Mengapa para bupati diangkat pegawai oleh pemerintah Belanda

Masa Penjajahan – Pasca Proklamasi

Pada zaman Penjajahan Belanda Kepala Daerah ditunjuk langsung oleh Pemerintah Kolonial untuk wilayah Kabupaten dan Kecamatan sedangkan untuk wilayah Provinsi diisi langsung oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, tanggal 23 Nopember 1945 Presiden Republik Indonesia Soekarno mengesahkan Undang-undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah sebagai dasar penyelenggaraan di daerah. Berdasarkan undang-undang ini, maka Komite Nasional Daerah berubah nama menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang menjalankan pemerintahan bersama dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Selanjutnya Undang-undang No. 1 Tahun 1945 dirubah dengan Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.

Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 mengatur pemerintahan daerah terdiri dari Dewan perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintahan Daerah (Pasal 2).  Dewan Pemerintahan  Daerah dipimpin oleh Kepala Daerah. Dewan Pemerintahan  Daerah dipilih oleh dan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas dasar perwakilan berimbang. Khusus untuk kepala Daerah dipilih dengan mekanisme sebagai mana diatur dalam pasal 18 sebagai berikut :

  1. Kepala Daerah Propinsi diangkat oleh Presiden dari sedikitnya-sedikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi.
  2. Kepala Daerah Kabupaten (kota besar) diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikit-sedikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Desa (kota kecil).
  3. Kepala Daerah Desa (kota kecil) diangkat oleh Kepala Daerah Propinsi dari sedikit-sedikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Desa (kota kecil).
  4. Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh yang berwajib atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
  5. Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetian dan dengan mengingat adat istiadat didaerah itu.
  6. Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang wakil Kepala Daerah oleh Presiden dengan mengingat syaratsyarat tersebut dalam ayat
  7. Wakil Kepala Daerah Isimewa adalah anggauta Dewan Pemerintah Daerah.[1]

Khusus di Indonesia Timur berlaku Undang-undang N.I.T. No. 44 tahun 1950. Negara Indonesia Timur (NIT) adalah negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang meliputi wilayah Sulawesi, Sunda Kecil (Bali & Nusa Tenggara) dan Kepulauan Maluku, ibu kotanya Makassar. Negara ini dibentuk setelah dilaksanakan Konferensi Malino pada tanggal 16-22 Juli 1946 dan Konferensi Denpasar dari tanggal 7-24 Desember 1946 yang bertujuan untuk membahas gagasan berdirinya negara bagian tersendiri di wilayah Indonesia bagian timur oleh Belanda. Pada akhir Konferensi Denpasar 24 Desember 1946, negara baru ini dinamakan Negara Timur Raya, tetapi kemudian diganti menjadi Negara Indonesia Timur pada tanggal 27 Desember 1946.[2]

Pada tahun 1965-1974 berlaku Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 dan pengaturan-penaturan lebih lanjut dalam Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959, Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960 serta Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 jo Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965. Pada Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah diatur mengenai Masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta Anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) adalah 5 tahun. Kepala Daerah adalah pegawai Negara. Kepala Daerah merupakan wakil pemerintah pusat sekaligus pejabat dalam pemerintahan daerah. Oleh karena itu Kepala Daerah harus melaksanakan politik pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hierarki yang ada. Kepala Daerah Terdiri dari Kepala Daerah Tingkat I (Propinsi dan/atau Kotapraja) Kepala Daerah Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah tingkat II dan Kepala Daerah Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah tingkat III. Sedangkan Pemilihan dan Pengangkatan Kepala Daerah diatur sebagai berikut :

Pasal 12

  1. Kepala Daerah tingkat I diangkat oleh Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
  2. Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan diminta oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden untuk mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai keterangand tentang alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama
  3. Apabila juga pada pencalonan yang kedua seperti di maksud ayat (2) diatas tidak ada calon yang memenuhi syarat, maka Presiden mengangkat seorang Kepala Daerah diluar pencalonan.

Pasal 13.

  1. Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya emapt orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
  2. Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon dyang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan diminta oleh Menteri Dalam Negeri untuk mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai keterangan tentang alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama.
  3. Apabila juga dalam pencalonan yang kedua seperti dimaksud dalam ayat (2) diatas tidak,ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden, maka Presiden mengangkat seorang Kepala Daerah diluar pencalonan.

Pasal 14.

  1. Kepala Daerah tingkat III diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dari sedikit- dikitnya dua dan sebanyakbanyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan
  2. Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan diminta oleh Kepala Daerah tingkat I untuk mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai keterangan tentang alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama.
  3. Apabila juga pada pencalonan yang kedua seperti dimaksud dalam ayat (2) diatas tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri, maka Menteri tersebut mengangkat seorang Kepala Daerah di luar pencalonan. [3]

Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pada undang-undang ini daerah hanya terbagi 2 (dua) yakni pemerintah Daerah Tingkat I (Provinsi) dan pemerintah Daerah Tingkat II (Kabupaten) dan pemerintah Daerah Terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.  Pengisian jabatan kepala daerah tingkat I (Provinsi) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri.
  2. Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya dua (2) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. (Pasal 15)

Sedangkan untuk pengisian jabatan kepala Daerah Tingkat II (kabupaten) dilaksanakan dengan ketentuan pasal 16 sebagai berikut :

  1. Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah.
  2. (2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya.[4]

Pada Tahun 1999, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada undang-undang ini diatur bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan (Pasal 41). Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan.
  2. Calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah, ditetapkan oleh DPRD melalui tahap pencalonan dan pemilihan.
  3. Untuk pcncalonan dan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dibentuk Panitia Pemilihan.
  4. Ketua dan para Wakil Ketua DPRD karena jabatannya adalah Ketua dan Wakil Ketua panitia Pemilihan merangkap sebagai anggota.
  5. Sekretaris DPRD karena jabatannya adalah Sekretaris Panitia Pemilihan, tetapi bukan anggota. (Pasal 34)

Selain itu Pemerintahan Daerah di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diatur dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, Provinsi Aceh juga ditegaskan keistimewaannya dengan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999  dan diberi otonomi khusus dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001, serta perubahan nomenklatur menjadi Aceh. Selain itu Provinsi Irian Jaya juga diberi otonomi khusus dengan UU No. 21 Tahun 2001.[5]

Pasca Reformasi –  Sekarang

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  Undang-undang ini mengalamami 2 (dua) kali perubahan yakni pada tanggal 27 April 2005 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  Tentang Pemerintahan Daerah, merubah pasal 90 ayat 1 dan 2, dan menambah Pasal 236A dan Pasal 236B serta pada tanggal 28 april 2008 dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahannya telah mengadaptasi Amandemen ke-4 (1999-2002) UUD 1945 khususnya Pasal 18 ayat 4 :

“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”

Pada tanggal 28 April 2008 Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan UU Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, mereka yang mencalonkan diri tidak harus bergabung atau masuk ke partai politik terlebih dahulu. Calon perseorangan boleh mendaftar dengan syarat dukungan masyarakat. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 59 (1) huruf (b) “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. b. pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Ketentuan tersebut merupakan implikasi adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Senin 23 Juli 2007.

Pada tanggal 30 September 2014,  Presiden Republik Indonesia,   Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Akan tetapi undang-undang tersebut  telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan. Atas penolakan tersebut maka kemudian dendgan mempertimbangkan syarat kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, Presiden Republik Indonesia yakni Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 2 Oktober 2014 menetapkan Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Selanjutnya pada tanggal 2 Oktober 2014 atas persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemeirntah kemudian disahkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Memperhatikan perkembangan dalam sistem pemilihan, pada tanggal 18 Maret 2015, Presiden Republik Indonesia yakni Ir. Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang kemudian pada akhirnya dalam rangka penyempurnaan penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota pada tanggal 1 Juli 2016, Presiden Republik Indonesia yakni Ir. Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.  Undang-undang 10 Tahun 2016 inilah yang pada pemilihan tahun 2020 masih tetap digunakan. (co)

Penulis adalah Anggota Bawaslu Kabupaten Poso (Periode 2018-2023); Koordinator Divisi Hukum, Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa

Link Download File PDF : Klik

[1] Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah

[2] Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia, Jurnal sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, Yayasan Obor Indonesia, ISSN 1858-2117 Halaman 37- 40

 [3] Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah

[4] Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah

[5] Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah