Rumah adat yang berada di wilayah dataran rendah

Rumah adat yang berada di wilayah dataran rendah

Rumah adat yang berada di wilayah dataran rendah
Lihat Foto

Dokumen Chandara Alam

Salah satu jenis rumah adat Sulawesi Tengah.

JAKARTA, KOMPAS.com - Bangunan tradisional Indonesia merupakan hasil dari pengetahuan masyarakat yang hidup selaras dengan lingkungan.

Rifai Mardin, dosen teknik arsitektur dari Universitas Tadulako, menuturkan, masyarakat zaman dulu telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kondisi wilayah tempat tinggalnya.

Pengetahuan ini tercermin dalam berbagai tradisi, termasuk dalam merancang bangunan.

"Local wisdom ini sebenarnya masih terbawa sampai saat ini dengan bentuk bangunan yang relatif siap terhadap gempa," tutur Rifai kepada Kompas.com, Sabtu (6/10/2018).

Rifai mengatakan, masyarakat terdahulu memang sudah hidup dengan gempa. Maka dari itu budaya lokal juga mencerminkan antisipasi jika terjadi bencana, termasuk dalam merancang bangunan.

"Intinya semua bangunan tradisional atau bangunan vernakular di zamannya tentu sudah memperhitungkan permasalahan sekitar," ujar Rifai.

Tahan bencana

Menurut Rifai Mardin, Sulawesi Tengah memiliki beberapa jenis rumah tradisional.

"Rata-rata rumah panggung," tutur Rifai.

Model panggung ini memiliki berbagai fungsi. Salah satunya adalah mencegah binatang buas masuk ke dalam rumah.

Rumah Gadang berasal dari Provinsi Sumatera Barat. Rumah adat suku Minangkabau ini memiliki keunikan di bagian atap. Bentuk atap memanjang ke samping dan bergonjong runcing seperti tanduk kerbau.

Rumah suku Minangkabau ini bentuknya hampir sama seperti rumah panggung pulau Sumatera. Tetapi, rumah ini memiliki keunikan tersendiri mulai dari bentuk, bahan bangunan, sampai motif ukiran kayu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gonjong artinya makin ke ujung semakin lancip, seperti atap rumah Gadang semakin ke atas semakin lancip.

Melansir buku "Buku Rumah Gadang yang Tahan Gempa"  diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, atap gonjong ini berhubungan dengan cerita rakyat.

Menurut cerita, dahulu suku Minangkabau meraih kemenangan adu kerbau melawan raja dari Jawa. Akhirnya masyarakat Minangkabau terinspirasi membuat rumah yang atapnya menyerupai tanduk kerbau.

Baca Juga

Jika dilihat bentuk rumah Gadang seperti badan kapal. Bagian rumah ini bentuknya persegi empat tetapi tidak seimbang. Atapnya melengkung ke arah samping, sedangkan badan rumah landai seperti kapal.

Advertising

Advertising

Rumah Gadang memiliki jendela miring dan tidak simetris. Bentuk jendela ini mengikuti bangunan dinding rumah. Ukuran rumah Gadang terbuat dari papan dan berukuran besar.

Ada 12 jendela rumah dibagi menjadi 2 jendela bagian kiri, 2 jendela bagian kanan, dan 8 jendela bagian depan. Jendela ini berfungsi sebagai tempat pertukaran udara dan masuknya sinar matahari ke rumah.

4. Tiang dibangun untuk antisipasi gempa

Konstruksi rumah Gadang dibuat sesuai kondisi tempat tinggal. Daerah Minangkabau terletak di dataran tinggi dan dataran rendah yang rawan gempa.

Bentuk bangunan rumah Gadang dibuat tinggi untuk mengatasi hembusan angin kencang yang datang dari berbagai tempat. Bagian tiang rumah tidak ditanamkan ke tanah melainkan bertumpu di atas batu datar yang kuat dan lebar.

Tiang rumah tidak lurus dan memiliki kemiringan. Bagian tiang penyangga rumah menyerupai kapal. Filosofinya, kapal berlayar ke lautan dan terombang-ambing oleh ombak. Prinsip pembuatan kapal ini menjadi inspirasi bangunan rumah Gadang.

Batu yang menjadi tumpuan tiang disebut sandi. Fungsi sandi antara lain menahan air tanah ke tiang, memperlebar luas permukaan yang bersentuhan dengan tanah, dan menjaga tiang bangunan tetap stabil ketika ada gempa.

5. Rankiang

Rangkiang atau lumbung adalah rumah kecil yang berada di pinggir rumah Gadang. Rankiang dipakai untuk menyimpan padi dan sumber makanan lain.

Bentuk Rangkiang disesuaikan dengan rumah Gadang. Ruangan ini memiliki pintu kecil untuk ke atas. Terdapat loteng berbentuk segitiga yang disebut singkok.

Setiap rumah Gadang, memiliki jumlah Rangkiang berbeda yang memberi gambaran keadaan suku. Ada 4 jenis kegunaan Rangkiang, antara lain:

  • Sitinjau lauik (si tinjau laut)

Tempat menyimpan padi yang digunakan untuk membeli barang atau keperluan rumah tangga. Tipe Rangkian ini lebih pipih dan berdiri di atas empat tiang.

Rangkiang ini adalah tempat penyimpanan padi untuk makanan sehari-hari. Ukuran bangunan lebih besar dan dibangun di bagian kanan rumah Gadang.

  • Si Tangguang lapa (Si tanggung lapar)

Bagian lumbung untuk menyimpan padi cadangan untuk musim paceklik. Bentuk tiang bangunan ini persegi.

  • Rangkiang Kaciak (rangkiang kecil)

Rangkiang untuk menyimpan benih padi dan berbagai perawatan untuk pertanian. Bentuk bangunan lebih pendek dan lebih kecil.

6. Pintu Rumah Gadang tidak menghadap ke jalan

Pintu rumah Gadang tidak menghadap ke jalan karena ada aturan yang dijalankan hingga kini. Aturan tersebut dibuat supaya pintu tidak terlihat langsung dari luar rumah. Selain itu untuk mengurangi penyimpangan dan penilaian buruk dari masyarakat yang lewat didepan rumah.

7. Ukiran rumah Gadang

Rumah Gadang memiliki tiga jenis ukiran untuk tiang yaitu tumbuhan, hewan, dan benda-benda yang digunakan  sehari-hari. Ukiran tradisional ini merupakan gambaran kehidupan masyarakat Minangkabau.

Baca Juga

Dari buku elektronik "Keajaiban Arsitektur Rumah Gadang" karya Chandra Okta Fiandi, ada tiga jenis rumah Gadang, yaitu:

1. Rumah Gadang Gajah Maharam

Bagian ujung kanan dan kiri rumah Gadang, memiliki ruangan yang seolah-olah seperti sambungan bangunan utama. Ruangan ini dipakai sebagai tempat bersanding pengantin atau ninik mamak ketika upacara adat.

Selain upacara adat, ruangan ujung dipakai untuk menenun dan bermain anak-anak. Ruangan bagian ujung ini disebut anjungan.

2. Rumah Gadang Rajo Babandiang

Jenis rumah Gadang ini tidak memiliki anjuang. Namun, salah satu ruangan di bagian ujung tingginya mencapai 20-30 cm. Ruangan yang ditinggikan ini disebut tingkah. Bagian atap biasanya lebih tinggi dan makin lancip.

3. Rumah Gadang Bapaserek

Rumah Gadang Bapaserek memiliki ruangan yang ditinggikan (tingkah) di sebelah kiri. Jenis rumah ini masih ada di daerah Koto Nan Ampek dan Kota Payakumbuh.

Berdasarkan masa kepemimpinan Kerajaan Minangkabau, rumah Gadang dibentuk dari dua aliran. Dahulu ketika masa Pemerintahan Datuk Katumanggungan pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah, namun keputusan tertinggi ada pada pemimpin.

Ketika Pemerintahan Datuk Parpatiah Nan Sabatang, musyawarah diputuskan secara mufakat. Dua aliran ini mempengaruhi tipe rumah Gadang.

1. Rumah Gadang Pola Koto Piliang (Aristokrat)

Rumah Gadang ini terdiri dari 3 gonjong, yaitu 3 gonjong di kiri dan di kanan, 1 gonjong depan, dan 1 gonjong belakang. Bagian anjungan (ujung) berada di kiri dan kanan.

