegakan 30 tahun mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 147,84 ton/ha dengan prosentase penyimpanan terbesar pada bagian batang (73,46%), kemudian cabang (16,14%), kulit (6,99%), daun (3,17%) dan bunga-buah (0,24%). Dari data diatas dapat diprediksi kemampuan hutan pinus dalam menyimpan karbon melalui pendekatan kandungan C-organik dalam biomas memiliki potensi penyimpanan mencapai 44% dari total biomasnya. Sehingga DTA Rahtawu dengan luasan 101,79 ha memiliki potensi penyimpanan karbon 54

56 dalam tegakan sebesar ,5 ton, penyimpanan karbon dalam seresah sebesar 510 ton dan dalam tumbuhan bawah sebes ar 91 ton karbon. (Suryatmojo, H., 2004) 4. Peran Hutan Sebagai Penyedia Sumberdaya Air Ketergantungan masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar hutan terhadap keberadaan hutan sangat tinggi. Kemampuan hutan sebagai regulator air mampu memberikan kontribusi dalam penyediaan air bagi masyarakat sekitar hutan. Hutan Pinus di DTA Rahtawu memiliki potensi yang cukup besar dalam penyediaan sumberdaya air. Potensi sumberdaya air di DTA Rahtawu dapat didekati dengan mengetahui debit bulanan dan volume aliran bu lanan, sedangkan untuk memprediksi debit andalan yang selalu tersedia setiap saat dan dapat dipergunakan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan masyarakat sekitar didekati dengan pengolahan data sekunder dari hidrograf aliran untuk memperoleh debit minimumnya (debit andalan). Dari hasil penelitian diperoleh nilai debit andalan yang dapat dipergunakan pada musim kemarau sebesar 1,82 liter/detik yang terjadi pada bulan Agustus dan September, sedangkan pada musim penghujan debit yang dapat dimanfaatkan sebesar 29,82 67,55 liter/detik (Suryatmojo, H., 2004). Masyarakat desa Ngambarsari yang terletak di sekitar kawasan hutan pinus membutuhkan air bersih rata-rata/orang/hari adalah 0,0014 liter/detik atau 122 liter/orang/hari. Apabila potensi sumberdaya air tersebut akan dimanfaatkan oleh masyarakat desa Ngambarsari, maka potensi air dari hutan pinus seluas 101,79 ha mampu untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi orang atau 19 42% dari jumlah penduduk Desa Ngambarsari yang berjumlah orang. Dari hasil penelitian diatas, nampak bahwa sesungguhnya peran hutan sangat besar dalam menyokong kehidupan manusia, salah satu diantaranya dari kemampuan sebagai regulator air melalui berbagai proses dalam siklus hidrologi yang berlangsung di dalamnya. Daftar Pustaka Dodi Supriadi, Potensi Peran Akunting Sumberdaya Hutan Dalam Perumusan Kebijaksanaan dan Strategi Manajemen Hutan. Makalah 55

57 Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan, 23 September 1998, Jakarta. Rizaldi, Carbon Trading Membisniskan Hutan Tanpa Merusaknya, Artikel Kompas tanggal 7 Nopember Rusmantoro, W., Hutan Sebagai Penyerap Karbon, Artikel Internet dalam Spektrum Online. Seyhan, E., Dasar-dasar Hidrologi (terjemahan Fundamentals of Hydrology oleh Sentot Subagya) Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sri Astuti Soedjoko, Suyono, Darmadi, Kajian Neraca Air di Hutan Pinus. Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan, 23 September 1998, Jakarta. Suryatmojo, H., Peran Hutan Pinus Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan Melalui Penyimpanan Karbon dan Penyediaan Sumberdaya Air. Hasil Penelitian, Yogyakarta. Widjaja, H., Makalah Pengantar Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor, Bogor 2.6. Evaluasi 1. Jelaskan peran hutan dalam pengendalian air suatu kawasan! 2. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor penyebab longsor lahan! 3. Sebutkan karakteristik kawasan yang rawan longsor! 4. Sebutkan usaha pencegahan dan pengendalian longsor lahan 5. Sebutkan pohon-pohon yang mempunyai akar tunggang dalam dan akar cabang banyak, serta pohon-pohon yang mempunyai akar tunggang dalam dan sedikit akar cabang! 56

58 POKOK BAHASAN III. PRESIPITASI 3.1. Deskripsi Singkat Presipitasi (hujan) merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling penting. Hujan adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan bumi. Hujan merupakan salah satu komponen input dalam suatu proses dan menjadi faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi pada suatu kawasan (DAS). Peran hujan sangat menentukan proses yang akan terjadi dalam suatu kawasan dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhi proses yang terjadi didalamnya. Dalam bab ini mahasiswa belajar tentang bagaimana proses terjadinya hujan, faktor-faktor yang mempengaruhinya, bagaimana karakteristik hujannya dan mempelajari cara menghitung rata-rata hujan pada sutau kawasan dengan berbagai model penghitungan rata-rata hujan Relevansi Dengan mempelajari proses terjadinya, faktor yang berpengaruh dan karakteristik hujan mahasiswa memahami berbagai fenomena alam yaitu hujan dan dapat melakukan penghitungan karakteristik hujan untuk dapat digunakan sebagai suatu data input dari sistem hidrologi dengan menempatkan stasiun pengukuran hujan yang tepat dan efektif sehingga mahasiswa mampu melakukan analisis hujan untuk pembangunan kawasan hutan Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari bab ini mahasiswa akan mengerti dan memahami proses terjadinya hujan, faktor-faktor yang mempengaruhi, mampu memilih lokasi pemasangan stasiun hujan dan mampu melakukan perhitungan data hujan untuk analisis hidrologi suatu kawasan, sehingga tujuan proses pembelajaran dapat tercapai. 57

59 Pengertian Presipitasi adalah peristiwa jatuhnya cairan (dapat berbentuk cair atau beku) dari atmosphere ke permukaan bumi dan lau dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di daerah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang. Presipitasi cair dapat berupa hujan dan embun dan presipitasi beku dapat berupa salju dan hujan es. Dalam uraian selanjutnya pemakaian istilah presipitasi saling menggantikan dengan istilah curah hujan. Presipitasi adalah peristiwa klimatik yang bersifat alamiah yaitu perubahan bentuk dari uap air di atmosfer menjadi curah hujan sebagai akibat proses kondensasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya presipitasi diantara lain berupa : 1. Adanya uap air di atmosphere 2. Faktor-faktor meteorologis 3. Lokasi daerah 4. Adanya rintangan misal adanya gunung. Terbentuknya ekologi, geografi dan tataguna lahan di suatu daerah sebagian besar ditentukan atau tergantung pada fungsi daur hidrologi, dengan demikian presipitasi merupakan kendala sekaligus kesempatan dalam usaha pengelolaan sumberdaya tanah dan air. Presipitasi merupakan faktor pengontrol keadaan daerah yang relatif mudah diamati. Namun, perlu juga mempertimbangkan bahwa prakondisi untuk berlangsungnya hujan melibatkan tingkat kelembaban udara dan faktor-faktor lain yang turut berperan untuk berlangsungnya hujan seperti energi matahari, arah dan kecepatan angin, dan suhu udara. a. Kelembaban udara salah satu fungsi utama kelembaban udara adalah sebagai lapisan pelindung permukaan bumi. Kelebaban udara dapat menurunkan suhu dengan cara menyerap atau memantulkan, sekurang-kurangnya setengah radiasi matahari gelombang pendek yang menuju kepermukaan bumi. Kelembaban udara juga membantu 58

60 menahan keluarnya radiasi matahari gelombang panjang dari permukaan bumi pada waktu sing dan malam hari. Sejalan dengan meningkatnya suhu udara, meningkat pula kapasitas udara dalam menampung air. Sebaliknya, ketika udara bertambah dingin, gumpalan awan menjadi bertambah besar, dan pada gilirannya akan jatuh sebagai air hujan. Dalam mempelajari besarnya kandungan air dalam udara, dikenal dua unsure kelembaban udara, kelembaban spesifik dan kelembaban absolute. Kelembaban spesifik adalah banyaknya uap air (dalam gram) yang terdapat di dalam 1 kg udara basah (gr/kg). Sedangkan kelembaban absolute adalah perbandingan masa uap air dengan volum udara total (gr/m 3 ). Perbedaan kedua jenis kelembaban tersebut adalah bahwa pada kelembaban spesifik, perubahan tekanan udara tidak akan mempengaruhi besar kecilnya kelembaban. Sebaliknya, pada kelembaban absolute, perubahan tekanan udara akan memberikan pengaruh pada angka kelembaban pada tempat tersebut. b. Energi Matahari Energi matahari merupakan mesin yang mempertahankan berlangsungnya daur hidrologi. Selain itu, energi matahari juga bersifat mempengaruhi terjadinya perubahan iklim. Pada umumnya, besarnya energi matahari yang mencapai permukaan bumi adalah 0,5 langley/menit. Namun demikian, besarnya energi matahari bersih yang diterima permukaan bumi bervariasi tergantung pada letak geografis dan kondisi permukaan bumi. Adanya perbedaan keadaan goegrafis trsebut mendorong terjadinya gerakan udara di atmosfer, dengan demikian juga berfungsi dalam penyebaran energi matahari. Energi matahari bersifat memproduksi gerakan massa udara di atmosfer dan di atas lautan. Energi ini merupakan sumber tenaga untuk terjadinya proses evaporasi dan transpirasi. Evaporasi berlangsung pada permukaan badan perairan sedangkan transpirasi adalah kehilangan air dari 59

61 dalam vegetasi. Energi matahari mendorong terjadinya daur hidrologi melalui proses radiasi. Sementara penyebaran kembali energi matahari dilakukan melalui proses konduksi dari daratan dan konveksi yang berlangsung di dalam badan air dan atmosfer. Konduksi adalah suatu proses transportasi udara antara dua lapisan (udara) yang berdekatan apabila suhu kedua lapisan tersebut berbeda. Konveksi adalah pindah panas yang timbul oleh adanya gerakan massa udara atau air dengan arah gerakan verbal. c. Angin Angin adalah gerakan massa udara, yaitu gerakan atmosfer atau udara nisbi terhadap permukaan bumi. Parameter tentang angin yang biasa dikaji adalah arah dan kecepatan angin. Kecepatan angin penting karena dapat menentukan besarnya kehilangan air melalui proses evapotranspirasi dan mempengaruhi kejadian-kejadian hujan. Untuk terjadinya hujan diperlukan adanya gerakan udara lembab yang berlangsung terus menerus. Dalam hal ini, gerakan udara (angin) berfungsi sebagai tenaga penggerak terjadinya gerakan udara lembab tersebut. Peralatan yang digunakan untuk menentukan besarnya kecepatan angin dinamakan anemometer. Dalam satu hari, kecepatan dan arah angin dapat berubahubah. Perubahan ini seringkali disebabkan oleh adanya beda suhu antara daratan dan lautan. Angin umumnya bertiup dari bidang permukaan dingin ke bidang permukaan yang lebih hangat. Dapat dikatakan bahwa arah horizontal gerak atmosfer terhadap permukaan bumi disebabkan oleh satu atau gabungan dari gaya gradien tekanan, gaya coriolis dan gaya gesekan. d. Suhu udara Suhu mempengaruhi besarnya curah hujan, laju evaporasi dan transpirasi. Suhu juga dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat memprakirakan dan menjelaskan kejadian dan penybaran air di muka bumi. Dengan demikian, adalah penting untuk mengetahui bagaimana cara menentukan besarnya suhu udara. 60

62 Mekanisme Prespitasi Proses terjadinya presipitasi diawali ketika sejumlah uap air di atmosfer bergerak ketempat yang lebih tinggi oleh adanya beda tekanan uap air. Uap air bergerak dari tempat dengan tekanan uap air lebih besar ke tempat dengan tekanan uap air lebih kecil. Uap air yang bergerak ke tempat yang lebih tinggi (dengan suhu udara menjadi lebih rendah) tersebut pada ketinggian tertentu akan mengalami penjenuhan dan apabila hal ini diikuti dengan terjadinya kondensasi maka uap air tersebut akan berubah bentuk menjadi butiran-butiran air hujan. Udara di atmosfer mengalami proses pendinginan melalui beberapa cara antara lain, oleh adanya pertemuan antara dua massa udara dengan suhu yang berbeda atau oleh sentuhan antara massa udara dengan obyek atau benda dingin. Proses pendinginan yang paling umum adalah terjadinya gerakan massa udara ke tempat yang lebih tinggi oleh adanya beda tekanan uap air. Adanya pembentukkan awan tidak dengan sendirinya diikuti dengan terjadinya hujan. Namun demikian, keberadaan awan dapat dijadinkan indikasi awal untuk berlangsungnya presipitasi. Secara ringkas dan sederhana, terjadinya hujan terutama karena adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang lebih tinggi sebagai respon adanya beda tekanan udara antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Di tempat tersebut, karena adanya akumulasi uap air pada suhu yang rendah maka terjadillah proses kondensasi, dan pada gilirannya massa air basah tersebut jatuh sebagai air hujan. Namun demikian, mekanisme berlangsungnya hujan melibatkan tiga faktor utama. Dengan kata lain, akan terjadi hujan apabila berlangsug tiga kejadian sebagai berikut : 1. Kenaikan massa uap ke tempat yang lebih tinggi sampai saatnya atmosfer menjadi jenuh. 2. Terjadinya kondensasi atas partikel-partikel uap air di atmosfer. 61

63 3. Partikel-partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai hujan) karena gaya gravitasi. Hujan juga dapat terjadi oleh pertemuan antara dua massa air basah dan panas. Tiga tipe hujan yang umum dijumpai di daerah tropis dapat disebutkan sebagai berikut : 1. Hujan konvektif (Convectional stroms), tipe hujan ini disebabkan oleh adanya beda panas yang diterima permukaan tanah dengan panas yang diterima oleh lapisan udara di atas permukaan tanah tersebut. Tipe hujan konvektif biasanya dicirikan dengan intensitas yang tinggi, berlangsung relative cepat, dan mencakup daerah yang tidak terlalu luas. Tipe hujan konvektif inilah yang seringkali digunakan untuk membedakan dari tipe hujan yang sering dijumpai di daerah beriklim sedang (tipe hujan frontal) dengan intensitas hujan lebih rendah. 2. Hujan frontal (Frontal/cyclonic storms), tipe hujan yang umumnya disebabkan oleh bergulungnya dua massa udara yang berbeda suhu dan kelembaban. Pada tipe hujan ini, massa udara lembab yang hangat dipaksa bergerak ke tempat yang lebih tinggi (suhu lebih rendah dengan kerapatan udara dingin lebih besar). Tergantung pada tipe hujan yang dihasilkannya, hujan frontal dapat dibedakan menjadi hujan frontal dingin dan hangat. Hujan frontal dingin biasanya mempunyai kemiringan permukaan frontal yang besar dan menyebabkan gerakan massa udara ke tempat yang lebih tinggi lebih cepat sehingga bentuk hujan yang dihasilkan adalah hujan lebat dalam waktu yang singkat. Sebaliknya, pada hujan frontal hangat, kemiringan permukaan frontal tidak terlalu besar sehinga gerakan massa udara ke tempat yang lebih tinggi dapat dilakukan dengan perlahan-lahan (proses pendinginan berlangsung bertahap). Tipe hujan yang dihasilkan adalah hujan yang tidak terlalu lebat dan berlangsung dalam waktu lebih lama (hujan dengan intensitas rendah). Hujan badai dan hujan monsoon (monsoon) adalah tipe hujan frontal yang lazim dijumpai. 62

64 3. Hujan orografik (Orographic storms), jenis hujan yang umum terjadi di daerah pegunungan, yaitu ketika massa udara bergerak ke tempat yang lebih tinggi mengikuti bentang lahan pegunungan sampai saatnya terjadi proses kondensasi. Ketika massa udara melewati daerah bergunung, pada lereng dimana angin berhembus (windward side) terjadi hujan orografik. Sementara pada lereng dimana gerakan massa udara tidak atau kurang berarti (leeward side), udara yang turun akan mengalami pemanasan dengan sifat kering, dan daerah ini disebut daerah bayangan dan hujan yang terjadi disebut hujan di daerah bayangan (jumlah hujan lebih kecil daripada hujan yang terjadi di daera windward side). Besarnya intensitas hujan orografik cenderung menjadi lebih besar dengan meningkatnya ketebalan lapisan udara lembab di atmosfer yang bergerak ke tempat yang lebih tinggi.tipe hujan orografik dianggap sebagai pemasok air tanah, danau, bendungan, dan sungai karena berlangsung di daerah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Seorang perencana akan mudah menentukan karakteristik hujan suatu wilayah dari hasil pengamatan atau pengumpulan data dan perhitungan atau analisis data hujan yang ada. Sebelum data didapat sudah barang tentu harus ditentukan bagaimana cara pengumpulan datanya serta bagaimana analisisnya Jaringan Pengukur Hujan Sistem jaringan kerja alat pengukur hujan harus direncanakan sesuai dengan keperluan pemanfaatan data cura hujan yang akan dikumpulkan. Tingkat ketelitian hasil pengukuran curah hujan dalam suatu sistem jaringan kerja tergantung tidak hanya pada keseluruhan kerapatan alat-alat pengukur hujan tetapi juga pada penyebaran alat pengukur hujan. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, alat pengukur hujan ada 2 macam yaitu alat pengukur hujan manual dan alat pengukur hujan otomatik. Alat pengukur hujan manual pada dasarnya hanya berupa kontainer atau ember yang telah diketahui 63

65 diameternya. Untuk mendapatkan data presipitasi yang memadai dengan menggunakan alat pengukur hujan manual, alat pengukur hujan biasanya dibuat dalam bentuk bulat memanjang kea rah vertical untuk memperkecil terjadinya percikan air hujan. Diameter dan ketinggian bidang penangkap air hujan bervariasi dari satu Negara ke Negara lainnya. Di Amerika Serikat, alat pengukur hujan manual (standar) yang digunakan mempunyai dimensi diameter 20 cm dan ketinggian 79 cm. Sehingga dalam bidang pengukuran curah hujan, apabila alat pengukur hujan yang digunakan memiliki dimensi diameter dan ketinggian seperti tersebut diatas dikenal sebagai alat pengukur hujan standar. Untuk memudahkan prosedur pengukuran curah hujan dengan memanfaatkan alat pengukur hujan manual, dimensi diameter dan ketinggian alat yang disarankan adalah berkisar antara cm dan antara cm (Dunne dan Leopold, 1978 dalam Asdak, 2001). Alat pengukur hujan otomatis adalah alat pengukur hujan yang mekanisme pencatatan besarnya curah hujan bersifat otomatis. Dengan cara ini, data hujan yang diperoleh selain besarnya curah hujan selama periode waktu tertentu, juga dapat dicatat lama waktu hujan, dengan demikian besarnya intensitas hujan dapat ditentukan. Dua jenis alat pengukur hujan yang sering digunakan adalah weighing bucket raingauge dan tipping bucket raingauge. Jenis alat pengukur hujan yang pertama terdiri atas corong penangkap air hujan yang ditempatkan di atas ember penampung air yang terletak di atas timbangan yang dilengkapi dengan alat pencatat otomatis. Alat pencatat (pen) pada timbangan tersebut dihubungkan ke permukaan kertas grafik yang tergulung pada sebuah kaleng silinder. Dengan demikian, setiap terjadi hujan, air hujan tertampung oleh corong akan dialirkan ke dalam ember yang terletak di atas timbangan. Setiap ada penambahan air hujan ke dalam ember, timbangan akan bergerak turun. Gerakan timbangan ini akan menggerakkan alat pencatat (pen) yang berhubungan dengan kertas grafik sedemikian rupa sehingga perubahan volume air hujan yang masuk ke dalam ember dapat tercatat pada kertas gragik. Setiap 64

66 periode waktu tertentu gulungan kertas grafik dilepaskan untuk dilakukan analisis dan apabila sudah waktunya, kertas grafik dan tinta perlu diganti dengan yang baru. Jenis alat pengukur hujan yang kedua dan dianggap lebih canggih adalah tipping bucket raingaug. Alat ini beroperasi secara otomatis dan tidak memerlukan tinta dan kertas dalam mencatat data hujan sehingga tidak perlu mengganti tinta atau kertas setiap beberapa hari sekali. Mekanisme kerjanya, sesuai dengan namanya, adalah dengan cara tipping atau seperti cara kerja timbangan (duduk) dimana salah satu bucket atau kantong/ember penampung air bergerak (jatuh) ke bawah setiap kali menerima beban (air hujan) dengan volume tertentu. Dengan cara ini, curah air hujan dihitung/dicatat oleh alat pencatat otomatik (logger) yang diletakkan terpisah dari alat ukur tipping bucket. Dengan mengetahui tipping dan waktu berlangsungnya hujan, maka dapat diketahui intensitas hujan untuk setiap kejadian hujan. Pada alat ukur hujan otomatis yang kedua ini pengambilan data hujan di lapangan dilakukan dengan bantuan komputer karena data hujan dan waktu terjadinya hujan tersimpan dalam data logger. Untuk keperluan yang lebih canggih, misalnya pemantauan besarnya curah hujan untuk pengendalian banjir atau pembangkit listrik tenaga air, maka alat pengukur hujan tersebut dihubungkan ke pusat pemantauan hujan (yang dilengkapi dengan komputer) melalui satelit. Sehingga hanya dalam waktu beberapa detik hujan yang terjadi di daerah dengan jarak puluhan kilometer dapat dimonitor oleh pusat pemantauan hujan tersebut. Dalam melakukan pengukuran presipitasi, sekurangkurangnya ada dua masalah dasar yang selalu timbul, yaitu : 1. Bagaimana merancang suatu alat pengukur hujan yang secara tepat dapat mengukur presipitasi untuk suatu tempat/daerah. 2. Bagaimana menentukan lokasi jaringan kerja alat penakar tersebut agar dapat mewakili daerah yang kita kehendaki. Persoalan yang pertama seringkali berkaitan dengan kesalahan karena alat (instrumental error) dan yang berikutnya adalah 65

67 kesalahan yang berhubungan dengan cara mengambil sampel (sampling error). Faktor utama yang dapat mengganggu cara kerja alat pengukur hujan yang kita pasang terutama datang dari hembusan angin disekitar alat tersebut. Dinding penghambat seperti bangunan yang tinggi, jajaran pohon, punggung gunung dapat mempengaruhi arah dan kecepatan angin dan pada gilirannya akan mempengaruhi data yang kita kumpulkan. Menentukan lokasi yang tepat untuk alat pengukur presipitasi tidak gampang. Alat ukur tersebut harus mampu mewakili daerah yang kita amati. Tempat terbaik untuk lokasi alat pengukur hujan adalah bidang permukaan tanah yang landai. Hindarkan punggung gunung yang bergelombang. Khususnya daerah miring yang menentang arus angin. Lokasi alat pengukur hujan sebaiknya dapat diamati secara teratur. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada perubahan terjadi pada alat pengukur hujan tersebut atau mungkin ada tanaman pengganggu yang perlu disingkirkan. Gagal melakukan hal tersebut, dapat menimbulkan gangguan pengukuran, misalnya perubahan arah angin, alat pengukur hujan ternaungi pohon, dengan demikian merubah data curah hujan yang diamati. Gangguan-gangguan lain yang sering dijumpai dalam pengukuran besarnya presipitasi adalah ukuran penangkap air hujan (corong pada alat pengukur hujan otomatis dn ember pada alat pengukur hujan standar). Pada curah hujan dengan intensitas rendah dan berlangsung cukup lama. Luas permukaan penangkap air hujan sebaiknya dibuat lebih luas. Hal ini perlu untuk meningkatkan volume air hujan yang akan diukur besarnya. Permasalahan lain yang berkaitan dengan alat pengukur hujan adalah kedudukan penangkap air hujan pada alat pengukur hujan yang bersangkutan. Pemasangan alat pengukur hujan pada suatu daerah didasarkan kepada keperluan pengukuran curah hujan pada daerah tersebut. Apabila daerah yang akan dipasang alat penakar hujan tidak mempunyai peralatan yang dapat menunjukkan pola penyebaran spasial curah hujan maka informasi tersebut dapat 66

68 diperoleh dari tempat lain yang memiliki karakteristik (fisik dan klimatik) kurang lebih sama dengan tempat yang menjadi kajian. Dengan cara ini penentuan sistem jaringan kerja alat-alat pengukur hujan dapat dilakukan dengan hasil yang memadai. Cara statistika lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk evaluasi sistem jaringan kerja alat-alat penakar hujan meliputi beberapa langkah serta menggunakan analisis korelasi untuk menentukan besarnya korelasi antar alat penakar hujan dan untuk memprakirakan besarnya kesalahan yang terjadi ketika hasil pengukuran curah hujan dari daerah yang mempunyai sistem jaringan kerja diinterpolasikan ke daerah yang tidak memiliki sistem jaringan kerja alat-alat pengukur hujan. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi pada saat menempatkan alat pengukur hujan yaitu : 1. Harus diletakkan di tempat yang bebas halangan atau pada jarak 4 kali tinggi obyek penghalang. 2. Alat harus tegak lurus dan tinggi permukaan penakar antara cm di atas permukaan tanah. 3. Bebas dari angin balik 4. Alat harus dilindungi baik dari gangguan binatang maupun manusia. 5. Secara teknis alat harus standart. 6. Dekat dengan tenaga pengamat. Ketelitian didalam pengukuran curah hujan dapat ditingkatkan dengan cara mempertimbangkan pola variabilitas spasial curah hujan di tempat pengukuran dan menggunakan pola variabilitas spasial curah hujan di tempat tersebut dan menggunakan pola variabilitas tersebut sebagai dasar penentuan jumlah dan kedudukan alat-alat pengukur hujan. Variabilitas hujan dan tujuan penggunaan data hujan menentukan kepadatan jaringan pengukuran hujan dalam perancangan hidrologik. Ketidakpastian dalam perancangan hidrologik menyangkut : 67

69 1. Ketidak pastian dalam pengalih ragaman antara masukan hujan ke debit. 2. Ketidak pastian dalam penyusunan model 3. Ketidak pastian dalam ekstrapolosi informasi titik (point information) ke informasi wilayah (DAS). 4. Keterbatasan panjang data. Di samping itu juga akan dijumpai kendala di dalam menentukan jumlah stasiun antara lain yaitu : 1. Pembelian dan pemasangan alat 2. Pengamatan 3. Perawatan alat 4. Administrasi pengumpulan, pengiriman, penyimpanan dan penyebaran data. Upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi kendala tersebut antara lain : 1. Menetapkan jumlah stasiun hujan optimum 2. Menetapkan pola penyebarannya di Daerah Aliran Sungai 3. Mendapatkan informasi sebanyak mungkin 4. Mencapai ketelitian maksimum 5. Menekan biaya pemasangan dan pengoperasian. Dasar perancangan jaringan dititik beratkan kepada : 1. Menitikberatkan pada sifat-sifat statistik hujan dan sifat fisik DAS (luas, topografi). 2. Menitikberatkan pada analisis ekonomi 3. Gabungan antara keduanya Kepadatan minimum jaringan hujan berikut ini telah direkomendasi guna maksud-maksud hidro meteorologis umum (Linsley, et-al, 1982) : 1. Untuk daerah datar, beriklim sedang, mediteranean dan zona tropis km 2 untuk setiap stasiun 68

70 2. Untuk daerah-daerah pegunungan beriklim sedang, mediteranean dan zone tropis, km 2 untuk setip stasiun. 3. Untuk pulau-pulau dengan pegunungan kecil dengan hujan yang beraturan, 25 km 2 untuk setiap stasiun. 4. Untuk zone-zone kering dan kutub, km 2 untuk setiap stasiun Pengukuran Presipitasi Para pakar hidrologi dalam melaksanakan pekerjaannya seringali memerlukan informasi besarnya volume presipitasi ratarata untuk suatu daerah tangkapan air arau daerah aliran sungai. Untuk mendapatkan data curah hujan yang dapat mewakili daerah tangkapan air tersebut diperlukan alat pengukur hujan yang dapat mewakili daerah tangkapan air tersebut diperlukan alat pengukur hujan dalam jumlah yang cukup. Dengan semakin banyaknya alatalat pengukur hujan yang dipasang di lapangan diharapkan dapat diketahui besarnya variasi curah hujan di tempat tersebut dan juga besarnya presipitasi yang terjadi di daerah tersebut. Sistem jaringan kerja dari sejumlah alat penakar hujan akan mewakili sejumlah titik-titik pengamatan besarnya atau ketebalan curah hujan di daerah tersebut. Dalam menentukan besarnya presipitasi (rata-rata) di suatu daerah aliran sungai dengan memanfaatkan sistem jaringan kerja dari alat-alat pengukur hujan. Ketelitian hasil pengukuran presipitasi akan tergantung pada variabilitas spasial curah hujan, dengan demikian diperlukan lebih banyak lagi alat-alat pengukur hujan, terutama di daerah dengan kemiringan lereng besar dan daerah-daerah yang banyak menerima tipe curah hujan lebat (thunderstorms) dibandingkan tipe curah hujan frontal. Secara umum, ketelitian hasil pengukuran presipitasi akan meningkatkan dengan meningkatnya jumlah alt penakar hujan yang digunakan. Tetapi, tingkat kerapatan alat pengukur hujan yang tinggi seringkali sulit mengaturnya di lapangan, disamping mahal biayanya. Cara penyelesaian yang merupakan kompromi antara 69

71 keterbatasan jumlah alat pengukur hujan yang diginakan dengan hasil ketelitian tetap memadai adalah dengan membuat klasifikasi, antara lain, klasifikasi tentang karakteristik topografi seperti ketinggian tempat, kemiringan lereng, dll. Hasil pengukuran data hujan dari masing-masing alat pengukuran hujan adalah merupakan data hujan suatu titik (point rainfall). Padahal untuk kepentingan analisis yang diperlukan adalah data hujan suatu wilayah (areal rainfall). Ada beberapa cara untuk mendapatkan data hujan wilayah yaitu : 1. Cara rata-rata aljabar 2. Cara poligon thiessen 3. Cara isohiet Cara Rata-rata Aljabar Cara ini merupakan cara yang paling sederhana yaitu hanya dengan membagi rata pengukuran pada semua stasiun hujan dengan jumlah stasiun dalam wilayah tersebut. Sesuai dengan kesederhanaannya maka cara ini hanya disarankan digunakan untuk wilayah yang relatif mendatar dan memiliki sifat hujan yang relatif homogen dan tidak terlalu kasar. _ P1 + P2 + P3 + P4 P =... ( 1) 4 Keterangan : _ P = hujan rata-rata P1; P2; P3; P4 = tebal hujan stasiun 1,2,3,4. Gambar 3.1. Metode Rata-rata Aljabar 70

72 Cara Poligon Thiessen Teknik polygon dilakukan dengan cara menghubungkan satu alat pengukur hujan dengan cara menghubungkan satu alat pengukur hujan dengan lainnya menggunakan garis lurus. Pada peta daerah tangkapan air untuk masing-masing alat pengukur hujan, daerah tersebut dibagi menjadi beberapa polygon (jarak garis pemabagi dua pengukur hujan yang berdekatan lebih kurang sama). Hasil pengukuran pada setiap alat pengukur hujan terlebih dahulu diberi bobot (weighing) dengan menggunakan bagian-bagian wilayah dari total daerah tangkapan air yang diwakili oleh alat pengukur hujan masing-masing lokasi, kemudian dijumlahkan. Teknik polygon termasuk memadai guna menentukan curah hujan suatu darah, namun demikian hasil yang baik akan ditentukan oleh sejauh mana penempatan alat pengukur hujan mampu mewakili daerah pengamatan. Teknik polygon tidak cocok digunakan di daerah bergunung-gunung. Cara ini selain memperhatikan tebal hujan dan jumlah stasiun, juga memperkirakan luas wilayah yang diwakili oleh masing-masing stasiun untuk digunakan sebagai salah satu faktor dalam menghitung hujan rata-rata daerah yang bersangkutan. Poligon dibuat dengan cara menghubungkan garis-garis berat diagonal terpendek dari para stasiun hujan yang ada. 71

73 _ 1A1 + P2A2 + P3A3 + P4A P =... (2) A1 + A2 + A3 + A4 Keterangan : _ P = hujan rata-rata P1,P2,P3,P4 = tebal hujan pada stasiun 1,2,3,4 A1,A2,A3,A4 = luas wilayah yang diwakili oleh stasiun 1,2,3,4. Gambar 3.2. Metode Poligon Thiessen Cara Isohiet Isohiet adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai tinggi hujan yang sama. Metode ini menggunakan isohiet sebagai garis-garis yang membagi daerah aliran sungai menjadi daerah-daerah yang diwakili oleh stasiun-stasiun yang bersangkutan, yang luasnya dipakai sebagai faktor koreksi dalam perhitungan hujan rata-rata. Teknik Isohiet dipandang lebih baik, tapi bersifat subyektif dan tergantung pada keahlian, pengalaman, dan pengetahuan pemakaian terhadap sifat curah hujan di daerah setempat. Ketepatan dalam memprakirakan besarnya curah hujan rata-rata untuk suatu daerah tergantung pada kerapatan jaringan stasiun pencatat hujan dan tipe serta ukuran hujan. Didaerah gurun dengan badai hujan local (localized thunderstorms), sangat sulit untuk menentukan besarnya curah hujan rata-rata di tempat tersebut dibandingkan dengan daerah dengan curah hujan yang bersifat siklon (cyclonic stroms). 72

74 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa cara isohiet lebih teliti, tetapi cara perhitungannya memerlukan banyak waktu karena garis-garis isohiet yang baru perlu ditentukan untuk setiap curah hujan. Metoda isohiet terutama berguna untuk mempelajari pengaruh curah hujan terhadap perilaku aliran air sungai terutama di daerah dengan tipe curah orografik. Gambar 3.3. Metode Isohiet P A + P B P B + P C P 1 = ; P 2 = 2 2 P C + P D P D + P E P 3 = ; P 4 =

