Lembaga negara yang terlibat dalam pembuatan undang undang yaitu

Apa saja persamaan dan perbedaan antara peserta “yang menyuruh lakukan” dengan “yang menganjurkan” dalam penyertaan Pidana

jelaskan penilaian anda tentang kebijakan pemerintah masa kepemimpinan presiden joko widodo menjalani 2 periode jabatan​

apa yg kalian lakukan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa melalui kegiatan di daerah sendiri​

berikan contoh apa manfaat penerapan geostrategi dalam eksistensi sebuah negara di kancah global? minta bantuanya ka

3. Menurut Kartini Kartono menjelaskan pengertian yang lebih dinamis dan Fungsional mengenai politik

Pada lambang Negara Indonesia yaitu Garuda Pancasila terdapat pita putih yang dicengkeram oleh kaki burung Garuda, di dalam pita tersebut tertulis Bhi … nneka Tunggal Ika yang tiada lain adalah semboyan dari Negara Indonesia. Apakah semboyan tersebut masih relevan untuk digunakan saat ini? Berikan pendapat saudara mengenai hal tersebut.

apakah nama pakaian adat suku sasak, dan apa nama tarian suku sasak serta senjata tradisional suku sasak itu apa?

Apakah yang menyebabkan kehancuran Yugoslavia? Jawaban sederhananya adalah karena tidak kuat lagi tingkat ketahanan nasional negara Yugoslavia, teruta … ma dari segi ketahanan aspek ideologi. Dalam sejarah dunia, ada banyak contoh negara yang hilang atau bubar ketika mengarungi kehidupannya. Misalnya negara Cekoslovakia, negara Uni Sovyet. Dapatkah Anda memberi contoh lain? Apakah Indonesia juga dapat berpotensi demikian?​

nama senjata tradisional makasar

bagaimana cara menanggulangi pelaku korupsi agar mempunyai efek jera?​

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran pertama kali dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 10 Oktober 2012.

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang (“UU”) ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”).

Selanjutnya, di dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa setiap Rancangan Undang-Undang (“RUU”) dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Proses pembentukan UU diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 15/2019”).

Selain itu, proses pembentukan UU juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU MD3”) dan perubahannya.

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur melalui UU adalah:

  1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945;

  2. perintah suatu UU untuk diatur dengan UU;

  3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

  4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

  5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Dalam UU 12/2011 dan perubahannya, proses pembuatan undang-undang diatur dalam Pasal 16 UU 12/2011 s.d. Pasal 23 UU 15/2019, Pasal 43 UU 12/2011 s.d. Pasal 51 UU 12/2011, dan Pasal 65 UU 12/2011 s.d. Pasal 74 UU 12/2011.

Sedangkan, dalam UU MD3 dan perubahannya, pembentukan UU diatur dalam Pasal 162 UU MD3 s.d. Pasal 173 UU MD3.

Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, dapat kami sarikan proses pembentukan undang-undang sebagai berikut:

  1. Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun oleh DPR, Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”), dan pemerintah untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU.[1]

  2. RUU dapat berasal dari DPR, presiden, atau DPD.[2]

  3. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali untuk RUU anggaran pendapatan dan belanja negara, RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perpu”) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.[3]

  4. RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi.[4]

  5. RUU yang diajukan oleh presiden diajukan dengan surat presiden kepada pimpinan DPR dan usulannya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.[5]

  6. Materi muatan RUU yang diajukan oleh DPD serupa dengan yang dapat diajukan oleh presiden yang telah diterangkan di atas. RUU tersebut beserta naskah akademiknya diajukan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.[6]

  7. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.[7]

  8. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus.[8]

  9. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.[9]

  10. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang berisi:[10]

    1. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;

    2. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan

    3. pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugaskan.

  11. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak.[11]

  12. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan presiden diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.[12]

  13. Apabila pembahasan RUU telah memasuki pembahasan daftar inventarisasi masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.[13]

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Tentang DPR

  • DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
  • Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
  • Rancangan undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh Anggota, komisi, atau gabungan komisi.
  • Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Presiden.
  • Rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh DPD, dalam hal berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  • Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dan disertai dengan naskah akademis, kecuali rancangan undang-undang mengenai: 

a. APBN; b. penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang; atau

c. pencabutan undang-undang atau pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

  • Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2) disusun berdasarkan Prolegnas.
  • Dalam keadaan tertentu, hanya DPR dan Presiden yang dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Prolegnas.
  • Rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama antara DPR dan Presiden paling lambat 7 (tujuh) Hari disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.
  • Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Untuk proses secara lengkap dapat dilihat di Tata tertib DPR RI BAB VI

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA