Mengapa Allah swt menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardhi

Oleh: Dr. Aibdi Rahmat, M.Ag. Khalifah bermakna mengganti, menggantikan, menempati tempatnya, atau belakang. Khalifah juga bermakna pengganti yang lain baik karena kegaiban/ ketiadaan yang digantikannya, ada kalanya karena kematian, kelemahan, atau karena kemuliaan yang digantikannya. Pada makna yang terakhir inilah digunakan pengertian Allah mengangkat wali-wali-Nya sebagai khalifah di bumi. Karena wali Allah berarti menggantikan posisi kemuliaan Allah di bumi ini. Banyak ayat Alquran yang membicarakan tentang kekhalifahan manusia di bumi. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi yang berarti menunjukkan keutamaan dan kemuliaan manusia. Manusia mendapatkan kemuliaan dari Allah menjadi khalifah-Nya di bumi ini untuk menjalankan tugas dan fungsi yang akan diberikan kepada mereka. Pernyataan tentang kekhalifahan manusia disebutkan dalam QS. al-Baqarah/2:30.

Artinya:"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Ayat ini mengungkapkan dialog antara Allah dengan malaikat. Allah menegaskan kepada malaikat bahwa Ia akan menjadikan seorang khalifah di bumi ini. Penegasan itu menunjukkan bahwa Allah memberikan kehormatan dan kemuliaan kepada makhluk tersebut untuk menggantikan posisi kemulian-Nya. Malaikat yang menyadari status khalifah Allah yang akan diberikan kepada Adam, bertanya kepada Allah tentang penunjukkan itu. Apakah pantas manusia mendapatkan kehormatan tersebut? Sementara itu, menurut mereka, makhluk yang akan menjadi khalifah Allah itu adalah makhluk yang akan membuat keonaran, kerusakan terhadap bumi ini, sehingga mereka pantas disebut mufsidun (orang yang berbuat kerusakan). Selain itu, mereka akan melakukan penumpahan darah yaitu melakukan saling bunuh di antara sesamanya. Padahal, posisi khalifah Allah adalah posisi terhormat. Apakah posisi ini pantas diperoleh makhluk yang akan melakukan hal demikian? Sedangkan malaikat, sebagai makhluk Allah yang terlebih dahulu diciptakan telah menunjukkan ketundukan, kepatuhan dan pengabdiannya kepada Allah, dan senantiasa bertasbih dan bertahmid kepada-Nya.

Dengan demikian, menurut malaikat, merekalah yang pantas untuk mendapatkan posisi tersebut di bumi ini. Mejawab pertanyaan malaikat Allah menegaskan bahwa Ia mengetahui apa yang tidak diketahui malaikat. Allah Yang Menciptakan seluruh makhluk dan Pemberi pengetahuan, tentu mengetahui apa tujuan dari penciptaan makhluk yang diciptakan-Nya. Hanya Allah yang mengetahui hikmah yang terdapat dibalik penciptaan-Nya. Malaikat, sekalipun senantiasa menyucikan dan memuji Allah, dan makhluk yang paling dekat dengan Allah, tidak mengetahui hikmah dari penciptaan, bila Allah tidak memberitahukannya.

Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya dalam pengertian menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-Nya. Allah mengangkat manusia sebagai khalifah bertujuan untuk menguji manusia dan memberinya penghormatan. Kekhalifahan merupakan wewenang yang diberikan Allah kepada Adam dan anak cucunya untuk direalisasikan di bumi ini. Dengan demikian, kekhalifahan mengharuskan makhluk yang diserahi tugas tersebut melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah. Seluruh perbuatan atau tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan. Menjadi khalifah Allah di bumi ini ternyata bukan tugas yang ringan atau main-main. Sebagai khalifah Allah di bumi yang akan menjalankan kehendak dan ketetapan-Nya, Adam –sebagai bapak manusia- dibekali Allah dengan segala pengetahuan yang dibutuhkannya untuk menjalankan tugas tersebut. Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruh benda. Dengan demikian berarti Allah memberinya pengetahuan tentang nama-nama atau kata-kata yang digunakan untuk menunjuk benda-benda atau fungsi benda-benda tersebut.

Dengan adanya pengetahuan tentang nama-nama benda dan fungsinya berarti Adam telah dipersiapkan untuk mampu melaksanakan amanah atau tugas yang diberikan Allah kepadanya yaitu sebagai khalifah Allah di bumi ini. Adanya pengetahuan tentang nama-nama benda, menunjukkan bahwa Adam telah diberi potensi untuk mampu berbahasa. Kemampuan berbahasa atau bertutur kata  merupakan potensi yang diberikan kepada manusia untuk dapat berkomunikasi yang nantinya dapat mengembangkan pengetahuan melalui komunikasi yang terjadi di antara mereka.

Pengetahuan yang telah diberikan Allah kepada Adam, ternyata tidak ada yang diketahui malaikat. Walaupun selama ini mereka merasa sebagai makhluk Allah yang paling dekat dengan-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya siapapun tidak memiliki pengetahuan kecuali bila Allah memberikan pengetahuan kepadanya. Seluruh potensi atau pengetahuan yang diberikan Allah merupakan modal utama bagi manusia untuk kesiapan mereka dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai khalifah Allah.

Setelah memberikan bekal bagi manusia berupa potensi atau pengatahuan, Allah memberikan tugas yang harus mereka laksanakan dalam rangka kekhalifahannya. Tugas tersebut diungkapkan dalam QS. Sad/38:26.

Artinya:" Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Ayat ini menegaskan bahwa Allah telah menjadikan Daud sebagai khalifah (penguasa/pemimpin/pengelola) di bumi ini. Sebagai khalifah, Daud diharapkan mampu memberi keputusan dengan benar dan adil dalam setiap permasalahan yang terjadi. Seorang khalifah yang menjadi pemimpin dan penguasa harus mampu menegakkan dan menerapkan hukum dengan benar dan adil. Kemampuan menegakkan hukum secara benar dan adil sangat penting bagi seorang pemimpin. Keadilan merupakan dasar agar kekuasaan itu dapat berjalan dengan baik. Tanpa keadilan maka akan terjadi kecurangan dan dampaknya adalah timbulnya kezaliman di tengah-tengah masyarakat. Kecurangan dan kezaliman memberikan dampak kerusakan bagi manusia dan alam. Hal inilah yang dikhawatirkan para malaikat ketika terjadinya dialog dengan Allah tentang penetapan manusia sebagai khalifah.

Pemimpin yang adil dalam menerapkan aturan dan hukum dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik, sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan bagi yang lainnya, termasuk alam sekitarnya. Hal inilah sebenarnya yang menjadi tugas utama seorang khalifah Allah di bumi ini yaitu mampu mewujudkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan mereka di dunia ini. 

Kekhalifahan bukanlah sebuah hadiah yang diperoleh untuk bersenang-senang. Kekhalifahan merupakan tugas yang harus dijalankan dengan baik dan pada akhirnya akan diminta pertanggungjawabannya. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan dalam sebuah hadis yaitu setiap orang merupakan pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban terhadap kepemimpinan yang dijalankannya. (Hadis riwayat Bukhari  no. 844).

* Penulis Dosen IAIN Bengkulu

Alam semesta termasuk bumi dan seisinya adalah ciptaan Allah SWT. Penciptaannya dalam keseimbangan, proporsional dan terukur atau mempunyai ukuran-ukuran, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (QS:Ar-Ra’d: 8; Al-Qomar: 49 dan Al-Hijr:19). Alam merupakan sebuah entitas atau realitas (empirik) yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan manusia dan dengan realitas yang lain Yang Ghaib dan supraempirik. Alam sekaligus merupakan representasi atau manifestasi dari Yang Maha Menciptakan alam dan Yang Maha Kuasa, yang melampauinya dan melingkupinya yang sekaligus merupakan sumber keberadaan alam itu sendiri. Realitas alam ini tidak diciptakan dengan ketidak-sengajaan (kebetulan atau main-main atau bathil) sebagaimana pandangan beberapa saintis barat, akan tetapi dengan nilai dan tujuan tertentu dan dengan haq atau benar (Q.S: Al-An’am: 73; Shaad:27; Al Dukhaan: 38-39, Ali Imran:191-192).

Dalam konteks hubungan antara manusia dan alam, Islam menolak asas paham antroposentrisme, yang menganggap bahwa manusia merupakan pusat sekaligus “penguasa” alam. Manusia adalah bagian dari alam, bukan diatas atau terpisah dari alam. Manusia bukan tuan atau penguasa alam akan tetapi mempunyai status yang sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam berinteraksi dengan alam, manusia harus mempertimbangkan hak dan peran makhluk yang lain dan tidak terbatas pada makhluk hidup semata, akan tetapi seluruh komponen alam. Keberlanjutan kehidupan manusia, juga dipengaruhi dan tergantung pada alam atau ekosistimnya. Demikian pula kehidupan makhluk yang lain dipengaruhi oleh manusia dan juga ekosistemnya.

Asas keseimbangan, kesatuan ekosistem serta keterbatasan alam (daya dukung dan faktor pembatas) masih digunakan oleh para ilmuan dan praktisi lingkungan untuk menyusun kebijakan dalam pengelolaan lingkungan. Asas tersebut juga telah digunakan sebagai landasan moral (etika) perlindungan alam dan lingkungan bagi aktifitas manusia dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Berikut ini akan dikemukakan secara singkat beberapa asas etika lingkungan yang dimaksud.

Asas pertama. Lingkungan alam merupakan lingkungan yang bersifat holistik dan saling mempengaruhi. Artinya segala sesuatu yang berada dibumi ini saling mempengaruhi secara langsung maupun tidak. Secara moral, asas ini menuntun setiap individu khususnya manusia untuk mempertimbangkan setiap keputusan dan tindakan yang akan dilakukannya terhadap lingkungan alam. Asas ini sejalan dengan paham biosentrisme dan ekosentrisme tentang hubungan antara manusia dan alam yang tidak bersifat terpisah, akan tetapi manusia merupakan bagian dari alam, antara keduanya saling terkait.

Asas kedua. Segala sumber kehidupan dibumi termasuk keanekaragaman hayati merupakan kekayaan alam yang merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya. Keanekaragaman hayati ini harus dipelihara karena merupakan sumber kehidupan dan keberlanjutan eksistensi semua makhluk hidup termasuk manusia. Menjaga keberlanjutan kehidupan dan keaneka ragaman hayati pada hakekatnya merupakan upaya untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan di muka bumi termasuk kehidupan manusia, sekaligus merupakan tugas atau kewajiban manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling unggul dalam ciptaan maupun kemampuan nalarnya. Merusak sumber kehidupan atau memanfaatkan sumber kehidupan dengan melampaui batas merupakan tindakan yang tidak dibenarkan karena akan berakibat pada terganggunya keseimbangan ekosistem dan rusaknya alam.

Asas ketiga. Terjadi siklus dan penyebaran sumberdaya alam secara terus menerus melalui suatu mata rantai ekosistem atau rantai makanan, sehingga saling terpengaruh antara satu komponen dengan komponen lainnya. Limbah suatu komponen ekosistim (spesies) bisa menjadi masukan atau sumber makanan bagi komponen ekosistem (spesies) lainnya. Misalnya mikroba tanah. Mikroorganisme atau mikroba adalah makhluk yang berukuran sangat kecil. Mikroba dapat mengurai limbah organik seperti daun, buah, dan sayuran busuk. Mikroba memperoleh energy dengan cara menguraikan sisa-sisa makhluk hidup yang telah mati.

Asas keempat. Adanya faktor pembatas (kendala) dalam kehidupan di alam. Artinya, faktor lingkungan tertentu bisa menjadi pembatas atau kendala bagi berkembangnya atau berfungsinya kehidupan komponen lingkungan lainnya. Demikian pula daya dukung lingkungan mempunyai keterbatasan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Ekosistem dan komponennya mempunyai keterbatasan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan baru. Apabila faktor pembatas dilewati misalnya dengan melakukan eksploitasi atau pemanfaatan alam yang melampaui kapasitas dan daya dukung lingkungan, maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan ekosistem di alam dan berdampak terjadinya degradasi.

Asas kelima. Setiap individu atau spesies mempunyai kemampuan sekaligus faktor pembatas untuk bisa mempertahankan dan melestarikan spesiesnya. Misalnya perlindungan terhadap salah satu komponen atau spesies misalnya ular di sawah semakin lama semakin sedikit jumlahnya sehingga menyebabkan populasi tikus semakin banyak. Akibatnya mengganggu pertumbuhan padi di sawah.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA