Orang suci yang bertugas di suatu Pura disebut

Seseorang yang telah didiksa, maka ia berstatus sebagai orang suci atau dibali sering disebut sulinggih. Diberi gelar sesuai dengan wangsanya atau keturunannya dan mempunyai wewenang ngelokapalacraya. Sebelum puncak acara diksitadilakukan, terlebih dahulu seorang calon harus mempersiapkan diri lahir dan batin. Diantara persiapan itu adalah melakukan vedadyana dan vedaraksana yaitu mempelajari veda dan menjaga veda. Disamping itu juga melakukan tirtayatra ke pura-pura Kahyangan Jagad dan Dang Kahyangan untuk menyucikan diri. Secara Resmi calon diksita itu diuji oleh penguji Parisada Hindu Dharma Indonesia mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan umum lainnya yang akan menunjang tugas-tugas Diksita nanti. 

Proses diksita berikutnya dilakukan oleh tiga orang guru yang kesemuanya adalah Pandita yang cukup senior, baik pengalaman, usia ataupun penguasaannya pada agama. Ketiga Pandita itu adalah Guru Nabhe, yaitu pandita yang akan memimpin dan bertnggungbjawab tehadap proses pendiksaan itu. Guru nabhe inilah yang akan napak calon diksita sehingga menjadi dwijati ataupun pandita guru.

Kedua adalah guru Wakira yang mengajar calon diksita tentang segala ilmu pengetahuan, yang harus dikuasai oleh seorang diksita. Guru yang ketiga adalah guru saksi, yaitu pandita yang bertugas sebagai saksi tentang segala proses pandiksitaan. Pentingnya guru saksi ini adalah untuk benar-benar menjadi saksi bahwa segala proses pendiksaan, yang dipimpin pleh guru nabhe berjalan sesuai sastra dan ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk itu. Guru saksi juga wajib mengetahui segala proses belajar yang diberikan oleh guru waktra.

Ada empat kegiatan Yang paling penting diketahui yang juga merupakan bagian dari proses diksita yaitu sebagai berikut: dilakukannya kegiatan amati raga, amati aran, amati sasana dan amati wesa oleh calon diksita.

  • Amati raga yang dimaksud adalah secara simbolis calon diksita dianggap dilepaskan badan kasarnya dan kemudian akan lahir kembali sebagai dwijati dengan badan yang baru.
  • Amati aran artinya bahwa dalam upacara diksa ini calon diksita mengganti nama welakanya dengan nama sulinggihnya. Hal ini juga dari proses lahir yang kedua tentu dibarengi dengan nama baru. Misal namanya Ida Bagus Putra, setelah melalui upacara diksa namanya menjadi Ide Pedanda Ngurah.
  • Amati sasana artinya sasana sewaktu welaka tidak boleh dilakukan lagi setelah menjadi sulinggih. Misalnya waktu welaka boleh melakukan jual beli atau kegiatan ekonomi, tetapi setelah menjadi sulinggih kegiatan tersebut tidak boleh lagidilakukan.
  • Amati wesa artinya, atribut waktu welaka diganti dengan atribut sulinggih. Misalnya, busana welaka harus diganti dengan busana sulinggih. Tidak hanya pakean melainkan perilaku, sikap, termasuk warna pakean, yang mengarah pada kesucian.

Calon diksita harus berumur berkisar antara 40 sampai 60 tahun. Puncak upacara padiksan adalah calon diksita “ditapak” oleh guru Nabhe dengan meletakan telapak kaki nabhe diatas kelapa calon diksita, usai upacara penapakan selanjutnya calon diksita resmi menjad  “Dwijati atau Pandita” setelah itu yang bersangkutan berhak untuk melakukan ke alam lokapalasraya, untuk melakukan hal ini dilakukan pula upacara beberapa hari setelah upacara diksa. Upcara lokapalasraya pertama kali dilakukan dengan upacara ngalinggihang “Veda” bertempat pamerajan diksita dan disaksika oleh guru waktra dengan gumi saksi. Setelah itu dilanjutkan tirtayatra kepura-pura Padarman yang berangkutan. Dengan selesainya upacara ngalinggihang Veda sulinggih yang bersangkutan sudah boleh melaksanakan lokapalasraya seperti: nibakang dewasa (memberi hari baik dan buruk kepada umat) atau muput suatu upacara yadnya. Menjadi seorang sulinggih, calon diksita harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan yaitu sebagai berikut:

