Mengapa kekuasaan politik berperan penting bagi perkembangan penyebaran di Indonesia

Mengapa kekuasaan politik berperan penting bagi perkembangan penyebaran di Indonesia

Kemilau Masjid Masjid Agung Sheikh Zayed di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 25 Desember 2018. Masjid Agung Sheikh Zayed dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan yang terletak di sisi utara menara masjid. Perpustakaan ini dilengkapi dengan buku buku klasik dan buku buku cetakan terkait dengan Islam termasuk tentang ilmu pengetahuan dalam Islam, peradaban, kaligrafi, seni budaya, koin koin Islam hingga buku buku kuno terbitan 200 tahun yang lalu. REUTERS/ Hamad I Mohammed

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin harus benar-benar diyakini oleh para pemeluknya. Keyakinan ini akan tecermin dalam bentuk perilaku umat Islam yang sangat positif, baik untuk dirinya maupun masyarakat, termasuk alam lingkungannya. Kehadirannya akan memberikan kesejukan bagi orang-orang di sekitarnya, sehingga komunitas tempat umat Islam berada akan terasa nyaman, aman, tenteram, dan damai.

Secara sederhana bisa kita lihat ketika Islam mengucapkan salam pembukaan atau ketika saling bertemu. Di situ jelas umat Islam dianjurkan untuk mendoakan keselamatan, rahmat Allah, dan keberkahan. Begitu juga ketika umat Islam akan memulai pekerjaan, dianjurkan untuk mengucapkan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (bismillahirrahmanirrahim). Kedua hal itu harus benar-benar diresapi sehingga umat Islam tidak memelihara dendam dan kebencian.

Jadi, konsep dasar Islam itu sangat jauh dari perilaku brutal, teror, dan menakutkan. Konsep dasar inilah yang harus menjadi pegangan setiap insan muslim. Bila ada umat Islam yang brutal, kasar, dan teroris, berarti dia tidak memahami konsep dasar keislaman ini.

Perspektif kebaikan ini harus betul-betul ditanamkan dalam benak muslim. Dengan demikian, langkah-langkah berikutnya, termasuk pikiran dan tindakannya, akan memberikan energi positif terhadap dirinya, masyarakat, dan lingkungannya.

Indonesia saat ini sudah termasuk negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Hal ini juga berarti Indonesia adalah negara demokrasi dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Kita harus bangga bahwa sejak dimulainya sistem pemilihan presiden langsung pada 2004, semuanya berjalan lancar.

Pada pemilihan presiden 2014 dan 2019 memang hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga tidak bisa dihindari terjadi pembelahan dua kutub calon dan pemilih (masyarakat). Itu sebuah konsekuensi logis. Namun kita harus bersyukur pada 2014 secara umum semua partai politik dan masyarakat mampu menerimanya dengan baik.

Dari pemilihan presiden 2014 ini dirasakan ada efek bercak-bercak "perpecahan". Namun secara umum hal itu tidak berefek merusak pemerintahan dan program-programnya.

Islam yang rahmatan lil alamin tentu sangat berperan dalam membangun politik damai. Kasarnya, bila semua umat Islam sejahtera, berarti Indonesia sejahtera. Bila muslim damai, berarti Indonesia damai. Inilah hukum bilangan besar dalam ilmu statistika.

Politik bisa diterjemahkan sebagai upaya untuk meraih kekuasaan. Adapun tujuannya adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat. Kekuasaan hanyalah alat. Maka politik itu bersifat "jangka pendek", sedangkan keutuhan, kedamaian, dan kesejahteraan masyarakat "jangka panjang". Jadi sesuatu yang bersifat jangka pendek jangan sampai mengalahkan sesuatu yang bersifat jangka panjang. Begitu juga ihwal alat. Jangan sampai alat atau cara justru merusak tujuan.

Strategi dan taktik tidak bisa dipisahkan dalam politik. Bahasa Arab menerjemahkan politik sebagai siasah/siasat. Dan siasat itu sendiri tidak lain adalah cara. Jadi, siasat dan cara itu semua adalah alat. Tentu ini boleh dan wajar. Namun, bila cara itu dilandasi Islam sebagai agama rahmat, semua cara itu harus baik, teratur, dan tidak memecah belah.

Cara-cara dengan memanfaatkan teknologi bisa konstruktif atau destruktif, bergantung pada kandungannya. Kandungan berupa hoax atau kabar bohong yang dikemas lewat teknologi sangat berbahaya karena dianggap bukan kebohongan. Teknologi gambar dan suara bisa diatur sedemikian rupa seolah-olah seseorang mengatakan sesuatu karena orang melihat videonya padahal itu hasil rekayasa teknologi. Tentu masyarakat awam bisa menelan mentah-mentah kabar bohong semacam ini. Mereka tidak tahu bahwa semua itu adalah manipulasi berbasis teknologi. Ini sangat destruktif serta membahayakan kerukunan dan perdamaian.

Hal yang lebih mengerikan lagi adalah penyebaran informasi palsu itu dilakukan oleh orang-orang yang melek ilmu dan teknologi. Mereka menyebarkannya apabila menguntungkan kelompoknya, padahal informasi itu bohong dan merugikan kelompok lain. Ujung-ujungnya terjadi saling benci dan saling menyalahkan. Sebenarnya, yang dirugikan adalah negara Indonesia sendiri karena energi, waktu, dan dana terbuang untuk menyelesaikannya.

Kerugian ini juga bersifat laten karena akan menyisakan bercak yang terus dibawa ke generasi penerus. Efek dari semua ini adalah kemunduran peradaban, kerugian ekonomi, dan ketidakpercayaan negara lain. Untuk membangun kembali kerusakan fatal ini tentu memerlukan waktu yang sangat panjang. Di sinilah umat Islam Indonesia dapat menyumbangkan peran positif dan konstruktif bagi perpolitikan negara.

Sebenarnya, banyak negara asing yang mengagumi demokrasi Indonesia dengan penduduk Islam terbanyak ini. Rasa kagum ini jangan sampai rusak akibat orang dalam sendiri. Untuk menghadapi politik praktis pemilihan presiden dan pemilihan legislatif serentak, harus dilakukan perlombaan gagasan, bukan lomba hoax yang membuat masyarakat menjadi sumpek, apatis, atau bahkan saling curiga dan benci. Islam dengan ketinggian konsepnya diharapkan menjadi rujukan perbaikan.

Oleh : Faisal Reza, SHI

(Staf. Panmud Gugatan MS Meureudu)

Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani (politika – yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya polites (warga negara) dan polis (negara kota). Secara etimologi kata “politik” masih berhubungan dengan policy (kebijakan). Sehingga Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Di dalam bahasa Arab, Politik dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulamasalafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusiatersebut dinamai politikus(siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amrimengurusi (yasûsu) rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).[2]

Rasulullah SAWsendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi(tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah”.[3] Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak haditsterkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi MuhammadSAW bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim)

Politik Adalah Fitrah

Masyarakat kita masih banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. Sehingga anggapan seperti itu membuat masyarakat kita sangat apatis, apriori (benci), dan alergi dengan politik dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Hal itu mungkin terjadi karena hasil pantauan masyarakat dilapangan dan lewat media terhadap politik selama ini selalu menunjukkan gejala yang buruk. Orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat bergeser orientasi politiknya menjadi politik imperialis, berkhianat, koruptor dan semena-mena. Apalagi, setelah panggung politik dunia dirasuki politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara, semakin menjadi-jadilah kebencian masyarakat terhadap politik.

Lantas pertanyaannya, apakah politik itu selalu buruk? Itulah yang harus dimengerti oleh masyarakat secara benar, Karena Persepsi yang keliru terhadap politik tentu akan melahirkan sikap-sikap yang keliru pula. Padahal, politik itu keharusan yang tak bisa dihindari. Karena secara praktis, politik merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan peng-organisasian urusan masyarakat/publik dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Tak ada orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. politik merupakan bagian dari kehidupan manusia dan tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari politik. Begitu kita lahir, kita sudah bergabung dengan organisasi tertinggi yakni negara. Tidak ada seorangpun yang hidup tanpa terikat oleh politik. Orang yang ingin mempengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Orang yang menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan kekuasaan politik diambil orang, maka dia terikat pada kebijakan-kebijakan pemenang kontes politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan itu. Karena itu, dapat dikatakan bahwa politik itu adalah fitrah atau sesuatu yang tak bisa dihindari.

Pandangan Islam Mengenai Politik

Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan, dan politik, Negara dan tanah airi adalah bagian dari islam. tidak ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik. karena politik bagian dari risalah Islam yang sempuran.[4] Seperti ungkapan bahwa tidak ada kebaikan pada agama yang tidak ada politiknya dan tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada agamanya.

Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).

lengkapnya Imam Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia”.[5] Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan nyaman. Begitulah islam memandang pollitik

Karena paraktiknya politik itu banyak diwarnai oleh perilaku jahat, kotor, bohong, dan korup, timbullah kesan umum bahwa politik (pada situasi tertentu) adalah kotor dan harus dihindari. Mujaddid Islam, Muhammad Abduh, pun pernah marah kepada politik dan politisi karena berdasarkan pengalaman dan pengamatannya waktu itu beliau melihat di dalam politik itu banyak yang melanggar akhlak, banyak korupsi, kebohongan, dan kecurangan-kecurangan.

Muhammad Abduh pernah mengungkapkan doa taawwudz dalam kegiatan politik ,”Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang mengatur politik dan dari orang yang diatur politik”. Tetapi dengan mengacu pada filosofi Imam Al-Ghazali menjadi jelas bahwa berpolitik itu bagian dari kewajiban syari’at karena tugas-tugas syari’at hanya bisa direalisasikan di dalam dan melalui kekuasaan politik atau penguasa (organisasi negara).

Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara, bahkan mendirikan Negara, dan Rasulullah, SAW, Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin islam terdahulu telah membuktikanya.

Memilih Pemimpin Yang Terbaik

Dalam konteks keindonesiaan sekarang ini kaum muslimin tidak boleh apatis terhadap pemilihan pemimpin yaitu presiden dan calon presiden. Kita tidak boleh bersikap golput atau “tidak akan memilih ” pasangan capres/cawapres yang mana pun hanya dengan alasan tidak ada pasangan yang ideal. Kita tetap harus memilih karena siapa pun yang terpilih akan menentukan arah kebijakan negara yang juga mengikat kita.

Dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan capres/cawapres: Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah disaring melalui proses konstitusional yang sah. Semuanya sama baiknya, atau, sama tak baiknya. Tak ada yang boleh mengatakan bahwa secara mutlak pasangan yang satu lebih baik dari pasangan yang lain. Semua tergantung penilaian kita masing-masing. Kata sekelompok orang pasangan ini lebih baik karena ini dan itu, sedangkan pasangan lain lebih jelek karena ini dan itu. Bahkan pemberitaan media digempur dengan blac campaign dan berita-berita yang penuh kebohongan dan sarat Pencitraan.

Jadi kedua pasangan ada kelebihan dan kekurangannya serta ada pendukung dan penolaknya masing-masing. Menghadapi alternatif seperti itu kita harus tetap memilih dengan kesadaran penuh bahwa takkan pernah ada alternatif yang ideal untuk dipilih. Bahkan, mungkin saja, semua alternatif yang tersedia semuanya sangat tidak ideal. Jika demikian halnya, maka ada kaidah akhaff al-dhararain, yaitu memilih yang paling sedikit jeleknya di antara alternatif-alternatif yang sama-sama jelek.

Dalam hal prinsip dan sistem pemerintahan, misalnya, tidak ada yang betul-betul baik dari antara sistem-sistem yang tersedia. Baik teokrasi, demokrasi, monarki, aristokrasi, oligarki, maupun tirani semuanya samasama tidak ideal dan mengandung segi-segi kelemahan. Tetapi, sebagian terbesar negara-negara di dunia memilih prinsip dan sistem demokrasi, bukan karena sistem itu bagus melainkan karena ia mengandung kelemahan yang paling sedikit jika dibanding dengan sistem yang lain. Maka itu, pilihlah yang terbaik dari yang ada, meskipun tidak ideal.

karena itu kita harus berkontribusi untuk negeri ini dengan memilih pemimpin dengan bijaksana. Memilih pemimpin yang bisa mengatur urusan negara dengan baik, memakmurkan dan mensejahterakan rakyat, pemimpin yang jujur, tegas dalam bersikap dan mempunyai kewibaan serta pemimpin yang bisa menampung aspirasi umat islam dan didukung oleh mayoritas umat islam. Negara Indonesia adalah salah satu negara terbesar berpenduduk muslim di dunia, 85 % penduduk di negeri kita adalah beragama islam dan sebagai muslim. Oleh sebab itu layaknya kita mengharapkan pemimpin yang memperjuangkan aspirasi umat islam dan melenyapkan segala kerusakan dan kezaliman yang bisa merugikan rakyat, negeri dan agama. Utsman bin Affan Ra pernah berkata, Kezaliman yang tidak dapat dilenyapkan Alquran akan Allah Swt lenyapkan melalui tangan penguasa. Itulah aura pemimpin yang diharapkan.

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-IV, Jakarta : Balai Pustaka, 2008. [2] http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam [3] HR. Bukharidan Muslim [4] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Tarbiyah Politik Hasan Al-banna : Referensi Gerakan Dakwah di Kancah politik, Jakarta : Arah Press, 2007. [5] Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid II, Jakarta : Gema Insani Press, 2002. hlm 913