Anjungan ini dipakai tempat tertinggi para pemimpin. Sehingga ruangan agak ditinggikan. Rumah ini memperlihatkan bahwa pimpinan tidak sejajar dengan masyarakat sehingga derajatnya lebih tinggi.

2. Rumah Gadang Pola Budi Caniago (Demokrat)

Rumah ini dibagi menjadi 2 gonjong kanan, 2 gonjong kiri, 1 gonjong depan dan 1 gonjong belakang. Rumah Gadang model Budi Caniago tidak memiliki anjungan, sehingga posisi duduknya sejajar. Rumah Gadang ini menerapkan semua keputusan musyawarah secara mufakat. Sehingga semua orang memiliki kesempatan sama untuk menyampaikan aspirasi.

Rumah ulu adalah salah satu dari tiga tipologi arsitektur rumah tradisional yang berada di wilayah Sumatra Selatan, dua yang lainnya adalah Rumah Limas dan Rumah Gudang.[1] Rumah ini berasal dari dataran tinggi Besemah di barat dan menyebar ke arah timur dataran rendah pemukiman sepanjang sungai Ogan.[1] Rumah ulu bentuknya panggung dengan dinding kotak dan atap curam.[1] Rumah ulu merupakan rumah tradisional warga yang bertempat tinggal di daerah hulu Sungai Musi, Provinsi Sumatra Selatan.[2] Secara etimologis, ulu berasal dari kata uluan yang memiliki berarti pedesaan.[2] Uluan juga digunakan sebagai sebutan bagi masyarakat yang memiliki pemukiman di bagian hulu Sungai Musi.[2]

Rumah adat yang berada di wilayah dataran rendah

Rumah ulu khas Ogan

Secara umum, rumah ulu mempunyai bentuk dasar denah segi empat yang terdiri dari garang di bagian paling depan.[1] Pada bagian tengah terdiri dari sengkar bawah dan sengkar atas.[1] Selain itu, pada rumah ulu terdapat seperti sebuah plafond tetapi hanya berada pada sebagian ruangan yang bernama pagu hantu.[1] Pagu hantu digunakan untuk tempat penyimpanan barang atau bahan makanan.[1]

Percungkupan atau atap

Bangunan inti merupakan badan rumah yang berbentuk kotak bujur sangkar yang diletakkan di atas konstruksi pilar dan balok.[3] Bentuk atap pelananya adalah curam 45 derajat dan persegi panjang.[3] Atap pelana curam merupakan bagian penting dari Rumah Ulu dan didukung oleh balok rangka dinding bangunan inti yang kokoh.[3] Bahan penutup atap adalah genteng dan kontruksinya menggunakan kayu.[3] Bentuk atap juga diperkaya dengan berbagai ornamen atau ragam hias.[3] Namun yang khas adalah ornamen di kedua sisi bagian atap terpasag bidang tebeng layar dengan bagian akhir tepi oleh listplank pertemuan silang di bagian atasnya.[3]

Bangunan inti

Bentuk atap pada bagian badan bangunan terdapat dinding, pintu, dan jendela.[1] Pada umunya sama dengan arsitektur rumah ulu di Sumatra Selatan.[1] Bahan dinding berasal dari papan kayu dengan jendela yang ukurannya kecil, begitu juga dengan pintu-pintunya.[1] Bagian pintu dan jendela ditambahkan dengan berbagai motif ragam hias.[3] Bagian inti sebelah dalam terdiri dari satu ruangan utama yang terbagi menjadi dua oleh perbedaan permukaan lantai yang lebih tinggi (luan) dan menempati kira-kira sepertiga dari total luas ruangan dalam rumah inti.[1] Fungsinya sebagai tempat tidur atau sebagai tempat orang tua duduk pada saat sebuah upacara sedang berlangsung.[1] Permukaan lantai yang lebih rendah (tumpuan) dipakai sebagai dapur dan ruang makan.[1] Ruang yang berukuran luas di bawah atap diperuntukkan sebagai sirkulasi udara dan memberikan iklim kenyamanan di dalam bangunan.[1] Ruang yang terbentuk di bawah rumah inti dipakai sebagai tempat penyimpanan barang sekaligus berperan menjaga kestabilan bangunan.[1]

Kaki dasar bangunan

Bentuk arsitektur tradisional di daerah Sumatra Selatan yaitu bangunan yang disokong oleh tiang atau disebut bangunan panggung.[1] Tiang tersebut pada umumnya berasal dari kayu gelondongan yang utuh.[1] Begitu pula dengan arsitektur rumah ulu Minanga berbentuk rumah panggung dengan tiang dari pohon kayu gelondongan yang diolah jadi bentuk geometri persegi enambelas.[3] Hal tersebut berbeda dengan bentuk bangunan di Semendo dan Pasemah yang utuh atau bulat.[1] Namun saat ini tiang yang aslinya berbentuk geometri persegi enambeas sudah diganti dengan balok kayu.[1] Jumlah dan jarak antar tiang tidak bisa diketahui secara tepat seperti tiang arsitektur tradisional rumah ulu Semendo yang berjumlah sembilan.[1] Tiang tersebut juga ditambahkan dengan berbagai ragam hias yang berada di antara tiang dengan balok-balok lantainya.[1]

Teras/Garang dan tangga

Bagian garang dan tangga adalah bagian penting dalam bentuk arsitektur tradisional Sumatra Selatan.[1] Begitu juga dengan arsitektur rumah tradisional ulu di Minanga.[3] Garang pada arsitektur tradisional rumah ulu ada dua yaitu garang depan dan garang belakang.[1] Garang tersebut adalah bagian transisi dari bagian tanah untuk masuk ke dalam rumah dengan naik melalui tangga, terutama garang depan.[1] Selain itu, garang-garang tersebut juga digunakan sebagai tempat mengeringkan perabotan rumah tangga.[1] Garang depan dan belakang dibentuk terbuka tanpa atap.[1] Hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai tempat pengering tadi.[1] Sebaliknya ruang tangga dipasang sebuah atap.[1] Anak tangga digunakan sebagai tempat duduk, bersanti menikmati angin sepoy-sepoy sambil bercengrama dengan tetangga atau anggota keluarga.[1] Selain itu, bisa juga digunakan untuk kegiatan petanan (mencari kutu).[1] Meskipun letak garang dan tangga berada di sisi daratan, tetapi harus tetap berorientasi ke arah sungai.[1]

Pembangunan rumah ulu harus menuruti aturan yang telah disepakati sebelumnya oleh masyarakat.[2] Aturan tersebut antara lain, pembangunan rumah harus menghadap ke bagian depan garis aliran air.[2] Hal ini dilakukan agar rumah yang dibangun terbebas dari banjir bandang yang bisa melanda kampung kapan saja.[2] Selain itu, pembangunannya harus mengikuti sistem ulu-ulak (ilir), yaitu jika lahan yang dibangun rumah masih tersedia ruang yang luas dan memiliki rencana membangun rumah ulu berikutnya, maka pembangunannya harus dimulai dari bagian yang paling hulu.[2] Sistem ulu-ulak (ilir) ini bukan hanya pengaturan pembangunan rumah saja.[2] Melainkan juga jadi pengaturan ruang secara sosial.[2] Rumah di bagian paling hulu diperuntukkan sebagai tempat bagi masyarakat yang mempunyai usia lebih tua dalam garis keluarga, dan seterusnya hingga ke rumah paling hilir yang harus ditempati oleh keturunan yang berumur paling muda.[2] Sistem ini juga berlaku dalam pembagian ruang bagian dalam rumah.[2]

Rumah ulu yang dimiliki oleh bangsawan dan rakyat biasa memiliki perbedaan bentuk dan susunan lantai.[4] Rumah untuk rakyat umumnya mempunyai lantai dengan satu ketinggian atau disebut juga tidak berundak.[4] Sebaliknya, lantai rumah keturunan keluarga pangeran atau bangsawan mempunyai ketinggian berundak yang terdiri dari tiga tingkatan atau pangkat.[4] Pangkat satu, berada paling atas digunakan oleh keluarga atau keturunan pangeran ketika ada acara pernikahan atau selamatan.[4] Pangkat kedua, ditempati oleh masyarakat yang memiliki marga, sedangkan pangkat ketiga ditempati oleh rakyat biasa.[4] Aturan ini mirip dengan rumah limas yang memiliki lantai berundak atau kekijing.[4] Walaupun demikian, ada juga rumah limas yang memiliki satu ketinggian lantai yang dikenal dengan rumah Limas Gudang.[4] Rumah ulu dihiasi juga oleh ornamen dan ukiran yang dibubuhkan pada tiang, balok, pintu,dan juga listplank.[4] Ornamen tersebut merupakan indikasi adanya pengaruh agama Islam yang telah berkembang di masyarakat.[4] Ragam hias non-geometris pada rumah ini berupa motif tumbuhan atau flora.[4] Motif hewan sendiri jarang dijumpai.[4] Motif yang paling banyak ditemukan adalah ukiran yang menyiratkan kehidupan berkesinambungan.[4] Motif bunga tertentu dan motif matahari pada rumah ulu juga memberikan arti mendalam yang berterkaitan dengan kehidupan manusia.[4]