  • Laki-laki yang sudah berumah tangga atau laki-laki yang nyukla brahma cari
  • Wanita yang sudah berumah tangga atau wanita yang tidak kawin (kanya)
  • Pasangan suami istri yang sah
  • Sehat dan bersih secara lariah termasuk tidak cacat jasmani (cedangga)
  • Sehat dan bersih secara batiniah, tidak menderita penyakit saraf atau gila
  • Berpengetahuan luas meliputi pengetahuan umum, paham terhadap bahasa kawi, sansekerta, indonesia, memahami masalah wariga, tattwa, sasana-sasana dan yadnya
  • Memiliki efiliasi sosial yang baik yakni berkelakuan baik dan bijaksana terhadap sesama, alam dan pemerintahan serta tidak tersangkut masalah kriminal dan supersif
  • Lulus diksapariksa yang dinyatakan dengan surat oleh pengurus PHDI Kabupaten/provinsi setempat
  • Sudah mempunyai calon nabhe yang akan menyelesaikan (muput) upacara padiksa

Seorang pandita mempunyai wewenang untuk memimpin upacara yadnya, kewenangan ini dimuat dalam lontar Bhisma parwa, Udyoga parwa, Bhomantaka, Brahsasana, dan sila krama. Dalam lontar Udyoga parwa menyebutkan karma pandita telah memiliki ilmu kerohanian yang sempura dan tinggi, maka beliaupun dapat menyempurnakan pihak lain seperti melakukan dengan memimpin suatu upacara yadnya. Dan dalam kitab Sila Krama ditekankan bahwa para pandita hendaknya dapat menguasai dan melaksanakan ajaran yama nyama brata, dimuat sebagai berikut:  

Madatamcchenna piweeca madyam; Pranna hinsenna wadecca mithyam; Prasya daran imanasapi  necched; Tah swargatnicched grhawat prawestu (Sarasamuccaya, 19256). Artinya: dan lagi jangan hendaknya mengambil kalau belum ada perjanjian, jangan engkau minum-minuman yang memabukan, jangan melakukan pembunuhan, jangan berdusta dalam kata-kata, jangan menginginkan istri orang lain jika bermaksud pulang kesurga.

Untuk tetap menjaga kesucian seorang pandita harus pula memperhatikan larangan yang tidak boleh dikunjungi.  Tempat-tempat yang terlarang bagi seorang pandita, yakni tidak boleh mengunjungi orang yang mempunyai pekerjaan hina seperti rumah tukang jagal (potong hewan), terrlebih lagi makan bersama dirumah tukang jagal tersebut. Demikian pula seorang pandita tidak boleh duduk ditempat perjudian, atau segala jenis permainan yang ada taruhannya, dan beberapa tempat larangan lainya. Antara Pandita dengan Pinandita juga mempunyai status dan wewenang yang berbeda termasuk pula sesananya. Seorang pinandita adalah seorang rohaniawan hindu tingkat ekajati.

Kelahiran sekali tidak didiksa melainkan diwinten. Setelah melalui upacara pawintenan, seorang pinandita dapat menyelesaikan upacara yadnya tetentu, atau biasanya pada pura tertentu khususnya pura yang di emongnya (menjadi tanggung jawabnya). Demikian pula untuk upacara purnama tilem dan upacara-upacara keagamaan lainnya bisa dan diselesaikan oleh pinandita. Pada umumnya dibali pinandita ini adalah pemangku.

Namun apabila ada upacara-upacara besar seperti upacara-upacara padudusan Agung disebuah pura, atau melakukan tawur dan sebagainya harus diselesaikan oleh seorang pandita, demikian pula sebagai contoh dalam upara purnama dalam umat hindu bali, selain oleh pinandita dipuput juga oleh pandita. Demikian juga pada upacara persembahyangan tertentu disebuah pura dapat pula dipuput oleh pinandita (pemangku) hanya menangani salah satu tempat suci saja. Untuk hal ini misalnya:

Pemangku Pura Desa atau Pemangku Pura Dalem dan Pura Puseh. Ketiga pemangku ini mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pura yang diamongnya. Karena perbedaan status, sasana dan wewenang, maka persyaratan pinandita agak lebih longgar jika dibandingkan dengan persyaratan untuk menjadi pandita. Persyaratan yang perlu diperhatikan untuk menjadi seorang pinandita antara lain:

  • Laki-laki atau wanita yang sudah berumah tangga
  • Laki-laki/wanita yang mengambil brata sukla brahma cari
  • Pasangan suami istri
  • Bertingkah laku yang baik dalam kehidupan sehari-hari
  • Berhati suci dan berperilaku yang suci
  • Taat dan melasanakan ajaran agama dengan baik
  • Mengetahui ajaran-ajaran agama (wruh ring utpati, sthiti,pralinaning sarwa dewa)
  • Tidak menderita penyakit saraf atau gila
  • Suka mempelajari/ berpengetahuan di bidang kerohanian
  • Dapat persetujuan dari masyarakat  setempat
  • Mendapat pengesahan dari PHDI setempat (Kabupaten/Provinsi)

Written By Bang Sin Monday, December 2, 2019

MUTIARAHINDU.COM -- Orang suci terdiri dari kata orang dan suci, orang berarti manusia, dan suci berarti kemurnian dan kebersihan lahir batin. Jadi, orang suci ialah manusia yang memiliki kekuatan mata batin dan dapat memancarkan kewibawaan rohani serta peka akan getaran-getaran spiritual, welas asih, dan memiliki kemurnian batin dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama.

Orang suci adalah orang yang dipandang mampu atau paham tentang agama Hindu. Ajaran agama Hindu memiliki banyak sebutan bagi orang suci, seperti Sulinggih, Maharsi, Bhagavan, dan sebutan gelar orang suci lainnya. Sulinggih berasal dari kata Su dan Linggih. Su artinya utama atau mulia dan Linggih artinya kedudukan atau tempat utama. Jadi, Sulinggih adalah orang yang diberikan kedudukan utama dan mulia karena kesucian diri dan perilaku luhurnya, serta mampu membimbing umat mendekatkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi. Sebelum diberi gelar sebagai orang suci, Sulinggih, Maharsi, Bhagavan, dan sebutan lainnya, harus disucikan secara rohani dan jasmani. Salah satu bentuk penyuciannya melalui upacara Madiksa. Upacara Madiksa berfungsi untuk membersihkan seseorang secara lahir batin, (Duwijo dan Susila, 2014: 12).

B. Pengelompokan Jenis-jenis Orang Suci

Orang suci dalam Agama Hindu digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu Golongan Eka Jati dan Golongan Dwi Jati.

Golongan Eka Jati adalah orangsuci yang melakukan pembersihan diri tahap awal yang disebut Mawinten. Setelah melewati tahap mawinten, Golongan Eka Jati dapat memimpin upacara keagamaan yang bersifat TriYadnya. Orang suci yang termasuk kelompok Eka Jati, yaitu pemangku (pinandita), balian, dalang, dukun, wasi, dan sebagainya.

Golongan Dwi Jati adalah orang suci yang melakukan penyucian diri tahap lanjut atau madiksa. Orang yang telah melaksanakan proses madiksa disebut orang yang lahir dua kali. Kelahiran yang pertama dari kandungan ibu, sedangkan kelahiran kedua dari kaki seorang guru rohani (Dang Acarya) atau Nabe. Setelah melakukan proses madiksa, orang suci tersebut diberi gelar Sulinggih atau Pandita. Kata Pandita berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Pandit yang artinya terpelajar, pintar, dan bijaksana. Orang suci yang tergolong Dwi Jati adalah orang yang bijaksana. Orang suci yang termasuk kelompok ini, antara lain Pandita, Pedanda, Bujangga, Maharsi, Bhagavan, Empu, Dukuh, dan sebagainya, (Duwijo dan Susila, 2014: 13).

C. Syarat-Syarat Orang Suci

Setiap umat Hindu memiliki hak yang sama untuk menjadi seorangsulinggih,seseorang dapat diangkat menjadi seorang sulinggih apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut ini.

  1. Laki-laki yang sudah menikah atau tidak menikah seumur hidupnya (sukla brahmacari).
  2. Wanita yang sudah menikah atau tidak menikah seumur hidupnya (sukla brahmacari).
  3. Pasangan suami istri yang sah.
  4. Usia minimal 40 tahun.
  5. Paham bahasa Kawi, Sansekerta, Indonesia, menguasai secara mendalam isi dari kitab suci Veda, dan memiliki pengetahuan umum yang luas.
  6. Sehat jasmani dan rohani.
  7. Berbudi pekerti yang luhur.
  8. Tidak tersangkut pidana.
  9. Mendapat persetujuan dari gurunya (Nabe).
  10. Tidak terikat dengan pekerjaan di luar kegiatan keagamaan, (Duwijo dan Susila, 2014: 14).

D. Tugas dan Kewajiban Orang Suci

Sebagai orang suci tentu memiliki kewajiban dan tugas dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini tugas dan kewajiban dari orang suci.

  1. Melaksanakan Sūrya Sewana setiap pagi.
  2. Memimpin persembahyangan umat.
  3. Memimpin pelaksanaan upacara Yadnya sesuai kitab suci Veda.
  4. Melaksanakan Tirta Yatra.
  5. Aktif dalam kegiatan untuk meningkatkan kesucian diri.
  6. Mampu memberikan ajaran dharma pada umatnya, (Duwijo dan Susila, 2014: 16).

Duwijo dan Susila, Komang. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. - Edisi Revisi. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA