Mengapa soekarno dan hatta enggan berhubungan diplomatik dengan israel jelaskan


GALAJABAR- Sampai saat ini, konflik antara Palestina dan Israel tak kunjung mereda. Konflik kedua negara tersebut sudah terjadi sejak bertahun-tahun lamanya dan masih berlanjut hingga saat ini.

Sejumlah negara di dunia serentak mengutuk kekerasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina.

Bahkan, berbagai negara di dunia turut memberikan dukungan kepada Palestina. Sayangnya, hal tersebut belum bisa mengakhiri konflik antardua negara tersebut.

Baca Juga: Suarakan Palestina Merdeka, Ini Aksi Nyata Bella Hadid Dukung Kebebasan Palestina

Indonesia adalah salah satu negara yang mendukung kemerdekaan Palestina sejak zaman pemerintahan Soekarno.

Soekarno dengan tegas menolak segala bentuk hubungan dengan Israel. Presiden pertama Indonesia tersebut tidak pernah mengakui berdirinya Israel sejak 14 Mei 1948 karena mereka merampas tanah Palestina.

Dilansir Galajabar dari saluran YouTube Top Info, berikut aksi tegas Soekarno yang menolak segala bentuk hubungan dengan Israel:

Baca Juga: Terungkap, Terlibat Perang Seumur Hidup, Palestina Ternyata Tidak Punya Tentara, Ini Alasannya!

1. Tidak memedulikan ucapan selamat kemerdekaan dari Israel

Indonesia memperoleh kedaulatan penuh pada tahun 1949. Banyak negara di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia, termasuk Israel.

Sukarno berpidato dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, 1955. Foto: KITLV.

CALON presiden Joko Widodo dan calon wakilnya Jusuf Kalla menyatakan komitmennya mendukung kemerdekaan Palestina. Jokowi juga berjanji akan membuka kedutaan besar Indonesia di Ramallah.

Perjuangan Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel telah dilakukan sejak era Presiden Sukarno. Baginya, tiap bangsa punya hak menentukan nasibnya sendiri tanpa melalui pengaturan dan campur tangan negara lain.

Sedari awal, Indonesia tak mau mengakui Israel yang diproklamasikan David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948, karena merampas tanah rakyat Palestina. Pemerintah Indonesia tak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ucapan selamat dan pengakuan kemerdekaan Indonesia yang dikirimkan Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Ben Gurion tak pernah ditanggapi serius pemerintah Indonesia. Mohammad Hatta hanya mengucapkan terimakasih, namun tak menawarkan timbal-balik dalam hal pengakuan diplomatik. Sukarno juga tak menanggapi telegram ucapan selamat dari Israel.

Sewaktu Sukarno mulai menggagas Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 1953, Indonesia dan Pakistan menolak keras diikutsertakannya Israel dalam konferensi tersebut. Keikutsertaan Israel bakal menyinggung perasaan bangsa Arab, yang kala itu masih berjuang memerdekakan diri. Sementara Israel adalah bagian dari imperialis yang hendak dienyahkan Sukarno dan pemimpin-pemimpin dunia ketiga lainnya.

Dalam pidato pembukannya di KAA pada 1955 yang juga dihadiri pejuang Palestina Yasser Arafat, Sukarno menyatakan bahwa kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya.

Maka dari itu, tulis Ali Sastroamidjojo dalam Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Bung Karno mengajak supaya bangsa-bangsa Asia dan Afrika di dalam Konperensi ini membentuk satu front anti-kolonialisme dengan membangun dan memupuk solidaritas Asia-Afrika.

“Imperialisme yang pada hakikatnya internasional hanya dapat dikalahkan dan ditundukkan dengan penggabungan tenaga antiimperialisme yang internasional juga,” ujar Sukarno dalam pidato hari ulangtahun Republik Indonesia ke-21 pada 17 Agustus 1966, sebagaimana dimuat dalam Revolusi Belum Selesai.

Pasca KAA, solidaritas Asia-Afrika menguat dan semangat antikolonialisme makin membara di dada rakyat kedua benua. Sukarno makin keras mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Hal itu dia lakukan dengan berbagai cara, tak terkecuali melalui olahraga. Maulwi Saelan, pengawal Sukarno, masih ingat betul pengalamannya tatkala sepakbola menjadi salahsatu alat perjuangan Indonesia di pentas politik internasional. Menurutnya, pada 1958 Indonesia tinggal selangkah lagi masuk ke ajang Piala Dunia. Di penyisihan wilayah Asia Timur, Indonesia berhasil menundukkan Tiongkok. Indonesia tinggal memainkan pertandingan penentuan melawan Israel sebagai juara di wilayah Asia Barat. Namun, Sukarno melarangnya. “Itu sama saja mengakui Israel,” ujar Maulwi menirukan omongan Sukarno, kepada Historia. “Ya, kita nurut. Nggak jadi berangkat,” lanjut mantan penjaga gawang tim nasional yang pernah membawa Indonesia menahan imbang Uni Soviet dalam Olimpiade Melbourne 1956.

Perlawanan terhadap Israel kembali dilakukan oleh Sukarno ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962. Pemerintah Indonesia tak memberikan visa kepada kontingen Israel dan Taiwan. Meski alasan resmi yang dikeluarkan adalah, Indonesia tak mempunyai hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut, tapi alasan politik antiimperialisme Sukarno mendasari kebijakan tersebut. Saat itu, negara-negara Arab sedang bersengketa dengan Israel yang ditopang Barat. Sedangkan China dikucilkan dunia internasional setelah Barat hanya mengakui Taiwan sebagai pemerintahan China yang sah. Sukarno melihat hal ini sebagai bentuk penindasan negara-negara Old Established Forces (Oldefos) terhadap New Emerging Forces (Nefos).

Akibatnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menskors keanggotaan Indonesia dengan batas waktu yang tak ditentukan. Alih-alih patuh, Sukarno justru memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia keluar dari IOC pada Februari 1963. Sukarno terus melawan. “Sebagai jawabannya Sukarno membentuk Ganefo yang diadakan tahun 1963, yang menjadi pertanda kebesaran bangsa ini dan pertanda ketidaktergantungan pada kekuatan-kekuatan dunia yang ada,” tulis John D. Legge dalam Sukarno: Biografi Politik. (Baca: Ganefo dan Mimpi Besar Sukarno di majalah Historia Nomor 17 Tahun II, 2014)

Semasa pemerintahan Sukarno pula Indonesia aktif mendukung perjuangan kemerdekaan di berbagai penjuru dunia dengan bantuan dana dan lain sebagainya. Tak hanya di tingkat pemerintahan, rakyat Indonesia juga aktif mendukung kemerdekaan Palestina dan bangsa-bangsa lain seperti Aljazair dan Afrika Selatan. Melalui OISRAA (Organisasi Indonesia untuk Setikawanan Rakyat Asia-Afrika) yang berdiri pada 1960 dan tergabung dalam AAPSO (Organisasi Solidaritas Rakyat Asia-Afrika), kerjasama perjuangan tersebut diintensifkan.

Hingga saat kekuasaannya sudah direbut Jenderal Soeharto pada 1966, Sukarno tetap pada pendiriannya dalam hal perjuangan rakyat Palestina melawan Israel. Dalam pidatonya pada hari ulangtahun Republik Indonesia ke-21, Sukarno menyatakan, “Kita harus bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus, bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel!”

Mengapa tidak ada hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel?

Pemerintah Indonesia secara resmi memang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negara Israel. Karenanya tidak ada kedutaan besar Israel di Indonesia. Sebaliknya, Indonesia juga tidak memiliki kantor pemerintahan di Israel. Indonesia tidak pernah mengakui Israel sebagai sebuah negara.

Apakah Indonesia punya hubungan diplomatik dengan Israel?

Meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik secara resmi, Indonesia ternyata memiliki hubungan dagang dengan Israel bahkan sejak tahun 1970-an dan masih berlangsung hingga sekarang.