75 _ P 1 A 1 + P 2 A 2 + P 3 A 3 + P 4 A 4 P=.... (3) A 1 + A 2 + A 3 + A 4 Keterangan : P A, P B, P C, P D, P E = tebal hujan pada isohiet A,B,C,D,E Intensitas dan Lama Waktu Hujan Intensitas hujan adalah jumlah hujan per satuan waktu. Untuk mendapatkan nilai intensitas hujan di suatu tempat maka alat pengukur hujan yang digunakan harus mampu mencatat besarnya volume hujan dan waktu mulai berlangsungnya hujan sampai hujan tersebut berhenti. Dalam hal ini, alat pengukur hujan yang dapat dimanfaatkan adalah alat pengukur hujan yang otomatis. Alat pengukur hujan standar juga dapat digunakan asal waktu selama hujan tersebut berlangsung diketahui (dapat dilakukan dengan menandai waktu berlangsungn dan berakhirnya hujan dengan jam dinding misalnya). Intensitas hujan atau ketebalan hujan persatuan waktu lazimnya dilaporkan dalam satuan millimeter per jam. Stasiun Pengukur Cuaca Otomatis dilengkapi dengan alat pengukur hujan yang dapat mencatat data intensitas hujan secara terus menerus. Data intensitas hujan tersebut umumnya dalam bentuk tabular atau grafik (hyetograph). Cara lain untuk menentukan besarnya intensitas curah hujan adalah dengan menggunakan teknik interval waktu yang berbeda. Intensitas hujan maksimum, misalnya untuk lama waktu 5 menit, dapat dihitung dari grafik curah hujan yang dihasilkan secara otomatis (harian atau bulanan). Data intensitas harian biasanya dimanfaatkan untuk perhitungan-perhitungan prakiraan besarnya erosi, debit puncak (banjir), perencanaan drainase, dan bangunan air lainnya. Data intensitas hujan (kejadian hujan tunggal) juga dapat dimanfaatkan untuk memprakirakan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan perubahan tataguna lahan dalam skala besar terhadap kemungkinan perubahan karakteristik hidrologi. 74

76 Lama waktu hujan adalah lama waktu berlangsungnya hujan, dalam hal ini dapat mewakili total curah hujan atau periode hujan yang singkat dari curah hujan yang relative seragam. Cara untuk menentukan besarnya intensitas hujan adalah dengan memanfaatkan data pengukuran hujan yang dihasilkan oleh alat pengukur hujan weighing bucket. Selain intensitas dan lama waktu hujan, informasi tentang kecepatan jatuhnya hujan penting untuk diketahui. Kecepatan curah hujan dapat diartikan sebagai kecepatan jatuhnya air hujan dan dalam hal ini dipengaruhi oleh besarnya intensitas hujan. Informasi tentang kecepatan air hujan untuk mencapai permukaan tanah adalah penting dalam proses erosi dan sedimentasi. Kecepatan tergantung pada bentuk dan ukuran diameter air hujan. Ketika kecepatan menjadi cukup besar, air hujan akan pecah membentuk tetesan air yang lebih kecil dengan kecepatan jatuh lebih lambat Analisis Data Presipitasi Ada beberapa aspek data presipitasi yang menjadi perhatian khusus para ahli hidrologi. Data presipitasi yang umum menjadi kajian adalah : 1. Jumlah hujan tahunan total untuk luas wilayah tertentu. 2. Variasi curah hujan musiman dan tahunan serta reliabilitas hujan musiman. 3. Prakiraan Besarnya curah hujan (presipitasi) rata-rata untuk luas wilayah tertentu atau penentuan pola spasial dan perubahan kejadian hujan tunggal. 4. Frekuensi kejadian hujan untuk besaran yang berbeda dan untuk mempelajari karakteristik statistic data presipitasi. 5. Prakiraan besarnya kejadian hujan terbesar untuk suatu wilayah tertentu. Hal terakhir inilah dalam bidang hidrologi, sering dikenal dengan istilah kemungkinan prespitasi maksimum (Probable Maximum Precipitation, PMP) Bemacam-macam teknik untuk memprakirakan besarnya presipitasi suatu daerah tangkapan telah banyak dikembangkan. Untuk 75

77 menentukan teknik prakiraan mana yang dianggap paling memadai untuk daerah kajian tertentu akan tergantung pada beberapa factor, terutama tersedianya tenaga ahli (teknisi yang handal) dan waktu yang tersedia, kerapatan dan sebaran alat pengukur hujan di lapangan, dan informasi tentang variabilitas (spasial) curah hujan di daerah kajian tersebut. Secara umum, ketelitian hasil prakiraan besarnya presipitasi seperti dikemukakan diatas akan meningkat dengan : 1. Kerapatan alat pengukur hujan yang digunakan, 2. Lama waktu pengukuran, dan 3. Ukuran atau luas daerah tangkapan air yang dikaji. Satuan curah hujan yang umumnya dipakai oleh BMKG adalah millimeter (mm.). Jadi jumlah curah hujan yang diukur, sebenarnya adalah tebalnya atau tingginya permukaan air hujan yang menutupi suatu daerah luasan di permukaan bumi / tanah. Curah hujan 1 (satu) millimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi 1 (satu) millimeter atau tertampung air sebanyak 1 (satu ) liter atau 1000 ml. Misalnya disuatu daerah atau lokasi pengamatan curah hujannya 10 mm., itu berarti daerah luasan sekitar daerah / lokasi tergenangi oleh air hujan setinggi atau tebalnya 10 millimeter (mm). Contoh gambar alat pengukur hujan yaitu : Gambar 3.4. Pengukur hujan manual.(kiri) Pengukur hujan otomatik (kanan) 76

78 3.5. Artikel 1. Anomali Curah Hujan Periode di Indonesia Rainfall Anomali on in Indonesia ; Simulated by ARPEGE Climat version 3.0 Model Oleh : Haris Syahbuddin dan Tri Nandar Wihendar ABSTRACT Since 1980s, many meteorologis explore an existance of global climate change spatially and temporally, especially air temperature, evaporation, and rainfall in the future. It is necessary to understand the rainfall anomaly in the future in by using climate prediction model, which was developed considering the interaction between atmosphere, ocean, and poles according to proportional increasing of CO2 concentration in the stratosphere. This study was conducted using data of and to simulate rainfall zone anomaly especially in the rainny season (Octobre-March) and period. Rainfall zone anomaly is the rainfall difference between rainy season (mm) in the initial periode of and next periode of The quantity of rainfall is presented by monthly average of rainfall condition in both periode. The study was focused for the area situated between 25 North and South Latitude and 150o East Bangkok. Maximum and minimum temperature zonation of 2 m above the earth surface as well as evaporation have also been analysis of rainfall and temperature has been done to quantify the change of rainfall and temperautre frequency of the 1980 to To do so, the data was separated into two period of and The data were collected from Tanahbogo station, Central Lampung ( BT ; 5 22 LS ; 20 m asl) and Genteng, East java ( BT ; 8 22 LS ; 168 m asl). In the period, there will be an increasing amount of rainfall, that is indicated by positive anomaly of rainfall zonation change, increasing of the temperature and evaporation especially on the Malaka and Karimata strait, Banda and Arafura Ocean. Change in the quality and quantity of rainfall, particularly rainfall of mm/day are significant (59% and 100%) at Tamanbogo and Genteng stations in the period. To anticipate the extreme rainfall a concerted effort to be carried out by the society in an environement friendly approaches. Keys word : Rainfall anomaly, Indonesia, , ARPEGE Climat

79 PENDAHULUAN Sejak tahun 1980an para pemerhati dan peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spatial maupun temporal. Beberapa hasil simulasi lembaga-lembaga pemerhati perubahan iklim global, seperti GIEC (Group International for Evolution of Climate) dengan model GCM (General Circulation Model), lembaga penelitian meteorologi Inggris dengan UKMO, Amerika serikat dengan model NCAR, dan lain-lain, mengidentifikasi bahwa akan terjadi kenaikan temperatur global C. Hasil prediksi di atas dilandasi oleh skenario laju peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer menjadi dua kali lipat sampai akhir abad 21. Selain itu model-model di atas yang sudah sangat komplek dan rumit tersebut, baru memasukkan interaksi antara dinamika dua faktor pengendali iklim (driving force) utama yaitu atmosfer dan laut. Padahal secara global dinamika iklim yang terjadi di belahan bumi Utara, belahan bumi Selatan dan equator, juga sangat dipengaruhi oleh evolusi, peluruhan, dan dinamika wilayah kutub (pole). Di mana sumbangan wilayah kutub, dalam menjaga keseimbangan aliran dan pelepasan energi panas yang diterima bumi sangatlah besar. Demikian pula peranannya mempengaruhi siklus pergerakan masa air dari zona temperate dan semi temperate ke zona equatorial. Selain itu, akibat peningkatan suhu udara, mencairnya es di kedua kutub akan mempengaruhi volume air laut. Phenomena ini akan meningkatkan kapasitas menyimpan dan melepaskan panas dari permukaan laut. Demikian pula dengan evolusi suhu muka laut, yang akan mempengaruhi letak zona konveksi. Seperti diketahui, pada saat suhu muka laut mendingin terutama di samudra Pasific, maka pada saat itu zona konvergen berada tepat di atas wilayah Indonesia dan akan meningkatkan jumlah curah hujan yang jatuh di atas wilayah Indonesia. Tetapi sebaliknya, pada saat suhu muka laut meningkat maka zona konvergen akan bergeser ke arah Barat samudra Pasific dan akan menyebabkan penurunan jumlah curah hujan di atas wilayah Indonesia. Terutama bila anomali suhu muka laut mencapai C atau yang dikenal dengan istilah El-Nino. Di sisi yang lain, karena pertambahan jumlah penduduk, aktivitas, dan kebutuhan terhadap berbagai sumberdaya alam seperti, kayu, bahan bakar minyak dan sebagainya akan berpengaruh terhadap peningkatan suhu udara. Hal ini dikenal dengan istilah effek rumah kaca sebagai akibat peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer (troposfer). Ini berarti peningkatan konsentarsi CO2 proporsional menurut waktu. Karena model merupakan tiruan dari suatu proses alam yang dituangkan kedalam bahasa matematika, fisika dan bahasa komputer, maka model akan menjadi lebih baik bila dibuat mendekati fenomena-fenomena yang terjadi 78

80 di alam yang sangat berpengaruh terhadap sistem yang akan dikaji. Oleh karena itu untuk memperlajari perubahan atau anomali iklim perlu memperhatikan keterkaitan proses antara tiga wilayah utama tersebut di atas dengan memperhatikan evolusi yang proporsional dari peningkatan konsentrasi CO2 di troposfer. Lembaga penelitian meteorologi Perancis, Centre National de la Recherches Meteoroligie (CNRM) bekerja sama dengan Laboratoir Oceanografique Dynamique (LODIC) dan lembaga kalkulasi dan modelisasi Eropa di Toulouse Perancis (CERFACS) membuat suatu model yang disebut dengan ARPEGE, dengan memperhitungkan interaksi seperti tersebut di atas. Salah satu versi yang terbaru dari model ARPEGE adalah ARPEGE Climat versi 3.0. Berdasarkan beberapa hasil penelitian meteorologi yang berkaitan dengan El-nino menunjukkan bahwa periodisitas kehadiran El-Nino di Indoensia 10 tahun terakhir meningkat dari satu kali dalam tahun menjadi sekali dalam 2-4 tahun. Sejak tahun 1900 sampai tahun 2000, Pawitan et. al. (1998a) mencatat telah terjadi 25 kali El-Nino dengan intensitas sedang sampai kuat, dan terdapat kecenderungan peningkatan frekuensi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, yaitu dengan kejadian tahun 1977/78, 1982/83, 1987, 1991/92, 1993/94, dan 1997/98. Hal ini berarti fenomena kekeringan dan kerawanan pangan akan kian sering terjadi di Indonesia. Di sisi lain, pada masa datang kebutuhan air dan pangan akan semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Berdasarkan hasil proyeksi jumlah penduduk dikalikan dengan kebutuhan air per kapita di Indonesia, akan diperoleh volume kebutuhan air domestik (Pawitan et.al., 1997). Proyeksi kebutuhan air domestik dari 1990 sampai 2020 meningkat hingga 271% yaitu dari MCM (Mega Cubic Meter) pada 1990 menjadi MCM pada Kebutuhan air pertanian sampai tahun 1993 (khususnya air irigasi yang bersumber dari waduk dan aliran sungai) merupakan bagian terbesar dari total kebutuhan air nasional yaitu MCM dengan luas tanam padi sawah ha (BPS, 1993). Oleh karena itu, menjadi hal sangat mendesak untuk mengetahui besaran anomali curah hujan yang akan terjadi di masa yang akan datang di wilayah Indonesia dalam skala global. Dengan demikian dapat dilakukan upaya-upaya antisipasi bila terjadi peningkatan atau penurunan curah hujan. Untuk keperluan tersebut, langkah dini yang paling tepat dan cepat adalah dengan menggunakan model prakiraan iklim. Tujuan penelitian ini adalah: mengetahui dan memprediksi perubahan zonasi serta kuantitas curah hujan dan temperatur di Indonesia. 79

81 BAHAN DAN METODE Penelitian ini bersifat desk studi dan merupakan kombinasi antara analisis frekuensi data pengamatan lapang di stasiun synoptik Tamanbogo, Lampung Tengah, dengan simulasi model iklim menggunakan model ARPEGE Climat versi 3.0 untuk parameter curah hujan dan temperatur 2 m dari permukaan tanah. Data Pengamatan dan Analisis Frekuensi Untuk melihat perubahan kejadian hujan dan temperatur sepanjang tahun 1980 sampai 2000 di stasiun pengamatan lapang, dilakukan analisis frekuensi dengan membandingkan dua periode pengamatan yaitu periode dan Data iklim hasil pengamatan tersebut berasal dari stasiun klimatologi Tamanbogo, Lampung Tengah ( BT ; 5 22 LS), pada ketinggian 20 m dari permukaan laut (m dpl), dan stasiun Genteng, Jawa Timur ( BT ; 8 22 LS), pada ketinggian 168 m dpl. Simulasi Model ARPEGE Climat versi 3.0 Simulasi zonasi curah hujan dilakukan untuk periode dan periode beserta anomalinya terutama untuk musim hujan (bulan Maret sampai Oktober). Anomali zonasi curah hujan merupakan selisih kejadian hujan (mm) pada periode awal ( ) dengan periode berikutnya ( ). Besaran curah hujan yang ditampilkan merupakan keadaan curah hujan rataan bulanan pada kedua periode tersebut. Untuk merealisasikan zonasi tersebut, digunakan program GrADS (Grid Analysis and Display System) yang dipadukan dengan keluaran model ARPEGE Climat versi 3.0. Guna menghasilkan zonasi curah hujan di atas wilayah Indonesia, koordinat yang dipilih berkisar antara 25 Lintang Utara dan Lintang Selatan serta berkisar 150 Bujur Timur. Selain itu, dianalisis zonasi temperatur maksimum dan temperatur minimum untuk ketinggian 2 m dari permukaan tanah dan evaporasi (mm). Model Prakiraan Iklim ARPEGE Climat Versi 3.0 Untuk mempelajari perubahan iklim (climate change) pada skala tertentu selama puluhan tahun, adalah menjadi suatu kebutuhan untuk menggunakan model coupling antara atmosphere, kelautan (Oceanografi) dan kutub (pole), serta interaksi ketiganya. CNRM Meteo France bekerjasama dengan CERFACS telah membuat model coupling untuk merealisasikan skenario iklim sejak tahun 1950 sampai akhir abad 21. Model ARPEGE-Climat Météo France, memiliki kapasitas melakukan simulasi pada berbagai variasi geografis dan musim berdasarkan sirkulasi general atmosphere (General Ciculation of the Atmosphere) dan 80

82 beberapa parameter iklim permukaan yang telah dimediasi pada beberapa publikasi ilmiah (Royer et al., 2001). Versi 3.0 merupakan versi terbaru (cycle 22-a), yang terdiri dari dekomposisi spektral pada suatu harmonik lingkaran bumi, yang tergantung pada lengkungan trianguler (a troncature triangulaire) dengan batasan sampai 63 gelombang (T63), masing-masing berhubungan dengan satu pixel kira-kira 2,8º (128 x 64 points). Di setiap pixel dihitung term non linier dinamik dan parameterisasi fisik. Selain itu versi ini memiliki 45 tingkatan vertikal sehingga dapat memberikan gambaran suatu sirkulasi di stratosphere yang padanya ditemukan konsentrasi maksimum ozon. Perbandingan komposisi ozon merupakan variabel yang diduga, ditransfer melalui dinamik tiga dimensi, berinteraksi pada transfer radiatif dan untuk hal-hal tersebut sumber photochemic digambarkan sebagai parametrik yang tergantung pada linierisasi laju produksi sebagai fungsi dari perbandingan percampuran ozon, kuantitas akumulasi ozon di atas titik yang diamati, dan dari temperature udara (Cariolle et al., 1986 et Mahfouf et al., 1993 in Royer et al., 2001). Model ARPEGE Climat didasarkan pada persamaan klasik dinamika atmosphere dengan memperhitungkan fenomena fisik yang paling dominan dan penting, seperti radiasi matahari, formasi awan hujan, turbulensi lapisan lebih rendah dari (boundary layer) atmosfere, dan proses di permukaan, seperti keseimbangan antara ketersediaan air dan vegetasi di daratan (CNRM, 2001) Model sirkulasi umum kelautan (General Circulation Ocean Model) yang digunakan pada model ARPEGE Climat adalah model OPA versi 8.0 yang dikembangkan oleh laboratorium IPSL (Institut Pierre Simon Laplace), laboratorium Oceanografi Dinamik (LODYC : Laboratoire d Oceanographie Dynamique) (Madec, 1997 in Royer et al., 2001). Evolusi yang terjadi di wilayah kutub dihitung dengan menggunakan model GELATO dari D. Salas Y Melia (Salas, 2001 in Royer et al., 2001). Perubahan panas, evaporasi, dan gesekan angin di permukaan laut dihitung setiap 24 jam dengan menggunakan model coupling OASIS yang dikembangkan oleh CERFACS (Terray et al., 1995 et Terray et al., 1995 in Royer et al., 2001). Karakteristik Model Sebelum model ARPEGE Climat versi 3.0 dikembangkan, telah dibuat beberapa model ARPEGE Climat dengan versi yang berbeda. Pada model versi terbaru ini terdapat beberapa perubahan mendasar, yang berkaitan dengan pendekatan terhadap dinamika fisik atmosfir. Perubahan-perubahan mendasar tersebut menyebabkan model ARPEGE Climat versi 3.0 memiliki kekhususan. Perbedaan prinsip model ini dibandingkan dengan skenario iklim sebelumnya adalah penggunaan model OPA versi 8.0 dan bukan model OPA versi 7.0 untuk sistem 81

83 laut, termasuk di dalamnya memperhitungkan dinamika kutub (GELATO) dan bukan sebagai suatu sistem termodinamika tersendiri. Selain itu, pada model ARPEGE-Climat ini dipergunakan skema integrasi semi-lagrangian dan bukan skema Eulérian, terdapat perbaikan resolusi spasial yang sebelumnya 96x48 (Troncature 31) per pixel menjadi 128x64 (Troncature 36) per pixel, stratifikasi stratosfer menjadi lebih detail dari 31 level menjadi 45 level, digunakannya skema radiasi model Centre Européen de Prévision à Moyen Terme (CEPMMT) dan bukan skema Geleyn (Geleyn et al., 1979 in Royer et al., 2001). Model ini juga menggunakan skema statistik keawanan, parameterisasi ketinggian lapisan di bawah stratosfer (boundary layer), memperhitungkan efek langsung dan tidak langsung aerosol dari antropik original, perhitungan transfer fotokemik ozon dengan meletakkan koefisien parameterisasi ozon dengan menggunakan model fotochimik bidimensional MOBIDIC (Cariolle et al., 1986, Cariolle et al., 1990 Teyssèdre 1994, in Royer et al., 2001). Model ARPEGE Climat mampu melakukan simulasi peramalan dua kali per hari dengan resolusi 20 km di atas Perancis. Selain itu dapat digunakan untuk melakukan prakiraan untuk jangka pendek, sampai 3 harian, atau jangka menengah (mingguan) dari suatu evolusi iklim pada suatu wilayah. Skema Eulérian dan Semi - Langrangian. Perhitungan skema ini dilakukan dengan menggunakan model perjalanan waktu secara terus menerus. Pada setiap perjalanan waktu, untuk setiap titik pixel di setiap tingkatan, parameter utama dari setiap partikel dihitung dengan mengaplikasikan terlebih dahulu persamaan dinamika meteorologi (part of dynamic), selanjutnya dengan mengaplikasikan parameter utama (part of physic) yang memperhitungkan evolusi yang berkaitan dengan pertukaran pada sistem luar (seperti pergantian antara air dan tanah, penyinaran, dsb) atau proses fiisik pada skala yang lebih kecil dari yang pernah ditulis untuk suatu peristiwa dinamik lainnya (Konveksi). Skema evolusi temporal tersebut menyebabkan intervensi beberapa varias i waktu pada variabel yang dianalisa. Pada skema Eulérian, evolusi waktu tersebut dihitung pada setiap titik pixel dan pada waktu yang bersamaan digunakan kecenderungan lokal dari variabel dan batasan-batasan adveksi. Sedangkan pada skema Langrangian, nilai suatu variabel dihitung berdasarkan pergerakan partikel. Di mana untuk menghitung parameter di suatu titik pada suatu pixel N pada waktu (t + dt), digunakan nilai parameter pada waktu (t dt) pada titik O dan pada waktu t pada titik M. Garis lintasan OMN menggambarkan lintasan partikel sepanjang periode pengamatan. Pada awalnya skema Langrangian membutuhkan waktu lebih panjang dalam perhitungan tetapi dapat digunakan dalam satu kali perjalanan waktu 4 sampai 5 82

84 kali lebih kecil, maka secara keseluruhan menjadi lebih menarik untuk digunakan. Kondisi Limit. Kondisi limit merupakan suatu hipotesis yang digunakan untuk memberikan batasan initial sistem/simulasi. Model ARPEGE Climat memiliki kondisi awal simulasi 20 tahunan untuk laut dalam adalah berdasarkan keadaan temperatur dan salinitas klimatologi Livitus (Levitus, 1982 in Royer et al., 2001). Sedangkan untuk di permukaan laut dibatasi oleh klimatologi Reynolds (Reynolds, 1988 in Royer et al., 2001) tahun Untuk menjaga keseimbangan sistem dilakukan simulasi coupling tanpa memangggil kembali (looping) pendekatan kedua jenis klimatologi di atas untuk jangka waktu 10 tahunan, dan dilakukan perhitungan kembali (looping) terhadap koeffisien ozon. Kondisi yang telah dihasilkan pada kasus 10 tahunan tersebut memberikan kondisi inisial untuk menjalankan simulasi iklim coupling. Skenario. Secara garis besar skenario model peramalan iklim ARPEGE Climat terdiri dari dua bagian yaitu (1) berdasarkan pengalaman (kontrol) yang menyatakan bahwa konsentrasi gas rumah kaca adalah tetap (C1 dan C2) berdasarkan hasil pengamatan tahun 1950, dan (2) berdasarkan skenario (SG0 dan SG1) di mana konsentrasi gas rumah kaca berevolusi menurut waktu. Pada skenario pertama suatu simulasi hasil interaksi kedua bagian di atas (C1 dan SG0) menyatakan bahwa homogenitas kimia ozon diperhitungkan. Sedangkan pada sekenario kedua menyatakan bahwa kondisi kimia ozon diperbaiki untuk memperhitungkan reaksi perusakan ozon oleh klor akibat reaksi heterogenitas permukaan awan stratosfer di daerah kutub. Karena Indonesia terletak di daerah tropik, dimana tidak terdapat heterogenitas kandungan kimia ozon maka digunakan skenario SG0. Pada skenario SG0, konsentrasi dari gas utama rumah kaca (CO2, CH4, N2O, chlorofluorocarbon, CFC-11 dan CFC-12) tergantung pada hasil pengamatan hingga akhir abad 20, dan tergantung pada nilai skenario SRES-B2 dari GIEC (Nakicenovic et al., 2000 in Royer et al., 2001). Artinya pada skenario SG0 yang didasarkan pada skenario B2, konsentrasi gas rumah kaca proporsional menurut waktu. Skenario B2 ini menyatakan bahwa gas carbon tidak akan mencapai dua kali lipat dari konsentrasi praindustri sampai akhir abad 21. Emisi CFC disesuaikan dengan pengukuran yang dimplementasikan pada Protokol Montréa l, dan konsentrasi gas tersebut menurun secara gradual dari titik puncak di tahun 2000 selama 100 tahun ke depan (tahun 2100). 83

85 HASIL DAN PEMBAHASAN Deviasi Zonasi Curah Hujan Hasil simulasi zonasi curah hujan bulanan rata-rata selama musim kemarau (April-September) periode pada kondisi normal, menunjukkan sebagian besar wilayah Indonesia, khususnya Sumatra, Jawa, dan sebagian Kalimantan, Sulawesi, dan Papua menerima curah hujan lebih kecil atau terletak pada zona hujan 5-6 mm. Bersamaan dengan pergeseran rotasi bumi terhadap matahari, pada bulan April bumi bagian Utara mulai menerima energi matahari. Bersamaan dengan waktu, panas yang terakumulasi baik di daratan dan lautan menyebabkan terbentuknya zona-zona bertekanan tinggi (zona anticyclon) dan terbentuknya pergerakan massa air ke trophosfer. Di lapisan trophosfer massa air tersebut akan terbawa oleh Siklus Hadley, yang mendominasi gerakan massa air di lapisan tersebut, ke daerah bertekanan rendah (zona depresion) di bagian Selatan Equator. Selanjutnya, siklus massa air tersebut akan bertemu dengan pergerakan massa air horizontal dari wilayah lain untuk membentuk zona konvergen dan zona konveksi di samudra Pasific di bagian Utara kepulauan Papau (zona curah hujan 10-11mm), seperti yang terlihat pada Gambar Zonasi wilayah hujan bulan April-September periode (a). Pemanasan laut dan daratan mencapai puncak pada Juli dan Agustus, yang diikuti oleh kian intensif siklus zonal gerakan massa air (Siklus Hadley) ke belahan bumi beraltitude lebih tinggi (Utara equator) dan penurunan curah hujan di wilayah Indonesia. Zonasi wilayah hujan hasil simulasi ARPEGE Climat pada April-September periode menunjukkan perubahan yang sangat kuat. Terdapat kecenderungan pada musim kemarau periode tersebut, zona wilayah hujan 5-7 mm meliputi wilayah yang lebih luas. Bahkan zona hujan yang lebih besar dari 10 mm terbentuk di atas laut Jawa, yang pada periode sebelumnya zona konveksi tersebut tidak terbentuk. Hal ini berarti jumlah curah hujan pada periode antara April sampai September akan mengalami peningkatan. Seperti yang terlihat pada hasil simulasi anomali zonasi curah hujan (Gambar Zonasi wilayah hujan bulan April-September periode (b) dan (c). Anomali curah hujan antara 0-(-0.3) mm meliputi sebagian besar Sumatera dan Papua. Anomali zonasi hujan mm terdapat diwilayah Sumatera bagian Selatan, Sumatera bagian Barat, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Sedangkan anomali tertinggi antara 0.6 sampai 1.8 mm hanya meliputi wilayah Sulawesi bagian Selatan, Jawa Timur, dan Kalimantan Utara. Artinya di masa datang kekeringan yang biasa melanda daerah-daerah tersebut akan mengalami sedikit perbaikan, akibat penambahan jumlah curah hujan. Dengan demikian kesempatan untuk memperpanjang masa tanam dapat diperhitungkan, kecuali untuk sebagian besar Sumatera, yang berindikasikan terjadinya penurunan curah hujan sekitar 0-(-0.3) mm. 84

86 Gambar 1. Zonasi wilayah hujan bulan April-September periode (a), (b), dan anomali (c) direalisasi dengan model ARPEGE Climat versi 3.0 Selanjutnya memasuki bulan Oktober posisi bumi terhadap matahari mengalami pergeseran, dimana sejak pertengahan bulan September belahan bumi bagian Selatan menerima radiasi matahari dengan intensitas yang lebih besar. Bersamaan dengan pergerakan waktu dan posisi bumi terhadap matahari menyebabkan temperatur di belahan bumi bagian Selatan meningkat secara signifikan. Demikian pula dengan pembentukan zona bertekanan tinggi dan pergerakan vertikal massa air ke trophospher. Pada bulan-bulan tersebut akan terbentuk zone konvergen intertropikal di atas Indonesia, yang menyebabkan pembentukan awan hujan yang lebih besar (komulonimbus). Akibatnya pada kondisi normal sepanjang bulan Oktober sampai Maret terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas curah hujan di seluruh Indonesia. Seperti yang terlihat pada Gambar di bawah ini. Di mana pada periode sebagian besar wilayah 85

87 Indonesia terdapat pada zona hujan 6-7 mm. Sumatera bagian Utara, Jawa bagian Timur, dan Nusa Tenggara memiliki wilayah hujan lebih kecil yaitu 5-6 mm. Sedangkan sebagian besar Kalimantan dan Papua berada pada zona hujan 7-8 mm. Zona konveksi tertinggi terletak di sekitar laut Jawa 8-10 mm. Gambar 2. Zonasi wilayah hujan bulan Oktober-Maret periode (a), (b), dan anomali (c) direalisasi dengan model ARPEGE Climat versi 3.0 Pada periode hasil simulasi menunjukkan akan terjadi pergeseran garis monsoon ke arah Utara. Sehingga pada periode tersebut sebagain besar pulau Jawa berada pada zona 5-6 mm. Selain itu terjadi peningkatan areal zona hujan 7-8 mm di sekitar laut Banda, Laut Arafura, dan kepulauan Papua. Dengan 86

88 perkataan lain akan terjadi anomali negatif zona hujan -0.2-(-0.4) mm di sebagian besar Sumatera, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Anomali -0.4-(-0.5) mm di Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah. Anomali mm di sebagian besar Sumatera, Papua, dan Sulawesi Utara. Sebaliknya akan terjadi anomali positip zonasi hujan mm di wilayah Kalimantan bagian Timur dan Selatan, di Sulawesi bagian Selatan, sebagian Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Anomali membentang dari selat Karimata, laut Banda sampai laut Arafura. Namun demikian jika diperhatikan posisi anomali zona hujan yang mengelilingi seluruh kepulauan Indonesia dan dengan membandingkan hasil simulasi pada musim hujan (Oktober-Maret) antara periode dan menunjukkan akan terjadi peningkatan peluang jumlah curah hujan yang lebih tinggi di wilayah Indonesia. Di mana musim hujan akan sedikit lebih panjang dari biasanya, yaitu diindikasikan oleh jumlah curah hujan yang jatuh pada musim kemarau (April-September) lebih besar dari periode sebelumnya (Gambar Zonasi wilayah hujan bulan April-September). Selain itu dari Gambar Zonasi wilayah hujan bulan Oktober-Maret (c) menunjukkan, wilayah Indonesia diapit oleh anomali positip zonasi hujan mm yang terjadi di sekitar samudra Pasifik dan samudra Indonesia. Demikian juga halnya yang terdapat di sepanjang selat Karimata, laut Banda sampai laut Arafura. Prakiraan ini sejalan dengan hasil simulasi yang dilakukan oleh CNRM yang menyatakan bahwa sampai akhir abad 21 akan terjadi peningkatan jumlah curah hujan di Asia Tenggara (CNRM, 2001). Para peneliti Meteorologi di CNRM meyakini bahwa pertambahan kuantitas curah hujan sebagai dampak dari peningkatan temperatur udara, yang akan memicu percepatan kehilangan air dalam bentuk evaporasi. Gambar dibawah menunjukkan kesamaan lokasi anomali antara peningkatan curah hujan dengan peningkatan temperatur maksimum, temperatur minimum serta evaporasi pada musim hujan di atas wilayah Indonesia. Peningkatan kandungan uap air di udara tersebut exponensial dengan peningkatan temperatur. Kandungan uap air akan meningkatkan efek rumah kaca dan pemanasan kembali permukaan bumi. Pada tahap selanjutnya akan terbentuk kandungan uap air dalam jumlah besar di udara berupa awan-awan hujan (cumulonimbus). Di mana proses evaporasi sendiri tidak mengalami titik limit karena sebagian besar bumi (70%) terdiri dari lautan. Sehingga secara global ditemukan bahwa curah hujan meningkat 1.5% dari nilai rata-rata global per derajat pemanasan permukaan bumi dan diefektifkan oleh monsoon. Bahkan untuk kasus di Afrika Barat, Senegal, peningkatan curah hujan pada periode di bagian Utara Senegal mencapai 50% sedangkan di bagian Selatan Senegal meningkat 100% dibanding hujan periode (Syahbuddin, 2001). 87

89 Gambar 3. Anomali temperatur maksimal (a) dan temperatur minimal (b) permukaan (2 m) pada musim hujan (Oktober-Maret) direalisasikan dengan model ARPEGE Climat versi 3.0 Gambar 3. Anomali evaporasi permukaan (2 m) pada musim kemarau (April- September) direalisasikan dengan model ARPEGE Climat versi

90 Deviasi Frekuensi dan Kuantitas Curah Hujan di Stasiun Synoptik Pada tulisan ini ditampilkan deviasi beberapa parameter iklim yang terjadi pada skala mikro, dalam hal ini digunakan data stasiun Tamanbogo, Lampung Tengah dan Genteng, Jawa Timur. Lokasi stasiun terletak pada lahan kering beriklim kering dengan bulan basah 3-4 bulan dan bulan kering 2-3 bulan (Oldeman et al., 1978). Dipilihnya stasiun Tamanbogo selain karena data yang tersedia cukup lengkap, juga terletak pada wilayah sentra produksi padi terpenting di propinsi Lampung dengan jaringan irigasi yang sangat luas, dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara mm/tahun, memberikan kemudahan untuk melihat eratik perubahan curah hujan pada kedua periode pengamatan tersebut. Curah Hujan Tahunan. Berdasarkan hasil analisis rata-rata bergerak menunjukkan selama 20 tahun terakhir terdapat dua buah inklinasi curah hujan yang memiliki kecenderungan sama. Diawali dengan penurunan curah hujan pada tahun 1980 hingga 1986, untuk kemudian meningkat kembali kembali pada tahun 1987 dan 1993, di mana sebelumnya diselingi oleh penurunan yang tajam pada tahun 1991, yang diakhiri juga dengan penurunan yang drastis pada tahun 1998, untuk kemudian meningkat kembali pada tahun (Gambar Profil curah hujan rata-rata bergerak dua tahunan di stasiun Tamanbogo, Lampung Tengah). Pola ini bila terus berlanjut maka dapat diprakirakan bahwa curah hujan pada 5 atau 10 tahun ke depan akan meningkat. Perubahan ekstrim kuantitas curah hujan untuk dua tahunan sangat terlihat pada stasiun pengamatan di Genteng, Jawa Timur. Bahkan peningkatan kuantitas curah hujan dari periode dua tahun sebelumnya mencapai lebih dari 100% (Gambar Profil curah hujan rata-rata bergerak dua tahunan di stasiun Genteng, Jawa Timur). Artinya, meskipun periode simulasi dengan periode observasi berbeda, namun kecenderungan yang terlihat menunjukkan peluang peningkatan curah hujan periode berikutnya cukup besar, seperti dihasilkan oleh simulasi ARPEGE Climat. 89

91 Gambar 4. Profil curah hujan rata-rata bergerak dua tahunan di stasiun Tamanbogo, Lampung Tengah (a) dan Genteng, Jawa Timur (b) Curah Hujan Harian. Persentase frekuensi suatu besaran curah hujan pada dua periode pengamatan dikelompokkan berdasarkan dampaknya terhadap lingkungan agronomi tanaman. Curah hujan kurang dari 1 mm merupakan curah hujan yang diintersepsi oleh daun dan dievaporasikan, 1-3 mm merupakan curah hujan yang sangat esensial memberikan kontribusi terhadap evaporasi dari tanah, dari 3 sampai 10 mm hanya mengisi cadangan air tanah di lapisan permukaan. Sedangkan dari 25 mm merupakan curah hujan yang effektif menyebabkan erosi (konsultasi pribadi dengan J.C. Combres _CIRAD-Perancis in Syahbuddin, 2001). 90

92 Gambar 5. Frekuensi curah hujan di stasiun synoptik Tamanbogo, Lampung Tengah (a) dan stasiun Genteng, Jawa Timur (b) periode dan Hasil analisis rata-rata bergerak dua tahun (Gambar 5 Profil curah hujan rata-rata bergerak dua tahunan) menunjukkan pola pengulangan peningkatan curah hujan tahunan selaras dengan hasil analisis frekuensi curah hujan harian pada Gambar Frekuensi curah hujan di stasiun synoptik di atas. Hasil analisis frekuensi menunjukkan curah hujan 3-10 mm dan mm periode meningkat berturut-turut 32 dan 17% untuk stasiun Tamanbogo dibanding periode sebelumnya. Sedangkan untuk stasiun Genteng, curah hujan tidak terjadi peningkatan frekuensi untuk curah hujan 3-10 mm, untuk curah hujan mm meningkat 17%. Bahkan curah hujan antara 100 dan 150 mm periode meningkat 59% untuk stasiun Tamanbogo dibanding periode Pada selang tersebut, di stasiun Genteng terjadi peningkatan yang sangat besar yaitu sebesar 100%. Peningkatan ini lebih besar dibandingkan dengan penurunan jumlah curah hujan pada rentang waktu yang lain. Hasil tersebut memberikan ilustrasi bahwa telah terjadi peningkatan curah hujan di daerah sekitar Tamanbogo sejak beberapa tahun sebelumnya. Bila hasil ini diselaraskan dengan hasil simulasi ARPEGE Climat, maka di dugaan bahwa pada tahun yang akan datang curah hujan yang akan mengisi cadangan air tanah permukaan dan yang dapat menyebabkan erosi akan mengalami peningkatan yang signifikan. Deviasi Temperatur di Stasiun Synoptik Temperatur Harian. Pendapat yang menyatakan bahwa curah hujan akan meningkat 1.5 % untuk setiap peningkatan temperatur permukaan bumi, juga terlihat di statiun Tamanbogo. Dimana terdapat peningkatan frekuensi kejadian temperatur siang C serta temperatur malam C dan C, pada periode masing-masing sebesar 18%, 7% dan 200% dibanding 91

93 periode (Gambar Frekuensi temperatur diurnal dan nokturnal (a, b). Peningkatan temperatur sebagai akibat efek rumah kaca kian jelas terlihat pada stasiun pengamatan Genteng di Jawa Timur. Di mana temperatur malam antara C yang pada periode sebelumnya tidak terjadi, pada periode rentang temperatur tersebut terjadi dengan besaran frekuensi cukup besar yaitu antara 5-50% (Gambar Frekuensi temperatur diurnal dan nokturnal c, d). Hasil penelitian Apriyana dan Sugianto (2000) juga menunjukkan telah terjadi peningkatan temperatur di beberapa lokasi sentra produksi pertanian. Untuk temperatur diurnal terjadi peningkatan secara signifikan di Kendalpayak (Jawa Timur), Maros (Sulawesi Selatan), Pusakanegara, Muara, dan Margahayu (Jawa Barat). Sedangkan temperatur nokturnal meningkat di lokasi selain tersebut di atas juga terdapat di Lanrang (Sulawesi Selatan), Darmaga, dan Sukabumi (Jawa Barat). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil simulasi skenario iklim dengan model ARPEGE Climat versi 3.0 dan pengamatan di stasiun synoptik seperti yang diuraikan di atas dapat disimpulkan : 1. Pada periode diprakirakan akan terjadi peningkatan jumlah curah hujan di atas wilayah Indonesia, yang ditandai dengan perubahan 92

94 zonasi wilayah hujan dengan anomali positip zona konveksi, peningkatan temperatur, dan evaporasi terutama pada zona konveksi tertinggi di sepanjang selat Malaka, Laut Banda, Laut Karimata, dan Laut Arafura. 2. Perubahan kualitas dan kuantitas curah hujan, khususnya curah hujan mm/hari secara signifikan (59% dan 100%) pada stasiun sinoptik Tamanbogo dan Genteng telah terjadi pada periode , perubahan tersebut diikuti oleh peningkatan temperatur permukaan (2 m). 3. Langkah antisipasi limpahan curah hujan yang lebih besar dapat dilakukan secara serentak melalui pendekatan lingkungan dan kemasyarakatan. Saran Memperhatikan hasil simulasi di atas, di masa datang diprakirakan akan terjadi peningkatan jumlah air yang jatuh di atas permukaan bumi, maka persoalan yang dapat ditimbulkannya berdampak luas baik untuk bidang pertanian, usaha konservasi tanah dan air, penanggulangan limpahan air, dan sebagainya. Di satu sisi masalah kekeringan akan dapat diperbaiki, namun masalah lain seperti kebanjiran, erosi tanah terutama pada tanah-tanah tanpa vegetasi dan berlereng curam, penurunan intensitas radiasi surya, penurunan kesuburan tanah, sampai pada masalah penyakit tanaman dan manusia. Beberapa langkah antisipasi berdasarkan faktor yang paling bersinggungan dan berinteraksi seperti tertera di bawah ini. Langkah antisipasi pendekatan lingkungan: 1. Dari sisi penanggulangan bahaya banjir, perlu diantisipasi dengan menyiapkan saluran-saluran air/kanal, dengan cara memperbesar daya tampung saluran, baik berupa saluran air alami (sungai), maupun buatan (saluran drainase) 2. Usaha ini harus dipadukan dengan meningkatkan daya dukung DAS (daerah aliran sungai) di hulu guna menerima, menyimpan selama mungkin, dan menyalurkan air hujan ke daerah hilir 3. Menghutankan kembali lahan-lahan gundul 4. Memonitor dan mengevaluasi daya tampung Waduk, terutama yang berkaitan dengan proses sedimentasi, dan lain-lain 5. Peningkatan curah hujan akan diikuti oleh penurunan intensitas radiasi 93

95 surya, maka dibidang pertanian perlu diperhatikan penggunaan varietas berumur dalam, agar akumulasi bahang optimal sehingga produksi dapat ditingkatkan Langkah antisipasi pendekatan kemasyarakatan : 1. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap masalah banjir (Program Pos Peduli Banjir/P3B), dengan mensosialisasikan informasi cuaca, bahaya banjir dan pasca banjir, melalui instansi terkait dari tingkat Lurah/Desa/Kampung sampai Propinsi, media massa, sekolah, LSM, dll 2. Mensosialisasikan arti penting kebersihan lingkungan terutama (saluran air) dan pembuangan sampah serta peruntukan lahan, terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang menyebabkan penyempitan bantaran sungai, penyempitan daerah tangkapan air, pengelolaan lahan dengan kelerengan sedang sampai curam bagi usaha-usaha pertanian tanaman pangan 3. Penegakan Undang-Undang Konservasi Lingkungan dan pemberian sangsi seberat-beratnya bagi pelanggaran terhadap RUTR, konservasi lingkungan, dan lain-lain. 94

96 3.6. Evaluasi 1. Apa yang dimaksud dengan presipitasi? 2. Jelaskan proses terjadinya hujan! 3. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya presipitasi! 4. Sebutkan dan jelaskan tiga tipe hujan yang umum dijumpai di daerah tropis! 5. Sebutkan dan jelaskan cara untuk mendapatkan data hujan wilayah! 95

97 POKOK BAHASAN IV. INFILTRASI 4.1. Deskripsi Singkat Infiltrasi dari segi hidrologi penting, karena hal ini menandai peralihan dari air permukaan yang bergerak cepat ke air tanah yang bergerak lambat dan air tanah. Kapasitas infiltrasi suatu tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat fisiknya dan derajat kemampatannya, kandungan air dan permebilitas lapisan bawah permukaan, nisbi air, dan iklim mikro tanah. Air yang berinfiltrasi pada sutu tanah hutan karena pengaruh gravitasi dan daya tarik kapiler atau disebabkan juga oleh tekanan dari pukulan air hujan pada permukaan tanah Relevansi Dengan mempelajari proses terjadinya dan faktor yang berpengaruh dalam proses infiltrasi terutama pada infiltrasi di bawah tegakan hutan, mahasiswa memahami berbagai fungsi penting dari hutan sebagai salah satu media untuk meningkatkan proses masuknya air ke dalam tanah sehingga peran hutan dalam mengendalikan aliran permukaan nampak lebih jelas. Dengan memahami proses dan cara pengukurannya, mahasiswa dapat melakukan analisis dan mendesain pembangunan/pengelolaan suatu kawasan hutan dengan memperhatikan peran proses infiltrasi di dalamnya Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari bab ini mahasiswa akan mengerti dan memahami proses infiltrasi, faktor-faktor yang mempengaruhi, mampu melakukan pengukuran dan perhitungan untuk untuk analisis hidrologi suatu kawasan. 96

98 Pengertian Infiltrasi adalah aliran air masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke tanah lateral) dan gravitasi (gerakan air kea rah vertical). Setelah lapisan tanah bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebagai proses perkolasi. Laju maksimal gerakan air masuk ke dalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya, apabila intensitas hujan lebih kecil daripada kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan. Laju infiltrasi umumnya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan satuan intensitas curah hujan, yaitu millimeter per jam (mm/jam). Air hujan yang mengalir masuk ke dalam tanah, dalam batas tertentu bersifat mengendalikan ketersediaan air untuk berlangsungnya proses evapotranspirasi. Pasokan air hujan ke dalam tanah ini sangat berarti bagi kebanyakan tanaman di tempat berlangsungnya infiltrasi dan daerah sekelilingnya. Air infiltrasi yang tidak kembali lagi ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi akan menjadi air tanah untuk seterusnya mengalir ke sungai di sekitarnya. Meningkatkan kecepatan dan luas wilayah infiltrasi dapat memperbesar debit aliran selama musim kemarau (baseflow) adalah penting untuk memasok kebutuhan air pada musim kemarau, untuk pengenceran kadar pencemaran air sungai dan berbagai keperluan lainnya Proses Terjadinya Infiltrasi Ketika air hujan jatuh di atas permukaan tanah, tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui poripori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya grafitasi dan gaya kapiler tanah. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh 97

99 besarnya diameter pori-pori tanah. Dibawah pengaruh gaya gravitasi, air hujan mengalir vertikal ke dalam tanah melalui profil tanah. Pada sisi yang lain, gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus ke atas, ke bawah, dan ke arah horisontal (lateral). Gaya kapiler tanah ini bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori besar, gaya ini dapat diabaikan pengaruhnya dan air mengalir ke tanah yang lebih dalam oleh pengaruh gaya gravitasi. Dalam perjalanannya tersebut, air juga mengalami penyebaran ke arah lateral akibat tarikan gaya kapiler tanah, terutama ke arah tanah dengan pori-pori yang lebih sempit dan tanah lebih kering. Mekanisme infiltrasi, dengan demikian melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi : 1. Proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah. 2. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah. 3. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping, dan atas). Meskipun tidak saling mempengaruhi secara langsung, ketiga proses tersebut diatas tidak saling terkait. Uraian di atas menunjukkan bahwa besarnya laju infiltrasi pada permukaan tanah tidak bervegetasi tidak akan pernah melebihi laju intensitas hujan. Untuk wilayah berhutan, besarnya laju infiltrasi tidak akan pernah melebihi laju intensitas curah hujan efektif. Curah hujan efektif adalah volume hujan total dikurangi air hujan yang mengalir masuk ke dalam tanah (air infiltrasi) Faktor yang Berpengaruh Terhadap Laju Infiltrasi Beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi laju infiltrasi adalah : 1. Dalamnya genangan di atas permukaan tanah dan tebal lapisan yang jenuh. 98

100 2. Kelembaban tanah 3. Pemampatan tanah oleh curah hujan 4. Penyumbatan oleh bahan yang halus (bahan endapan) 5. Pemampatan oleh orang dan hewan 6. Struktur tanah 7. Tumbuh-tumbuhan 8. Udara yang terdapat dalam tanah 9. Topografi 10. Intensitas hujan 11. Kekasaran permukaan 12. Mutu air 13. Suhu udara 14. Adanya kerak di permukaan. Apabila faktor-faktor di atas dipisahkan maka akan terbagi menjadi 2 faktor pengaruh utama yaitu : 1. Faktor yang mempengaruhi air untuk tinggal di suatu tempat sehingga air mendapat kesempatan untuk berinfiltrasi. 2. Faktor yang mempengaruhi proses masuknya air ke dalam tanah. Gambar 4.1. Grafik infiltrasi 99

101 Pengukuran Infiltrasi Ada tiga cara untuk menentukan besarnya infiltrasi, yaitu : 1. Menentukan beda volume air hujan buatan dengan volume air larian pada percobaan laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan. 2. Menggunakan alat infiltrometer 3. Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan. Alat infiltrometer yang biasa digunakan adalah jenis infiltrometer ganda (double ring infiltrometer), yaitu satu infiltrometer silinder ditempatkan di dalam infiltrometer silinder lain yang lebih besar. Infiltrometer silinder yang lebih kecil mempunyai ukuran diameter sekitar 30 cm dan infiltrometer yang besar mempunyai diameter 46 hingga 50 cm. Pengukuran hanya dilakukan terhadap silinder yang kecil. Silinder yang lebih besar berfungsi sebagai penyangga yang bersifat menurunkan efek batas yang timbul oleh adanya silinder. Kedua infiltrometer tersebut dibenamkan ke dalam tanah pada kedalaman antara 5 hingga 50 cm. Kemudian air dimasukkan ke dalam kedua silinder tersebut dengan kedalaman 1-2 cm dan dipertahankan besarnya kedalaman dengan cara mengalirkan air ke dalam silinder tersebut (dari suatu kantong air yang dilengkapi skala). Laju air yang dimasukkan ke dalam silinder tersebut diukur dan dicatat. Laju air tersebut merupakan laju infiltrasi yang diukur. Cara pengukuran infiltrasi tersebut di atas relative mudah pelaksanaannya, tetapi perlu diingat bahwa dengan cara ini hasil laju infiltrasi yang diperoleh biasanya lebih besar daripada keadaan yang berlangsung di lapangan (infiltrasi dari curah hujan), yaitu 2-10 kali lebih besar. Telah dikemukakan bahwa laju infiltrasi adalah kecepatan air masuk ke dalam tanah selama hujan berlangsung. Laju infiltrasi atau kapasitas infiltrasi ditentukan dari petak percobaan. Bila curah hujan (alamiah atau buatan) pada petak percobaan tersebut lebih besar 100

102 daripada kapasitas infiltrasi, maka kurva kapasitas infiltrasi akan bervariasi sejalan dengan waktu. Laju infiltrasi diukur dalam satuan panjang per waktu. Satuan yang sama berlaku untuk laju curah hujan. Satu sentimeter curah hujan dalam waktu satu jam pada satuan luas tertentu, menandakan bahwa satu jam setelah permulaan hujan, air yang dapat ditampung dalam ember misalnya, akan mempunyai kedalaman 1 cm tersebar merata pada dasar ember tersebut. Dapat dilihat bahwa untuk ember kecil atau besar kedalaman tetap sama, 1 cm. Dengan demikian, kedalaman air 1 cm per jam tidak tergantung pada luas penampang air tersebut. Penghitungan Infiltrasi Menggunakan Rumus Horton f = fc + ( fo - fc ) e -kt Rumus ini berlaku apabila i > f f = infiltration capacity at any time t fc = the value of infiltration after it reaches a constant value fo = infiltration capacity at the start k = a constant t = time from the beginning of precipitation f = fc + ( fo - fc ) e- kt f - fc = ( fo - fc ) e- kt log ( f - fc ) = log ( fo - fc ) e- kt log ( f - fc ) = log ( fo - fc ) - kt log e log ( f - fc ) - log ( fo - fc ) = -kt log e 1 t = - [ log ( f - fc ) - log ( fo - fc ) ] k log e 101

103 1 1 t = - [ log ( f - fc ) ] + [ log ( fo - fc ) ] k log e k log e Persamaan di atas dengan persamaan : dimana : Y = t m = - Y = m X + C 1 k log e X = log ( f - fc ) 1 C = [ log ( fo - fc ) ] k log e m adalah slope suatu garis lurus. t 1 t m = - = - k log e log (f-fc) log ( f - fc ) ( 102

104 Tabel 4.1. Contoh penghitungan infiltrasi. T (jam) F (cm/jam) f fc log (f-fc) fo didapat dari perpanjangan curva laju infiltrasi Slope : m = = Dalam rincian persamaan Rumus Horton di atas : 1 m = - k log e k log e = k = 1.38 m = - k = Maka persamaan ICC (infiltration Capacity Curve) : f = fc + ( fo - fc ) e -kt 103

105 adalah : f = ( ) f = e t e t Tebal air yang terinfiltrasi (F) = ( 1,0 + 9,4 e-3.18 t ) dt t1 t Artikel PERANAN UJI IN SITU LAJU INFILTRASI DALAM PENGELOLAAN DAS GRINDULU-PACITAN1 Syamsul A. Siradz2, Bambang D. Kertonegoro2 dan Suci Handayani2 Abstrak Penelitian berupa uji lapangan telah dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat tanah dalam meresapkan air secara vertikal. Hasil pengamatan ini dapat membantu memberikan gambaran tentang kebutuhan air yang diperlukan oleh suatu jenis tanah untuk mencapai suatu kondisi lengas tertentu. Kebutuhan air ini dapat dipasok dari air irigasi dan/atau air hujan. Lokasi dan obyek penelitian berupa beberapa jenis tanah yang digunakan untuk budidaya padi sawah di Daerah Aliran Sungai (DAS) Grindulu di wilayah Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Jenis-jenis tanah yang diuji termasuk banyaknya ulangan yang dilakukan adalah sbb. : Aluvial Kelabu (endapan lempung daratan)(2), Litosol (campuran batuan endapan tuff dan batuan volkan)(3), Komplek Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol (3), dan Asosiasi Litosol dan Mediteran Merah (batuan volkan dan endapan bukit lipatan)(2), sehingga seluruhnya ada sepuluh (10) lokasi pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan double ring infiltrometer, dari kondisi lengas awal di lapangan hingga mencapai laju infiltrasi mendekati konstan, yang dicapai setelah kira-kira 5 hingga 6 jam 104

106 pengamatan. Air yang digunakan untuk pengujian diambil dari sumber air yang berada di dekat lokasi pengamatan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa setelah pengamatan berjalan selama 4-5 jam dicapailah kondisi laju infiltrasi yang mendekati konstan. Nilai koefisien determinasi kurve linear maupun non-linear menunjukkan >0,9 yang berarti bahwa angka-angka hasil pengukuran yang dilakukan di lapangan cukup handal. Urutan nilai rerata hasil ulangan laju infiltrasi yang tertinggi hingga terendah dari ke empat jenis tanah tersebut adalah sbb.: Aluvial Kelabu > Litosol > Asosiasi Latosol-Litosol > Mediteran Litosol. Kedua jenis tanah yang pertama mempunyai kategori laju infiltrasi sangat cepat, sedangkan kedua jenis terakhir termasuk sedang. Laju infiltrasi pada tanah sawah yang sedang ditanami padi umur satu bulan (tanah dalam keadaan melumpur) jauh lebih cepat mencapai nilai konstan ketimbang tanah-tanah dengan kondisi awal yang lebih kering. Kata kunci : infiltration rate, double ring infiltrometer, in situ, Pengelolaan DAS 1 Penelitian kerjasama antara Jurusan Tanah FP-UGM dan Project Management Unit (PMU), Good Governance In Water Resource Management (GGWRM) Yogyakarta dan Pacitan 2 Staf pengajar pada Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM, Jl Folra Bulaksumur, Yogyakarta, Coresponding author: [email protected] 4.8. Evaluasi 1. Apa yang dimaksud dengan infiltrasi? 2. Apa yang dimaksud dengan perkolasi? 3. Jelaskan proses terjadinya infiltrasi! 4. Sebutkan proses yang berpengaruh terhadap laju infiltrasi! 5. Sebutkan dan jelaskan tiga cara untuk menentukan besarnya infiltrasi! 105

107 POKOK BAHASAN V. INTERSEPSI 5.1. Deskripsi Singkat Intersepsi selalu dianggap sebagai faktor penting di dalam daur hidrologi. Intersepsi merupakan suatu proses dimana air yang diuapkan kembali ke atmosfer adalah air hujan yang tertampung sementara pada permukaan tajuk dan bagian lain dari suatu vegetasi. Dengan kata lain, pada proses intersepsi air yang diuapkan adalah air yang berasal dari curah hujan yang berada pada permukaan daun, ranting dan cabang dan belum sempat masuk ke dalam tanah Relevansi Dengan mempelajari proses terjadinya, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap intersepsi, mahasiswa dapat melakukan analisis penghitungan Intersepsi yang ada. Dengan menguasai metode ini diharapkan mahasiswa mampu melakukan pengelolaan hutan dengan mendasarkan pada hasil pengukuran intersepsi Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat melakukan pengukuran dan analisis Intersepsi melalui pendekatan rumus. Harapannya mahasiswa mampu melakukan monitoring dan evaluasi suatu kawasan hutan melalui pendekatan neraca air kawasannya Pengertian Menurut Asdak (1995) pengertian intersepsi air hujan (rainfall interception loss) adalah proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi di atas permukaan tanah, tertahan beberapa saat, untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan. Proses intersepsi terjadi selama berlangsungnya curah hujan dan setelah hujan berhenti sampai 106

108 permukaan tajuk vegetasi menjadi kering kembali. Setiap kali hujan jatuh di daerah bervegetasi, ada sebagian air yang tak pernah mencapai permukaan tanah, dengan demikian tidak berperan dalam membentuk kelembaban tanah, air larian atau air tanah. Air tersebut akan kembali lagi ke udara sebagai air intersepsi tajuk, seresah dan tumbuhan bawah. Intersepsi dianggap faktor penting dalam daur hidrologi karena berkurangnya air hujan yang sampai di permukaan tanah oleh adanya proses intersepsi adalah cukup besar. Besarnya intersepsi di hutan hujan tropis berkisar antara % dari curah hujan total. Perubahan tegakan penutup tanah dari satu jenis vegetasi menjadi vegetasi lain dapat mempengaruhi neraca air tahunan di daerah tersebut. Air hujan yang jatuh di atas permukaan vegetasi yang lebat, terutama pada permulaan hujan, tidak langsung mengalir ke permukaan tanah. Untuk sementara, air tersebut akan ditampung oleh tajuk, batang dan cabang vegetasi. Setelah tempat-tempat tersebut jenuh dengan air, maka air hujan yang datang kemudian akan menggantikan air hujan yang tertampung tersebut untuk selanjutnya menetes ke tajuk, batang dan cabang vegetasi di bawahnya sebelum akhirnya sampai di atas tumbuhan bawah, seresah, dan permukaan tanah. Besarnya air yang tertampung di permukaan tajuk, batang, dan cabang vegetasi dinamakan kapasitas simpan intersepsi (canopy storage capacity) dan besarnya ditentukan oleh bentuk, kerapatan, dan tekstur vegetasi. Air hujan jatuh pada permukaan tajuk vegetasi akan mencapai permukaan lantai hutan melalui dua proses mekanis, yaitu air lolos (throughfall) dan aliran batang (stemflow). Air lolos jatuh langsung ke permukaan tanah melalui ruangan antar tajuk/daun atau menetes melalui daun, batang dan cabang. Sedangkan aliran batang adalah air hujan yang dalam perjalanan mencapai permukaan tanah mengalir melalui batang vegetasi. Dengan demikian, intersepsi hujan adalah beda antara curah hujan total dan hasil pertambahan antara air lolos dan aliran batang. 107

109 Faktor-Faktor Penentu Intersepsi Faktor-faktor yang mempengaruhi proses intersepsi dapat dikelompokkan menjadi dua, vegetasi dan iklim. Yang termasuk dalam kelompok vegetasi adalah luas vegetasi hidup dan mati, bentuk dan ketebalan daun dan cabang vegetasi. Faktor iklim termasuk jumlah dan jarak lama waktu antara satu hujan dengan hujan berikutnya, intensitas hujan, kecepatan angina, dan beda suhu antara permukaan tajuk dan suhu atmosfer. Bila daun basah, proses intersepsi akan berlangsung beberapa kali lebih cepat daripada transpirasi dari permukaan vegetasi yang tidak terlalu basah. Besarnya air hujan yang terintersepsi merupakan fungsi dari : 1. Karakteristik hujan 2. Jenis, umur dan kerapatan tegakan 3. Musim pada tahun yang bersangkutan. Umumnya antara 10 sampai 20 % dari total jumlah hujan akan terintersepsi oleh suatu tegakan pada musim pertumbuhan. Pada vegetasi yang sangat rapat kehilangan air hujan oleh proses intersepsi dapat mencapai %. Intersepsi umumnya besar pada hujan tidak lebat. Sejalan dengan bertambah besarnya curah hujan, maka jumlah air terintersepsi menjadi semakin kecil. Semakin rapat vegetasi pada suatu area, maka jumlah air hujan yang diuapkan kembali ke atmosfer menjadi semakin besar. Hal ini erat kaitannya dengan faktor luas/kerapatan bidang penguapan, yaitu tajuk vegetasi atau dengan kata lain, besarnya intersepsi akan ditentukan oleh angka indeks luas tajuk (leaf area index, LAI). Berdasarkan prinsip ini maka besarnya intersepsi hujan di hutan alam tidak dipanen (unlogged forest) akan berbeda dengan besarnya intersepsi pada hutan alam yang telah mengalami pembalakan (logged forest). Perbedaan besarnya intersepsi tersebut disebabkan oleh berkurangnya angka indeks luas tajuk (LAI) akibat pembalakkan, 108

110 dan dengan demikian menurunkan besarnya kapasitas tampung air pada permukaan tajuk vegetasi (canopy storage capacity, S). Besarnya intersepsi hujan suatu vegetasi juga dipengaruhi oleh umur tegakan vegetasi yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, bagian-bagian tertentu vegetasi akan mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Pertumbuhan bagian-bagian vegetasi yang mempunyai pengaruh terhadap besar-kecilnya intersepsi adalah perkembangan kerapatan/luas tajuk vegetasi semakin banyak air hujan yang dapat ditahan sementara untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer. Demikian juga halnya dengan jumlah percabangan pohon. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semakin tua, luas dan kerapatan tajuk kebanyakan vegetasi akan semakin besar. Jumlah percabangan pohon juga menjadi semakin banyak. Oleh kombinasi kedua faktor tersebut menyebabkan jumlah air hujan yang dapat ditahan sementara oleh vegetasi tersebut menjadi semakin besar sehingga keempatan untuk terjadinya penguapan juga menjadi besar. Sifat alamiah tajuk vegetasi merupakan unsur penting lain dalam mengendalikan terjadinya proses intersepsi. Ada perbedaan mengenai besarnya intersepsi yang berlangsung di daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Di daerah perkotaan yang ditandai dengan banyak bangunan kedap air serta kekerasan bidang permukaan yang relative besar, kesempatan air hujan tertampung di bidang permukaan tersebut berkisar antara 2-5mm. besarnya suhu udara di daerah perkotaan telah meningkatkan laju evaporasi sehingga evaporasi di daerah perkotaan lebih besar daripada daerah pedesaan, dengan demikian juga berlaku untuk intersepsi. Namun demikian, belum banyak daya yang menunjukkan besarnya intersepsi di daerah perkotaan. Di daerah yang didominasi oleh vegetasi (pedesaan), faktorfaktor pengendali besarnya intersepsi adalah tipe, kerapatan, dan umur vegetasi yang dominant di daerah tersebut. Jenis vegetasi juga berpengaruh terhadap besarnya intersepsi karena ada jenis vegetasi tertentu yang mempunyai intersepsi berbeda dari musim ke musim. 109

111 Musim pertumbuhan memberikan nilai intersepsi lebih besar dari pada musim tidak aktif (dormant season). Demikian pula ada jenis vegetasi yang mempunyai intersepsi relative sama sepanjang tahun (evergreen species). Perbedaan besarnya intersepsi juga ditentukan olen bentuk komunitas vegetasi. Tegakan pohon, semak-belukar, padang rumput, dan tanaman pertanian mempunyai porsi intersepsi yang berbeda. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin rapat tajuk vegetasi, semakin besar intersepsi yang terjadi. Kerapatan dalam hal ini termasuk tajuk-tajuk yang berada di bawah tajuk utama. Di daerah berhutan, untuk mengetahui besarnya intersepsi, diperlukan pemahaman tentang mekanisme terjadinya intersepsi oleh seresah. Kemampuan seresah untuk menahan air dan menguapkan kembali air tertahan tersebut akan ditentukan oleh ketebalan seresah dan karakteristik seresah dalam mengikat air hujan Pengukuran intersepsi Pengukuran besarnya intersepsi pada skala tajuk vegetasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan neraca volume (volume balance approach) dan pendekatan neraca energi (energy balance approach). Cara pendekatan yang pertama adalah cara tradisional yang paling umum dilakukan yaitu dengan mengukur curah hujan, aliran batang, dan air lolos. Intersepsi adalah beda antara besarnya curah hujan total dan curah hujan bersih ( aliran batang + air lolos). Cara yang kedua adalah perhitungan besarnya intersepsi dengan memanfaatkan persamaan matematis dengan masukan parameter-parameter meteorologi dan struktur tajuk serta tegakan yang diperoleh dari pengukuran di lapangan. Berikut ini adalah uraian cara perhitungan intersepsi hujan dengan menggunakan pendekatan neraca volume. Curah hujan harian atau mingguan adalah komponen pertama yang harus diperoleh dengan menggunakan alat penakar hujan ( standar atau otomatis) di tempat terbuka (ketinggian vegetasi atau bangunan di 110

112 sekitar alat pengukur hujan tidak boleh membentuk sudut lebihi dari 45 o dari tempat alat pengukur hujan). Apabila di daerah penelitian tidak terdapat tempat terbuka (misalnya di hutan alam) maka perlu didirikan menara sehingga alat penakar hujan dapat ditempatkan di atas tajuk hutan atau mencari tempat terbuka yang memungkinkan untuk pengukuran curah hujan. Jarak alat pengukur hujan dari tempat pengukuran air lolos dan aliran batang (pada kondisi umum) sebaiknya tidak terlalu jauh mengingat variabilitas spasial curah hujan di daerah tropis adalah besar. Dalam penelitian intersepsi hujan yang paling mutakhir biasanya pengukuran air lolos dilakukan dengan cara kombinasi botol (corong) dan alat tipping bucket. Alat tipiing bucket (dapat mencatat besarnya air lolos yang jatuh di bawah tegakan hutan) ditempatkan secara acak dan tidak direlokasi. Sementara botol (corong) direlokasikan secara acak setiap minggu atau sekali setiap satu kejadian hujan. Dengan menempatkan alat ukur air lolos secara permanen (tipping bucket) dimaksudkan untuk mengetahui besarnya perbedaan air lolos antara dua plot dengan perlakuan berbeda dan untuk keperluan permodelan intersepsi hujan. Sedang alat ukur air lolos yang harus direlokasi setiap satu kejadian hujan (botol + corong) dimaksudkan untuk mengetahui besarnya variabilitas spasial dan temporal air lolos dalam suatu plot. Aliran batang diperoleh dengan cara memasang lempengan seng atau plastik melingkar atau melilit batang pohon agar aliran yang melalui percabangan dan batang tersebut keseluruhannya dapat dialirkan dan ditampung ke dalam bak penampung sehingga dapat diukur volumenya atau langsung dicatat melalui alat tipping bucket. Ukuran lebar plastik atau seng yang digunakan adalah antara cm. Pada salah satu sisi plastik atau seng ini dibuat saluran yang akan mengalirkan air yang tertampung tersebut ke bak penampungan atau alat tipping bucket. Pemilihan pohon yang akan dijadikan sampel aliran batang diusahakan mewakili hutan yang diteliti baik dalam hal sebaran diameter maupun karakteristik permukaan batang pohon. Dalam 111

113 hutan alam tropis umumnya diameter paling kecil yang dijadikan pohon sampel adalah mulai 10 cm Perhitungan besarnya intersepsi : Ic = Pg ( T f + S f ) Ic = Intersepsi tajuk (mm) Pg = Curah hujan (mm) Sf = Aliran batang Stemflow (mm) Tf = Air lolos, Throughfall (mm) Intersepsi total ( I ) = Ic + I l I l = Intersepsi serasah Jumlah air hujan yang sampai di lantai hutan = T f + S f Curah hujan bersih ( Pn) = T f + S f - I Dalam kasus proses intersepsi tegakan hutan dari mulai tegakan muda sampai menjadi tegakan hutan tua, maka berlaku halhal berikut : 1. Air lolos ( Tf ) akan semakin berkurang sejalan dengan bertambah rapatnya tajuk tegakan hutan. 2. Aliran batang ( Sf ) akan semakin bertambag tapi tidak terlalu banyak dari aliran batang sebelumnya. 3. Kapasitas tampung permukaan tajuk (atas dan bawah) dan seresah dalam hubungannya dengan bidang permukaan tajuk, juga akan meningkat. Intersepsi dalam bidang hidrologi tergantung pada karakteristik iklim, fisik, dan vegetasi. Pada kebanyakan studi analisis neraca air, intersepsi dianggap penting untuk menentukan besarnya curah hujan bersih (net precipitation) atau jumlah curah hujan yang tersedia untuk menjadi air infiltrasi, air larian, aliran air bawah permukaan, atau aliran air tanah. Besarnya curah hujan bersih adalah curah hujan total dikurangi intersepsi total serta penjumlahan antara air aliran batang dan air lolos. 112

114 Dalam praktek di lapangan untuk memperoleh nilai intersepsi tentunya tidak semudah teori yang telah dijelaskan di atas. Hal ini karena air lolos yang ditampung tentunya akan jauh lebih besar dari air hujan dalam satu kaleng penampungan. Kondisi ini karena penampung aliran batang mendapatkan jumlah air berlimpah yang merupakan kumulatif dari tajuk yang ranting dan cabangnya terpusat di batang pohon. Oleh karena itu agar tidak terjadi kesalahan dalam pengumpulan data, diperlukan konversi luas 1 kaleng menjadi seluas proyeksi tajuknya. Sedangkan total aliran batang diasumsikan sudah merupakan kumulatif dari total luas tajuknya. Para mahasiswa seringkali melakukan kesalahan karena mendapatkan data rata-rata curah hujan di dalam kaleng jauh lebih kecil dari jumlah air lolosnya. Kemudian jika dijumlahkan antara air lolos dan aliran batang dalam luasan proyeksi tajuknya ternyata hasilnya jauh lebih besar dari curah hujan seluas proyeksi tajuknya. Ini tentu tidak masuk akal karena seharusnya curah hujan lebih besar dari pada penjumlahan air lolos dan aliran batang, sehingga dapat diperoleh nilai intersepsinya Perhitungan Intersepsi dengan Persamaan Matematik Intersepsi hujan oleh vegetasi dapat mengurangi erosi melalui dua cara yaitu (a) mengurangi jumlah air yang sampai ke tanah sehingga mengurangi aliran permukaan, (b) mengurangi kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh menimpa tanah. Kemampuan vegetasi hutan untuk menahan air untuk kemudian diintersepsikan dinamakan simpanan intersepsi, yang besarnya bergantung pada jenis pohon dan curah hujan. Wisler dan Brater (1959) di dalam Arsyad (2010) mendapatkan jumlah air yang diintersepsi oleh vegetasi menurut persamaan matematik sebagai berikut : X = a + bt, X = jumlah air hujan yang diintersepsi. a = kapasitas intersepsi yang ditunjukkan oleh biomas tajuk. 113

115 b = kecepatan evaporasi. t = lama hujan. Hazairin Zubair (1988) menggunakan pendekatan Ward (1975), dengan curah hujan antara 50 mm sampai 250 mm, mendapatkan hubungan linier antara besarnya intersepsi dengan curah hujan bulanan untuk beberapa jenis tanaman sebagai berikut : 1. Intersepsi oleh Pinus mercusii berumur 30 tahun : Y = 7,53 + 0,26 X ; R 2 = 0,55 2. Intersepsi oleh tegakan hutan alami : Y = 3,06 + 0,24 X ; R 2 = 0,65 3. Intersepsi oleh tagakan Eucalyptus deglupta : Y = 2,84 + 0,13 X ; R 2 = 0,50 4. Intersepsi oleh semak yang didominasi oleh Eupatorium sp : Y = 3,38 + 0,31 X ; R 2 = 0,86 Lambang Y adalah jumlah air hujan yang terintersepsi (mm) dan X adalah curah hujan bulanan (mm). 114

116 5.5. Artikel 1 Studi Kasus 1. ASPEK HIDROLOGI DARI EUCALYPTUS (Hydrological Aspect of Eucalyptus) Ringkasan Tanaman Eucalyptus sudah dikenal sejak abad 18, dan perkembangan tanaman ini maju pesat pada tahun 1980 setelah Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII di Jakarta tahun Tidak lama setelah perkembangan tanaman Eucalyptus berlangsung, maka pada tahun 1988 timbul kritik dan protes terhadap tanaman Eucalyptus karena adanya indikasi pengaruh elative terhadap lingkungan. Salah satu aspek lingkungan yang dikhawatirkan menjadi buruk adalah aspek hidrologi karena adanya isu bahwa Eucalyptus memperburuk keseimbangan hidrologi dari Eucalyptus yang akan dibahas dalam artikel ini adalah : evapotranspirasi, intersepsi air hujan oleh tajuk, aliran batang, air lolos dan aliran permukaan. Rangkuman hasil penelitian mengenai aspek hidrologi dari Eucalyptus ini dimaksudkan untuk memberikan klarifikasi tentang kekhawatiran pengaruh buruk dari Eucalyptus. Khususnya pada aspek hidrologi tidak seluruhnya benar. Hal tersebut terlihat dari kehilangan air hujan oleh intersepsi tajuk elative kecil, air lolos dan aliran batang elative besar sedang erosinya elative kecil. Summary : Eucalyptus has been popular since 18 th century but the development of Eucalyptus plantation is quite significant in 1980 after the Eight World Forestry Congress in Jakarta in But in 1988 there was criticism and protest against Eucalyptus plantation due to the indication of its negative effect on environment. A ghost of a change of worsening the environment is the effect of Eucalyptus plantation on the hydrology balance. The hydrology aspects of Eucalyptus dicussed on this article are evapotranspiration, rainfall interception by Eucalyptus crown, stem flow, throughfall and surface run off. The obyective of this article is to provide clarification of the worry about negative effect of Eucalyptus. It is clear that regarding hydrological aspects, not all the worry has reasonable basis as show by the facts that water loss due to crown 115

117 interceptation is small, stem flow and throughfall are relatively large, and soil erosion is small. Tabel 1. Intersepsi air hujan oleh tajuk Eucalyptus. Nama jenis Intersepsi air hujan % Mm E. regnans 18,7 - - Curah hujan Sumber Karschon (1967) E. hybrid 11,65 229, George (1978) E. camaldulensis 14,63 87,8 600 Karschon (1967) E. signata Lima (1976) E. saligna 12,2 156, Lima (1976) E. urophylla 8,8-17, Pudjiharta (1999) Tabel 2. Curah hujan, aliran batang, air lolos pada Eucalyptus. Jenis pohon Curah hujan (mm) Aliran batang Air lolos % mm % mm E. regnans - 5, Sumber Karschon (1967) E. hybrid ,6 80, ,2 George (1978) E. camaldulensis 600 4,5 27,0 80,84 484,8 Karschon (1967) E. signata ,00 - Lima (1976) E. saligna , Lima (1976) E. urophylla ,7-7, Pudjiharta (1999) Sumber : Ag. Pudjiharta (Buletin Vol. 2 No. 1 Th 2001) 116

118 Kesimpulan : Eucalyptus yang umumnya mempunyai arsitektur tajuk ringan, intensitas penutupan tajuk relatif ringan. Kondisi tersebut memberikan peluang besar bagi air hujan untuk lolos dari tajuk (intersepsi tajuk). Air hujan yang lolos dan mencapai lantai hutan relatif besar. Air lolos yang relatif besar akan berpeluang lebih besar yang mencapai lantai hutan kemudian meresap ke profil tanah di bawah tegakan Eucalyptus bersamasama aliran batang dan mengisi kelembaban tanah yang sangat diperlukan bagi tanaman. Tajuk ringan yang dimiliki oleh Eucalyptus akan sangat berperan penting bagi tembusnya sinar matahari yang diperlukan oleh tanaman. Arsitektur tajuk Eucalyptus yang relatif ringan tersebut cocok untuk tanaman campuran (tumpangsari) Evaluasi 1. Apa yang dimaksud dengan intersepsi? 2. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor mempengaruhi proses intersepsi! 3. Jelaskan perbedaan mengenai besarnya intersepsi yang berlangsung di daerah perkotaan dan daerah pedesaan! 4. Sebutkan dan jelaskan pendekatan pengukuran besarnya intersepsi pada skala tajuk vegetasi! 5. Tuliskan dan jelaskan perhitungan besarnya intersepsi! 117

119 POKOK BAHASAN VI. EVAPOTRANSPIRASI 6.1. Deskripsi Singkat Evaporasi merupakan proses fisis perubahan cairan menjadi uap, hal ini terjadi apabila air cair berhubungan dengan atmosfer yang tidak jenuh, baik secara internal pada daun (transpirasi) maupun secara eksternal pada permukaan-permukaan yang basah. Suatu tajuk hutan yang lebat menaungi permukaan di bawahnya dari pengaruh radiasi matahari dan angin yang secara drastis akan mengurangi evaporasi pada tingkat yang lebih rendah. Transpirasi pada dasarnya merupakan salah satu proses evaporasi yang dikendalikan oleh proses fotosintesis pada permukaan daun (tajuk). Perkiraan evapotranspirasi adalah sangat penting dalam kajiankajian hidrometeorologi Relevansi Dengan mempelajari proses terjadinya, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap evapotranspirasi, mahasiswa dapat melakukan analisis neraca air suatu kawasan hutan melalui pendekatan dari model-model penghitungan evapotranspirasi yang ada. Dengan menguasai metode ini diharapkan mahasiswa mampu melakukan pengelolaan hutan dengan mendasarkan pada hasil neraca airnya Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat melakukan pengukuran dan analisis evapotranspirasi melalui pendekatan modelmodel neraca air. Harapannya mahasiswa mampu melakukan monitoring dan evaluasi suatu kawasan hutan melalui pendekatan neraca air kawasannya. 118

120 Pengertian dan Faktor Evapotranspirasi Peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah dan permukaan air ke udara disebut evaporasi (penguapan). Peristiwa penguapan dari tanaman disebut transpirasi. Kedua-duanya bersama-sama disebut evapotranspirasi. Dengan demikian, evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh adanya pengaruh faktor-faktor iklim dan fisiologis vegetasi. Sesuai dengan namanya, ET juga merupakan gabungan antara proses-proses evaporasi, intersepsi, dan transpirasi. Untuk mengetahui faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap besarnya evapotranspirasi, maka dalam hal ini evapotranspirasi perlu dibedakan menjadi evapotranspirasi potensial (PET) dan evapotranspirasi aktual (AET). PET lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi, sementara AET lebih dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan unsur tanah. Uraian tentang pengaruh faktor lingkungan terhadap evapotranspirasi akan lebih ditekankan pada pengaruh faktor-faktor tersebut pada PET. Faktor-faktor utama yang berpengaruh adalah (Ward dalam Seyhan, 1977) : 1. Faktor-faktor meteorologi a. Radiasi Matahari b. Suhu udara dan permukaan c. Kelembaban d. Angin e. Tekanan Barometer 2. Faktor-faktor Geografi a. Kualitas air (warna, salinitas dan lain-lain) b. Jeluk tubuh air c. Ukuran dan bentuk permukaan air 3. Faktor-faktor lainnya a. Kandungan lengas tanah b. Karakteristik kapiler tanah 119

121 c. Jeluk muka air tanah d. Warna tanah e. Tipe, kerapatan dan tingginya vegetasi f. Ketersediaan air (hujan, irigasi dan lain-lain) Model-model Analisis Evapotranspirasi Perkiraan evapotranspirasi adalah sangat penting dalam kajian-kajian hidrometeorologi. Pengukuran langsung evaporasi maupun evapotranspirasi dari air maupun permukaan lahan yang luas akan mengalami banyak kendala. Untuk itu maka dikembangkan beberapa metode pendekatan dengan menggunakan input data-data yang diperkirakan berpengaruh terhadap besarnya evapotranspirasi. Apabila jumlah air yang tersedia tidak menjadi faktor pembatas, maka evapotranspirasi yang terjadi akan mencapai kondisi yang maksimal dan kondisi itu dikatakan sebagai evapotranspirasi potensial tercapai atau dengan kata lain evapotranspirasi potensial akan berlangsung bila pasokan air tidak terbatas bagi stomata maupun permukaan tanah. Pada daerah-daerah yang kering besarnya evapotranspirasi sangat tergantung pada besarnya hujan yang terjadi dan evapotranspirasi yang terjadi pada saat itu disebut evapotranspirasi aktual. Dengan menggunakan informasi data-data meteorologi besarnya evapotranspirasi dapat didekati dengan beberapa rumus empiris, diantaranya yang dikembangkan oleh Meyer, Turc Langbein dan Thornwhite Analisis Evapotranspirasi Metode Meyer E = 0,35 (ea ed) (1 + V/100) mm/hari Ed = ea * RH ea lihat tabel berdasar t bola kering RH lihat tabel berdasar t bola basah & t V = kecepatan angin (mile/hari) 120

122 Evapotranspirasi merupakan faktor dasar untuk menentukan kebutuhan air dalam rencana irigasi dan merupakan proses yang penting dalam siklus hidrologi Analisis Evapotranspirasi Potensial Metode Thornwaite Metode Thornwaite memanfaatkan suhu udara sebagai indeks ketersediaan energi panas untuk berlangsungnya proses ET dengan asumsi suhu udara tersebut berkorelasi dengan efek radiasi matahari dan unsur lain yang mengandalkan proses ET. Data yang diperlukan dalam metode ini adalah suhu rata-rata bulanan yang didapat dari suhu rata-rata harian. Data tersebut dianalisis dengan rumus-rumus : Ep* = I = i j j=1 10 T a I T i = 5 a = 675 * 10-9 I * 10-7 I * 10-5 I + 0,49239 Ep = Ep* x f Keterangan : Ep* = evapotranspirasi potensial baku (mm/bulan) Ep = evapotranspirasi potensial terkoreksi (mm/bulan) T = suhu rata-rata bulanan ( 0 C) I = indeks panas tahunan i = indeks panas bulanan a = tetapan f = faktor koreksi 121

123 Analisis Neraca Air Metode Thornwaite Mather Perhitungan neraca air menurut fungsi meteorologis sangat berguna untuk evaluasi ketersediaan air di suatu wilayah terutama untuk mengetahui kapan ada surplus dan defisit air. Neraca air ini umumnya dihitung dengan metoda Thornthwaite Mather. Data yang diperlukan berupa : 1. Curah hujan bulanan; 2. Suhu udara bulanan; 3. Penggunaan lahan; 4. Jenis tanah atau tekstur tanah; 5. Letak garis lintang Langkah-langkah perhitungan : 1. Hitung suhu udara bulanan rata-rata Data suhu udara pada umumnya sulit diperoleh, oleh karena itu suhu udara dapat diperkirakan dengan data suhu yang ada di suatu tempat t = 0,006 x h t 1 = t 2 t h = beda tinggi tempat lokasi 1 dengan lokasi 2 (dalam meter) t = beda suhu udara ( C); t 2 = suhu udara di lokasi Hitung Evapotranspirasi dengan metode Thornthwaite Mather (Ep) 3. Hitung selisih hujan (P) dengan evapotranspirasi 4. Hitung accumulated potential water losses (APWL) 5. Hitung Water Holding Capacity (Sto) berdasar Tabel (Lampiran 4) 6. Hitung soil moisture storage (St.) APWL Sto St = Sto e e = bilangan napier Sto dihitung atas dasar data tekstur tanah, kedalaman akar 7. Hitung delta St tiap bulannya 122

124 st = Sti bulan ke i dikurangi St bulan ke (i 1) 8. Hitung evapotranspirasi aktual (Ea) untuk bulan basah ( P > Ep), maka Ea = Ep untuk bulan kering ( P < Ep), maka Ea = P + - St 9. Hitung surplus air (S); Bila P > Ep, maka S = ( P EP) - St. 10. Hitung defisit (D), D = Ep - Ea Analisis Evapotranspirasi Metode Turc Langbein Potensi sumberdaya air adalah sejumlah air yang dapat berupa air permukaan dan air tanah yang dapat disajikan dalam bentuk angka rata-rata tahunan. Menurut Notohadiharjo (1982) jumlah air tersedia yang dapat dipergunakan untuk kehidupan sebesar 25% - 35% dari curah hujan yang jatuh setelah dikurangi dengan besarnya evapotranspirasi. Air yang tersedia tersebut disebut aliran mantap yaitu aliran yang tersedia setiap waktu pada angka rata-rata tahunan. Estimasi jumlah air di suatu wilayah dapat didekati dengan menggunakan neraca air secara hidrometeorologis dengan wilayah perhitungan menggunakan satuan pulau atau satuan daerah aliran sungai. Rumus umum yang digunakan yaitu konsep neraca air secara meteorologis pada suatu DAS (Seyhan, 1977) : P = R + Ea ± St Dalam hal ini : P = curah hujan R = limpasan permukaan Ea = evapotranspirasi aktual St = perubahan simpanan Apabila neraca air tersebut diterapkan untuk periode rata-rata tahunan, maka St dapat dianggap nol, sehingga surplus air yang tersedia adalah : R = P Ea 123

125 Dan jumlah air yang tersedia diperkirakan sebesar 25% hingga 35% dari surplus air. Menurut Keijne (1973), evapotranspirasi aktual tahunan dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus Turc-Langbein : P E = (0,9 + P 2 / Eo 2 ) Eo = T + 0,9 T 2 Dalam hal ini : E = evapotranspirasi aktual (mm/tahun) Eo = evaporasi air permukaan (mm/tahun) P = curah hujan rata-rata (mm/tahun) T = suhu udara rata-rata ( o C) Nilai suhu udara dapat diketahui berdasarkan data suhu udara rata-rata tahunan dari stasiun yang diketahui dengan persamaan : T1 = T2 (Z1 Z2) 0,006 Dalam hal ini : T1 = suhu udara yang dihitung pada stasiun 1 T2 = suhu udara yang diketahui dari stasiun 2 Z1 = elevasi stasiun 1 Z2 = elevasi stasiun Evaluasi 1. Apa yang dimaksud dengan evaporasi dan transpirasi? 2. Apa yang dimaksud dengan evapotranspirasi? 3. Apa yang dimaksud dengan perkiraan evapotranspirasi? 4. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya evapotranspirasi! 5. Sebutkan dan jelaskan beberapa analisis evapotranspirasi! 124

126 POKOK BAHASAN VII. KONSEP NERACA AIR 7.1. Deskripsi Singkat Neraca air merupakan alat untuk mendekati nilai-nilai hidrologis proses yang terjadi di lapangan. Secara garis besar neraca air merupakan penjelasan tentang hubungan antara aliran ke dalam (In flow) dan aliran ke luar (out flow) di suatu daerah untuk suatu periode tertentu dari proses sirkulasi air. Neraca air juga dapat didefinisikan sebagai selisih antara jumlah air yang diterima oleh tanaman dan kehilangan air dari tanaman beserta tanah melalui proses evapotranspirasi Relevansi Bab ini memberikan penjelasan kepada mahasiswa tentang berbagai proses hidrologi yang terjadi pada suatu kawasan dan memberikan gambaran tentang neraca air yang ada. Pemahaman mahasiswa terhadap konsep neraca air bisa dijadikan bekal untuk mengelola suatu kawasan hutan yang mampu memberikan peran bagi kawasan disekitarnya Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah pada bab ini mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami konsep neraca air terutama dalam kawasan hutan. Harapannya dengan mengetahui konsep neraca air, mahasiswa dapat menganalisa dan mendesain pembangunan hutan yang memiliki tujuan-tujuan tertentu misalnya untuk penyediaan sumberdaya air kawasan. 125

127 Daur Hidrologi Daur atau siklus hidrologi (hydrology cycle) adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan peredaran air dalam tiga fase (gas, air dan padat) di bumi. Oleh karena cadangan air terbesar terdapat di laut, maka sebaiknya siklus hidrologi di awali dari laut, ke atmosfer, ke darat, dan ke laut. Gambar 7.1. menunjukkan siklus hidrologi dan ilmu-ilmu pendukungnya. Gambar 7.1. Siklus Hidrologi dan Ilmu-ilmu Pendukungnya (Weisner, 1970) Gambar 7.1 dapat diketahui bahwa penggerak daur hidrologi adalah matahari dan air akan bergerak tanpa awalan dan tanpa akhiran. Keberadaan hutan hanya akan berpengaruh terhadap beberapa komponen dalam seluruh daur hidrologi tersebut. Meskipun demikian karena masing-masing komponen dalam daur hidrologi tersebut akan saling berkaitan maka keberadaan hutan akan memberikan pengaruh yang nyata dalam daur ini. Pengaruh hutan dalam daur air ini akan mulai nampak semenjak hujan jatuh, 126

128 yang sebagian akan terintersepsi baik di tajuk maupun di seresah, sebagian akan terbuang kembali ke angkasa melalui proses evapotranspirasi. Dalam lanjutan proses sebagai aliran permukaan daur air infiltrasi, perjalanan air tersebut juga dipengaruhi oleh adanya tahanan batang dan seresah hutan. Dengan demikian vegetasi hutan akan ikut merubah pola keseimbangan energi matahari sebagai penggerak utama proses daur hidrologi Neraca Air (Water balance) Interpelasi secara kuantitative dari siklus hidrologi dapat dicapai dengan menggunakan persamaan umum yang disebut persamaan neraca air. Prinsip dari persamaan neraca air adalah sebagai berikut : Selama kurun waktu tertentu. total masukan (input) seimbang atau sama dengan total keluaran (output) Neraca Air di Danau atau Waduk Gambar 7.2. Neraca Air Waduk atau Danau Persamaan neraca air pada waduk atau danau : Qi + Qg + P + S = Qo + So + Eo Keterangan : 127

129 Qi = Aliran masuk (inflow), aliran ini berasal dari sungai yang bermuara di danau atau waduk. Qg = Aliran masuk dari air tanah di sekitar waduk atau danau P = Presipitasi yang jatuh dipertemukan waduk atau danau S = Perubahan timbunan air Qo = Aliran keluar melalui permukaan, berupa aliran sungai yang keluar dari waduk atau danau So = Aliran keluar melalui bawah permukaan tanah. berupa seepage Eo = Evaporasi dari permukaan air waduk atau danau Neraca Air pada Tanah Gambar 7.3. Neraca Air pada Kolom Tanah Persamaan neraca air pada kolom tanah : Qsi + Qi + P + C + S = Qso + Qo + Fr + E Keterangan : Qsi = Aliran masuk, berupa overland flow 128

130 Qi = Aliran masuk dari aliran bawah permukaan tanah P = Masukan air presipitasi yang mengalami infiltrasi S = Perubahan timbunan air pada kolom tanah Qo = Aliran keluar di bawah permukaan tanah Qso = Aliran keluar di atas permukaan tanah Fr = Infiltrasi pada lapisan tanah yang lebih dalam C = Air kapiler Neraca Air pada Aquifer Gambar 7.4. Neraca Air Tanah Pada Unconfined Aquifer Batas ruang akuifer tergantung dari tujuan penelitian : ABGH: For Flood engineers ACFH: For agricultural engineers CDEF: for ground water engineers ADEH: for water rescurces 129

131 Untuk penelitian air tanah, persamaan neraca air sebagai berikut : Qi + Fr = Qo + Sg + C Keterangan : Qi= Aliran air tanah yang masuk ke akuifer yang diteliti Fr= Aliran air masuk dari lapisan tanah atas, berupa air perkolasi Qo= Aliran air tanah yang keluar dari akuifer yang diteliti C= Aliran keluar dari akuifer, berupa air kapiler Sg= Perubahan timbunan air tanah dalam akuifer yang diteliti Neraca Air dalam Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (River Basin, drainage basin, watershed). Persamaan neraca air dalam daerah aliran sungai dapat disederhanakan menjadi : P = Qo + Ea ± S Keterangan : P= Presipitasi yang jatuh kedalam DAS Qo= Aliran sungai yang keluar dari DAS di outletnya Ea= Evapotranspirasi S= Perubahan timbunan air dalam DAS Neraca air tersebut di atas menganggap tidak adanya masukan atau keluaran air dari DAS yang disebelahnya. Kalau ada masukan ataupun keluaran yang terjadi karena keadaan struktur geologi dan litologinya (batuan) maka persamaan neraca air ditulis dengan persamaan : P + Qsi = Qo + Qso + Ea + S Keterangan : Qsi = Aliran masuk bawah permukaan (Transbasin Ground Water inflow) 130

132 Qso = Aliran keluar bawah permukaan (Transbasin Ground Water outflow) Gambar 7.5. Neraca Air Pada Daerah Aliran Sungai 7.5. Artikel Analisis Neraca Air di Sub Das Cikuwung Mulyana (2000) di dalam Onrizal (2005) dalam penelitiannya sejak Juli 1997 sampai Juli 1998 di bagian hulu DAS Ciwulan dengan ketinggian m dpl yang merupakan kawasan RPH Tenjowaringin, BKPH Singaparna, KPH Tasikmalaya, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Pada lokasi penelitian, secara garis besar terdapat dua bentuk penutupan lahan, yaitu pertanian (sub DAS Cikuwung) dan hutan (sub DAS Cibangban). Besarnya evapotraspirasi potensial (Eto) di lokasi diduga dengan menggunakan metode Trontwhaite (1957), sehingga diketahui evepotranspirasi potensial di lokasi penelitian adalah mm/th. Sub - DAS Cikuwung (pertanian) diketahui bahwa pada bulan ke-13 sampai bulan ke 22 terjadi pengurangan cadangan air tanah sebesar mm. Selama 34 bulan pengamatan atau akibat tebangan menyebabkan terjadinya pengurasan cadangan air tanah rata-rata 53,2 mm/bulan atau setara dengan 638,4 mm/th di Sub-DAS tersebut berkurang akibat menurunnya pasokan air ke dalam tanah. Data neraca air rata-rata selama 34 bulan yang diteliti Mulyana (2000) tercantum pada Tabel

133 Tabel 1. Neraca air rata-rata bulanan di hulu DAS Ciwulan (dalam mm/bulan) Komponen Sub DAS Cikuwung (non hutan) Sub DAS Cibangban (hutan) Selisih Curah hujan 269,1 269,1 0 Kelembaban tanah awal 434,4 434,4 0 Kelembaban tanah total 722,6 703,5 19,1 Evapotranspirasi potensial 112,9 112,9 0 Evapotranspirasi actual 78,2 109,0 (30,8) Kelembaban tersisa 644,4 594,5 49,9 Kelembaban akhir 446,7 448,9 (2,2) Perubahan cadangan air tanah (53,2) (18,3) (34,9) Debit sungai 19,7 145,7 52 Pengurangan pasokan air ke dalam tanah diimbangi dengan terjadinya kenaikan aliran permukaan di Sub DAS non hutan sebesar 52 mm/bulan atau setara dengan 624 mm/th, kenaikan ini akibat naiknya koefisien aliran (runoff coeficient) pada saat terjadi hujan sehingga potensial menimbulkan penurunan kualitas air dan erosi, sehingga dengan demikian tebangan hutan mengakibatkan terjadinya kenaikan aliran permukaan sebesar 624 mm/th, akan tetapi di sisi lain akibat tebangan hutan menyebabkan terjadinya penurunan pasokan air tanah sebesar 638,4 mm/th atau setara dengan 53,2 mm/bulan, padahal evapotraspirasi aktual yang terjadi pada sub DAS non hutan (78,2 mm/bulan) lebih kecil dibandingkan dengan sub DAS hutan (109,mm/bulan). Fakta ini membuktikan bahwa walaupun evapotraspirasi DAS non -hutan kecil tetapi kumulatif air yang dapat disimpan oleh DAS berhutan jauh lebih banyak dibandingkan dengan DAS tidak berhutan, sehingga data ini membuktikan hutan sangat berperan dalam mengatur tata air. Berdasarkan hasil perhitungan neraca air diketahui bahwa kebutuhan air untuk evapotraspirasi hutan Pinus merkusii di hulu DAS Ciwulan adalah setara dengan 109 mm/bulan atau setara dengan mm/th atau 3,5 mm/hari. Sementara kebutuhan air untuk evapotraspirasi Sub DAS non-hutan (pertanian) adalah sebesar 660 mm/tahun atau 1,8 mm/hari, sehingga abibat penanaman P. merkusii terjadi kenaikan konsumsi air sebesar 650 mm/th yang digunakan untuk evapotraspirasi. Sehingga dengan demikian, tegakan hutan P. merkusii mengkonsumsi air lebih banyak, akan tetapi tingkat konsumsi ini diimbangi dengan kemampuan meresapkan air yang besar sehingga total simpanan air tanah 132

134 meningkat, dengan perbedaan DAS non-hutan dan DAS berhutan sebesar 34,9 mm/bulan. Analisis perubahan penutupan lahan terhadap laju infiltrasi menunjukkan bahwa semakin tua tegakan hutan, semakin besar kemampuan hutan untuk meresapkan air ke dalam tanah, bahkan total air yang mampu dimasukkan ke dalam tanah pada tegakan P. merkusii berumur 34 tahun lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tegakan umur 10 tahun. Hal ini membuktikan bahwa tegakan hutan sangat baik dalam meresapkan air ke dalam tanah. Kemampuan tanah menginfiltrasikan curah hujan pada tegakan tua disebabkan karena pada tegakan P. merkusii tua banyak dijumpai tumbuhan bawah, serasah, dan kandungan bahan organik yang menutupi lantai hutan, sehingga dapat memperbaiki struktur tanah yang memungkinkan air hujan masuk ke dalam tanah (Mulyana, 2000). Hal ini serupa dengan hasil yang dijumpai oleh Pudjiharta dan Fauzi (1981) dimana aliran permukaan pada tegakan P. merkusii, Altingia excelsa, Maesopsis eminii beserta tumbuhan bahwa dan serasahnya hanya sekitar 0 0,04 m3.ha-1.bln-1 dan erosi tidak terjadi. Ketika tumbuhan bahwa dan serasah dari tegakan yang sama dihilangkan, maka aliran permukaan meningkat mencapai 6,7 m3.ha-1 pada bulan Januari. Daftar Pustaka Mulyana, N Pengaruh hutan pinus (P. merkusii) terhadap karakteristik hidrologi di sub daerah aliran sungai Ciwulan Hulu KPH Tasikmalaya Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Kajian menggunakan Model POWERSIM-PINUS Ver. 3.1). Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pudjiharta, Ag. dan A. Fauzi Beberapa indikator fisik untuk menentukan kebijaksanaan pendahuluan dalam pengelolaan DAS. Proceedings Lokakarya Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta, Mei p Evaluasi 1. Apa yang dimaksud dengan neraca air? 2. Jelaskan prinsip dari persamaan neraca air! 3. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis neraca air! 4. Sebutkan ilmu-ilmu pendukung di dalam siklus hidrologi! 5. Tuliskan dan jelaskan persamaan neraca air pada waduk atau danau! 133

135 POKOK BAHASAN VIII. DEBIT 8.1. Deskripsi Singkat Debit adalah suatu ilmu yang mempelajari pengukuran volume aliran air dalam satuan waktu. Pengukuran debit pada umumnya dilakukan di sungai. Dalam bab ini disajikan berbagai macam metode pengukuran debit dan peralatan yang dipakai. Dari hasil analisis data debit kemudian dapat digunakan untuk berbagai rencana seperti rancangan bangunan pengendali banjir, mitigasi banjir, dan evaluasi DAS Relevansi Dengan mempelajari materi tentang debit, mahasiswa mampu melakukan pengukuran debit di lapangan sehingga dapat menghasilkan data yang valid. Dari data tersebut, mahasiswa dapat melakukan analisis-analisis melalui berbagai macam metode untuk mendapatkan suatu hasil analisis yang baik dan benar sehingga dapat dijadikan sebagai bahan untuk melakukan monitoring dan evaluasi suatu kawasan hutan atau suatu daerah aliran sungai (DAS) Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari bab ini mahasiswa mampu melakukan pengukuran di lapangan untuk memperoleh data debit dan melakukan analisis data untuk dapat ditampilkan sebagai suatu hasil analisis yang baik. Harapannya mahasiswa mampu mendesain suatu model untuk monitoring dan evaluasi suatu DAS. 134

136 Pengertian Data debit atau aliran sungai merupakan informasi yang paling penting bagi pengelola sumberdaya air. Debit puncak (banjir) diperlukan untuk merancang bangunan pengendali banjir. Sementara data debit aliran kecil diperlukan untuk perencanaan alokasi (pemanfaatan) air untuk berbagai macam keperluan, terutama pada musim kemarau panjang. Debit aliran rata-rata tahunan dapat memberikan gambaran potensi sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan dari suatu daerah aliran sungai. Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m 3 /dt). Berikut ini akan dikemukakan cara pengukuran debit, alat atau bangunan yang dihunakan untuk mengukur besarnya debit serta metode prakiraan besarnya debit berdasarkan persamaan-persamaan empiris. Cara pengukuran debit aliran akan dibedakan menjadi dua, yaitu pengukuran debit untuk sungai-sungai yang berukuran kecil hingga sedang dan untuk sungai-sungai besar yang banyak dijumpai di pulau-pulau luar Jawa Pengukuran Debit Teknik pengukuran debit aliran langsung di lapangan pada dasarnya dapat dilakukan melalui empat kategori (Gordon et. Al., 1992) : 1. Pengukuran volume air sungai. 2. Pengukuran debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan luas penampang melintang sungai. 3. Pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia (pewarna) yang dialirkan dalam aliran sungai (substance tracing method). 4. Pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukur debit seperti weir (aliran air lambat) atau flame (aliran air cepat). Pengukuran debit pada kategori pertama, biasanya dilakukan untuk keadaan aliran (sungai) lambat. Pengukuran debit dengan cara ini dianggap paling akurat, terutama untuk debit aliran lambat 135

137 seperti pada aliran mata air. Cara pengukurannya dilakukan dengan menentukan waktu yang diperlukan untuk mengisi container yang telah diketahui volumenya. Prosedur yang biasa dilakukan untuk pengukuran debit dengan cara pengukuran volume adalah dengan membuat dam kecil (alat semacam weir) di salah satu bagian dari badan aliran air yang akan diukur. Gunanya adalah agar aliran air dapat terkonsentrasi pada satu outlet. Di tempat tersebut pengukuran volume air dilakukan. Pembuatan dam kecil harus sedemikian rupa sehingga permukaan air di belakang dam tersebut cukup stabil. Besarnya debit aliran dihitung dengan cara : Q = /t Keterangan : Q = debit (m 3 /dt) = Volume air (m 3 ) t = Waktu pengukuran (detik) Pada kategori pengukuran debit yang kedua, yaitu pengukuran debit dengan bantuan alat ukur current meter atau sering dikenal sebagai pengukuran debit melalui pendekatan velocity-area method paling banyak dipraktekkan dan berlaku untuk kebanyakan aliran sungai. Sedang pengukuran debit dengan menggunakan bahan-bahan kimia, pewarna atau radioaktif sering digunakan untuk jenis sungai yang aliran airnya tidak beraturan (turbulent). Untuk maksud-maksud pengukuran hidrologi, bahan-bahan penelusur (tracers) seperti tersebut di atas seharusnya dalam bentuk : 1. Mudah larut dalam aliran sungai 2. Bersifat stabil 3. Mudah dikenali pada konsentrasi rendah 4. Tidak bersifat meracuni biota perairan dan tidak menimbulkan dampak (negative) yang permanent pada badan perairan. 5. Relatif tidak terlalu mahal harganya. 136

138 Kategori pengukuran debit keempat, yaitu pembuatan bangunan pengukur debit, biasanya untuk pengukuran debit jangka panjang di stasiun-stasiun pengamatan hidrologi Metode Pengukuran Debit Sungai Ada beberapa metode pengukuran debit aliran sungai yaitu : - Area-velocity method - Tracer method - Slope area method - Weir dan flume - Volumetric method Pengukuran Kecepatan Arus Sungai Perlu diingat bahwa distribusi kecepatan aliran di dalam alur tidak sama arah horisontal maupun arah vertikal. Dengan kata lain kecepatan aliran pada tepi alur tidak sama dengan tengah alur, dan kecepatan aliran dekat permukaan air tidak sama dengan kecepatan pada dasar alur. Distribusi kecepatan aliran dalam alur sungai disajikan dalam Gambar 8.1. Gambar 8.1. Distribusi kecepatan aliran dalam alur sungai. 137

139 Distribusi kecepatan aliran sungai berbeda-beda jika terdapat halangan baik di permukaan ataupun di dasar sungai seperti sampah, tumbuhan, dasar berbatu atau dasar halus yang dapat digambarkan seperti Gambar 8.2 Gambar 8.2. Distribusi Kecepatan Aliran A B C D E F : teoritis : dasar saluran kasar dan banyak tumbuhan : gangguan permukaan (sampah) : aliran cepat, aliran turbulen pada dasar : aliran lambat, dasar saluran halus : dasar saluran kasar/berbatu Area Velocity Method Pada prinsipnya adalah pengukuran luas penampang basah dan kecepatan aliran. Penampang basah (A) diperoleh dengan pengukuran lebar permukaan air dan pengukuran kedalaman dengan 138

140 tongkat pengukur atau kabel pengukur. Kecepatan aliran dapat diukur dengan metode : metode current-meter dan metode apung. Current meter adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran (kecepatan arus). Ada dua tipe current meter yaitu tipe baling-baling (proppeler type) dan tipe canting (cup type). Oleh karena distribusi kecepatan aliran di sungai tidak sama baik arah vertikal maupun horisontal, maka pengukuran kecepatan aliran dengan alat ini tidak cukup pada satu titik. Debit aliran sungai dapat diukur dengan beberapa metode. Tidak semua metode pengukuran debit cocok digunakan. Pemilihan metode tergantung pada kondisi (jenis sungai, tingkat turbulensi aliran) dan tingkat ketelitian yang akan dicapai Pengukuran Debit dengan Cara Apung (Float Area Methode) Pengukuran Debit dengan Cara Apung (Float Area Methode) adalah pengukuran debit aliran yang paling sederhana. Caranya dengan menempatkan benda yang tidak dapat tenggelam di permukaan aliran sungai untuk jarak tertentu dan mencatat waktu yang diperlukan oleh benda apung tersebut bergerak dari satu titik pengamatan ke titik pengamatan lain yang telah ditentukan. Benda apung yang dapat digunakan dalam pengukuran ini pada dasarnya adalah benda apa saja sepanjang dapat terapung dalam aliran sungai. Pemilihan tempat pengukuran sebaiknya pada bagian sungai yang relative lurus dengan tidak banyak arus tidak beraturan. Jarak antara dua titik pengamatan yang diperlukan ditentukan sekurangkurangnya yang memberikan waktu perjalanan selama 20 detik. Pengukuran dilakukan beberapa kali sehingga dapat diperoleh angka kecepatan aliran rata-rata yang memadai. Jenis-jenis pelampung dapat dilihat pada Gambar 8.3. Prinsip : - kecepatan aliran (V) ditetapkan berdasarkan kecepatan pelampung (U) 139

141 - luas penampang (A) ditetapkan berdasarkan pengukuran lebar saluran (L) dan kedalaman saluran (D) - debit sungai (Q) = A x V atau A = A x k dimana k adalah konstanta Q = A x k x U Q = debit (m 3 /det) U = kecepatan pelampung (m/det) A = luas penampang basah sungai (m 2 ) k = koefisien pelampung Nilai k tergantung jenis pelampung : k = 1 0,116 (( 1 - ) - 0,1) = kedalaman tangkai (h) per kedalaman air (d) yaitu kedalaman bagian pelampung yang tenggelam dibagi kedalaman air a. rod and chain float b. bambu c. surface float d. buoyant float Gambar 8.3. Jenis-jenis Pelampung 140

142 Menghitung waktu (t detik), kecepatan pelampung U = L/T (m/det) Gambar jalannya pelampung dapat digambarkan seperti pada Gambar Gambar 8.4. Titik jalannya Pelampung Pengukuran Debit dengan Current-meter Prinsip : - kecepatan diukur dengan current meter - luas penampang basah ditetapkan berdasarkan pengukuran kedalaman air dan lebar permukaan air. Kedalaman dapat diukur dengan mistar pengukur, kabel atau tali. Pengukuran : Ada 4 cara pengukuran kecepatan aliran yang disajikan dalam Tabel 1 berikut : Tabel 8.1. Cara Pengukuran Kecepatan Aliran Tipe Satu titik Dua titik Tiga titik Lima titik Kedalaman Air (d) m m 3 6 m lebih dari 6 m Titik Pengamatan Kecepatan rata-rata pada vertikal (V) 0,6 dari permukaan V = V 0,2 dan 0,8 d V = ½ (V2 + V8) 0,2 ; 0,6 ; 0,8 d V = ¼ (V2 + V6 + V8) S; 0,2 ; 0,6 ; 0,8 dan V = 1/10 (Vs + 3V2 + B 2V6 + 3V8 + Vb) 141

143 Keterangan : Vs di ukur 0,3 m dari permukaan air Vb di ukur 0,3 m di atas dasar sungai Kecepatan aliran dihitung berdasarkan jumlah putaran balingbaling per waktu putarannya (N = putaran/dt). Kecepatan aliran V = an + b dimana a dan b adalah nilai kalibrasi alat current meter. Hitung jumlah putaran dan waktu putaran baling-baling (dengan stopwatch) Pengukuran Debit dengan Metode Kontinyu Current meter diturunkan kedalam aliran air dengan kecepatan penurunan yang konstant dari permukaan dan setelah mencapai dasar sungai diangkat lagi ke atas dengan kecepatan yang sama. _ N V seksi ybs = a + b t N = jumlah putaran baling-baling Menghitung Luas Seksi Cara menghitung luas seksi ada 2 cara : - Mean Section d n + d n+1 a n = x b n 2 a n = luas seksi A d n = kedalaman sungai (1) d n+1 = kedalaman sungai (2) b n+1 = lebar seksi 142

144 _ V n + V n+1 V n = 2 Vn = kecepatan rata-rata pada seksi ke n V = kecepatan rata-rata pada penampang air. Gambar 8.5. Menghitung Luas Seksi dengan Mean Section - Mid Section b n + b n+1 a n = x d n 2 _ V n+1 = kecepatan rata-rata pada kedalaman d n+1 Cara menghitung debit (Q) dan debit seksi (q) _ qn = a n x V n+1 143

145 Q = n qi i=1 qn = debit seksi ke n qi = debit tiap seksi ke I an = luas seksi ke n Vn = kecepatan air rata-rata pada seksi yang bersangkutan (ke n). Q = debit sungai Gambar 8.6. Menghitung Luas Seksi dengan Mid Section Bangunan Pengukur Debit aliran Persoalan ketersediaan tenaga pelaksana yang sering muncul ketika melakukan pengukuran debit sungai, misalnya lokasi yang sulit dijangkau, terbatasnya tenaga yang tersedia, mendorong para ahli hidrologi mengembangkan alat/bangunan pengontrol aliran sungai untuk tujuan pengukuran debit. Bangunan tersebut antara lain weir dan flume. Cara kerja kedua bangunan pengukur debit air tersebut di atas adalah menggunakan kurva aliran air untuk mengubah kedalaman aliran air menjadi debit aliran. 144

146 Perbedaan pemakaian kedua alat ukur tersebut adalah bahwa flume digunakan untuk mengukur debit pada sungai dengan aliran air besar, sering disertai banyak sampah atau bentuk kotoran lainnya. Sedang untuk aliran air yang kecil atau dengan ketinggian aliran (h) tidak melebihi 50 cm, biasanya dipakai weir. Aliran air yang melewati lempengan weir akan menunjukkan besar kecilnya debit di tempat tersebut. Kegunaan utama alat tersebut adalah untuk mengurangi kesalahan dalam menentukan hubungan debit (Q) dan tinggi muka air (h) Artikel Manfaat Pengembangan Dam Parit Untuk Pengendalian Banjir dan Kekeringan Oleh : Sawiyo Tahun Buletin 2005 Pengelolaan air untuk penanggulangan banjir atau kekeringan di suatu DAS harus mempertimbangkan aspek sumberdaya lahan, hidrologi dan iklim. Dengan mempertimbangkan ketiga aspek tersebut, dam parit (channel reservoir) dapat dibangun untuk menanggulangi kekurangan air di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Pengelolaan air secara terpadu dilakukan dengan menyimpan air yang berlebihan pada musim penghujan untuk dapat didistribusikan ke lahan pertanian pada musim kemarau. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik biofisik sub DAS Cibogo dan pengaruhnya terhadap produksi dan pemanfaatan air, mempelajari manfaat dam parit untuk mengurangi resiko banjir di musim hujan dan manfaatnya bagi peningkatan produktifitas lahan di musim kemarau. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik biofisik sub DAS yang berpengaruh terhadap produksi air dan pemanfaatannya, informasi tentang manfaat dam parit dalam mengurangi volume debit puncak dan perlambatan waktu respon di musim penghujan, dan manfaat dam parit dalam penyediaan air bagi pertanian dan domestik, untuk meningkatkan luas areal tanam, peningkatan produktivitas lahan dan ketersediaan air baku bagi keperluan rumah tangga di musim kemarau. Kata Kunci : Dam parit, kekeringan, banjir, debit, pertanian, sub DAS Cibogo 145

147 PENDAHULUAN Latar Belakang Banjir dan kekeringan dalam suatu wialayah (DAS) terjadi akibat fenomena iklim yaitu distribuasi curah hujan cenderung terjadi dalam waktu yang singkat dengan intensitas tinggi, atau periode kemarau yang terjadi lebih panjang dari normalnya. Secara umum penyebab banjir dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu: masukan (hujan) dan sistem DAS. Masukan (hujan) meliputi faktor intensitas, lama dan distribusi hujan, sedangkan sistem DAS meliputi faktor topografi, jenis tanah, penggunaan lahan dan sistem transfer hujan dalam DAS. Tingginya frekuensi hujan dengan jumlah yang besar dalam waktu relatif singkat di musim penghujan, disertai perubahan penggunaan lahan menuju makin luasnya pemukaan kedap (impermeable) menyebabkan hanya sebagian kecil curah hujan yang dapat diserap dan ditampung oleh tanah melalui intersepsi maupun infiltrasi sebagai cadangan air dimusim kemarau (Irianto, et all., 2003). Dampaknya air hujan yang di transfer menjadi aliran permukaan meningkat, sehingga terjadi banjir dengan besaran (magnitude) yang makin meningkat. Kondisi ini akan diperburuk apabila periode tanah sudah dalam keadaan jenuh akibat hujan sebelumnya. Banjir terjadi saat debit aliran sungai menjadi sangat tinggi, sehingga melampaui kapasitas daya tampung sungai. Akibatnya bagian air yang tidak tertampung melimpas melampaui badan/bibir/tanggul sungai dan pada akhirnya akan menggenangi daerah sekitar aliran yang lebih rendah. Sungai Ciliwung yang berhulu di daerah Puncak, Bogor (komplek Gunung Gede dan Pangrango) dan bermuara di Jakarta mempunyai karakteristik yang cenderung menyebabkan rawan banjir. Daerah tangkapan air Sungai Ciliwung baik bagian Tengah (Bogor-Depok) maupun di Hulu (Puncak) telah terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan bertanaman (permeable) menuju ke lahan impermeable. Sementara itu di bagian Hilir (Jakarta) nampak perubahan penggunaan lahan permeable ke impermeable bukan saja terjadi pada areal yang jauh dari sungai, namun telah banyak terjadi pula di wilayah bibir sungai sehingga bukan saja areal resapan yang makin sempit, tetapi daya tampung sungai juga mengecil pula. Dengan demikian maka daerah aliran sungai Ciliwung menjadi sangat rawan terhadap banjir. Berdasarkan hasil penelitian curah hujan yang terjadi di kawasan DAS 146

148 Ciliwung Hulu dan Tengah memberikan kontribusi banjir di daerah hilir (Jakarta) sebesar masing-masing 51 dan 49 %. (Pawitan H., 2002). Wilayah Sub DAS Cibogo sebagai salah satu anak/cabang sungai Ciliwung mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat drastis akibat pembabatan hutan dan kebun teh menjadi daerah pertanian tanaman semusim seperti sayuran dan tanaman pangan lainnya. Praktek pertanian di daerah ini kurang mengindahkan kaidah konservasi lahan, seperti pembuatan bedengan tempat pertanaman yang memotong kontur, menyebabkan mudah terjadi erosi terutama pada saat pengolahan tanah, panen atau saat kanopi tanaman masih kurang. Banjir selain menyebabkan kerugian secara sosial dan ekonomi juga erosi lapisan tanah permukaan yang subur, sehingga menurunkan kualitas lahan dan kemampuan resapan air (Suripin, 2002). Berdasarkan hasil penelitian perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung hulu tahun , menjadi salah satu penyebab meningkatkan debit puncak dari 280 m 3 /det menjadi 383 m 3 /det, dan meningkatkan persentase hujan menjadi aliran permukaan (direct run-off) dari 53% menjadi 63%. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap perubahan kondisi hidrologi DAS Ciliwung (Fakhrudin, 2003). Disisi lain kekeringan merupakan kondisi kekurangan air pada suatu daerah untuk suatu periode waktu tertentu yang mengakibatkan terjadi defisit kelembaban tanah. Faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kekeringan adalah anomali iklim, strategi pengelolaan air yang tidak efisien dan pemilihan komoditas yang tidak sesuai dengan ketersediaan air. Bila dilihat secara sepintas daerah sekitar Bogor sebagai kota hujan hampir tidak mungkin terjadi kekeringan, namun kenyataannya akibat anomali iklim dan perubahan penggunaan lahan daerah ini masih terjadi kekeringan meterologis yang berdampak pula terjadinya kekeringan, agronomis dan sosio-ekonomis selama beberapa bulan di musim kemarau. Salah satu usaha kongkret untuk mengurangi resiko banjir dan kekeringan selain dengan usaha penghijauan adalah dengan memanen hujan dan aliran permukaan antara lain dengan penerapan teknologi dam parit, sumur resapan, rorak dan sebagainya. Diantara teknik panen hujan dan aliran permukaan 147

149 yang mempunyai fungsi lebih efektif adalah dengan dam parit. Dam parit dibangun pada badan sungai orde 2 atau 3 dapat menampung aliran permukaan dengan kapasitas tertentu untuk memperbesar daya tampung sungai, menghambat kecepatan aliran (waktu respon) dan mengurangi volume. Secara lebih luas fungsi dam parit adalah: 1) meningkatkan daya tampung sungai sehingga dapat mengurangi volume banjir, 2) mengurangi kecepatan aliran permukaan sehingga daya kikis dan daya angkutnya menurun (erosi), 3) meningkatkan cadangan air tanah dan suplai air di musim kemarau. Manfaat dam parit akan lebih besar apabila dam parit pembangunannya dilakukan secara bertingkat (cascade) pada setiap jalur sungai/anak sungai dan dilengkapi dengan saluran irigasi ke lahan pertanian maupun perumahan penduduk. Air yang ditampung akan meningkat karena (1) Kapasitas dam parit akan lebih banyak (2) jumlah petakan lahan pertanian lebih luas, an (3) serapan air melalui infiltrasi menjadi lebih besar.. Dengan demikian dam parit di musim hujan akan efektif mengurangi volume dan menghambat kecepatan banjir, sedangkan di musim kemarau cadangan air semakin banyak sehingga meningkatkan luas daerah layanan irigasi, produktifitas lahan dan pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat. Dam parit dibangun pada anak-anak sungai yang posisinya bisa terdapat di daerah yang berbukit dan bergunung, sehingga sangat efektif untuk menyediakan air di daerah tersebut. Pengembangan dam parit di suatu wilayah DAS perlu memperhatikan luas daerah tangkapan air, bentuk DAS, target irigasi, bentuk dan posisi penampang sungai sehingga dapat ditentukan jumlah, posisi dan dimensi masing-masing dam parit. Sub Das Cibogo mempunyai daerah tangkapan air (DTA) seluas 124,5 ha dengan target irigasi 26,4 ha, bentuk DAS memanjang, pada tahun 2004/2005 telah dibuat 2 unit dam parit secara bertingkat dengan volume masing-masing dan 300,m 3, terletak pada ketinggian 900 dan 925 m dpl. Penelitian manfaat dam parit untuk mengatasi banjir dan kekeringan ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh pembangunan 2 unit dam parit tersebut: 1 mengurangi volume debit puncak, 2) mengetahui penambahan waktu respon 3) mengetahui pengaruh pemambahan ketersediaan air di musim kemarau. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan jumlah dan dimensi dam parit yang perlu dibangun untuk mengurangi resiko banjir di wilayah DKI yang diakibatkan oleh kiriman air dari wilayah sub DAS Ciliwung Hulu sampai tingkat yang aman. Tujuan 1. Mempelajari karakteristik biofisik sub DAS Cibogo dan pengaruhnya 148

150 terhadap produksi dan pemanfaatan air. 2. Mempelajari manfaat dam parit untuk mengurangi resiko banjir di musim hujan 3. Mempelajari manfaat dam parit bagi peningkatan produktivitas lahan di musim kemarau. Keluaran 1. Informasi tentang karakteristik biofisik sub DAS Cibogo yang berpengaruh terhadap produksi air dan pemanfaatannya. 2. Informasi tentang manfaat dam parit dalam mengurangi debit puncak dan peningkatan waktu respon. 3. Informasi tentang manfaat dam parit bagi pertanian dan domestik, dalam meningkatkan luas areal tanam, peningkatan produktivitas lahan dan ketersediaan air baku bagi keperluan rumah tangga masyarakat sekitar METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan di Sub DAS Cibogo yang mempunyai luas daerah tangkapan air seluas 124,5 ha dan areal target irigasi seluas 26,4 ha. Aliran mikro sungai Cibogo secara hirarkhi orde sungai termasuk orde 3 akan mengalir melalui anak sungai sub DAS Sukabirus (orde 4) yang kemudian bermuara di sungai Ciliwung di Gadog (orde 5). Sub DAS Cibogo secara administrasi termasuk ke dalam wilayah desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Waktu penelitian ini berlangsung dari Januari sampai dengan Desember Karakterisasi biofisik sub DAS Cibogo Karakterisasi biofisik lahan dilakukan untuk mengetahui batas subdas, keadaan topografi, tanah, penggunaan lahan, keadaan jaringan hidrologi, debit aliran dan keadaan iklim. Untuk mengetahui batas sub DAS Cibogo dilakukan pemetaan secara manual dengan mendapatkan data geografis menggunakan alat Global Posisioning System (GPS) pada titik batas sub DAS. Jaringan hidrologi dan penggunaan lahan juga dilakukan dengan alat sama (GPS) untuk mengadapatkan data geografis pada titik titik-tertentu pada jalur aliran atau batas penggunaan lahan sehingga dapat 149

151 digambarkan secara spasial bentuk jaringan hidrologi maupun penggunaan lahan. Dari setiap jenis penggunaan lahan di lakukan pengamatan pola tanam dan jenis tanamannya. Karakterisasi topografi juga dilakukan dengan menggunakan GPS untuk dan abney level pada setiap titik perubahan topografi. Dalam karakteristik topografi di lapang dilakukan pengamatan posisi, panjang dan tingkat kemiringan lereng, Pengamatan debit aliran permukaan dilakukan pengamatan debit sungai secara berkala pada titik-titik dimana akan dibangun dam parit. Pengamatan karakteristik tanah dilakukan dengan melakukan pengamatan tanah di lapang tentang morfologi tanah dan klasifikasi tanah. Pengambilan sample tanah utuh dilakukan untuk mendapatkan karakteristik fisika tanah seperti tekstur, BD dan permeabilitas yang sebagai dasar dalam perhitungan neraca air. Karakterisasi iklim pengamatan unsur iklim mengenai suhu, evapotranspirasi, curah hujan harian dan curah hujan 6 menitan. Dari stasiun terdekat. Manfaat pembangunan dam parit untuk menanggulangi banjir di musim hujan Untuk mengetahui manfaat dam parit dalam mengurangi volume dan waktu respon aliran permukaan perlu dilakukan pengukuran debit sesaat di saluran, sebelum dan sesudah dibangun dam parit. Hubungan antara curah hujan, debit aliran dan waktu respon disajikan pada Gambar Hubungan antara curah hujan, debit aliran dan waktu respon. Analisis perubahan fungsi hidrologis DAS dilakukan berdasarkan aplikasi model prediksi debit harian, GR4J (Perrin, 2002). Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut model GR3 yang dikembangkan oleh CEMAGREF, Perancis dengan struktur model seperti yang ditunjukkan oleh Gambar Struktur model GR4J. 150

152 Gambar 1. Hubungan antara curah hujan, debit aliran dan waktu respon Q1 adalah volume dan waktu terjadinya debit puncak sebelum dibangun dam parit. Q2 adalah volume dan waktu terjadinya debit puncak setelah dibangun d am parit. 151

153 Gambar 2. Struktur model GR4J Untuk mensimulasi debit harian, jam-jaman atau menitan model GR4J membutuhkan input data hujan dan evapotranspirasi potensial (ETP) harian/ menitan, serta 4 parameter model yang dibangkitkan saat validasi. Keempat parameter tersebut meliputi : 1. X 1 ; Kapasitas maksimum simpanan produksi (maximum capacity of the production store) 2. X 2 ; Koefisien tukar air (water exchange coefficient) 3. X3; Kapasitas maximum simpanan pengalihan (maximum capacity of the routing store) 4. X4; Waktu dasar hidrograf satuan (time base of unit hydrograf). 152

154 Untuk menganalisis adanya perubahan karakteristik debit akibat perubahan kondisi biofisiknya, terlebih dahulu model GR4J divalidasi dengan menggunakan input data tahun inisial, yang dianggap merepresentasikan kondisi biofisik DAS saat belum mengalami perubahan. Mengetahui manfaat pembangunan dam parit bagi mengurangi resiko kekeringan dan peningkatan produktifitas lahan Potensi kebutuhan air dihitung melalui analisis neraca air yang menggambarkan potensi permintaan (demand) air bagi tanaman ditambah kebutuhan lain, seperti untuk peternakan dan rumah tangga. Untuk keperluan tersebut perlu diinventarisir lahan pertanian, pola tanam, jumlah penduduk dan ternak yang memanfaatkan aliran permukaan sebagai sumber air. Data tersebut didapatkan melalui kegiatan hasil PRA (Participatory Rural Appraisal) dan data dukung desa. Potensi pasokan air dihitung dari volume aliran permukaan atau melalui potensi aliran dasar dari hasil pengukuran debit. Analisis kebutuhan air untuk tanaman menggunakan metode analisis neraca air tanaman dengan menggunakan alat bantu (soft ware) WARM ver 1.0 (Runtunuwu et.all 2004). Dasar perhitungan yang digunakan dalam alat bantu ini adalah perhitungan indek kecukupan air tanaman.untuk menghitung kebutuhan air di sektor lain dilakukan dengan melakukan estimasi jumlah pemakaian air untuk usaha tani dan kebutuhan rumah tangga. (Frevert et. al., 1963, dalam Arsyad, 2000). Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan terdiri dari : 1. Peta rupa bumi (peta Topografi dan penggunaan lahan) skala 1 : Data iklim harian Stasiun Citeko periode Data debit 6 menitan stasiun Tugu tahun (dua) buah dam parit dengan volume tampung masing masing 300 m3 dan 800 m3 Peralatan yang digunakan : 1. Software analisis neraca air (WARM) ver Global Positioning System (GPS) 153

155 3. Alat pengukur debit (current meter) HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biofisik Sub DAS Cibogo. Letak Sub DAS Cibogo Sub DAS Cibogo secara hidrologis termasuk orde 3 dan bergabung dengan sungai Sukabirus (orde 4) yang kemudian bermuara pada sungai Ciliwung (orde 5). Posisi Sub DAS Cibogo dalam kawasan DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar Lokasi sub DAS Cibogo Gambar 3. Lokasi sub DAS Cibogo Secara Administratif dam parit tersebut terdapat di desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Secara Geografis Daerah tangkapan air dan target irigasi dam parit pada Sub DAS Cibogo terletak pada 6 o 41 21,5 s/d 6 o 43 35,6 LS dan 106 o s/d 106 o BT, pada ketinggian antara 900 s/d m dpl. Sub DAS ini mempunyai panjang m dihitung dari dam parit 1 ke hulu, mempunyai daerah tangkapan air seluas 124,15 ha dan daerah target 154

156 irigasi seluas 25,72 ha. Daerah target irigasinya meliputi wilayah RT 1 dan 2 RW 8 dan RT 3 RW 9, Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Karakteristrik geometrik (ukuran, bentuk dan kemiringan DAS) Sub DAS Cibogo secara geometri mempunyai ukuran yang kecil, bentuk memanjang dan kemiringan yang terjal sampai sangat terjal. Sebagaimana dikatakan di atas maka ukuran DAS Cibogo yang menjadi daerah penelitian berkisar 150 ha yang terdiri dari DTA 125 ha dan TI seluas 25 ha. Kemiringan lereng dan topografi sub DAS Cibogo merupakan daerah perbukitan/pegunungan pada fisiografi lungur volkan dari komplek Pegunungan Gede-Pangrango, dengan lereng sangat terjal, terjal dan melandai. Sequen topografi Sub DAS Cibogo dapat di bagi menjadi 3 bagian yaitu: (1) Punggung/lereng atas, berbentuk cembung, arah lereng dua arah yaitu mengikuti arah sungai dari hulu ke hilir dan memotong arah sungai dengan tingkat kemiringan melandai dengan lereng antara 8-15 %. (2) Lereng tengah berbentuk lurus memotong arah sungai kiri kanan tingkat kemiringan, melandai sampai sangat terjal dengan kemiringan antara %. (3) Lereng bawah banyak diantaranya bersatu dengan lereng tengah dengan bentuk lurus dan sebagian lagi dapat dipisahkan berbentuk cekung dengan tingkat kemiringan melandai. Geologi dan Pedologi Batuan induk daerah penelitian berupa bahan volkan berupa tufa dan batuan volkan andesitis. Bahan volkan ini tidak mempunyai potensi untuk membentuk liat dengan tipe 2: 1 yang berpotensi mudah longsor. Dengan demikian bangunan fisik yang terdapat di atasnya akan stabil. Keadaan tanah di daerah Sub DAS Cibogo berkembang dari bahan induk tufa volkan, drainase baik, solum dangkal dan sedang, tekstur lempung sampai lempung berpasir, reaksi tanah masam, ph 4,6-5,0, yang diklasifikasikan sebagai Andosol Coklat atau Typic Hapludans (Soil Survey Staff, 1998). Penggunaan Lahan Penggunaan lahan sub DAS Cibogo dapat dibedakan sebagai berikut: kebun teh, kebun sayuran, kebun rumput dan hutan pinus. Kebun teh terdapat di punggung/lereng atas yang saat ini sebagian besar telah dimanfaatkan 155

157 sebagai kebun oleh masyarakat dan keberadaannya tinggal seluas kurang lebih 19,45 ha atau 12,89 %. Kebun sayur terdapat pada lereng atas, tengah dan bawah. Jenis tanaman berupa sayuran (kubis, kubis bunga, wortel, sawi, tomat, cabe, caisin dan lainnya). Lahan ini merupakan lahan berteras, sebagai penguat teras masyarakat menggunakan tanaman pisang. Kebun sayuran yang terdapat di daerah tangkapan air Sub DAS Cibogo seluas kurang lebih 49,46 ha atau 32,78 %. Sedangkan yang terdapat di daearh target irigasi seluas kurang lebih 23,50 ha atau 15,58 %. Rumput terdapat dibagian hulu sungai menempati lereng tengah dan bawah, jenis rumput yang ditanam adalah jenis rumput raja (king grass) seluas kurang lebih 13,53 ha atau 8,97 ha. Semak terdapat pada lereng bawah dan tengah daerah tangkapan air Sub DAS Cibogo seluas kurang lebih 12,80 ha atau 8,46 %. Hutan berupa hutan pinus dan hutan campuran hanya terdapat pada lereng bawah dan tengah di daerah tangkapan air Sub DAS Cibogo seluas 29,91 ha atau 19,83 ha. Jenis penggunaan lahan di daerah penelitian disajikan pada Gambar Penggunaan lahan sub DAS Cibogo Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor kondisi September

158 Gambar 4. Penggunaan lahan sub DAS Cibogo Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor kondisi September 2005 Keadaan Iklim Data iklim harian berupa curah hujan, Evapotranspirasi, kelembaban udara, suhu ra, kecepatan angin dan lama penyinaran didapat dari satasiun meterologi Citeko dari tahun 1996 sampai dengan 2004 Kondisi unsur iklim bulanan dan tahunan daerah penelitian disajikan pada Tabel Data Iklim bulanan Stasiun Meterologi Citeko Periode defisit air (curah hujan lebih rendah dari evapotranspirasi) di wilayah ini terjadi antara bulan Juni s/d September, sedangkan surplus air (curah hujan lebih 157

159 besar dari evapotranspirasi) terjadi selama 8 bulan yaitu bulan Oktober s/d Mei. Berdasarkan potensi air hujan di wilayah ini, usaha pertanian dapat dilakukan tiga kali dengan tambahan air irigasi suplementer pada musim kemarau ke dua (MK 2). Usaha tani utama di wilayah ini adalah tanaman sayuran dengan wortel sebagai tanaman utama. Tabel 1. Data Iklim bulanan Stasiun Meterologi Citeko Bulan Curah hujan (mm) ETP (mm) Suhu udara ( o C) Kcptn angina (km/ Kelembaban udara (%) Mak min rataan jam) siang pagi rerata Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah/ rataan

160 Gambar 5. Hubungan jumlah curah hujan dan evapotranspirasi Karakteristik Hidrologi. Dalam sistem sungai (Schumm dalam Rodriguez-Iturbe dan Rinaldo, 1997) Sub DAS Cibogo termasuk dalam zona produksi air dan dibagi menjadi kedalam 2 bagian yaitu Daerah Tangkapan Air (DTA) dan areal Target Irigasi (TI). Bagian DTA Sub DAS Cibogo terdapat di bagian atas dan berfungsi sebagai daerah yang menagkap air hujan yang dialirkan ke sungai dan ditampung oleh dam parit, dan daerah target irigasi menerima air dari saluran irigasi yang sumber airnya berasal dari dam parit. DTA Cibogo meliputi areal seluas 125 ha berupa hutan, kebun teh dan kebun campuran/ladang dan TI seluas kurang lebih 25 ha berupa kebun sayuran, sawah dan perumahan penduduk. Manfaat dam parit untuk mengurangi volume debit puncak dan menambah waktu respon saat musim hujan. Prediksi debit dihitung dengan menggunakan pemodelan debit dari data yang dimodifikasi dari stasiun AWLR Tugu. Hal ini dilakukan karena belum adanya data pengukuran debit aliran sungai/sub DAS Cibogo secara serial waktu. Data tersebut diperoleh dengan asumsi karakteristik fisik DAS yang sama, maka debit sub DAS Cibogo dihitung berdasarkan rasio luas daerah tangkapan dari sub DAS Tugu dan luas daerah tangkapan sub DAS Cibogo. Data koefisien aliran permukaan DTA sub DAS Cibogo adalah 39%. Berdasarkan data curah hujan rata-rata bulanan stasiun Citeko jumlah curah hujan terbesar terjadi pada bulan Pebruari sebesar 580,3 mm dan jumlah curah hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus. Berdasarkan hasil pengamatan curah hujan 6 menitan jumlah curah 159

161 hujan terbesar terjadi pada tanggal 15 Pebruari jam s/d jam sebanyak 20 mm terjadi debit aliran 6 menitan berkisar antara 63,53 m3 sd 124,312 m3 /6 menit. Modifikasi debit aliran Sub DAS 6 menitan sebelum dan sesudah pembangunan dam parit dilakukan untuk mengetahui pengurangan volume debit puncak dan perubahan waktu antara curah hujan maksimal dan debit aliran maksimal (waktu respon) pada periode tersebut. Modifikasi debit dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan membuka pintu dengan debit 20 l/dt dan tanpamembuka pintu. Pintu dam parit di pasang untuk mengatur jumlah air yang masuk dalam saluran irigasi yaitu dengan debit maksimal sebesar 20 lt/dt atau 7,2 m 3 /6 menit. Debit ini diatur sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas maksimal saluran irigasi. Skenario volume debit sungai dihitung sebelum masuk ke dam parit I (300 m 3 ), kemudian melimpas dan ditampung dalam dam parit II dengan kapasitas 1200 m 3 disajikan pada Gambar Modifikasi debit sub DAS Cibogo, pada musim hujan terbasah tanggal 15 Pebruari (Jam sd/18.30) dengan pintu distribusi air terbuka. Berdasarkan Gambar 6 Modifikasi debit sub DAS Cibogo, pada musim hujan terbasah tanggal 15 Pebruari (Jam sd/18.30) dengan pintu distribusi air terbukadiketahui bahwa curah hujan yang terjadi selama 66 menit sebanyak 20 mm. Curah hujan ini menjadi debit puncak dalam setahun disebabkan oleh karena tanah sudah dalam keadaan jenuh akibat periode hujan sebelumnya. Bila dilihat volume debit sebelum terjadinya hujan jam adalah sebesar 58,23 s/d m 3 /6 menit atau 161,75 s/d 170, l/detik dan kemudian meningkat menjadi debit puncak sebesar 124,31 m 3 /6 menit atau 345,30 l/detik setelah terjadi hujan dengan besaran berkisar antara 0,2 s/d 7,4 mm/6 menit. Debit puncak terjadi selama 6 menit pada jam 15:42 dam kemudian menurun secara berangsur dalam debit normalnya 161,75 l s/d 170, l/detik. Pembangunan dam parit secara bertingkat masing-masing dengan volume 300 m 3 dan 1200 m 3 memberikan pengaruh terhadap perubahan debit sebagai berikut: 160

162 Gambar 6. Modifikasi debit sub DAS Cibogo, pada musim hujan terbasah tanggal 15 Pebruari (Jam sd/18.30) dengan pintu distribusi air terbuka 1. Laju aliran debit puncak (124,31 m 3 /6 menit) atau 345 l/detik tidak dapat ditahan oleh dam parit I (300 m 3 ) dikarenakan volume debit sebelum terjadinya hujan sudah memenuhi kapasitas dam parit. Dengan demikian dam parit I tidak berpengaruh terhadap penambahan waktu terjadiinya debit puncak, namun dapat mengurangi volume debit puncak dari 124,31 m 3 menjadi 115,38 m 3 atau berkurang 7,18 %. 2. Dam Parit I berpengaruh terhadap volume tampungan Dam Parit II ( 1200 m 3 ) sehingga dengan dibuka 7,2 m 3 / 6 menit (20 l/detik) limpasan dari Dam Parit I dan aliran permukaan dari DTA Dam Parit II akan mengisi volume Dam Parit II. Berdasarkan Gambar Modifikasi debit sub DAS Cibogo, pada musim hujan terbasah tanggal 15 Pebruari (Jam sd/18.30) dengan pintu distribusi air terbuka 3. Dapat dilihat bahwa terjadi perlambatan waktu respon selama 66 menit (1 jam 6 menit) yaitu dari kejadian puncak jam menjadi Selain perlambatan waktu respon terjadi pula penurunan volume debit sebesar 61,5% yaitu dari 124,31 m 3 menjadi 47,85 m 3 /6 menit akibat meresapnya air melalui infiltrasi dan dialirkan ke lahan pertanian selama 1 jam 6 menit. 161

163 Manfaat dam parit untuk usaha pertanian dan domestik di musim kemarau. Kekeringan yang paling berperan di musim kemarau di Sub DAS Cibogo adalah kekeringan agronomis dan sosial ekonomis. Secara agronomis kekeringan merupakan kondisi kekurangan air pada suatu daerah untuk suatu periode waktu tertentu yang mengakibatkan terjadi defisit kelembaban tanah yang menyediakan air bagi tanaman. Sedangkan secara sosial ekonomis kekeringan merupakan kondisi kekurangan bahan baku air untuk keperluan sehari-hari masyarakat. Pada keadaan ini air bisa bernilai ekonomis tinggi karena jumlah terbatas atau letaknya jauh. Dengan demikian bahasan untuk kekeringan akan dilakukan tentang potensi ketersediaan air dan potensi kebutuhan air di daerah target irigasi. Potensi ketersediaan air di daerah target irigasi Potensi ketersediaan air bruto dapat dihitung dari curah hujan rata-rata tahunan dan luas daerah tangkapan air, sedangkan potensi ketersediaan air netto dapat di prediksi dari debit sungai pada outlet selama satu tahun. Potensi ketersediaan air bruto adalah 124,80 ha x mm = 4,275,200 m 3 /tahun. Air tersebut kemudian akan meresap kedalam tanah melalui proses infiltrasi dan intersepsi, menguap melalui evapotranspirasi dan menjadi aliran permukaan. Sedangkan produksi air selama bulan Agustus dan September adalah sebesar dan m 3. Ketersediaan air dalam hubungannya dengan volume tampung dan debit air dam parit untuk memenuhi kebutuhan air bagi pertanian, ternak dan kebutuhan domestik masyarakat diketahui bahwa terjadi kelangkaan air selama bulan Agustus s/d Oktober. Luas areal target irigasi terdiri dari areal pertanian seluas 24,4 ha dan keperluan rumah tangga penduduk (domestik) seluas 2,22 ha ( jiwa) Potensi kebutuhan air untuk pertanian di daerah target irigasi Air dari dam parit diperlukan untuk irigasi areal pertanian bagi tanaman sayuran dataran tinggi seperti wortel, kubis, kubis bunga, cabe, sawi, pakcoi dan buncis. Sedangkan untuk keperluan rumah tangga penduduk sebanyak kurang lebih 120 KK atau 550 jiwa dan ternak kambing sebanyak 100 ekor. Pola tanam di derah target irigasi dapat dibedakan dalam 7 pola yaitu: 1) Wortel Wortel Wortel; 2) 162

164 Wortel Wortel Cabe Rawit; 3) Wortel Buncis Tomat; 4) Kubis Wortel Kubis; 5) Wortel Wortel Kubis; 6) Kubis Tomat Buncis dan 7) Tumpang sari Pisang Dari pola tanam tersebut memerlukan air total sebanyak m 3 /tahun, untuk rumah tangga memerlukan m 3 dan untuk ternak memerlukan 182m 3 /tahun. Distribusi ketersediaan air dan kebutuhan air untuk tanaman, ternak dan rumah tangga disajikan pada Gambar Distribusi penggunaan air di Sub DAS Cibogo selama 1 tahun. Gambar 7. Distribusi penggunaan air di Sub DAS Cibogo selama 1 tahun Berdasarkan hasil perhitungan luas tanam, jenis tanaman dan kebutuhan air bagi masing-masing tanaman dan kebutuhan rumah tangga penduduk dilakukan perhitungan surplus dan defisit air selama setahun dengan menghitung distribusi aliran permukaan dan kebutuhan air bulanan untuk areal target disajikan pada Gambar Distribusi aliran permukaan dan kebutuhan air bulanan 163

165 Gambar 8. Distribusi aliran permukaan dan kebutuhan air bulanan Berdasarkan Gambar Distribusi aliran permukaan dan kebutuhan air bulanan diketahui bahwa kebutuhan air untuk pertanaman dan domestik dapat dipenuhi selama 10 bulan sedangkan 2 bulan (Agustus September) terjadi defisit suplai. Pada bulan Agustus dan September suplai air dari dari dam parit tersebut masing - masing sebesar dan m 3. Dengan perhitungan kehilangan air di saluran sebesar 20% maka diketahui bahwa jumlah air yang sampai daerah target irigasi adalah sebesar masing masing dan m 3. Untuk mendapatkan gambaran lebih detil mengenai hubungan antara besaran aliran permukaan yang ditampung dalam dam parit dan kebutuhan air di daerah target disajikan data resolusi harian seperti terlihat pada Gambar Distribusi aliran permukaan yang ditampung dalam dam parit dan kebutuhan air harian jika pintu baseflow ditutup Berdasarkan gambar Distribusi aliran permukaan yang ditampung dalam dam parit dan kebutuhan air harian jika pintu baseflow ditutupdiketahui bahwa terdapat kondisi defisit dimana ketersediaan air di dalam dam parit tidak dapat mencukupi kebutuhan air. Periode defisit terjadi pada pertengahan bulan Maret dan Mei selama masing masing 7 hari dan periode defisit terbesar terjadi pada bulan Agustus-September. Untuk mengantisipasi periode defisit dapat dilakukan dengan menutup pintu pada akhir musim hujan agar dam parit I dan II penuh dengan air. Selanjutnya pada dam II diatur pembukaan pintu air sesuai dengan kebutuhan dengan memperhatikan agar dam parit selalu penuh. 164

166 Gambar 9. Distribusi aliran permukaan yang ditampung dalam dam parit dan kebutuhan air harian jika pintu baseflow ditutup Berdasarkan pehitungan kebutuhan air dan debit sebelum ada dam parit maka dapat diketahui bahwa pada bulan Agustus dan September air di sub DAS Cibogo hanya dapat mencukupi kebutuhan air untuk daerah target irigasi seluas ha, di awal Agustus, sedangkan pada akhir Agustus - awal September seluas Ha. Dengan keadaan ini maka pola tanam dan jenis tanaman yang diusahakan sangat terbatas. Dengan menutup pintu dam parit pada akhir musim penghujan cadangan air di dalam dam parit dapat mencukupi kebutuhan air untuk daerah target irigasi seluas 12.3 ha, di awal Agustus, sedangkan pada akhir Agustus - awal September cadangan air dapat mencukupi kebutuhan air untuk pertanian seluas 24.6 Ha. Dengan tersedianya air tersebut maka kebutuhan air di daerah target dapat terpenuhi. Dengan perkataan lain maka terjadi peningkatan produktifitas lahan daerah irigasi di musim kemarau (Agustus s/d September) dari 4 menjadi 98 %. KESIMPULAN Sub DAS Cibogo merupakan anak sungai Ciliwung terdapat di desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Secara Geografis terletak pada 6 o 41 21,5 s/d 6 o 43 35,6 LS dan 106 o s/d 106 o BT, elevasi antara 165

167 900 s/d m dpl dengan panjang m terdiri dari DTA seluas 124,15 ha dan TI seluas 25,72 ha. sub DAS ini merupakan daerah perbukitan/pegunungan pada fisiografi lungur volkan dari komplek Pegunungan Gede-Pangrango, Geologi dan Pedologi. Tanahnya berkembang dari bahan volkan (tufa dan batuan volkan andesitis) tanahnya diklasifikasikan sebagai Andosol Coklat (PPT, 1984) atau Typic Hapludans (USDA, 1997). Penggunaan lahannya berupa kebun teh, kebun sayuran, kebun rumput dan hutan pinus. Pembangunan 2 buah dam parit bertingkat dengan daya tampung 300 dan1200 m 3 dapat memberikan pengurangan debit puncak sebesar 66 % dan penambahan waktu respon 1 jam 6 menit. Di musim kemarau terkering (Agustus -September) air yang ditampung dalam dam parit dapat meningkatkan ketersediaan air bagi kebutuhan tanaman, ternak dan domestik dari 4% sebelum ada dam parit menjadi 98 % dengan pengaturan pemberian air sesuai dengan kebutuhan. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S, 2000, Konservasi Tanah dan Air, Serial Pustaka, IPB Press Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Agroklimat dan Hidrologi (BP2SAH) dan Bagian Proyek Pembinaan Perencanaan Sumber Air Ciliwung - Cisadane, Laporan Akhir Pengembangan Teknologi Dam Parit untuk Penanggulangan Banjir dan Kekeringan. Balai Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Fakhrudin, M, 2003, Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung, Bahan Seminar Program Pascasarjana IPB, Bogor Irianto, G,, N, Pujilestari dan N, Heryani, 2001, Pengembangan Teknologi Panen Hujan dan Aliran Permukaan,Laporan Akhir, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Irianto, G, 2003, Kumpulan Pemikiran : Banjir dan Kekeringan Penyebab dan antisipasi dan Solusinya, CV, Universal Pustaka Media, Bogor, 135 hal Karama, A,S, Irianto, G, Pawitan, H, 2002, Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Menanggulangi Banjir dan Kekeringan serta Mengembangkan Komoditas Unggulan, Kantor MENRISTEK dan LIPI, Jakarta Kartiwa, B, 2004, Modelisation Du Functionnement Hydrologique Des Bassins 166

168 Versants, These De Doctorat, Universite D Angers, France Pawitan, H, 2002, Flood hydrology and an integrated approach to remedy the Jakarta floods, International Conference on Urban Hydrology for the 21 st Century, Kuala Lumpur, Malaysia Perrin, C.,Andreassian, V., 2003 Improvement of a parsimonious model for streamflow simulation. Journal of Hydrology 279 (1-4) Rodriguez-Iturbed I.et Valdes. J. B., The geomorphologic structure of hydrologic response. Water Resour. Res. 15 (5: ) Runtunuwu.N., Pujilestari. N., Ramdani. F., Hari Adi. S., dan Hamdani A.,2004,Panduan Perangkat Lunak Water and Agroclimate Reseouces Management (WARM) Laboratorium Numeric dan Sistem Informasi Spasial Agroklimat dan Hidrologi. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor Soil Survey Staff. 1998, Key to Soil Taxonomy 8 th edition. USDA- NRCS Washington DC. Suripin, 2002, Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air, ANDI, Yogyakarta Suripin, 2002, Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air, ANDI, Yogyakarta Terakhir Diperbaharui ( Senin, 12 Februari 2007 ) Copyright : Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Jl. Tentara Pelajar No. 1A PO. BOX. 830, Bogor Telp: Fax: [email protected] Evaluasi 1. Apa yang dimaksud dengan debit aliran? 2. Apa yang dimaksud dengan Area Velocity Method? 3. Sebutkan dan jelaskan cara-cara pengukuran debit aliran! 4. Tuliskan dan jelaskan rumus pengukuran besarnya debit aliran! 5. Jelaskan kegunaan mengetahui debit puncak (banjir)! 167

169 POKOK BAHASAN IX. ESTIMASI DEBIT BANJIR 9.1 Deskripsi Singkat Estimasi debit banjir adalah suatu ilmu yang mempelajari estimasi pengukuran volume aliran air dalam satuan waktu untuk jangka waktu yang akan datang. Estimasi ini menggunakan dapat menggunakan beberapa metode dan rumus-rumus empiris serta datadata sebelumnya. Dalam bab ini disajikan berbagai macam metode dan rumus yang dipakai untuk memperkirakan debit banjir. Dari hasil perhitungan data kemudian dapat digunakan untuk berbagai rencana seperti rancangan bangunan pengendali banjir, mitigasi banjir, dan evaluasi DAS. 9.2 Relevansi Dengan mempelajari materi tentang estimasi debit banjir, mahasiswa mampu melakukan pendugaan debit banjir di lapangan sehingga dapat mendorong ide dalam rangka kapan menghidari terjadinya banjir. Dari data tersebut, mahasiswa dapat melakukan analisis-analisis melalui berbagai macam metode untuk mendapatkan suatu hasil analisis yang baik dan benar sehingga dapat dijadikan sebagai bahan untuk melakukan monitoring dan evaluasi suatu kawasan hutan atau suatu daerah aliran sungai (DAS). 9.3 Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari bab ini mahasiswa mampu melakukan pengukuran di lapangan untuk memperoleh data debit dan melakukan analisis data untuk dapat ditampilkan sebagai suatu hasil analisis yang baik. Harapannya mahasiswa mampu mendesain suatu model untuk monitoring dan evaluasi suatu DAS. 168

170 Estimasi Debit Banjir Banyak cara yang dapat dipakai untuk membuat estimasi debit banjir, dan ini tergantung pada data yang tersedia. Bilamana tidak tersedia debit banjir, debit banjir dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus-rumus empiris. Metode perkiraan debit banjir dapat dikelompokkan atas dasar kelompok data hidrologi sbb.: Tabel 9.1. Metode Perkiraan Debit Banjir Kelompok Metode 1. Tidak ada data 1.1. Analisis regional Data hujan 1.2. Slope-area method 2. Data hujan 2.1. Rasional 2.2. Modifikasi Rasional 2.3. Curve Number 2.4. Hidrograf-satuan-sintetik 3. Data hujan dan periode aliran pendek 4. Debit puncak periode panjang 3.1. Hidrograf satuan 3.2. Run off routing 3.3. Storege-function method 4.1. Weibul (Plotting position) 4.2. Log-Pearson Type III 4.3. Gumbel s type I Data Hujan dan Data Debit Tidak Ada Estimasi debit banjir dapat menggunakan cara "regional flood estimation". Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa debit banjir merupakan fungsi dari luas DAS. Dengan menggunakan bekas 169

171 banjir yang ada pada tebing alur sungai dapat ditentukan luas penampang basah dan gradient garis energi. Gambar 9.1. Penampang Sungai dan Profil Rumus MANNING : V = 1/n R (2/3) S (1/2) b - a S = L 170

172 R = A P Q = V.A V = kecepatan aliran (m/detik) R = jari-jari hidraulis (m) A = luas penampang basah (m 2 ) P = keliling basah (m) n = koefisien kekasaran Manning S' = kemiringan permukaan aliran / energi slope / gradient garis energi (desimal) Q = debit (m 3 /detik) L = panjang segmen sungai yang diukur Faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien kekasaran Manning : 1.Kekasaran permukaan, yang ditandai oleh ukuran dan bentuk butiran bahan yang membentuk luas penampang basah. 2. Tumbuh-tumbuhan, yaitu tumbuhan yang memperkecil dan menghambat aliran yang efeknya tergantung pada tinggi, kerapatan, distribusi dan jenisnya. 3. Ketidak teraturan saluran, mencakup ketidak teraturan keliling basah dan variasi penampang; ukuran & bentuk di sepanjang saluran. 4. Trase Saluran, kelengkungan yang landai dengan garis tengah yang besar akan mengakibatkan nilai n yang relatif rendah dan kelengkungan yang tajam dengan belokan-belokan yang patah akan memperbesar nilai n. 171

173 5. Pengendapan dan penggerusan, pengendapan dapat merubah saluran yang tidak beraturan menjadi beraturan memperkecil n. 6. Hambatan, adanya balok sekat, pilar jembatan dan sejenisnya cenderung memperbesar n. 7. Ukuran dan bentuk saluran, perbesaran jari-jari hidraulis dapat memperbesar maupun memperkecil n, tergantung pada keadaan saluran. 8. Tinggi air dan debit, nilai n pada saluran umumnya berkurang bila tinggi muka air dan debit bertambah. Bila debit besar sehingga air melimpah ke bantaran banjir maka n yang terjadi bermacam-macam. Tabel 9.2. Nilai n berbagai h di sungai Nishnabotna, IQWA untuk musim semi. Keda- Pada Pe- Penutup bantaran banjir laman nampang Jagung Padang Padang Tan.ber- Semak saluran gembala rumput butir kecil belukar < > Perubahan musim, perubahan musim dapat menyebabkan perubahan faktor lainnya misal pertumbuhan tanaman air, rumput dan semak di saluran atau di tebing. 10.Endapan melayang dan endapan dasar, bahan-bahan yang melayang dan endapan dasar, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak akan menyerap energi dan menyebabkan kehilangan tinggi energi atau menyebabkan kekasaran saluran. Dari beberapa faktor utama yang mempengaruhi koefisien kekasaran Manning, COWAN telah mengembangkan suatu cara untuk memperkirakan besarnya n. 172

174 n = ( n 0 + n 1 + n 2 + n 3 + n 4 ) n 5 Cara ini mendasarkan pada rumus Manning. Cara ini sebetulnya untuk sungai yang mempunyai aliran yang uniform. Perhitungan koefisien kekasaran Manning menurut Cowan disajikan dalam tabel di bawah ini. Tabel 9.3. Perhitungan Koefisien Kekasaran Manning Menurut Cowan KEADAAN SALURAN Nilai koefisien Tanah 0,020 Material dasar Batu 0,025 Gravel halus no 0,024 Gravel kasar 0,028 Tingkat ketidak Halus 0,000 seragaman saluran Agak halus 0,005 Sedang n 1 0,010 Kasar 0,020 Variasi penampang Lambat laun 0,000 melintang saluran Berubah (kadang kadang) n 2 0,005 Sering berubah 0,010-0,015 Pengaruh adanya Diabaikan 0,00 0,000 bangunan,penyem- Agak berpengaruh n 3 0,010-0,015 pitan, dll. pada Cukup berpengaruh 0,020-0,030 penampang melin- Terlalu berpengaruh 0,040-0,060 tang Tanaman Rendah 0,005-0,010 Menengah/sedang n 4 0,010-0,025 Tinggi 0,025-0,050 Sangat tinggi 0,050-0,100 Tingkat dari pada Rendah 1,000 meander Menengah n 5 1,150 Tinggi 1,300 Harga n = (n 0 + n 1 + n 2 + n 3 + n 4 ) n 5 173

175 Bila Hanya Tersedia Data Hujan Bila hanya tersedia data hujan, maka estimasi debit banjir dapat dikerjakan dengan persamaan Rasional. Pertama kali diajukan oleh Kuichling di USA tahun Asumsinya : - hujan yang turun dengan kurun waktu sama dengan tc. - hujan jatuh merata di seluruh DAS dengan intensitas yang seragam selama durasi hujan. - periode ulang debit puncak yang dihasilkan sama dengan periode ulang intensitas hujan. - hujan yang jatuh semua menjadi run-off. Q = f. C I A Q = peak discharge (m 3 /detik) f = faktor korelasi satuan f = 0,278 apabila A = km 2 dan I = mm/jam C = run off koefisien yang besarnya ditentukan oleh watak/karakteristik DAS I = intensitas hujan maksimum dalam selang waktu konsentrasi A = luas DAS (km 2 ). T c = time concentration adalah waktu yang diperlukan untuk bergeraknya air dari titik aliran terjauh dari suatu DAS sampai dengan titik pelepasan. Rumus Kirpich : Tc = 0,0195 L S 0.77 menit 174

176 H S = L dimana : L = panjang sungai (m) S = kemiringan sungai (desimal) H = beda tinggi dari tempat terjauh sampai dengan outlet yang dimaksud (m). Tebal aliran langsung Koefisien run-off (C) = Tebal hujan Koefisien run-off ada 3 macam : - C untuk storm rainfall - C bulanan - C tahunan dipakai dalam rumus Rasional yang C Storm rainfall. Besarnya koef. aliran (C) dipengaruhi oleh : - tanah : tekstur, tebal solum, struktur, lengas tanah sebelum jatuh hujan. - vegetasi : jenis, kerapatan, keadaan. - karakteristik hujan : intensitas dan lama hujan - kelerengan DAS - penggunaan lahan. Intensitas curah hujan dapat dihitung dengan rumus MONONOBE : I = R24 24 m 24 Tc I = intensitas hujan (mm/jam) T c = waktu konsentrasi hujan (jam) R 24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm) m = tetapan = 0,6 175

177 Rumus rasional sangat berguna untuk merancang saluran pembuang air hujan dari teras. Debit puncak dihitung atas dasar rancangan curah hujan dengan periode ulang tertentu tergantung nilai penting bangunan atau resiko banjir. Adapun tahapan perhitungannya disajikan dalam Gambar 9.2. Peta Topografi Data hujan Harian maksimum Gumbel s type I Peta Penggunaan Lahan Peta Tanah Morfometri Hujan Rancangan Slope Sungai (S) Panjang Sungai (L) Luas DAS (A) Mononobe Waktu Konsentrasi (Tc) Intensitas Hujan (I) Debit Puncak Banjir (Qp) Qp = 0,00278 C I A Koefisien Aliran ( C ) Gambar 9.2. Diagram Alir Menghitung Qp dengan Rumus Rasional. 176

178 9.5. Artikel Pengembangan Teknologi Dam Parit untuk Penanggulangan Banjir dan Kekeringan Tahun Penelitian 2005 Banjir dan kekeringan disebabkan oleh faktor distribusi curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun. Walaupun jumlah curah hujan relatif tetap namun mengalami penurunan periode distribusinya. Periode musim kemarau meningkat durasinya, sementara musim hujan terjadi dalam periode singkat, sehingga curah hujan hanya sebagian kecil saja yang dapat ditampung oleh tanah melalui infiltrasi dan intersepsi sebagai cadangan air dan sebagian besar ditransfer menjadi aliran permukaan. Keadaan ini akan menimbulkan dampak kekeringan di musim kemarau, sedangkan di musim hujan terjadi erosi dan banjir dengan besaran yang terus meningkat. Pengembangan teknologi dam parit dirancang untuk memanen hujan dan aliran permukaan dari daerah tangkapan air kemudian sebagian dialirkan ke areal pertanian (target irigasi). Dam parit yang dibangun pada alur sungai dapat menambah kapasitas tampung sungai, memperlambat laju aliran, meresapkan air ke dalam tanah (recharging). Teknologi ini dianggap efektif karena secara teknis dapat menampung volume air dalam jumlah relatif besar dan mengairi areal yang relatif luas karena dapat dibangun berseri (cascade series). Penelitian sebelumnya tentang pengembangan dam parit di kawasan Sub DAS Ciliwung (Jawa Barat), Sub DAS Kali Garang (Jawa Tengah), dan Sub DAS Opak-Oyo (DIY) secara nyata mampu mengurangi debit puncak dan waktu respon di musim hujan, meningkatkan luas areal serapan dan peningkatan cadangan air tanah serta aliran dasar sungai untuk peningkatan pengembangan pertanian. Untuk keperluan tersebut penelitian Pengembangan Teknologi Dam Parit untuk Penanggulangan Banjir dan Kekeringan perlu dilakukan pada berbagai lokasi dengan kondisi yang berbeda agar dapat diketahui keunggulan manfaat teknologi dam parit dalam peningkatan produktivitas lahan dan pengendalian banjir pada berbagai karakteristik DAS. Pada tahun 2005 penelitian dilaksanakan di kawasan Sub DAS Cipamingkis, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, dan Sub DAS Ciangsana, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Informasi karakteristik DAS (topografi, tanah, penggunaan lahan, curah hujan, penguapan, jaringan hidrologi dsb.) 177

179 digunakan sebagai dasar dalam menentukan potensi air permukaan yang dapat dipanen. Informasi tentang penggunaan lahan dan pola tanam untuk menentukan jumlah kebutuhan air melalui analisis kebutuhan air tanaman (neraca air) dan pembuatan jaringan irigasinya. Metodologi penelitian disusun seperti berikut: (1) Karakterisasi wilayah untuk menentukan lereng dan bentuk wilayah daerah peneitian. Dengan mengetahui keadaan topografinya dapat diketahui batas DAS (daerah tangkapan air dan target irigasi) serta jaringan hidrologi, (2) Karakterisasi tanah dilakukan dengan pengamatan morfologi tanah dilapang dan analisis sifat fisika tanah di boratorium, (3) Penggunaan lahan (luas, jenis dan sebaran penggunaan lahan) dan pola tanam dilakukan melalui pengamatan lapang dan wawancara dengan petani, (4) Analisis kebutuhan air dilakukan dengan metode analisis neraca air tanaman di daerah target irigasi, (5) Penentuan Jumlah, Posisi, dan dimensi Dam Parit ditentukan dengan memperhitungkan potensi air yang dapat dipanen, bentuk dan posisi badan jalur sungai serta kebutuhan air untuk tanaman, (5) Pembangunan Dam Parit dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia (batu, pasir, tanah) dan sumberdaya manusia yang ada di daerah penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor memiliki bentuk wilayah melandai 8-15%, sebagian lainnya pada tebing sungai mempunyai lereng yang terjal (15-30%), sedangkan daerah penelitian di desa Sukamulya, kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut merupakan wilayah berbukit, lereng dominan 15 30% sebagian lainnya dengan lereng 30-45% terdapat di bagian lereng bukit sedangkan tebing bukit batu dengan lereng > 45% terdapat di lereng bukit Angsana. Tanah di daerah Sukamakmur mempunyai solum sedang, warna coklat kekuningan, tekstur lempung berliat sampai liat, sudah mengalami perkembangan struktur, reaksi tanah masam. Sebagian lainnya mempunyai solum sedang, warna coklat kekuningan, tekstur liat, lapisan bawah terdapat bidang kilir pada permukaan stuktur, reaksi tanah agak masam, termasuk dalam subgroup Typic Dystrudepts dan Vertic Dystrudepts (Soil Taxonomy, USDA, 1998). Sedangkan tanah di wilayah sub DAS Ciangsana, Garut, berkembang dari bahan induk batuan volkan bersusun andesitis, berdasarkan karakteristiknya dapat dibedakan ke dalam 3 subgroup tanah. Bukit batu lereng > 30% menempati wilayah sebelah kanan termasuk Rock Oute. Tanah dengan lereng agak terjal % penggunaan lahan kebun campuran, solum tanah sedang, tekstur lempung liat berpasir (Typic Dystrudepts). Tanah ini mempunyai infiltrasi sedang, permeabilitas sedang, tidak mudah longsor. Sedangkan lainnya tanah dengan lereng melandai, berteras, sawah, solum sedang drainase agak terhambat ( Aquic Dystrudepts). 178

180 Penggunaan lahan di daerah target irigasi Sub DAS Cipamingkis, Bogor berupa kebun campuran dengan kombinasi berbagai jenis tanaman keras dan tanaman semusim, sedangkan di daerah target irigasi Sub DAS Ciangsana, Garut berupa sawah; kebun campuran yang terdiri dari jenis tanaman pohon (mahoni, rambutan, kelapa, dan tanaman kayu lainnya) dan dibawahnya ditanami tanaman semusim seperti ubikayu, jagung, ubi rambat, dan jahe gajah; dan pemukiman. Di daerah penelitian Sub DAS Cipamingkis, Bogor diketahui luas daerah tangkapan air (DTA) adalah seluas 2,121 ha dengan jumlah curah hujan rata-rata tahunan sebesar mm, potensi air yang dapat dipanen dari curah hujan adalah sebesar 31, m 3. Sedangkan sub DAS Ciangsana, Pakenjeng, Garut mempunyai DTA seluas 15,4 ha, jumlah curah hujan tahunan mm, potensi air yang dapat dipanen sebesar m3/tahun. Berdasarkan kondisi lingkungan (topografi, bentuk jalur sungai dan debit air), telah dibangun dam parit dengan kapasitas 144 m di sub DAS Cipamingkis kecamatan Sukamakmur, dan 124 m di sub DAS Ciangsana, kecamatan Pakenjeng. Pengaruh pembangunan dam parit dalam mengurangi resiko banjir dapat dilihat dengan meningkatnya waktu respon DAS melalui analisis debit. Sedangkan untuk mengurangi resiko kekeringan, dam parit dapat menampung air di musim hujan dan dapat didistribusikan di musim kemarau. (a) (b) Gambar Konstruksi Dam Parit di sub DAS Cipamingkis kecamatan Sukamakmur, kabupaten Bogor (a), dan di sub DAS Ciangsana kecamatan Pakenjeng, kabupaten Garut (b). 179

181 (a) (b) Gambar 1. Hubungan antara curah hujan dan debit Sub DAS Cipamingkis, Bogor (a), dan Sub DAS Ciangasana, Garut (b) Berdasarkan Gambar konstruksi dam parit diketahui bahwa debit sungai dan intensitas curah hujan tertinggi yang berpotensi menyebabkan terjadinya banjir di sub DAS Cipamingkis terjadi pada bulan Januari s/d Pebruari, sedangkan di Sub DAS Ciangsana pada bulan Januari. Pembangunan dam parit di Sub DAS Cipamingkis, Bogor dan Sub DAS Ciangsana, Garut dapat mengurangi volume aliran permukaan berturut-turut sebesar 14,6 % dan 20,8 % dibandingkan sebelum pembangunan dam parit. Fungsi dam parit dalam mengurangi kekeringan dapat diketahui melalui analisis aliran permukaan yang dapat dipanen dengan kebutuhan air di daerah target irigasi. Berdasarkan Gambar Hubungan antara curah hujan dan debit Sub DAS Cipamingkis dapat diketahui bahwa kebutuhan air di Sub DAS Cipamingkis tidak dapat dipenuhi oleh debit aliran permukaan yang dapat dipanen, sehingga menyebabkan terjadinya cekaman air bagi tanaman yang terjadi selama kurang lebih 56 hari yaitu berlangsung dari tgl 24 Juli s/d 17 September. Selama p eriode tersebut, air yang ditampung dalam dam parit diperlukan untuk keperluan irigasi bagi tanaman maupun keperluan ternak. Berdasarkan analisis kebutuhan dan ketersediaan air di dalam dam parit 144 m 3 dan aliran dasar sebesar 0,5 l/ detik atau 43,2 m 3 /hari, diketahui bahwa kebutuhan air sebesar m 3, sedangkan persediaan hanya m 3 atau 19,3 % dari kebutuhan, sehingga terjadi kekurangan sebesar m 3. Sedangkan berdasarkan analisis kebutuhan dan ketersediaan air di Sub DAS Ciangsana, dengan kapasitas dam parit 124 m 3 dan 180

182 aliran dasar sebesar 5,1 l/detik atau 440,6 m 3 /hari, diketahui bahwa kebutuhan air sebesar m 3 sedangkan persediaan mencapai m 3 sehingga terjadi surplus sebesar m 3 atau 31,2 % dari kebutuhan. Perhitungan ini adalah untuk pola tanam padi palawija - bera sebagaimana keadaan sebelum ada dam parit. Dengan kelebihan tersebut maka kelebihan air akibat pembangunan dam parit dapat merubah pola tanam menjadi padi padi palawija atau padi palawija palawija, atau dengan perkataan lain pembangunan dam parit dapat meningkatkan IP dari 200 % menjadi 300% pada lahan seluas 5,0 ha. (a) (b) Gambar 2. Hubungan antara debit aliran permukaan dan kebutuhan air selama 1 tahun untuk daerah target Sub DAS Cipamingkis, Bogor (a) dan Sub DAS Ciangsana, Garut (b) (a) (b) Gambar Simulasi potensi hasil tanaman sub DAS Cipamingkis, Bogor, dan Sub DAS Ciangsana, Garut. 181

183 Berdasarkan simulasi neraca air Simulasi potensi hasil tanaman sub DAS Cipamingkis, Bogor, dan Sub DAS Ciangsana, diketahui bahwa di sub DAS Cipamingkis periode defisit terjadi bulan April sampai dengan Agustus. Dengan demikian pemberian irigasi suplementer harus dilakukan mulai Bulan Juli samp ai dengan Agustus sebanyak 4 mm/hari atau setara dengan 40 m 3 /hari/ha selama 45 hari berturut-turut. Untuk luas areal target 4,95 ha diperlukan air sebanyak 198 m 3 /hari. Debit harian aliran dasar pada anak sungai yang menjadi sumber air bagi dam parit hanya 43,2 m 3 /hari, sehingga hanya cukup untuk memenuhi irigasi tambahan seluas 1 ha. Di wilayah Sub DAS Ciangsana Garut kekurangan air untuk tanaman terjadi mulai bulan April sampai dengan bulan Juli. Dengan demikian pemberian irigasi suplementer harus diberikan mulai Bulan Juni sampai dengan September rata-rata 2 mm/hari. Periode tersebut dipilih karena bertepatan dengan fase pembungaan untuk tanaman yang ditanam pada bulan April dan juga pada saat tanam untuk tanaman yang ditanam di bulan Agustus/September. Kebutuhan air sebanyak 2 mm atau setara 20 m 3 /hari/ha dan untuk keperluan domestik penduduk sebanyak 64 m 3, sedangkan volume debit aliran dasar di Sub DAS ini adalah sebesar 440 m 3, maka sisa debit dapat dipergunakan untuk mengairi areal pertanian seluas 18,8 ha. Dalam prakteknya pemberian irigasi dilakukan tergantung curah hujan aktual yang terjadi di lokasi. Terakhir Diperbaharui ( Jumat, 09 Februari 2007 ) Copyright : Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Jl. Tentara Pelajar No. 1A PO. BOX. 830, Bogor Telp: Fax: [email protected] 9.6. Evaluasi 1. Apa yang dimaksud dengan estimasi debit banjir? 2. Tuliskan pengelompokkan metode perkiraan debit banjir atas dasar kelompok data hidrologi! 3. Jelaskan cara yang digunakan dalam estimasi debit banjir! 4. Tuliskan dan jelaskan rumus Manning! 5. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien kekasaran Manning! 182

184 POKOK BAHASAN X. LENGKUNG ALIRAN DEBIT 10.1 Deskripsi Singkat Lengkung aliran debit mempelajari hubungan antara tinggi muka air dan debit pada lokasi penampang sungai tertentu. Sehingga akan mempermudah dalam penentuan debit dalam tiap waktu secara berkelanjutan. Dalam bab ini disajikan berbagai macam metode pengukuran lengkung aliran debit dan formula yang dipakai. Dari hasil analisis data lengkung aliran debit kemudian dapat digunakan untuk berbagai rencana seperti mitigasi banjir, dan evaluasi DAS Relevansi Dengan mempelajari materi tentang lengkung aliran debit, mahasiswa mampu melakukan perhitungan debit melalui pendataan tinggi muka air dengan rumus-rumus. Dari data tersebut, mahasiswa dapat melakukan analisis-analisis melalui berbagai macam metode untuk mendapatkan suatu hasil analisis yang baik dan benar sehingga dapat dijadikan sebagai bahan untuk melakukan monitoring dan evaluasi suatu kawasan hutan atau suatu daerah aliran sungai (DAS) Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari bab ini mahasiswa mampu melakukan pengukuran tinggi muka air dan hubungannya dengan debit di lapangan. Pengumpulan data dan perhitungan dari rumus-rumus untuk memperoleh data debit dan melakukan analisis data untuk dapat ditampilkan sebagai suatu hasil analisis yang baik. Harapannya mahasiswa mampu mendesain suatu model untuk monitoring dan evaluasi suatu DAS. 183

185 Pengertian Lengkung aliran debit (Discharge Rating Curve), adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara tinggi muka air dan debit pada lokasi penampang sungai tertentu. Debit sungai adalah volume air yang melalui penampang basah sungai dalam satuan waktu tertentu, biasanya dinyatakan dalam satuan m 3 /detik atau l/detik. Lengkung aliran dibuat berdasarkan data pengukuran aliran yang dilaksanakan pada muka air dan waktu yang berbeda-beda. Kemudian data pengukuranan aliran tersebut digambarkan pada kertas arithmatik atau kertas logaritmik, tergantung pada kondisi lokasi yang bersangkutan. Tinggi muka air digambarkan pada sumbu vertikal sedang debit sumbu horizontal. Untuk menentukan bentuk dari lengkung aliran dengan data pengukuran aliran yang ada, membutuhkan pengetahuan dan pengalaman tentang sifat-sifat fisik dan hidraulis pada lokasi yang bersangkutan, karena lengkung aliran yang merupakan gambaran dari bentuk hubungan tinggi muka air dan debit seperti tersebut di atas adalah merupakan gambaran dari sifat fisik dan hidraulis pada lokasi yang bersangkutan. Dari uraian di atas maka lengkung aliran disamping berguna untuk dipakai sebagai dasar penentuan besarnya debit sungai di lokasi dan tinggi muka air pada periode waktu tertentu, juga dapat digunakan untuk mengetahui adanya perubahan sifat fisik dan sifat hidraulis dari lokasi penampang sungai yang bersangkutan. Sebagai contoh, perubahan sifat fisik fungsi : misalnya adanya perubahan bentuk penampang; sungai sebagai akibat dari adanya pengendapan dan penggerusan. Perubahan sifat hidraulis sungai, misalnya : perubahan dari titik aliran nol (Zero flow), perubahan kedalaman aliran, kecepatan aliran dan kemiringan aliran oleh adanya pengaruh aliran balik (back water) Membuat Lengkung Aliran Debit Lengkung aliran, merupakan gambaran dari sifat fisik dan sifat hidraulis dari suatu lokasi penampang sungai pada periode 184

186 waktu tertentu, maka dalam membuat lengkung aliran supaya mendapatkan hasil yang benar dan sesuai dengan kondisi lapangan diperlukan data antara lain sebagai berikut: 1. Data debit hasil pengukuran aliran, data ini harus cukup, minimal 30 data tersedia dari saat muka air rendah sampai muka air banjir, dan dapat dipercaya kebenarannya. 2. Data muka air pada saat pengukuran aliran diadakan, data muka air rendah untuk menentukan besarnya debit terkecil, data muka air tertinggi, baik aliran tersebut tertampung pada penampang sungai ataupun aliran melimpas, berguna untuk menentukan debit terbesar. 3. Data titik aliran nol (zero flow), berguna untuk menentukan arah lengkung aliran pada muka air rendah pada periode waktu tertentu. 4. Data penampang sungai, berguna untuk menentukan arah dan bentuk dari lengkung aliran, serta berguna untuk memperkirakan debit banjir bila belum dilakukan pengukuran aliran pada saat banjir. 5. Informasi tentang stabilitas dan materi dasar penampang sungai, serta sifat dari bentuk morfologis sungai. 6. Sifat aliran, seperti informasi tentang kemiringan muka air, kecepatan aliran, penyebaran arah aliran, sifat kenaikan dan penurunan muka air pada saat banjir dan sebagainya Metode Pembuatan Lengkung Aliran (Discharge Rating Curve) Lengkung aliran merupakan gambaran dari sifat fisik hidraulis dari lokasi penampang sungai, biasanya gambaran tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : Q = A' X V Q = Debit, (m 3 /det) 185

187 A' = Luas penampang basah (m 2 ) V = Kecepatan aliran rata-rata (m/dt) Apabila penampang sungainya teratur dan stabil, maka baik (A') maupun (V) merupakan fungsi dari nilai tinggi muka air (H). Semua titik dengan koordinat-koordinat (H,Q) pada grafik arithmatik akan merupakan garis lengkung. Suatu kenyataan bahwa dari suatu penampang sungai di Indonesia pada umumnya adalah tidak teratur dan tidak stabil, maka titik-titik dengan koordinat (H,Q) pada grafik arithmatik tidak terletak pada suatu garis lengkung, kadang-kadang dua atau tiga lebih garis lengkung, tergantung kondisi pada lokasi yang bersangkutan. Di bawah ini akan dicoba mengemukakan dua metode pembuatan lengkung aliran, yaitu metode : - Metode Analitik - Metode Logaritmik Metode Logaritmik Dalam metode logaritmik, persamaan rating curvenya dalam bentuk Q = a ( H - H 0 ) b dimana : Q = debit H = tinggi muka air H 0 = tinggi muka air pada aliran nol ( saat Q = 0 ) a dan b konstanta. Titik aliran nol (H 0 ) Data titik aliran nol ( H 0 ), berguna untuk menentukan arah lengkung aliran pada tinggi muka air rendah. Cara yang baik untuk menentukan nilai H 0 adalah dengan cara mengukur langsung pada lokasi penampang sungai yang 186

188 bersangkutan. Nilai H 0 dapat juga diperkirakan dengan menggunakan persamaan : H 1 H 3 - H 2 2 H 0 = H 1 + H 3-2H 2 Nilai H 1 dan H 3 ditentukan berdasarkan nilai Q 1 dan Q 3 yang dipilih dari grafik, sedang nilai H2 adalah tinggi muka air pada nilai debit sama dengan Q 2 dengan syarat : Q 2 2 = Q 1 X Q 3 Cara mencari H 0 dapat juga dilakukan dengan metode grafis seperti di bawah ini. Gambar Pencarian Ho Lengkung Aliran Debit Untuk mencari a dan b dapat dibantu oleh tabel dan dua buah persamaan di bawah ini. 187

189 (Y) - m log a - b (X) = 0 (XY) - (X) log a - b (X 2 ) = 0 (Y) = jumlah nilai log Q (X) = jumlah nilai log (H - Ho) (X 2 ) = jumlah nilai kuadrat dari X XY = jumlah nilai X dikalikan Y m = jumlah pengamatan Contoh perhitungan : Tabel Perhitungan Hubungan Antara Tinggi Muka Air Dengan Debit Air Sungai Urip H Debit H-Ho Log Q Log xy x 2 No M M 3 /det (H-Ho) Jmlh Dari cara grafis diperoleh Ho = m (Y) - m log a - b (X) = log a - b ( ) = 0 188

190 (XY) - (X) log a - b (X 2 ) = log a b = log a b = log a b = b = 0 b = a = Persamaan rating curve yang terjadi : Q = 26,661 ( H - 0,217 ) 1, XY = jumlah nilai X dikalikan Y m = jumlah pengamatan Metode Analitik Dengan metode ini penentuan lengkung aliran ditentukan dengan cara kwadrat terkecil (least square), pada cara ini diusahakan agar jumlah kwadrat penyimpangan harga debit hasil pengukuran aliran terhadap debit lengkung aliran, menjadi minimum (terkecil). Biasanya dapat dirumuskan sebagai berikut: Q = AH 2 + BH + C Dimana : nilai (A); (B) dan (C) adalah suatu bilangan, yang dapat dicari dengan persamaan sebagai berikut : ( Q ) = n C + B ( H) + A ( H 2 ) ( HQ ) = C ( H) + B ( H 2 ) + A ( H 3 ) ( H 2 Q ) = C ( H 2 ) + B ( H 3 ) + A ( H 4 ) = tanda jumlah n = banyaknya data yang digunakan. 189

191 Contoh : Tabel Perhitungan Lengkung Aliran Dengan Metode Analitik No H H 2 H 3 H 4 Q QH QH 2 Q (Perhitungan) Jml Rumus : Q = AH 2 + BH + C A, B dan C adalah konstanta Berdasarkan tabel di atas diperoleh persamaan : C B A = C B A = C B A = Setelah dilakukan analisis lebih lanjut diperoleh hasil : A = 30.4 B = C = 17.5 Hasil akhir persamaan rating curve : Q = 30.4 H H

192 Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini, antara lain adalah: 1. Kita akan cepat menentukan lengkung aliran dari data-data pengukuran aliran, apalagi jika perhitungannya memakai program komputer 2. Mudah melakukan perpanjangan (extention) lengkung aliran untuk muka air tinggi, walaupun pada kondisi tertentu kebenarannya dapat diragukan. 3. Meskipun kurve dari lengkung aliran ini ditentukan dengan cara kwadrat terkecil, tetapi penggunaan persamaan rating curve di atas kadang-kadang tidak tepat pada saat muka air rendah. Hasil perhitungan dapat menghasilkan penyimpangan yang besar pada muka air rendah. 4. Persamaan rating curve pada sungai alami atau SPAS yang tidak dibeton harus dikontrol kebenarannya. Alasan penampang sungai mungkin telah berubah oleh sedimentasi atau erosi dasar/tebing. Kalau kondisinya seperti itu, perlu dibuat rating curve baru berdasarkan hasil pengukuran H dan Q Artikel Debit Air Sungai Cikapundung Menurun Kamis, 14 Januari 2010, 16:15:00 BANDUNG. Kawasan perbukitan di Kec. Cimenyan dan Lembang memegang peranan penting bagi kelangsungan persediaan air tanah dan mata air Sungai Cikapundung. Kerusakan akibat perubahan fungsi hutan lindung menjadi lahan perkebunan dan pemukiman akan mempercepat penurunan debit air tanah maupun air permukaan. 191

193 Provinsi Jawa Barat dikawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung, Kamis (14/1). Dalam kondisi seperti sekarang ini dimana pengalihan fungsi terus terjadi di DAS Cikapundung, pihak terkait jangan membuat polemik siapa dan apa yang harus dilakukan, saat sekarang ini yang perlu dilakukan adalah tindakan. Di katakan Noor, sejumlah tanah aset milik Pemprov Jabar di kawasan DAS Cikapundung saat ini mulai beralihfungsi. Semisal di daerah Cibodas yang semula berupa kebun sayuran kini mulai banyak berdiri kandang sapi dan kebun rumput untuk pakan. Akibat terjadi pengalihan fungsi lahan perbukitan di kawasan DAS Cikapundung tersebut, menurut Noor, selain debit air yang mengalami penurunan, juga kondisi air Sungai Cikapundung yang tidak lagi bersih. Saat ini selain debit airnya terus mengalami penurunan, juga kondisinya yang mulai bau akibat dibeberapa titik DAS terdapat kandang sapi. Debit Air di Bendung Wilalung Mulai Turun Selasa, 23 Peb :38:19 WIB debit air di Bendung Wilalung atau dikenal sebagai Bangunan Pengendali Banjir Wilalung Lama (BPBWL) yang terletak di Desa Kailrejo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Selasa mulai menurun, setelah debit air sebelumnya mencapai 785 m 3 /dtk. "Berdasarkan hasil pantauan hari ini sekitar pukul WIB, debit air yang mengalir dari Sungai Serang menuju BPBWL sekitar 300 m 3 /dtk." kata salah seorang penjaga Bangunan Pengendali Banjir Wilalung Lama (BPBWL), Noor Cholish, di Kudus, Selasa. Berdasarkan ketentuan yang ada, maka kiriman debit air yang kurang dari 400 m 3 /dtk. Merupakan kategori status siaga I aman 192

194 terhadap bahaya banjir, sedangkan kiriman debit air yang melebihi batas 550 meter kubik per detik merupakan kategori status siaga tiga terhadap bahaya banjir. Ia mengatakan, penurunan debit air terlihat sejak Senin (22/2) malam. "Hanya saja, tidak berani memastikan aliran air akan semakin menurun atau sebaliknya, karena kiriman air dari wilayah selatan sangat menentukan," Arus air dari Bendung Klambu hingga ke pintu Wilalung sedikit terganggu kelancarannya karena dua pintu menuju Sungai Wulan terhambat oleh ribuan batang pohon pisang dan batang jagung serta sampah yang diperkirakan hanyut bersama derasnya arus air sungai. "Saat debit air meningkat, tumpukan sampah tersebut bisa menekan arus air melimpas ke arah Sungai Juwana,". meningkatnya debit air di Sungai Juwana berpotensi menimbulkan ancaman terjadinya genangan di sejumlah areal persawahan yang tersebar di Kecamatan Undaan, yakni di Desa Karangrowo, Larikrejo, Undaan Tengah, Undaan Lor, Ngemplak, dan Wates. Sebelumnya, sejumlah petani dan warga sekitar berupaya membersihkan ratusan kubik sampah yang menumpuk di depan dua pintu wilalung yang mengarah ke Sungai Wulan, agar air tidak melimpas ke Sungai Juwana.diperkirakan, jumlah sampah yang menumpuk di pintu Wilalung saat ini mencapai 400 meter kubik. "Sampah ini memang menghambat arus air yang mengarah ke Sungai Wulan,". Dengan adanya penurunan debit air, dia memastikan, sampah yang menumpuk akan berkurang dengan sendirinya. Debit air di Bendungan Saguling, Cirata, dan Jatiluhur Melebihi Kapasitas Bandung, 23/3/2010 (Kominfo-Newsroom) Debit air di Bendungan Saguling, Cirata, dan Jatiluhur yang terletak di daerah aliran sungai (DAS) Citarum saat ini sudah melebihi kapasitas 193

195 normal, sehingga aliran air yang dikeluarkan dari ketiga waduk tersebut lebih besar dari biasanya. Ketinggian air di Bendungan Jatiluhur sudah mencapai 108,38 meter di atas permukaan laut (mdpl) padahal maksimalnya 107 mdpl, sehingga volume air yang dilepas lebih banyak, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, Senin (22/3). Volume air yang `dibuang` dari bendungan tersebut saat ini mencapai 600 meter kubik per detik ke aliran sungai Citarum yang selanjutnya melintasi Kabupaten Karawang, Bekasi, dan bermuara ke Laut Jawa. kondisi serupa juga terjadi di Bendungan Saguling dan Cirata yang membuang air lebih besar dari biasanya. Hanya saja, di beberapa lokasi aliran Sungai Citarum di kawasan hilir terdapat beberapa tanggul yang sudah rusak sehingga tidak kuat menahan peningkatan debit air yang mengalir di sungai yang bermuara di Cekungan Bandung itu. terdapat beberapa tanggul Sungai Citarum yang memang kondisinya sudah rusak sehingga jebol, seperti yang terjadi di Karawang dan Bekasi. Lokasi itu sebenarnya sudah diantisipasi dengan menempatkan tanggul. Banjir yang terjadi di kawasan Karawang dan sekitarnya saat ini tidak hanya akibat pembuangan dari Bendungan Jatiluhur lebih besar, namun juga akibat curah hujan di kawasan Karawang dan sekitarnya juga tinggi. Curah hujan tinggi di kawasan itu juga mengakibatkan peningkatan debit air di sungai-sungai yang bermuara ke Sungai Citarum. Curah hujan tinggi di kawasan Karawang dan Bekasi juga berpengaruh terhadap peningkatan debit air di anak-anak Sungai Citarum. Sementara itu, terkait kondisi terakhir banjir di kawasan Bandung Selatan, saat ini sudah ada penurunan sekitar setengah meter dari puncak banjir pada Sabtu (19/3) 194

196 lalu. Ketinggian genangan banjir sudah turun, meski banjir di sana masih termasuk besar. Terlebih hujan masih turun di sekitar hulu Citarum termasuk di Kota Bandung, katanya. Berdasarkan pengamatan banjir Bandung Selatan, ketinggian genangan di lokasi banjir Baleendah dan Dayeuhkolot saat ini 659,8 mdpl, atau lebih rendah dari puncak ketinggian banjir tiga hari lalu yang mencapai 660,34 mdpl. DAFTAR PUSTAKA diakses tanggal 10 april diakses tanggal 10 april listrik/ plta-sumatera-terganggu-karena-susutnya-debit-air-.html. diakses tanggal 10 april diakses tanggal 10 april diakses tanggal 10 april diakses tanggal 10 april

197 diakses tanggal 10 april diakses tanggal 10 april nt&do_pdf=1&id=88. diakses tanggal 10 april Hutan-Mengurangi-Debit-Air. diakses tanggal 10 april Evaluasi 1. Apa yang dimaksud dengan lengkung aliran debit (Discharge Rating Curve)? 2. Jelaskan kegunaan dari lengkung aliran! 3. Sebutkan dan jelaskan data-data yang diperlukan dalam pembuatan lengkung aliran! 4. Sebutkan dan jelaskan metode pembuatan lengkung aliran! 5. Sebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan didalam metode analitik! 196

198 POKOK BAHASAN XI. DEBIT SUSPENSI DAN SUSPENDED RATING CURVE Deskripsi Singkat Debit suspensi dan suspended rating curve jumlah seluruh muatan yang tersuspensi melalui suatu penampang sungai tertentu, dinyatakan dalam satuan berat persatuan waktu serta hubungan antara debit dan suspensinya. Muatan suspensi merupakan hasil kejadian erosi baik erosi permukaan maupun erosi tebing sungai. Dalam bab ini disajikan berbagai macam metode pengukuran debit suspensi dan berbagai rumus yang dipakai pada kondisi tertentu. Dari hasil analisis debit suspensi ini kemudian dapat digunakan untuk berbagai rencana seperti rencana pencegahan dan penanggulangan sedimen, serta evaluasi DAS Relevansi Dengan mempelajari materi tentang lengkung aliran debit, mahasiswa mampu melakukan perhitungan total suspensi yang diangkut oleh aliran sungai baik secara langsung dan cara tak langsung, yaitu dengan menggunakan grafik atau rumus regresi hubungan debit dengan debit suspensi. Dari data tersebut, mahasiswa dapat melakukan analisis-analisis melalui berbagai macam metode untuk mendapatkan suatu hasil analisis yang baik dan benar sehingga dapat dijadikan sebagai bahan untuk melakukan monitoring dan evaluasi suatu daerah aliran sungai (DAS) Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari bab ini mahasiswa mampu melakukan pendataan suspensi baik langsung atau tidak langsung. Pengumpulan data dan perhitungan dari rumus-rumus yang ada ini dapat ditampilkan sebagai suatu hasil analisis yang baik. Harapannya mahasiswa mampu mendesain suatu model untuk monitoring dan evaluasi suatu DAS. 197

199 11.4. Debit Suspensi dan Suspended Rating Curve Muatan suspensi merupakan hasil kejadian erosi baik erosi permukaan maupun erosi tebing sungai. Kadar muatan suspensi adalah banyaknya material suspensi yang dikandung oleh sejumlah air dari aliran sungai dalam satuan volume tertentu, setelah material dikeringkan dan dinyatakan dalam miligram/liter (mg/lt). Besarnya muatan suspensi antara % dari muatan sedimen dan penyebarannya pada sungai tidak teratur. Material dasar pada umumnya berasal dari erosi alur sungai, ukuran dapat bermacam-macam dapat berupa pasir, kerikil atau boulder (tergantung dari materi dasar sungai dan kecepatan aliran). Untuk mengukur material dasar digunakan bed load sampler atau menggunakan kolam jebakan (trap) di bawah SPAS. Menurut Soewarno (1991), berdasarkan mekanisme pengangkutannya, sedimen dibagi menjadi : - Muatan sedimen melayang (suspended load) Muatan sedimen melayang merupakan material dasar sungai (bed material) yang melayang di dalam aliran sungai dan terutama terdiri dari butiran-butiran pasir halus. - Muatan sedimen dasar (bed load) Muatan sedimen dasar berupa partikel-partikel kasar yang bergerak sepanjang dasar sungai. Debit suspensi adalah jumlah seluruh muatan yang tersuspensi melalui suatu penampang sungai tertentu, dinyatakan dalam satuan berat persatuan waktu (Gregory, 1976). Pengukuran suspensi selalui disertai dengan pengukuran debit. Perhitungan hasil suspensi dari suatu DAS pada suatu stasiun pengukuran diperkirakan dari analisis muatan suspensi. Perhitungan Debit Suspensi a) Hitung berat suspensi Berat suspensi = g2 g1 g2 = berat filter isi g1 = berat filter kosong 198

200 b) Hitung konsentrasi suspensi (Csi) Csi = ( g2 g1 ) satuannya gr/ltr Volume air Volume air adalah volume air contoh suspensi, dihitung dalam satuan liter. c) Konsentrasi suspensi rata-rata (Cs) Pada waktu mengukur debit, diambil beberapa contoh suspensi dalam setiap seksi-seksinya mempunyai konsentrasi suspensi yang berbeda. Berapa suspensi rata-rata pada debit aliran yang bersangkutan. Cs = (q1 x Cs1) + (q2 x Cs2) + + (Qn x Csn) Q1 + q Qn Cs = Σ (qi x Csi) Σ qi qi = debit aliran pada seksi ke i (m3/det) Csi = konsentrasi suspensi pada seksi ke i (kg/m3) Cs = konsentrasi suspensi rata-rata (kg/m3) d) Hitung debit suspensi Setiap debit aliran mempunyai atau mengangkut suspensi. Bila diketahui debit aliran sungai dan konsentrasi suspensinya (konsentrasi suspensi pada debit bersangkutan) maka debit suspensi (Qs) dapat dihitung sebagai berikut : Qs = Cs Q Qs = debit suspensi (kg/dt) pada debit Q Cs = konsentrasi suspensi (kg/m3) pada debit Q Q = debit aliran (m3/detik) Total suspensi yang diangkut oleh aliran sungai dapat dihitung dengan cara tak langsung, yaitu dengan menggunakan grafik atau rumus regresi hubungan debit dengan debit suspensi. Bila sudah diperoleh data seperti tersebut di atas, maka langkah selanjutnya membuat hubungan Q dan Qs dengan model : Qs = a Q b 199

201 a dan b adalah konstanta regresi, dicari dengan teknik regresi biasa dengan terlebih dahulu dilakukan transformasi logaritma dari nilai Qs dan Q. Kalau model regresi sudah didapat dan ketelitiannya dapat diandalkan, maka debit suspensi dapat diturunkan dari data aliran. A,B,C D,E F : pengambil contoh suspensi dengan cara integrasi : pengambil contoh suspensi dengan cara horisontal : pengambil contoh suspensi dengan botol bertingkat Gambar Jenis-jenis Alat Pengambil Contoh Suspensi 200

202 Gambar Jenis-jenis Alat Pengambil Contoh Muatan Dasar Kadang-kadang perlu mempelajari karakteristik aliran dan sedimen pada waktu hujan besar yang menimbulkan banjir, untuk itu perlu adanya penambahan analisa khusus pada aliran besar (aliran yang disebabkan oleh hujan besar), khusus untuk menghitung debit suspensi yang diangkut oleh aliran banjir perlu hati-hati. Berdasarkan penelitian-penelitian suspensi dapat berubahubah yaitu pada waktu aliran naik dan turun, meskipun pada tinggi muka air yang sama. Perubahan ini dapat terjadi karena banyak faktor diantaranya aktivitas manusia. 201

203 Gambar Perbedaan Konsentrasi Suspensi pada Aliran Naik dan Aliran Turun. Pada tinggi Y mempunyai debit Q, kenyataan di lapangan konsentrasi suspensi pada pengambilan di titik 1 (aliran naik) berbeda dengan konsentrasi suspensi pada titik 2 (aliran turun). Lengkung turun meskipun pada tinggi muka air yang sama atau debit sama. Oleh karena itu untuk studi khusus ini perlu dibuat : Qs* = a*q b* aliran naik Qs = aq b aliran turun Kalau diketahui presentase muatan dasar (bed load) terhadap muatan suspensi, maka dapat dihitung total sedimen yang keluar dari DAS Artikel 1. SEDIMENTASI Pengertian Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu cekungan. Delta yang terdapat di mulut-mulut sungai adalah hasil dan proses pengendapan material-material yang diangkut oleh air sungai, sedangkan bukit pasir (sand dunes) yang terdapat di gurun dan di tepi pantai adalah pengendapan dari material-material yang diangkut oleh angin. 202

204 Sedimentasi adalah masuknya muatan sedimen ke dalam suatu lingkungan perairan tertentu melalui media air dan diendapkan di dalam lingkungan tersebut.( wahyuancol, 2008) Sedimentasi adalah proses pemisahan padatan yang terkandung dalam limbah cair oleh gaya gravitasi, pada umumnya proses Sedimentasi dilakukan setelah proses Koagulasi dan Flokulasi dimana tujuannya adalah untuk memperbesar partikel padatan sehingga menjadi lebih berat dan dapat tenggelam dalam waktu lebih singkat. Pipkin (1977) menyatakan bahwa sedimen adalah pecahan, mineral, atau material organik yang ditransforkan dari berbagai sumber dan diendapkan oleh media udara, angin, es, atau oleh airdan juga termasuk didalamnya material yang diendapakan dari material yang melayang dalam air atau dalam bentuk larutan kimia. Gross (1990) mendefinisikan sedimen laut sebagai akumulasi dari mineralmineral dan pecahan-pecahan batuan yang bercampur dengan hancuran cangkang dan tulang dari organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk lewat proses kimia yang terjadi di laut. Pettijohn (1975) mendefinisikan sedimentasi sebgai proses pembentukan sedimen atau batuan sedimen yang diakibatkan oleh pengendapan dari material pembentuk atau asalnya pada suatu tempat yang disebut dengan lingkungan pengendapan berupa sungai, muara, danau, delta, estuaria, laut dangkal sampai laut dalam Sedimentasi di daerah pesisir pantai Pencetus Sedimentasi di suatu lingkungan pantai terjadi karena terdapat suplai muatan sedimen yang tinggi di lingkungan pantai tersebut. Suplai muatan sedimen yang sangat tinggi yang menyebabkan sedimentasi itu hanya dapat berasal dari daratan yang dibawa ke laut melalui aliran sungai. Pembukaan lahan di daerah aliran sungai yang meningkatkan erosi permukaan merupakan faktor utama yang meningkatkan suplai muatan sedimen ke laut. Selain itu, sedimentasi dalam skala yang lebih kecil dapat terjadi karena transportasi sedimen sepanjang pantai. Karakter kedatangan atau kejadian Sedimentasi di perairan pesisir terjadi perlahan dan berlangsung menerus selama suplai muatan sedimen yang tinggi terus berlangsung. Perubahan laju sedimentasi dapat terjadi bila terjadi perubahan kondisi lingkungan fisik di daerah aliran 203

205 sungai terkait. Pembukaan lahan yang meningkatkan erosi permukaan dapat meningkatkan laju sedimentasi. Sebaliknya, pembangunan dam atau pengalihan aliran sungai dapat merubah kondisi sedimentasi menjadi kondisi erosional. Bila sedimentasi semata-mata karena tranportasi muatan sedimen sepanjang pantai, laju sedimentasi yang terjadi relatif lebih lambat bila dibandingkan dengan sedimentasi yang mendapat suplai muatan sedimen dari daratan. Prediktabilitas Berkaitan dengan aktifitas manusia, persoalan yang muncul karena sedimentasi dapat diperhitungkan sejak awal ketika aktifitas tersebut dimulai melalui studi geomorfologi pesisir dan transportasi sedimen. Demikian pula dengan kemungkinan perubahannya, dapat diprediksi dengan studi tersebut. Durasi Proses sedimentasi berlangsung perlahan dan terus menerus selama suplai muatan sedimen yang banyak dari daratan masih terus terjadi. Proses sedimentasi berhenti atau berubah menjadi erosi bila suplai muatan sedimen berkurang karena pembangunan dam atau pengalihan alur sungai. Areal terganggu Areal yang terganggu oleh proses sedimentasi terbatas pada lokasi-lokasi yang terdapat aktifitas manusia yang membutuhkan perairan yang cukup dalam, seperti pelabuhan dan alur-alur pelayaran. Aktifitas mitigasi Untuk melindungi pelabuhan dan alur pelabuhan, upaya mitigasi dapat dilakukan dengan membangun jetty. Sementara itu, tindakan upaya menghentikan atau mengurangi sedimentasi di suatu kawasan teluk misalnya, dapat dilakukan dengan pengalihan alur sungai yang diketahui suplai muatan sedimen dari sungai itu mengerah ke teluk tersebut. Dalam skala yang lebih luas, mitigasi bencana karena sedimentasi dapat dilakukan dengan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) yang merupakan sumber utama muatan sedimen yang masuk ke perairan. 204

206 Sedimentasi di dasar lautan Sedimen yang di jumpai di dasar lautan dapat berasal dari beberapa sumber yang menurut Reinick (Dalam Kennet, 1992) dibedakan menjadi empat yaitu Lithougenus sedimen yaitu sedimen yang berasal dari erosi pantai dan material hasil erosi daerah up land. Material ini dapat sampai ke dasar laut melalui proses mekanik, yaitu tertransport oleh arus sungai dan atau arus laut dan akan terendapkan jika energi tertrransforkan telah melemah. Biogeneuos sedimen yaitu sedimen yang bersumber dari sisa-sisa organisme yang hidup seperti cangkang dan rangka biota laut serta bahan-bahan organik yang mengalami dekomposisi. Hidreogenous sedimen yaitu sedimen yang terbentuk karena adanya reaksi kimia di dalam air laut dan membentuk partikel yang tidak larut dalam air laut sehingga akan tenggelam ke dasar laut, sebagai contoh dan sedimen jenis ini adalah magnetit, phosphorit dan glaukonit. Cosmogerous sedimen yaitu sedimen yang bersal dari berbagai sumber dan masuk ke laut melalui jalur media udara/angin. Sedimen jenis ini dapat bersumber dari luar angkasa, aktifitas gunung api atau berbagai partikel darat yang terbawa angin. Material yang bersal dari luarangkasa merupakan sisasisa meteorik yang meledak di atmosfir dan jatuh di laut. Sedimen yang bersal dari letusan gunung berapi dapat berukuran halus berupa debu volkanin, atau berupa fragmen-fragmen aglomerat. Sedangkan sedimen yang berasal dari partikel di darat dan terbawa angin banyak terjadi pada daerah kering dimana proses eolian dominan namun demikian dapat juga terjadi pada daerah sub tropis saat musim kering dan angin bertiup kuat. Dalam hal ini umumnya sedimen tidak dalam jumlah yang dominan dibandingkan sumber-sumber yang lain. Dalam suatu proses sedimentasi, zat-zat yang masuk ke laut berakhir menjadi sedimen. Dalam hal ini zat yang ada terlibat proses biologi dan kimia yang terjadi sepanjang kedalaman laut. Sebelum mencapai dasar laut dan menjadi sedimen, zat tersebut melayang-layang di dalam laut. Setelah mencapai dasar lautpun, sedimen tidak diam tetapi sedimen akan terganggu ketika hewan laut dalam mencari makan. Sebagian sedimen mengalami erosi dan tersusfensi kembali oleh arus bawah sebelum kemudian jatuh kembali dan tertimbun. Terjadi reaksi kimia antara butir-butir mineral dan air laut sepanjang perjalannya ke dasar laut dan reaksi tetap berlangsung penimbunan, yaitu ketika air laut terperangkap di antara butiran mineral. 205

207 Sedimentasi / Pengendapan pada pengolahan limbah cair Sedimentasi bisa dilakukan pada awal maupun pada akhir dari unit sistim pengolahan. Jika kekeruhan dari influent tinggi,sebaiknya dilakukan proses sedimentasi awal (primary sedimentation) didahului dengan koagulasi dan flokulasi, dengan demikian akan mengurangi beban pada treatment berikutnya. Sedangkan secondary sedimentation yang terletak pada akhir treatment gunanya untuk memisahkan dan mengumpulkan lumpur dari proses sebelumnya (activated sludge, OD, dlsb) dimana lumpur yang terkumpul tersebut dipompakan keunit pengolahan lumpur tersendiri. Sedimen dari limbah cair mengandung bahan bahan organik yang akan mengalami proses dekomposisi, pada proses tersebut akan timbul formasi gas seperti carbon dioxida, methane, dlsb. Gas tersebut terperangkap dalam partikel lumpur dimana sevvaktu gas naik keatas akan mengangkat pule partikel lumpur tersebut, proses ini selain menimbulkan efek turbulensi juga akan merusak sedimen yang telah terbentuk. Pada Septic-tank, Imhoff-tank dan Baffle-reactor, konstruksinya didesain sedemikian rupa guna menghindari efek dari timbulnya gas supaya tidak mengaduk/merusak partikel padatan yang sudah mapan (settle) didasar tangki, sedangkan pada UASB (Uplift Anaerobic Sludge Blanket)justru menggunakan efek dari proses tersebut untuk mengaduk aduk partikel lumpur supaya terjadi kondisi seimbang antara gaya berat dan gaya angkat pada partikel lumpur, sehingga partikel lumpur tersebut melayang-layang/mubal mubal. 206

208 Setelah proses dekomposisi dan pelepasan gas, kondisi lumpur tersebut disebut sudah stabil dan akan menetap secara permanen pada dasar tangki, sehingga sering juga proses sedimentasi dalam waktu yang cukup lama disebut dengan proses Stabilisasi. Akumulasi lumpur (Volume) dalam periode waktu tertentu(desludging-interval) merupakan parameter penting dalam perencanaan pengolahan limbah dengan proses sedimentasi dan stabilisasi lumpur. Sedimentasi Sungai di Indonesia Akibat sedimentasi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya erosi di pantaipantai. Sedimentasi bahkan semakin tahun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan beberapa muara sungai di Sumatra, Kalimantan dan Jawa menjadi dangkal. Sungai Citandui, Jawa Barat memecahkan rekor dengan sedimentasi pertahun yang terbawa aliran sungai ini mencapai 5 juta m2 kubik. Sementara, sungai Cikonde mencapai 770 ribu meter kubik yang diendapkan di Segara Anakan. Sedimentasi sungai Barito mencapai mencapai 733 ribu m2 kubik yang diendapkan di pelabuhan pelabuhan Banjarmasin, Kalimantan. Sedang sungai Mahakam, Kalimantan sedimentasinya mencapai 2,2 juta m2 kubik. Tinnginya sedimentasi ini mengakibatkan upaya pengerukan di pantai-pantai, terutama yang berfungsi untuk pelabuhan jadi membutuhkan dana besar. Contohnya, pengerukan di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya sampai sepanjang meter, pelabuhan Belawan, Medan mencapai meter, Palembang meter, Banjarmasin meter, Samarinda meter, Pontianak meter, Jambi meter, Sampit meter dan pelabuhan Pulai Pisa meter. Akibat sedimentasi yang tinggi di sungai-sungai di Indonesia ini disamping juga adanya erosi, tak kurang dari 124 pantai di Indonesia akhirnya mengalami kerusakan. Pantai di Aceh, contohnya tak kurang dari 34 pantainya mengalami kerusakan. Selain karena sedimentasi, juga karena adanya pemukiman, pariwisata dan pembukaan tambak. Di Jawa Barat, pantai yang mengalami erosi mencapai 28 pantai. Sedang DKI Jakarta, tak kurang 8 pantai yang mengalami erosi. Memang, erosi pantai tak semata-mata karena sedimentasi. Namun, sedimentasi sungai mempunyai pengaruh besar terhadap erosi pantai. Keadaan ini sebenarnya amat memprihatinkan. Sayang, pemerintah kita kurang peduli terhadap peristiwa ini. Pemda DKI saja sanggup untuk merenovasi Patung Selamat datang di bundaran HI dalam rangka menyambut HUT DKI bulan ini dengan biaya tak kurang dari 14 miliar. Namun, sayang tak ada dana untuk mejernihkan sungai 207

209 Ciliwung yang coklat kelam ataupun kanal-kanal lainnya di pinggiran Jakarta yang tak lagi cokelat, tapi telah hitam kelam, bahkan. Mungkin bau tak sedap Ciliwung tak sempat terhirup para pejabat, hingga kurang dirasa perlu untuk membuatnya jernih kembali. DAFTAR PUSTAKA Anonim. Sedimentasi Sungai di Indonesia. Diakses tanggal 12 April Diakses tanggal 12 April 2010 Muhammad Tentang Sedimen. Surabaya. Diakses tanggal 12 April 2010 Rahayu, Suparni Setyowati Sedimentasi / Pengendapan pada pengolahan limbah cair. Bandung. Diakses tanggal 12 April Wahyuancol Sedimentasi. Jakarta. Diakses tanggal 12 April Evaluasi 1. Apa yang dimaksud dengan muatan suspensi? 2. Apa yang dimaksud dengan debit suspensi? 3. Jelaskan perhitungan hasil suspensi dari suatu DAS pada suatu stasiun pengukuran yang diperkirakan dari analisis muatan suspensi! 4. Jelaskan cara perhitungan total suspensi! 5. Sebutkan dan jelaskan beberapa pembagian sedimen! 208

210 POKOK BAHASAN XII. PEMISAHAN ALIRAN 12.1 Deskripsi Singkat Runoff adalah bagian curahan hujan (curah hujan dikurangi evapotranspirasi dan kehilangan air lainnya) yang mengalir dalam air sungai karena gaya gravitasi; airnya berasal dari permukaan maupun dari subpermukaan (sub surface). Pemisahan aliran yang dimaksud adalah adanya bagian-bagian dalam perjalanan runoff dari permukaan tanah dan di sungai. Runoff yang ada dalam alur sungai terdiri dari 3 komponen aliran yaitu overlandflow, aliran antara (interflow) dan aliran dasar (baseflow). Dalam bab ini disajikan berbagai macam aliran air permukaan termasuk yang berada di sungai. Hasil runoff digambarkan dalam bentuk grafik Relevansi Dengan mempelajari materi tentang pemisahan aliran air permukaan ini, mahasiswa mampu menghitung besarnya aliran air permukaan dan juga menggambarkannya dalam bentuk grafik. Dari data tersebut, mahasiswa dapat melakukan analisis melalui berbagai macam metode untuk mendapatkan hasil analisis yang baik dan benar sehingga dapat dijadikan sebagai bahan untuk melakukan monitoring dan evaluasi suatu kawasan hutan atau suatu daerah aliran sungai (DAS) Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari bab ini mahasiswa mampu melakukan pendataan runoff dan menggambarkan grafiknya. Pengumpulan data dan perhitungan dari rumus-rumus yang ada ini dapat ditampilkan sebagai suatu hasil analisis yang baik. Harapannya mahasiswa mampu mendesain suatu model untuk monitoring dan evaluasi suatu DAS. 209

211 Pengantar Kebanyakan persoalan sumberdaya air berkaitan dengan waktu dan penyebaran aliran air. Kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna lahan dan factor meteorology, terutama curah hujan. Penelaahan masalah sumberdaya air melibatkan berbagai macam pendekatan pengelolaan vegetasi dan usaha-usaha keteknikan lainnya. Sebagai contoh, waduk dapat menampung aliran air hujan ketika hujan deras berlangsung di daerah hulu, dan dengan demikian mengurangi kemungkinan terjadinya banjir di daerah hilir. Ia juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan aliran air selama musim kemarau sehingga dapat menambah debit aliran air untuk irigasi pada saat-saat yang kritis tersebut. Pengelolaan vegetasi di daerah hulu juga dapat menurunkan aliran sediment yang masuk ke dalam waduk sehingga umur waduk dapat diperpanjang, dengan demikian akan mendukung kelangsungan pemanfaatan waduk. Tetapi, perencanaan pengelolaan vegetasi terutama dalam pemilihan jenis vegetasi untuk meningkatkan hasil air yang tidak tepat dapat memberikan hasil yang sebaliknya, yaitu menurunkan besarnya hasil air karena cadangan air tanah di tempat berlangsungnya kegiatan tersebut berkurang oleh adanya proses evapotranspirasi vegetasi Pemisahan Aliran Runoff adalah bagian curahan hujan (curah hujan dikurangi evapotranspirasi dan kehilangan air lainnya) yang mengalir dalam air sungai karena gaya gravitasi; airnya berasal dari permukaan maupun dari subpermukaan (sub surface). 210

212 Komponen Runoff Runoff terdiri dari beberapa komponen : overlandflow interflow baseflow Gambar Penampang Alur Sungai dan Komponen Runoff DAS adalah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi (igir pegunungan), kawasan tersebut menampung, menyimpan dan mengalirkan air malalui sistem sungai dan mengeluarkannya melalui titik tunggal (single outlet). Respon DAS terhadap hujan terdiri dari respon DAS pada limpasan langsung (direct runoff) dan respon DAS pada aliran dasar (baseflow). Gambar 40, menunjukkan bahwa runoff yang ada dalam alur sungai terdiri dari 3 komponen aliran yaitu overlandflow (Qs), aliran antara (interflow = Qi) dan aliran dasar (baseflow = Qd). Sistem DAS dapat dibagi lagi menjadi sistem yang lebih khusus yaitu sistem air pada permukaan lahan, sistem air pada zona tidak jenuh, sistem air pada zona jenuh air dan sistem air pada jaringan alur sungai. Hasil runoff dari DAS di suatu tempat biasanya disajikan dalam bentuk tabel maupun grafik. Grafik yang menggambarkan 211

213 fenomena aliran (tinggi muka air, debit, kecepatan dll) dan waktunya disebut hidrograf (Hydrograph). Umumnya ada dua macam hidrograf yaitu : - Hidrograf Tinggi Muka Air (stage hydrograph) - Hidrograf Aliran (discharge hydrograph) Hidrograf tinggi muka air dihasilkan dari rekaman alat yang disebut Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang dipasang pada stasiun pengukur aliran sungai (SPAS). Sedang hidrograf aliran diturunkan dari hidrograf tinggi muka air dengan menggunakan Stage discharge Rating Curve. Yang dibuat khusus untuk SPAS yang bersangkutan. Gambar Tahapan Pembuatan Discharge Hydrograph Beberapa metode pemisahan baseflow : 1. Straight line method 212

214 2. Fixed Base Length 3. Variable slope Gambar Metode Pemisahan Aliran 213

215 Menghitung volume aliran Volume Aliran = Volume DRO + Volume BF Q Aliran = Q DRO + Q BF Volume Aliran = Q Q 9.15 x waktu (dt) 2 Volume Baseflow = Q BF Q BF 9.15 x waktu (dt) 2 Vol DRO = Vol Aliran Vol Baseflow Tebal Runoff (RO) = Vol. Runoff (m 3 ) Luas DAS (mm 2 ) Koefisien Runoff (C) = Tebal RO (mm) x 100% Tebal Hujan (mm) Tabel Koefisien Runoff ( C ) No. Koefisien Runoff (%) Kriteria > Rendah Normal Tinggi Ekstrem 214

216 12.5. Artikel MODEL KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KARAKTERISTIK FISIK DAS PADA DAS BANGO (Model of Runoff Coefficient Using the Physical Characteristics Approach at the Bango Watershed) M. Ruslin Anwar Dosen Jurusan Teknik Sipil, FTUB ABSTRAK Keraguan dalam menentukan koefisien aliran permukaan menggunakan tabel dalam penentuan debit banjir adalah belum tentu cocoknya untuk diterapkan pada setiap DAS. Kondisi seperti ini menuntut adanya usaha pengembangan model pendugaan debit banjir yang dapat memenuhi kondisi fisik DAS, apalagi dikaitkan dengan usaha pengendalian banjir pada DAS tersebut. Penelitian ini didekati dengan menggunakan dua model dalam usaha pengendalian banjir pada suatu DAS. Model pertama adalah menyusun model koefisien aliran permukaan (Cm), sedangkan model kedua adalah menyusun model debit banjir (Qm). Tujuan penelitian ini adalah menentukan parameter karakteristik fisik DAS yang berpengaruh terhadap koefisien aliran permukaan, menyusun bentuk hubungan karakteristik fisik DAS dan koefisien aliran permukaan, dan menentukan peramalan banjir rencana pada DAS Bango. Analisis yang dilakukan dalam menentukan parameter karakteristik fisik DAS menggunakan sistem informasi geografis (SIG), sedangkan pembentukan model koefisien aliran permukaan menggunakan analisis regresi-korelasi linier berganda. Hasil penelitian membuktikan bahwa kemiringan rerata DAS, faktor panjang sungai utama, faktor topografi, faktor penggunaan lahan, dan faktor jenis tanah berpengaruh terhadap koefisien aliran permukaan. Bentuk hubungan parameter tersebut terhadap koefisien aliran permukaan adalah linier, sedangkan terhadap debit banjir adalah non linier. 215

217 Kata kunci: koefisien runoff, daerah aliran sungai PENDAHULUAN Keraguan dalam menentukan koefi-sien aliran permukaan menggunakan tabel dalam penentuan debit banjir adalah belum tentu cocoknya untuk diterapkan pada setiap DAS. Kondisi seperti ini menuntut adanya usaha pengembangan model pen-dugaan debit banjir yang dapat memenuhi kondisi fisik DAS. Anwar (2002) menya-takan bahwa hubungan hujan dan aliran pada suatu DAS dipengaruhi oleh karak-teristik fisik DAS. Respon karaktersitik fisik DAS terhadap hujan yang menim-bulkan aliran permukaan diformulasikan sebagai koefisien aliran permukaan. Parameter karakteristik fisik DAS yang berpengaruh terhadap koefisien aliran permukaan tersebut dapat dikaji melalui parameter relief, infiltrasi tanah, vegetasi penutup dan simpanan permukaan. Ana-lisis pengaruh dan tanggapan karakteristik fisik DAS terhadap hujan yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk tujuan pengen-dalian banjir pada suatu DAS. Musy (2001) menyatakan bahwa bentuk DAS mempengaruhi bentuk karakteristik hidrograf. DAS berbentuk panjang menghasilkan aliran permukaan yang lebih rendah dengan waktu konsentrasi yang lebih tinggi. DAS berbentuk kipas meng-hasilkan waktu konsentrasi yang lebih rendah, sehingga menghasilkan aliran yang lebih tinggi. Ratnayake (2005) menyatakan bahwa kerapatan drainase yang merupakan perbandingan antara panjang sungai total DAS dan luas DAS secara relatif memberikan indikasi tanggapan DAS terhadap hujan yang terjadi. Analisis hujan-aliran yang dikaitkan dengan karakteristik fisik DAS dapat didekati dengan menggunakan dua model. Model pertama adalah menyusun model koefisien aliran permukaan (Cm) sedang-kan model keduan adalah menyusun model debit banjir (Qm), yang dapat digunakan untuk peramalan b anjir rencana. Tujuan penelitian ini adalah menen-tukan parameter karakteristik fisik DAS yang berpengaruh terhadap koefisien aliran permukaan, menyusun bentuk hubungan karakteristik fisik DAS dan koefisien aliran permukaan, dan menentukan peramalan banjir rencana pada DAS Bango. KERANGKA KONSEP Proses hidrologi di dalam suatu DAS berhubungan dengan karakteristik fisik DAS, seperti morfometri (luas, kemiring-an, kerapatan pola aliran, perbedaan 216

218 elevasi, panjang sungai dan sebagainya), vegetasi penutup, penggunaan lahan dan tanah (Seyhan, 1977). Bentuk DAS mempengaruhi karak-teristik hidrograf dan dapat dianalisis dari Indeks Gravelius (KG) dengan persamaan berikut (Musy, 2001): dimana: KG = indeks Gravelius; A = luas DAS (km2); P = perimeter DAS (km) Kemiringan rerata DAS berpengaruh langsung terhadap waktu konsentrasi dan secara langsung terhadap besarnya lim-pasan permukaan. Carlier dan Leclerc (1964, dalam Musy, 2001), menentukan kemiringan rerata dengan persamaan sebagai berikut: Dimana: ia = kemiringan rerata DAS (m/km atau %); D = jarak antara dua garis kontur (m); L = total panjang garis kontur (km); A = luas DAS (km2). Kerapatan drainase akan menunjukkan panjang aliran permukaan yang dapat ditentukan dengan menggunakan persa-maan berikut (Seyhan, 1977): D = Ln/A Dimana : D = nilai kerapatan drainase (km/km2); Ln = panjang sungai orde ke-n (km); A = luas DAS (km2). Panjang aliran permukaan lahan akan berpengaruh terhadap besarnya waktu konsentrasi didalam DAS. Panjang aliran permukaan lahan dapat ditent ukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Seyhan, 1977) : Lg = 1/2D = A/2Lb Dimana: Lg = panjang aliran permukaan lahan (km); D = kerapatan drainase (km/km2); A = luas DAS (km2); Lb= panjang sungai utama (km). 217

219 Persentase Faktor topografi berhubungan dengan waktu dan kecepatan pengaliran didalam DAS. Faktor topografi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Seyhan, 1977): T = Lb/(Su)0,5 Dimana: T = nilai faktor topografi; Lb = panjang sungai utama (km); Su = kemiringan rerata sungai utama (km/km). HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS (A) berpengaruh terhadap debit banjir. Semakin besar nilai A akan semakin besar pula debit banjir yang terjadi. Gambar 1 menunjukkan beberapa Sub DAS yang dominan ditinjau dari luasnya, yaitu Sub DAS Mati (23,09%), Bodo (12,13%, Sumberawan (11,13%), dan Klampok (10,67%). Sebaran Luas DAS (A) Sumberawan Klampok Jurang Tamu Genitring Bodo Mewek Mati Sari Sumpil Wendit Lahor Bango Gambar 1. Grafik Sebaran Luas Sub DAS Indeks Gravelius (Kg) memberikan indikasi debit puncak banjir, semakin kecil nilai Kg memberikan indikasi aliran yang lebih tinggi (Musy, 2001). Gambar 2 menunjukkan Sub DAS Wendit, Sari, Lahor, dan Mati mempunyai nilai Kg<1,6 yang memberi indikasi Sub DAS tersebut mempunyai waktu konsentrasi lebih rendah, sehingga akan menghasilkan debit banjir yang lebih tinggi. 218

220 Ia (%) Nilai Kg Sebaran Nilai Kg Sumberawan Klampok Jurang Tamu Genitring Bodo Mewek Mati Sari Sumpil Wendit Lahor Bango Gambar 2. Grafik Sebaran Indeks Gravelius setiap Sub DAS Kemiringan rerata DAS (Ia) memberikan pengaruh pada besarnya waktu konsentrasi. Semakin tinggi nilai Ia semakin cepat pula waktu konsentrasi (Seyhan, 1977). Gambar 3 menunjukkan Sub DAS Genitring mempunyai nilai Ia paling besar, sedangkan Sub DAS Mati mempunyai nilai Ia paling kecil. Sebaran Nilai Ia Sumberawan Klampok Jurang Tamu Genitring Bodo Mewek Mati Sari Sumpil Wendit Lahor Bango 219

221 Rb Gambar 3. Grafik Sebaran Kemiringan Rerata Setiap Sub DAS Rasio percabangan sungai (Rb) mengindikasikan tingkat kecep atan pengeringan drainase suatu DAS. Semakin kecil nilai Rb semakin besar kecepatan pengeringan drainase (Seyhan, 1977). Gambar 4 menunjukkan Sub DAS Jurang Tamu mempunyai nilai Rb paling besar, sedangkan Sub DAS Sumpil paling kecil. Sebaran Nilai Rb Sumberawan Klampok Jurang Tamu Genitring Bodo Mewek Mati Sari Sumpil Wendit Lahor Bango Gambar 4. Grafik Sebaran Rasio Perca-bangan Sungai Setiap Sub DAS Kerapatan drainase (D) rendah mem berikan indikasi panjang aliran permukaan aliran permukaan lebih panjang, kecepatan rarata relatif rendah, sehingga memberikan indikasi debit puncak banjir yang lebih kecil. Gambar 5 menunjukkan Sub DAS Wendit memiliki kerapatan drainase paling kecil. 220

222 D (km/km2) Sebaran Nilai D Sumberawan Klampok Jurang Tamu Genitring Bodo Mewek Mati Sari Sumpil Wendit Lahor Bango Gambar 5. Grafik Sebaran Kerapatan Drainase Setiap Sub DAS Kemiringan rerata sungai utama (Su), panjang sungai utama (Lb), dan lebar DAS (W) berpengaruh terhadap besarnya panjang aliran permukaan (Lg) dan faktor topografi (T). Faktor topografi berpe-ngaruh terhadap waktu dan kecepatan aliran permukaan suatu DAS. Semakin kecil nilai faktor topografi semakin cepat pengaliran di badan sungai, sehingga debit banjir yang terjadi semakin besar. Gambar 6 menunjukkan faktor topografi Sub DAS Genitring paling ting gi, mengindikasikan debit puncak banjir yang relatif kecil pula. 221

223 T (km) Sebaran Nilai T Sumberawan Klampok Jurang Tamu Genitring Bodo Mewek Mati Sari Sumpil Wendit Lahor Bango Gambar 6. Grafik Sebaran Faktor Topografi Setiap Sub DAS Penggunaan lahan yang bersifat kedap mengindikasikan debit banjir lebih besar dibanding tak kedap. Gambar 7 dan Gambar 8 menunjukkan DAS Bango didominasi oleh jenis penggunaan lahan pertanian yang bersifat tak kedap, yaitu lahan tegalan 9324,302 km2 (39,945 %), lahan sawah irigasi 4659,225 km2 (19,960 %), dan lahan Sawah Tadah Hujan 104,599 km2 (0,448 %). 222

224 Persentase Sebaran Jenis Penggunaan Lahan Hutan Kebun/Perkebunan Permukiman Rumput/Tanah Ko... Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Semak/Belukar Tegalan/Ladang Gambar 7 Grafik sebaran jenis penggunaan lahan DAS Bango 223

225 Gambar 8. Peta Penggunaan Lahan DAS Bango 224

226 Jenis tanah memberikan pengaruh pada laju infiltrasi, data peta jenis tanah pada DAS Bango menunjukkan dominasi jenis tanah Inceptisols (51,108 %), Inceptisols dan Entisols (26,987%). Model hujan-aliran dinyatakan dengan model koefisien aliran permukaan (Cm) dan model debit banjir (Qm). Model Cm yang dipilih berdasarkan analisis regresi-korelasi linier berganda adalah model dengan R2 Adjusted tertinggi (0,959) dan salah baku terkecil (0,0261). Parameter yang paling berpengaruh terhadap Cm adalah kemiringan rerata DAS (Ia), panjang sungai utama (Lb), faktor topografi (T), faktor jenis tanah (S), dan faktor penggunaan lahan (Lu). Bentuk model Cm dan Qm berdasarkan hasil verifikasi menggunakan pengujian variansi sampel dengan uji t diperoleh nilai t = pada derajad kepercayaan 5%, yang berarti lebih kecil dari nilai t kritis = adalah sebagai berikut: Cm = Ia Lb T Lu S Qm= (0.222 x ( Ia Lb T Lu S) x I x A) dimana: Cm = model koefisien aliran permukaan; Ia = kemiringan rerata DAS (%); Lb = panjang sungai utama (km); T = faktor topografi (km); S = faktor jenis tanah (mm/jam); Lu = faktor penggunaan lahan (mm/menit); I = intensitas hujan (mm/jam); A = luas DAS (km2). Kesimpulan KESIMPULAN Berdasarkan analisis dan perhitungan yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : Karakteristik fisik DAS Bango yang berpengaruh terhadap koefisien aliran permukaan adalah kemiringan rerata DAS, faktor panjang sungai utama, faktor topografi, faktor penggunaan lahan, dan faktor jenis tanah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai ukuran keakuratan model R2 Adjusted sebesar dan Salah Baku sebesar Bentuk hubungan antara kemiringan rerata DAS (Ia ), faktor panjang sungai utama (Lb), faktor topografi (T), faktor penggunaan lahan (Lu), dan faktor jenis tanah (S) terhadap koefisien aliran permukaan (Cm) pada DAS Bango adalah linier dengan persamaan sebagai berikut: 225

227 Cm = Ia Lb T Lu S Saran Peneliti yang berminat dalam pendu-gaan debit banjir menggunakan parameter karakteristik fisik DAS perlu memper-hatikan kelengkapan data series hujan-aliran minimal selama 10 tahun agar diperoleh akurasi yang tinggi. DAFTAR PUSTAKA Anwar, M.R., 2002, Estimasi Koefisien Limpasan Beradasarkan Citra Foto Udara Pankromatik Hitam Putih Melalui Pendekatan Karakteristik Fisik Permukaan Lahan (Studi Kasus di Kotamadya Yogyakarta), J. Teknik, IX (2): Aronoff, S., 1989, Geographic Information System, A Management Perspec tive, WDL, Publication Ottawa, Canada. Belmonte, A.C., Gonzales, J. M., Mayorga, A. V., dan Fernandes, S. C., 1999, GIS Tool Applied to the Sustainable Management of Water, Application to the Aquifer System 08-29, J. Agriculture Water Management, 40: Bhaskar, N.R., Parida, B.P. dan Nayak, A.K., 1997, Flood Estimation for Ungauged Catchment Using the GIUH, J. Water Resources Planning and Management, 123 (4): Calder, I.R., 1995, The Impact of Land Use Change on Water Resources in sub - Saharan Africa : a Modelling Study of Lake Malawi, J. Hydrology, 170: Gupta, R.S., 1989, Hydrology and Hydraulic Systems, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. Hameed, S.M.A., Awad, N. M., ElMoghraby, A. I., Hamid, A. A., Hamid. S. H., Osman, O. A., 1997, Watershed Management in the Dinder National Park, Sudan, J. Agriculture And Forest Meteology, 84: Kodoatie, R.J. dan Sugianto, 2002, Banjir, Beberapa Penyebab dan Metode Pengendalinnya dalam Perspektif Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 226

228 Legates, D.R. dan McCabe G.J.J., 1999, Evaluating the Use of Goodness -of-fit Measures in Hydrologic and Hydroclimatic Model Validation, Water Rsouces Res., 35 (1): Mays, L.W. dan Tung, Y.K., 1992, Hydrosystems Engineering And Management, McGraw-Hill Inc, New York. Meijerink, A.M.J., 1970, Photo Inter pretation in Hydrology A Geo morphology Approach, ITC Publi cation, Netherland. Metcalf dan Eddy, 1978, Wastewater Engineering, Collection Treatment Disposal, Tata McGraw-Hill Pu-blishing Company Ltd, New Delhi. Meijerink, A.M.J., 1970, Photo-Inter pretation in Hydrology A Geomorphological Approach, ITC-Enschede, Nether land. Musy, A., 2001, Watershed Characteristic, 05/10/2005. Nandakumar, N. dan Mein, R.G., 1997, Uncertainty in Rainfall-Runoff Model Simulations and the Implications for Predicting the Hydrologic Effects of Land-Use Change, J. Hydrology, 192: Paloscia, S., Pampaloni, P., Macelloni, G., dan Sigismondi, S., 1999, Micro wave Remote Sensing of Hydro logical Parameters on the NOPEX Area, J. Agriculture And Forest Meteorology, 98-99: Ratnayake, U., 2005, Watershed Charac teristics, Engineering hydrology, http// /search?q=cache;euwq1hgw7f8j; cademic%..20/05/ Sample, D.J., Heaney, J. P., Wright, L. T., dan Koustas, R., 2001, Geographic Information Systems, Decision Support Systems, and Urban Storm-Water Management, J. Water Resources Planning and Mana gement, 127 (3): Sapirin, I., 2003, Identifiksi Penggunaan lahan dengan menggunakan Citra Landsat Thematic Mapper, Bulletin Teknik Pertanian, Vol. 8 Nomor 2. Sastrosupadi, A., 2003, Penggunaan Regresi, Korelasi, Koefisien Lintas, dan Analisis Lintas, Untuk Penelitian Bidang Pertanian, Bayu media Publishing, Malang. Savenije, H.H.G., 1996, The Ronoff Coeffisient as the Key to Moisture Recycling, J. Hydrology, 176:

229 Seyhan, E., 1977, The Watershed as an Hydrology Unit, Geografisch Instituut Transitorium II Heidel berglaan 2, Utrecht, Netherland. Sri Harto, BR, 1989, Analisis Hidrologi, PAU-IT UGM, Yogyakarta. Sudjarwadi, 1991, Sistem Hidrologi dan Drainasi, Pusat Antar Universitas Ilmu Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sutanto, 1977, Pemanfaatan Teknik Teledeteksi untuk Penyadapan Penggunaan Lahan, Fakultas Geo grafi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta., 1987, Penginderaan Jauh, Jilid 1 dan 2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Tambunan, M. P., 2002, Flood Modelling Ular Watershed in North Sumatera, IAPRS, Vol.XXXIV, Part 2, Commission II. Taylor, A. B. dan Schwarz, H. E., 1952, Unit Hydrograph Lag and Peak Flow Related to Basin Charac teristics, Am. Geophysic Union, 33: Wahlstrom, E., Loague, K. dan Kyriakidis, P.C., 1999, Hydrologic Response : Kaho olawe, Hawaii, J. Environ. Qual, 28: Evaluasi 1. Sebutkan beberapa contoh tentang perilaku aliran air! 2. Apa yang dimaksud dengan runoff? 3. Sebutkan beberapa komponen runoff! 4. Sebutkan beberapa metode pemisahan baseflow! 5. Sebutkan beberapa kriteria koefisien runoff! 228

230 POKOK BAHASAN XIII. HIDROMETRI Deskripsi Singkat Hidrometri adalah suatu ilmu yang mempelajari pengukuran air atau suatu ilmu untuk mengumpulkan data dasar bagi analisis hidrologi. Dalam bab ini disajikan berbagai macam model dan metode pengukuran infiltrasi, evapotranspirasi, debit, suspensi, pembuatan lengkung aliran dan analisis hidrograf. Dari hasil analisis data hidrologi kemudian dapat digunakan untuk melakukan analisis neraca air dan neraca hara suatu kawasan (DAS) sehingga dapat dijadikan model monitoring dan evaluasi DAS Relevansi Dengan mempelajari materi tentang hidrometri, mahasiswa mampu melakukan pengukuran faktor-faktor hidrologi di lapangan sehingga dapat menghasilkan data yang valid. Dari data tersebut, mahasiswa dapat melakukan analisis-analisis melalui berbagai macam metode untuk mendapatkan suatu hasil analisis yang baik dan benar sehingga dapat dijadikan sebagai bahan untuk melakukan monitoring dan evaluasi suatu kawasan hutan atau suatu daerah aliran sungai (DAS) Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari bab ini mahasiswa mampu melakukan pengukuran di lapangan untuk memperoleh data hidrologi dan melakukan analisis data untuk dapat ditampilkan sebagai suatu hasil analisis yang baik. Harapannya mahasiswa mampu mendesain suatu model untuk monitoring dan evaluasi suatu DAS. 229

231 Pengertian Secara umum hidrometri adalah suatu ilmu yang mempelajari pengukuran air atau suatu ilmu untuk mengumpulkan data dasar bagi analisis hidrologi. Di dalam analisis hidrologi khususnya mengenai hidrograf aliran, ada dua data dasar yang diperlukan yaitu pengukuran tinggi muka air dan debit. Satuan debit sering dipakai m 3 /detik. Pengukuran debit sampai saat ini belum dapat dilakukan secara otomatis karena harus diukur secara langsung yaitu dengan bantuan alat pengukur kecepatan aliran sungai dan pengukur luas penampang aliran sungai. Dengan cara ini akan didapat debit sungai pada ketinggian muka air tertentu. Tinggi muka air dengan mudah dapat didapat secara kontinyu dengan bantuan alat AWLR (Automatic Water Level Recorder). Hasil pencatatan alat AWLR ini disebut Stage hidrograf (suatu garis yang menghubungkan antara waktu dengan tinggi muka air). Discharge hidrograf dapat diturunkan dengan data tinggi muka air dan discharge rating curve. Discharge Rating Curve Discharge rating curve adalah curve yang menggambarkan hubungan antara debit sungai dengan tinggi muka air seperti pada gambar di bawah ini : H Q = 21,822 H 2,5844 Gambar Discharge Rating Curve Q 230

232 Dengan suatu konversi maka akan diperoleh hubungan antara tinggi muka air dengan debit sehingga dengan mudah diperoleh data debit pada setiap ketinggian muka air tertentu. Discharge rating curve dibuat berdasarkan data pengukuran langsung di lapangan yaitu pengukuran debit aliran pada berbagai tinggi muka air (tinggi muka air terendah sampai tertinggi), persamaan garis dibuat dengan teknik regresi. Setelah discharge rating curve selesai dibuat, pekerjaan selanjutnya adalah : - Menghitung tinggi muka air dari stage hydrograph yang direkam oleh AWLR atau Logger. Pada umumnya dibaca rata-rata harian atau menurut keperluan seperti studi banjir pembacaan stage hydrograph pada saat curve relatif tegak (karena adanya kenaikan tinggi muka air) dengan interval tiap lima menit sedang untuk curve yang relatif mendatar dapat digunakan interval tiap 30 menit sampai 1 jam. - Menghitung debit aliran dengan cara memasukkan angka tinggi muka air ke dalam persamaan discharge rating curve Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) Dalam Pemilihan lokasi atau penentuan lokasi SPAS perlu dipertimbangkan beberapa faktor antara lain : 1. Kebutuhan akan data atau tujuan pemasangan SPAS. 2. Biaya yang tersedia baik untuk pemasangan maupun penyimpanan dan pengolahan data sehubungan dengan kerapatan SPAS. 3. Tenaga terdidik yang tersedia 4. Sifat-sifat atau karakteristik daerah aliran sungai. Berbicara tentang penempatan SPAS beberapa persyaratan yang harus diperhatikan adalah : 1. Pilih pada bagian sungai yang lurus 2. Arus sungai sejajar, sedikit mungkin terjadi turbulensi 3. Penampang sungai yang stabil (tidak mengalami pengikisan maupun sedimentasi). 231

233 4. Pemilihan tempat yang dapat dilihat dari seluruh sistem sungai 5. Bentuk penampang reguler 6. Tidak terpengaruh aliran balik 7. Tidak terjadi perluapan (over flow) 8. Tidak diganggu tanaman air. 9. Tidak terpengaruh pasang surut sungai utama 10. Fluktuasi muka air nyata. 11. Mudah didatangi pada setiap saat (memudahkan dalam pengamatan dan perawatan) SPAS yang dibangun harus dilengkapi dengan peralatan seperti : 1. bangunan pelindung AWLR 2. pipa pelindung pelampung AWLR 3. kabel pengaman pengukuran arus 4. peilskall 5. current meter (alat pengukur kecepatan arus) 6. suspended sampler (alat pengambil sampel suspensi) 7. botol tempat sampel dan kertas saring Peilskal (Papan Duga) Biasanya terbuat dari alumunium dengan skala tertentu disamping itu alat ini : 1. Murah harganya 2. Murah biaya pemasangannya Yang perlu diperhatikan dalam pemasangannya antara lain : 1. Pemasangan papan duga supaya diikatkan dengan banch merk tetap dan dipasang pada titik ketinggian yang tetap (tidak boleh diubah-ubah / dipindah-pindah). 2. Dipasang pada penyangga yang kokoh misal pilar/pangkal jembatan atau bangunan lain yang dipersiapkan. 3. Usahakan agar tidak langsung menghadap arus sungai (sulit pembacaan dan kemungkinan rusak karena sampah). 232

234 4. Papan duga agar dapat mencakup tinggi muka air minimum dan tinggi muka air maksimum yang mungkin terjadi. Cara pemasangan papan duga : 1. Papan duga vertikal 2. Papan duga miring 3. Papan duga bertingkat 233

235 Setiap papan mempunyai panjang 1 meter, dipasang bertingkat. Gambar Model Pemasangan Papan Duga Ada dua macam SPAS yaitu : 1. SPAS otomatik Perubahan tinggi muka air dicatat oleh AWLR atau logger. Dengan AWLR perubahan tinggi muka air aliran selalu tercatat secara kontinyu (hydrographnya berupa garis penuh). 2. SPAS tidak otomatik Pengamatan tinggi muka air dibaca manual oleh si pengamat pada jam tertentu (waktu pembacaan tergantung dari tujuan penelitian). 234

236 Perbedaan hasil pengamatan dapat diperiksa gambar berikut : Gambar Perbedaan Hasil Pencatatan antara SPAS Manual dan Otomatis Kelemahan SPAS tidak otomatik : - Ketelitian yang tinggi sulit dicapai (tergantung kejituan si pengamat) - Pada sungai-sungai yang sangat sensitif kalau interval waktu pembacaan terlalu panjang, akan banyak informasi yang hilang (misal debit tertinggi atau terendah tidak diketahui), seperti terlihat pada gambar di atas. Data tinggi muka air yang diperoleh dari pembacaan stasiun duga air tidak otomatik dibaca tiga kali sehari yaitu pada jam 7.00; jam dan jam Nilai tinggi muka air rata-rata diperoleh dengan cara merata-ratakan hasil pembacaan tadi. 235