Kesinambungan / Perubahan Rumah Ulu Besemah Rumah Ulu Semendo Rumah Ulu Ogan
Sistem Spasial (pola ruang, orientasi, dan hierarki)
  • Pola linier mengikuti kontur dan orientasi jalan, tidak ditemukan hierarki.[1]
  • Ukuran rumah inti 6x6 m sampai 7x7 m.[1]
  • Penambahan dapur di belakang, bangunan terpisah dengan bangunan inti.[1]
  • Pintu masuk berada di samping.[1]
  • Pola linier mengikuti kontur dan orientasi jalan, tidak ditemukan hierarki.[1]
  • Ukuran Rumah inti 5x5m sd 6x6m.[1]
  • Penambahan ruang dapur di belakang, bangunan terpisah dengan bangunan inti.[1]
  • Pintu masuk berada di samping.[1]
  • Tipe kluster, orientasi ke jalan.[5]
  • Tidak ditemukan hierarki.[5]
  • Penambahan ruang di sekeliling rumah inti, bagian samping dan belakang tertutup untuk dapur, bagian depan terbuka, sebelah kiri untuk beranda dan pintu masuk, sebelah kanan sebagai wilayah transisi.[5]
Sistem Fisik (Wujud, pembatas ruang dan karakter bahan)
  • Bubungan berbentuk lengkung, tebeng layar miring.[1]
  • Penutup atap dari seng.[1]
  • Dinding belakang menggunakan anyaman bambu kasar.[1]
  • Adanya pembatas ruang.[1]
  • Bubungan berbentuk lengkung, tebeng layar miring.[1]
  • Penutup atap dari seng.[1]
  • Dinding belakang menggunakan anyaman bambu kasar.[1]
  • Adanya pembatas ruang.[1]
  • Bubungan atap berebentuk datar, tebeng layar tegak.[5]
  • Tambahan atap berebentuk miring mengelilingi bangunan.[5]
  • Bahan penutup atap menggunakan genteng.[5]
  • Dinding belakang menggunakan kayu.[5]
  • Adanya pembatas ruang.[5]
Sistem Stilistik (bagian atap, kolom, bukaan, danragam hias)
  • Hiasan pada rangka dinding menghadap ke jalan.[1]
  • Simbol matahari pada dinding menghadap ke jalan.[1]
  • Hiasan pada rangka dinding menghadap ke jalan.[1]
  • Simbol bulan pada dinding menghadap ke jalan.[1]
  • Alur/profil pada tiang tinggi berada di bagian teras.[5]
  • Hiasan pada rangka diinding menghadap ke depan.[5]
  • Arsitektur Sumatra Selatan
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay http://eprints.unsri.ac.id/7996/1/IPLBI2016-I-145-150-Tipologi-Arsitektur-Rumah-Ulu-di-Sumatra-Selatan.pdf[pranala nonaktif permanen]
  2. ^ a b c d e f g h i j k Kaya, Indonesia. "Rumah Ulu, Rumah Bernilai Estetis Pembentuk Keluarga Harmonis - Situs Budaya Indonesia". IndonesiaKaya (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2019-03-05. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  3. ^ a b c d e f g h i "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-02-14. Diakses tanggal 2019-02-25. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m Sukanti, dkk., 1994. Rumah Ulu Sumatra Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Negeri Propinsi Sumatra Selatan,“Balaputra Dewa”, Palembang.
  5. ^ a b c d e f g h i j "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-03-06. Diakses tanggal 2019-03-06. 
  • Rumah ulu tercatat sebagai warisan budaya Sumatra Selatan
  • Video rumah ulu

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Rumah_Ulu&oldid=20944837"